Kamis, 30 Juli 2009

PENGUATAN KEDAULATAN RAKYAT PASCAPEMILU (SEBUAH WACANA KETATANEGARAAN INDONESIA KE DEPAN)

JURNAL KONSTITUSI, Vol. II No. 1, Juni 2009       ISSN: 1829-7706

PENGUATAN KEDAULATAN RAKYAT PASCAPEMILU (SEBUAH WACANA KETATANEGARAAN INDONESIA KE DEPAN)
Oleh: Anis Ibrahim*
ABSTRACT
 The post- amendment of the 1945 Constitution results in a shift in meaning of the term ‘the people’s sovereignty’ from the MPR to the Constitution. This shift should be followed by the shift in the implementation of the people’s sovereignty from merely partisipation in the general election to a substantial participation in the process of making the state policies. If this does not happen, the state policies are elitist, resulting in indifference to the people’s sovereignty. Therefore, it is necessary to reinforce the people’s sovereignty though the amendment of the 2004 Laws No. 10, in order to make the people control their sovereignty.
Keyword: generalelection, democracy, people’s sovereignty, The 2004 Laws No. 10.
 
A. Argumentasi Persoalan
Pemilihan Umum (Pemilu) baik untuk memilih anggota legislatif (DPR) mau pun kepala eksekutif (Presiden) merupakan pengejawantahan paling riil dari negara yang menganut paham demokrasi. Dengan demikian, Pemilu bergandeng erat dan tak terpisahkan dari negara demokrasi. Oleh karenanya, penyelenggaraan pemilu yang demokratis merupakan unsur yang pokok dalam pemerintahan negara yang demokratis.[1]
Demikian juga di Indonesia. Demokrasi di Negara yang berlandaskan pada Pancasila ini, menempatkan Pemilu sebagai bagian yang cukup penting, sebab melalui pemilu rakyat secara langsung memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga perwakilan dan juga memilih kepala eksekutif yang akan membawa suara rakyat dalam pengambilan keputusan politik yang menentukan masa depan bangsa.
Pemilu yang demokratis dari negara demokrasi menjadi sangat penting mengingat dari tujuan Pemilu itu sendiri yaitu: (a) membuka peluang untuk terjadinya pergantian pemerintahan sekaligus momen untuk menguji dan mengevaluasi kualitas dan kuantitas dukungan rakyat terhadap keberhasilan dan kekurangan pemerintah yang sedang berkuasa, (b) sebagai sarana penyerapan dinamika aspirasi rakyat untuk diidentifikasi, diartikulasikan, dan diagregasikan selama jangka waktu tertentu, dan (c) yang paling pokok adalah untuk menguji kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat itu sendiri.[2]
Jika di antara tujuan Pemilu adalah untuk mengagregasikan aspirasi rakyat dan menguji kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat, maka pertanyaan yang menyeruak adalah (1) apakah para elite terpilih telah nyata mengagregasikan kepentingan dan aspirasi rakyat? Dan (2) apakah dengan Pemilu yang demokratis berarti dapat dijustifikasi bahwa kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat berarti juga baik?
Pertanyaan ini patut dikemukakan mengingat beberapa penelitian menyimpulkan bahwa dari suatu Pemilu yang demokratis ternyata tidak berbanding lurus dengan tujuan Pemilu. Riset Demos awal tahun 2005 mendeteksi berkembangnya demokrasi oligarkis, yakni suatu demokrasi di mana semua keputusan diambil oleh sekelompok elite yang sama sekali terpisah dan tidak mewakili aspirasi arus bawah.[3]
Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), hingga akhir tahun 2008 legislasi UU di DPR pada dasarnya belum bertanggung jawab secara sosial, yakni yang mengutamakan tiga prinsip: partisipatif, transparan, dan akuntabel. Otokritik anggota DPR asal Partai Keadilan Sejahtera, Fahry Hamzah, pun setali tiga uang, yakni kondisi parlemen saat ini sangat tidak ideal untuk mengakomodasikan kepentingan rakyat.[4]
Di tingkat daerah pun tidak lebih sama dengan di pusat. Penelitian Pusat Penelitian Politik LIPI yang didukung penelitian Anis Ibrahim menyimpulkan bahwa interaksi pejabat di daerah dengan masyarakat lenyap begitu Pemilu usai. Demokrasi yang berlangsung di daerah menjadi elitis, mengingat kebijakan yang dibuat para elit daerah tidak transparan dan tidak aspiratif. Kedekatan fisik dan emosi para wakil tidak mampu mengarahkan mereka untuk terbuka dan partisipatif terhadap rakyat daerah.[5]
Praktik yang demikian itu bisa dimaknai bahwa kedaulatan rakyat telah dikurangi oleh kedaulatan politik. Hal ini jelas mendistorsi makna demokrasi sebagai government by the people.[6] Menurut Indria Samego hal ini dikarenakan “Selama ini rakyat dianggap pasif dan bodoh sehingga harus melimpahkan hak politiknya kepada para elite. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan diabaikan nasibnya”.[7]
Atas paparan singkat di atas, maka menjadi menarik untuk mendiskusikan tentang eksistensi kedaulatan rakyat di Indonesia usai Pemilu dilaksanakan, terlebih Pemilu di era reformasi ini. Diskusi ini cukup menarik dengan maksud untuk mewacanakan ide penguatan kedaulatan rakyat pascapemilu ke depan.
B. Pergulatan Pemikiran Antara Demokrasi, Pemilu, dan Kedaulatan Rakyat
Hasil telaah kepustakaan menunjukkan bahwa pada umumnya terdapat beragam pengertian tentang istilah demokrasi. Hal ini disebabkan oleh tekanan yang diberikan oleh masing-masing ahli pada istilah tersebut. Oleh karena tulisan ini cenderung untuk mewacanakan masalah kedaulatan rakyat pascapemilu, maka tekanan demokrasi dalam hal ini diarahkan dalam proses pembuatan kebijakan publik - khususnya legislasi.
Istilah demokrasi yang berasal dari gabungan dua kata, yakni demos dan kratos, menunjukkan bahwa demos/populus/rakyat-lah yang menjadi titik sentral dari demokrasi. Sekalian gagasan dan teori demokrasi selalu terdapat satu penekanan yang sama bahwa sesungguhnya yang berkuasa dan titik sentral dalam demokrasi adalah rakyat (demos/populus). Kekuasaan rakyat dalam konteks pembicaraan ini adalah terkait erat dengan entitas yang disebut dengan negara. Oleh karenanya selalu ditekankan peranan populus senyatanya dalam sekalian proses politik-kenegaraan yang berjalan.
Jadi tidak berlebihan jika Dahlan Thaib menyamakan kedaulatan rakyat dengan paham demokrasi dengan pernyataanya: “Asas kedaulatan rakyat atau paham demokrasi ...”.[8] Jazim Hamidi juga menulis “.... demokrasi atau paham kedaulatan rakyat ...”.[9] Selanjutnya Dahlan Thaib menyatakan bahwa dalam proses bernegara, rakyat sering dianggap hulu dan sekaligus muaranya. Rakyat adalah titik sentral karena rakyat pada hakikatnya adalah pemegang kedaulatan, artinya rakyat menjadi sumber kekuasaan.[10]
Pada negara yang dibangun atas paham demokrasi mengandung makna bahwa pada tingkat terakhir rakyatlah yang menentukan terhadap masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya. Termasuk dalam hal ini adalah untuk merencanakan, merumuskan, menentukan, dan mengevaluasi kebijakan yang dibuat negara, sebab dengan kebijakan itulah yang akan menentukan jalannya kehidupan masyarakat.[11] Jadi, negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, sebab kedaulatan berada di tangan rakyat.[12]
Robert A Dahl mengatakan “The demos must have the exclusive opportunity to decide how matters are to be placed on the agenda of matters that are to be decided by means of the democratic process”.[13] R.M. Mac Iver menyatakan “Democracy is a from of government that is never completely achieved. Democracy grows into its being”. Dengan demikian, basis kekuasaan dan wewenang tertinggi (kedaulatan/sovereignty) berada di tangan rakyat. Artinya, secara definitif rakyatlah yang memiliki wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada dalam suatu negara.[14]
Secara konseptual, pemikiran tentang rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam suatu negara demokrasi modern tidak mengandung banyak permasalahan. Yang justru menimbulkan tanda tanya akademik adalah bagaimana idealnya kedaulatan rakyat itu diimplementasikan dalam ranah empirik. Apakah kedaulatan rakyat dilaksanakan secara langsung, dalam arti seluruh warga masyarakat secara langsung merencanakan dan memutuskan seluruh kebijakan, ataukah dilaksanakan secara tidak langsung, dalam arti kedaulatan rakyat dipercayakan kepada orang-orang terpilih yang dianggap mampu mewakili kedaulatan rakyat secara keseluruhan.
Cara bagaimana kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan barang tentu dapat dijelaskan melalui dua tipe demokrasi, yakni tipe demokrasi langsung dan tipe demokrasi tidak langsung (liberal/perwakilan/elektoral). Pada demokrasi modern, tampaknya gagasan kedaulatan rakyat secara langsung sulit untuk diimplementasikan. Tidaklah mungkin rakyat yang jumlahnya ribuan, bahkan puluhan juta orang, secara bersama-sama berkumpul di suatu tempat kemudian membicarakan, berdiskusi, bermusyawarah, dan memutuskan atas semua hal terkait dengan apa yang harus dikerjakan negara dan bagaimana tindakan penguasa negara terhadap rakyat.
Oleh karena sulitnya menerapkan kedaulatan secara langsung sebagaimana yang pernah dipraktikkan pada masa Yunani Kuno, maka kedaulatan rakyat dalam demokrasi modern diimplementasikan melalui sistem perwakilan. Artinya rakyat memilih orang-orang tertentu di antara mereka untuk mewakilinya, dan kemudian wakil-wakil yang dipilih itulah yang akan mewakili dan bekerja atas sekalian aspirasi dan kepentingan rakyat yang memilihnya.
Terkait dengan kedaulatan rakyat dalam konteks sistem perwakilan, Robert A. Dahl yang mengutip pandangan John Stuart Mill, mengemukakan pemikirannya bahwa: “Tetapi karena dalam suatu masyarakat yang lebih besar dari sebuah kota kecil, tidak semua orang dapat berpartisipasi dalam semua urusan umum, selain daripada bagian kecil saja, akibatnya jenis ideal dari pemerintahan yang sempurna haruslah pemerintahan perwakilan”.[15]
Persoalan utama yang membayangi kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam demokrasi perwakilan (demokrasi liberal/elektoral) yang kini dianut oleh kebanyakan negara adalah apakah dengan selesainya pemilihan para wakil rakyat melalui Pemilu berarti kedaulatan rakyat kemudian berpindah sepenuhnya kepada para wakil rakyat, dalam arti apakah rakyat lalu kehilangan kedaulatannya? Pertanyaan demikian mengarahkan pembahasan tentang hubungan antara si wakil dan yang diwakili.
Ada cukup banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan hubungan ini yang salah satunya adalah pendapat Abcarian yang mengetengahkan empat tipe hubungan antara wakil dan yang diwakili yaitu: 1) si wakil bertindak sebagai “wali” (trustee), 2) si wakil bertindak sebagai “utusan” (delegate), 3) si wakil bertindak sebagai “politico”, dan 4) si wakil bertindak sebagai “partisan”.[16]
Di Indonesia pernah muncul pemikiran bahwa begitu usai Pemilu dan para wakil rakyat terpilih, maka usai sudah kedaulatan rakyat di Indonesia. Rakyat akan berdaulat kembali pada saat melakukan pemilu untuk memilih wakil. Pendapat demikian ini pernah disampaikan oleh R. Boedisoesetyo dengan pernyataannya sebagai berikut: “Sekali angguta-angguta itu terpilih dan terbentuk DPR, maka rakjat yang berdaulat itu tidak mempunyai wewenang lagi untuk menjatakan kemauannja ....”. [17] Jika pemikiran ini diikuti, maka setelah rakyat memberikan suaranya pada pemilu, rakyat tidak tahu apa-apa terhadap sekalian yang dilakukan oleh para wakil pilihannya. Ini berarti rakyat kehilangan kendali kedaulatannya begitu telah terpilih para wakil rakyat.
Pemikiran R. Boedisoesetyo tersebut tampak ekstrem optimis terhadap kejujuran para elite terpilih yang akan bekerja untuk kepentingan rakyat semata-mata. Faktanya, tidak jarang ditemukan para elite terpilih bekerja tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Dalam hal ini Geoff Mulgan mengkritik bahwa demokrasi perwakilan di antaranya cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi.[18] Baechler menengarai bahwa dalam demokrasi juga dapat terbersit adanya kecurangan (korupsi).[19] Fareed Zakaria pun berpendapat bahwa dalam demokrasi bisa saja terjadi penyimpangan.[20]
Franz Magnis-Suseno menyatakan demokrasi perwakilan memiliki dua kelemahan utama. Pertama, rakyat tidak langsung dapat membuat UU, melainkan melalui wakil-wakil yang mereka pilih. Keputusan yang paling penting dalam kenyataannya diambil oleh beberapa orang saja. Maka dalam demokrasi perwakilan akan muncul unsur elitisme. Kedua, demokrasi perwakilan dapat menjadi totaliter. Hal ini terjadi jika mayoritas rakyat memutlakkan kehendaknya.[21]
Dari semua paparan di atas tampak bahwa ternyata kehadiran demokrasi yang membawa pesan dan cita-cita yang mulia ternyata bisa juga menyimpang dari ide dasarnya. Hal ini terjadi manakala demokrasi dimaknai sebatas tentang hal-hal yang sifatnya prosedural yakni sekedar untuk memilih wakil rakyat sebagaimana konsepsi Joseph Schumpeter.[22] Ia menegaskan bahwa demokrasi tidak lain adalah kekuasaan politisi (the rule of politician),[23] yang dengan demikian peran rakyat hanyalah untuk memilih orang-orang yang akan membuat keputusan-keputusan bagi rakyat.
Demikian juga Max Weber menyatakan bahwa demokrasi merupakan upaya penciptaan kepemimpinan politik efektif dalam masyarakat birokratis modern. Kondisi itu baru tercipta jika para pemilih (rakyat) hanya memiliki sedikit pengaruh dalam pengambilan kebijakan. Dalam istilah Weber, demokrasi modern butuh “keengganan rakyat” (sollousness of masses) dan juga butuh pembelahan warga menjadi “kelompok yang pasif dan aktif secara politik (politically passive and politically active elements).[24]
Pemaknaan dan simpulan demikian itu menunjukkan telah terjadi pereduksian tidak saja terhadap makna kedaulatan rakyat, namun secara hakiki juga mereduksi makna demokrasi itu sendiri. Demikian halnya jika dilihat dari definisi demokrasi seperti dirumuskan secara padat dalam bahasa Jerman regierung der regierten (pemerintahan dari mereka yang diperintah), maka menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik demokrasi liberal tidak akan memenuhi definisi itu. Dalam demokrasi yang sebenarnya, mereka yang diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin dikembalikan pada makna hakikinya, celah antara dua Pemilu harus diisi dengan partisipasi politis warganegara seluas-luasnya.[25]
Pengisian di antara celah dua pemilu dengan aktifitas partisipasi politis warga negara akan menunjukkan bahwa demokrasi berjalan pada jalur yang benar. Dengan demikian, hak pilih warga negara dalam Pemilu sudah semestinya diikuti oleh hak kontrol secara kolektif sebagai manifestasi kedaulatan rakyat. Ketiadaan hak kontrol kolektif tersebut, maka kedaulatan rakyat hanya sebatas memilih wakil yang akan melegitimasi para elite terpilih yang akan memegang kekuasaan. Apakah mereka akan menjalankan kehendak rakyat ataukah tidak, hal itu bukan lagi urusan rakyat.
Oleh karenanya, suatu model pengembangan demokrasi dibutuhkan dalam rangka menata kembali model perumusan kebijakan di suatu negara. Model ini meyakini bahwa demokrasi merupakan suatu proses transformatif yang memungkinkan masyarakat dan pengambil kebijakan terlibat dalam partisipasi yang alami (genuin deliberation) untuk menentukan berbagai kebijakan.[26] Maarteen Hajer dan Hendrik Wagenaar juga menegaskan bahwa demokrasi ini juga mengadvokasi munculnya partisipasi dalam demokrasi, kolaborasi antar stakeholders dalam proses policy making, dan pengelolaan pemerintahan berbasis dialog yang sehat.[27]
C. Penguatan Kedaulatan Rakyat di Indonesia: Wacana Ke Depan
Di Indonesia, kedaulatan rakyat ini terumus dalam alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945, yakni: “… susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ...”. Kritik terhadap distorsi demokrasi di Indonesia – yang dilakukan elite yang salah satunya ditandai oleh elitisme dalam setiap pengambilan keputusan sebagaimana yang telah diuraikan di atas – mengharuskan untuk memunculkan gagasan tentang bagaimana idealnya agar rakyat tidak kehilangan kedaulatannya di tengah kehidupan praktik demokrasi perwakilan. Apalagi Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 pascaamanademen keempat secara tegas dirumuskan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 berarti telah terjadi pergeseran makna kedaultan rakyat dari semula dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut UUD. Ragaan berikut menggambarkan pergeseran makna kedaulatan pascaamandemen UUD Tahun 1945.
RAGAAN
PERGESERAN MAKNA KEDAULATAN RAKYAT BERDASARKAN
UUD TAHUN 1945 (SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN)
      
MAKNA LAMA
MAKNA BARU
KEDAULATAN RAKYATDILAKUKAN SEPENUHNYA OLEH MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
KEDAULATAN RAKYAT DILAKSANAKAN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR


Dalam ketatanegaraan Indonesia pascaamandemen UUD, implementasi kedaulatan rakyat diwujudkan melalui mekanisme partisipasi rakyat secara langsung dalam Pemilu presiden/wakil presiden dan Pemilu legislatif. Namun hal itu tidak cukup memadai dalam kerangka mengokohkan kedaulatan rakyat pascapemilu. Seperti dikemukakan di atas, hak pilih warga negara dalam Pemilu sudah semestinya diikuti oleh hak kontrol secara kolektif terhadap setiap kebijakan yang dibuat negara – melalui kegiatan partisipasi substantif warga negara – sebagai manifestasi kedaulatan rakyat.
Oleh karenanya harus diatur sedemikian rupa agar rakyat baik perorangan mau pun kolektif untuk dapat berpartisipasi secara aktif dan berkelanjutan dalam mempengaruhi setiap kebijakan yang diputuskan oleh para wakil (elite) yang sudah dipilih rakyat. Ini berarti bahwa setiap kebijakan negara, yang dalam hal ini khususnya merujuk pada kebijakan yang tertuang dalam berbagai produk perundang-undangan, meniscayakan di bawah kontrol rakyat. Kontrol rakyat ini hanya bisa dijalankan jika asas keterbukaan diatur dan dianut dalam negara yang bersangkutan.
Meski dalam UUD Tahun 1945 tidak secara eksplisit ditemukan asas keterbukaan, namun dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3), asas keterbukaan ini telah menjadi salah satu asas dalam pembentukan hukum. Melalui penjelasan Pasal 5 huruf g disebutkan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan”.
Asas keterbukaan tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut melalui ketentuan tentang publikasi dan partisipasi publik dalam proses pembentukan.. Pasal 22 dan Pasal 30 menentukan bahwa ketika masih dalam bentuk rancangan, baik itu Rancangan Undang-Undang (RUU) mau pun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) disebarluaskan ke masyarakat oleh instansi pemrakarsa. Tujuannya agar masyarakat mengetahui dan memberikan masukan pada RUU/Raperda yang sedang digodok oleh elite. Dalam kaitannnya dengan partisipasi publik, Pasal 53 merumuskan bahwa “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undangan dan rancangan peraturan daerah”.
Jika disimak secara seksama akan tampak bahwa ketiga pasal yang mengatur lebih lanjut tentang asas keterbukaan tersebut masih bersifat relatif. Tegasnya, rumusan dalam pasal tersebut tidak bersifat imperatif. Hal ini jelas tampak tidak adanya kata “harus” rumusan misalnya “setiap RUU atau Raperda harus disebarluaskan ke masyarakat”. Demikian juga hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam legislasi UU/Perda juga bersifat relatif, sebab masih tergantung kepada aturan yang dibuat oleh negara dalam kerangka menjamin pelaksanaan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam legislasi.[28] Hal ini dapat dibaca dari penjelasan Pasal 53 bahwa “Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Paraturan Tata Tertib DPR/DPRD”.
Dengan demikian, jika masih ada niat baik untuk menguatkan kedaulatan rakyat pascapemilu maka ketiga pasal tersebut sudah waktunya untuk diamandemen sedemikian rupa sehingga elite politik terpilih “dipaksa untuk selalu” mempublikasikan kebijakan negara kepada publik dan publik wajib diikutsertakan dalam setiap tahapan proses legislasi. Setidaknya ada 2 (dua) argumentasi yang mengharuskan elit terpilih untuk selalu terbuka atas semua kebijakan yang akan ditetapkan, yaitu:
Pertama, untuk meretas budaya feodal, yang menurut Eep Saefulloh Fatah, masih berakar kuat di masyarakat Indonesia hingga saat ini – yang cenderung menempatkan interaksi sosial antarmanusia secara vertikal – yang kemudian berinteraksi dalam kehidupan politik yang menempatkan posisi “atas” bagi elite politik dan posisi “bawah” bagi rakyat,[29] maka elite politik terpilih harus didorong untuk bergerak dari elitisme ke arah egalitarianisme. Tanpa dorongan demikian, maka posisi rakyat sebagai pemilik dan pemagang kedaulatan dalam negara tidak akan ada artinya.
Seperti yang diungkapkan Dahl, peran elite politik dalam era transisi sangat dominan karena dengan kekuasaan[30] yang dimilikinya akan mempunyai pengaruh dan peluang yang lebih besar pada peristiwa-peristiwa politik. Transformasi elite yang mengarah pada konsolidasi demokrasi ini – mengikuti Larry Diamond – berlangsung dalam dua dimensi yaitu dimensi norma dan dimensi perilaku.[31] Dengan demikian, perlu ada norma (hukum) sebagai ancangan untuk mengarahkan elite politik terpilih agar berperilaku egaliter dan kerakyatan.
Kedua, jika rakyat hanya diikutkan saja dalam pemilu, dan setelah elite terpilih kemudian rakyat tidak diikutkan dalam pengisian celah di antara dua pemilu, jelas kadar kedaulatan rakyat sangat berkurang. Namun, jika rakyat tetap dilibatkan dalam pengisian celah di antara dua pemilu, maka dapat dikatakan bahwa kadar kedaulatan rakyat cukup besar bahkan dapat dikatakan kedaulatan masih berada di tangan rakyat meski elite telah dipilih untuk mewakili kepentingan-kepentingan rakyat.
-----
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Kahar Badjuri (1998) “Kendala Demokratisasi di Indonesia Menyongsong Milenium Ketiga”. Dalam Erlangga et.al. (ed.) Indonesia di Simpang Jalan: Reformasi dan Rekonstruksi Pemikiran di Bidang Politik, Sosial, Budaya, dan Ekonomi Menjelang Milenium Ketiga. Mizan dan KAHMI –JAYA, Jakarta.
Afan Gaffar (2004) Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Anis Ibrahim (2008) Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum dalamPembentukan Hukum di Daerah. In-Trans, Malang.
Benedict R. O’G Anderson “The Idea of Power in Javanese Culture”. In Claire Holt (edt.) (1972) Culture and Politics in Indonesia. Cornell University Press, Ithaca and London.
Dahlan Thaib (2000) Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi. Liberty, Yogyakarta.
Deliar Noer (1983) Pengantar ke Pemikiran Politik. Rajawali, Jakarta.
Fareed Zakaria (2003) The Future of Freedom. Diterjemahkan oleh Ahmad Lukman (2004) Masa Depan Kebebasan: Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain. Ina Publikatama, Jakarta.
Franz Magnis-Suseno (1990) Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
------- Etika Jawa, sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jazim Hamidi (2006) Revolusi Hukum Indonesia, Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Konstitusi Press, Jakarta & Citra Media, Yogyakarta.
Jean Baechler (1995) Democracy An Analytical Survey. UNESCO, Paris. Diterjemahkan oleh Bern. Hidayat (2001) Demokrasi: Sebuah Tinjauan Analitis. Kanisius, Yogyakarta.
Joseph Schumpeter (1952) Capitalism, Socialism and Democracy. Harper. New York.
Juanda (2004) Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah. Alumni, Bandung.
Larry Diamond. (2003) Developing Democracy Toward Consolidation. Terjemahan Tim IRE Yogyakarta, IRE Press, Yogyakarta
Maarteen Hajer & Hendrik Wagenaar (2003) Deliberative Policy Analysis, Understanding Governance in the Network Society. Cambridge University Press, Cambridge.
Moh. Kusnardi dan Bintar R. Saragih (2005) Ilmu Negara. Gaya Media Pratama, Jakarta.
Pengantar Penerbit “Jalan Sesat Demokrasi Liberal dan Neoliberalisme. Dalam Coen Husain Pontoh (2005) Malapetaka Demokrasi Pasar. Resist Book, Yogyakarta.
Rita Abrahamsen (2000) Diciplining Democracy: Development Discourse and Good Governance in Africa. Zed Book, New York
Robert A. Dahl (1992) Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jilid I. Terjemahan A. Rahman. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Ronald Dworkin (2003) “The Moral Reading”. In Tom Campbell and Adrienne Stone (Ed.) Law and Democracy. Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing Limited, Burlington
S.P. Varma (1975) Modern Political Theory. Diterjemahkan oleh Yohanes Kristiarto SL (dkk.) (2007) Teori Politik Modern. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Suwoto Mulyosudarno (1997) Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
B. Jurnal, Makalah, Situs Internet
Amirmachmud (1984) “Demokrasi, Undang-Undang dan Peran Rakyat”. Prisma, No. 8, LP3ES, Jakarta.
Collin Farrely (2003) Making Deliberative Democracy a More Practical Political Ideal, European Journal of Political Theory 4 (2), Sage Publication LTD. London.
F Budi Hardiman. Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk” Dalam http://www.duniaesai.com/komunikasi/kom1.htm
Fatkhurohman (2002) “Tendensitas Pergeseran Kehidupan Demokrasi di Indonesia”. Widya Yuridika, Vol. 10 No. 2, 2002, Fakultas Hukum Universitas Widyagama, Malang.
Muhammad Syihabuddin.Demokrasi Liberal: Suatu Refleksi Teoritik”. Dalam http://syi-habasfa.wordpress.com/2007/03/15/demokrasi-liberal-suatu-refleksi-teoritik
Philipus M. Hadjon (1999) “Keterbukaan Pemerintahan dan Tanggung Gugat Pemerintah”. Makalah dalam Seminar Hukum Nasional “Reformasi Hukum Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani (Civil Society). Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 12-15 Oktober 1999.
Saldi Isra (2004) “Agenda Pembaruan Hukum: Catatan Fungsi Legislasi DPR”. Jentera Jurnal Hukum. Edisi 3-Tahun II, November 2004.
C. Media Massa
Kompas. 11 Pebruari 2009
Kompas. 12 Mei 2005.
Kompas. 15 September 2008.
Kompas. 19 Desember 2003.
Tempo. 24 April 2005.



* Dr. Anis Ibrahim,S.H.,M.Hum. adalah dosen PNS dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang lulusan S3 Universitas Diponegoro Semarang.
[1] Suwoto Mulyosudarno (1997) Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1.
[2] Juanda (2004) Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah. Alumni, Bandung, hal. 96-97.
[3] Tempo. 24 April 2005.
[4] Kompas. 11 Pebruari 2009 dan Kompas. 15 September 2008.
[5] Kompas. 12 Mei 2005; Anis Ibrahim (2008) Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum dalamPembentukan Hukum di Daerah. In-Trans, Malang.
[6] Ronald Dworkin (2003) “The Moral Reading”. Dalam Tom Campbell and Adrienne Stone (Ed.) Law and Democracy. Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing Limited, Burlington, p. 15.
[7] Kompas. 19 Desember 2003, hal. 11.
[8] Dahlan Thaib (2000) Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi. Liberty, Yogyakarta, hal. 7.
[9] Jazim Hamidi (2006) Revolusi Hukum Indonesia, Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Konstitusi Press, Jakarta & Citra Media, Yogyakarta, hal. 218.
[10] Dahlan Thaib (2000) Loc.Cit.
[11] Deliar Noer (1983) Pengantar ke Pemikiran Politik. Rajawali, Jakarta, hal. 207.
[12] Amirmachmud (1984) “Demokrasi, Undang-Undang dan Peran Rakyat”. Prisma, No. 8, LP3ES, Jakarta.
[13] Afan Gaffar (2004) Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 6.
[14] Fatkhurohman (2002) “Tendensitas Pergeseran Kehidupan Demokrasi di Indonesia”. Widya Yuridika, Vol. 10 No. 2, 2002, Fakultas Hukum Universitas Widyagama, Malang.
[15] Robert A. Dahl (1992) Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jilid I. Terjemahan A. Rahman. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 137-138.
[16] Uraian tentang teori hubungan antara wakil dengan yang diwakili ini dapat dibaca dalam Moh. Kusnardi dan Bintar R. Saragih (2005) Ilmu Negara. Gaya Media Pratama, Jakarta, hal. 254-259.
[17] Lihat dalam Philipus M. Hadjon (1999) “Keterbukaan Pemerintahan dan Tanggung Gugat Pemerintah”. Makalah dalam Seminar Hukum Nasional “Reformasi Hukum Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani (Civil Society). Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 12-15 Oktober 1999, hal. 5.
[18] Dalam Pengantar Penerbit. “Jalan Sesat Demokrasi Liberal dan Neoliberalisme. Dalam Coen Husain Pontoh (2005) Malapetaka Demokrasi Pasar. Resist Book, Yogyakarta, hal. viii-ix.
[19] Jean Baechler (1995) Democracy An Analytical Survey. UNESCO, Paris. Diterjemahkan oleh Bern. Hidayat (2001) Demokrasi: Sebuah Tinjauan Analitis. Kanisius, Yogyakarta, Jean Baechler (1995) Democracy An Analytical Survey. UNESCO, Paris. Diterjemahkan oleh Bern. Hidayat (2001) Demokrasi: Sebuah Tinjauan Analitis. Kanisius, Yogyakarta, hal. 246-254.
[20] Fareed Zakaria (2003) The Future of Freedom. Diterjemahkan oleh Ahmad Lukman (2004) Masa Depan Kebebasan: Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain. Ina Publikatama, Jakarta, hal. 121-122.
[21] Franz Magnis-Suseno (1990) Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 290-293.
[22] Lihat Joseph Schumpeter (1952) Capitalism, Socialism and Democracy. Harper. New York, p. 269, sebagaimana dikutip S.P. Varma (1975) Modern Political Theory. Diterjemahkan oleh Yohanes Kristiarto SL (dkk.) (2007) Teori Politik Modern. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 211-212.
[23] Rita Abrahamsen (2000) Diciplining Democracy: Development Discourse and Good Governance in Africa. Zed Book, New York, p. 114.
[24] Ibid.
[25] F Budi Hardiman. Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk” Dalam http://www.duniaesai.com/komunikasi/kom1.htm
[26] Collin Farrely (2003) Making Deliberative Democracy a More Practical Political Ideal, European Journal of Political Theory 4 (2), Sage Publication LTD. London. Lihat pada Muhammad Syihabuddin.Demokrasi Liberal: Suatu Refleksi Teoritik”. Dalam http://syi-habasfa.wordpress.com/ 2007/03/15/demokrasi-liberal-suatu-refleksi-teoritik
[27] Maarteen Hajer & Hendrik Wagenaar (2003) Deliberative Policy Analysis, Understanding Governance in the Network Society. Cambridge University Press, Cambridge. Lihat pada Muhammad Syihabuddin. Ibid.
[28] Saldi Isra (2004) “Agenda Pembaruan Hukum: Catatan Fungsi Legislasi DPR”. Jentera Jurnal Hukum. Edisi 3-Tahun II, November 2004, hal. 71-72.
[29] Abdul Kahar Badjuri (1998) “Kendala Demokratisasi di Indonesia Menyongsong Milenium Ketiga”. Dalam Erlangga et.al. (edt.) Indonesia di Simpang Jalan: Reformasi dan Rekonstruksi Pemikiran di Bidang Politik, Sosial, Budaya, dan Ekonomi Menjelang Milenium Ketiga. Mizan dan KAHMI –JAYA, Jakarta, hal. 68-70.
[30] “Kekuasaan” (power) dalam budaya Jawa tradisonal menunjuk pada: “… some thing concrete, homogeneous, constant in total quantity, and without inherent moral implications as such”. Benedict R. O’G Anderson “The Idea of Power in Javanese Culture”. In Claire Holt (edt.) (1972) Culture and Politics in Indonesia. Cornell University Press, Ithaca and London, pp. 7-8. Hakikat kekuasaan dalam budaya Jawa ini juga dapat dibaca pada Franz Magnis-Suseno (2001) Etika Jawa, sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 98-100.
[31] Larry Diamond. (2003) Developing Democracy Toward Consolidation. Terjemahan Tim IRE Yogyakarta, IRE Press, Yogyakarta, hal. 85-86.

1 komentar: