Jurnal Hukum WIDYA YURIDIKA, Vol. 16, No. 1, Januari 2008 ISSN: 1411-0652
LEGISLASI DALAM KEMAJEMUKAN TRADISI HUKUM
Abstract:
At present and in the future, the development and developing of law in Indonesia through legislation is a
necessity. It is reinforced by the publication of the UUP3. This kind of legislation
cannot be separated from a modern framework of law aristing from a Civil Law
Tradition. Concerning with Indonesian people who rooted in a traditional law,
can they obey the tradition of the modern law that is not their own? Moreever,
it seems that the constitution adopted in Indonesia also marginalizes the
traditional law. In this condition, it is necessary to systematically try to
make use of the traditonal law and the modern law in a parallel position in the
process of legislation. Or at least, the principles of the traditional law
should be taken into account and referred in each legislation in Indonesia.
Kata kunci: Legislasi, hukum modern, Civil Law Tradition, hukum adat.
PENDAHULUAN
Studi dalam hukum acapkali berobjek dan berfokus pada produk hukum (baik
itu berupa hukum yang tertulis/hukum perundang-undangan maupun hukum yang tak
tertulis/hukum kebiasaan/hukum adat) beserta implementasi (implementation) dan penegakannya (enforcement) dari produk hukum tersebut. Oleh karenanya, hasil/
keluaran dari studi hukum dengan objek dan fokus yang demikian itu telah cukup
banyak dilakukan orang
Sementara itu studi hukum yang berfokuskan pada proses pembentukan hukum
(legislasi) hingga saat ini – bukannya tidak ada – namun relatif jarang yang
menyentuhnya. Padahal orientasi studi demikian ini tidak kalah pentingnya
dibanding dengan studi hukum yang berorientasi pada produk. Menelaah produk
hukum akan semakin kaya dan semakin bermakna saja jika dilakukan secara
bersama-sama dengan menelaah legislasi.
Sebagai bagian dalam kajian hukum pada umumnya, mengkaji legislasi barang tentu
tidak bisa dipisahkan dari “cara berhukum” negara yang bersangkutan. “Cara
berhukum” di sini menunjuk pada bagaimana hukum itu hidup dan dihidupkan oleh
suatu bangsa. Pembicaraan demikian ini barang tentu tidak bisa dipisahkan dari
pembicaraan “tradisi hukum” bangsa yang bersangkutan. Maka menjadi menarik
untuk memahami legislasi dari perspektif “tradisi hukum” dari suatu masyarakat
bangsa.
Muncul pertanyaan, apakah legislasi di Indonesia yang selama ini telah
berlangsung memang berakar dari tradisi hukum asli bangsa Indonesia ataukah
“mengadopsi” tradisi hukum yang berasal dari bangsa lain. Untuk melihat
bagaimana legislasi dalam kaitannya dengan tradisi hukum tersebut, maka tulisan
berikut ini secara singkat akan mencoba melihat dan menguraikan masalah-masalah
yang ada di sekitar legislasi di Indonesia yang dikaitkan dengan tradisi hukum
tersebut.
AMBIGUITAS PENGERTIAN LEGISLASI
‘Legislasi’ berasal
dari bahasa Inggris legislation. Ditinjau
secara kebahasaan maupun dalam khasanah ilmu hukum, ‘legislasi’ mengandung
makna dikotomis, yang bisa berarti (1) proses pembentukan hukum
(perundang-undangan), dan juga bisa berarti (2) produk hukum
(perundang-undangan). Namun, berdasarkan pembacaan dan penelusuran berbagai
kamus, ternyata masing-masing kamus tidaklah sama dalam memberikan pengertian
legislasi ini. Ada yang memberi makan ganda dan ada yang memberi makna tunggal.
Elizabeth A. Martin and Jonathan Law, misalnya, mengartikan legislation sebagai 1) the whole or any part of a country’s written
law, 2) the process of making written
law.[1]
Demikian juga halnya dengan John M. Echols dan Hassan Shadily menerjemahkan legislation sebagai (1)
perundang-undangan, (2) pembuatan undang-undang.[2]
Hal tersebut berbeda dengan Subekti dan
Tjitrosoedibio yang menyamakan legislasi (legislatie)
dengan perundang-undangan saja.[3]
Pengertian demikian ini berbeda dengan yang diutarakan Satjipto Rahardjo yang
menyamakan legislasi (wetgeving, legislation)
sebagai “pembuatan undang-undang”.[4]
Sedangkan menurut Bryan A. Garner paling tidak ada 3 pengertian legislasi yaitu:
“1. The process of making or enacting a
positive law in wraitten form, according to some type of formal procedure, by a
branch of government constituted to
perform this process – Also termed lawmaking; statute-making. 2. The law so
enacted. 3. The whole body of enacted laws”.[5]
Dua tokoh positivisme hukum, yakni Jeremy Bentham dan John L. Austin mengaitkan istilah legislation sebagai “any form
of law-making”.[6] Pengertian
dari tokoh positivisme hukum tersebut
berbeda dengan S.J. Fockema Andreae yang menyatakan bahwa legislation, wetgeving atau gesetzgebung
bisa berarti (1) proses pembentukan peraturan-peraturan negara, dan (2)
perundang-undangan sebagai hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah.[7]
Menurut M. Solly Lubis, “... yang dimaksud
dengan Perundang-undangan itu ialah proses pembuatan peraturan negara. Dengan
kata lain tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan
atau penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan”.[8]
Al. Andang L. Binawan menyebutkan bahwa legislasi, seperti halnya banyak kata
serapan yang berakhiran ‘asi’, menunjuk pada suatu proses, untuk menghasilkan
hukum (dalam arti UU).[9]
Secara normatif, Pasal 1 angka 1 Undang-undang
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3)
memberikan batasan pengertian tentang legislasi (pembentukan peraturan
perundang-undangan) sebagai “ ... proses pembuatan peraturan perundang-undangan
yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan”.
Berdasarkan batasan pengertian ini dapat diketengahkan bahwa kebijakan
formulasi peraturan perundang-undangan adalah salah satu bagian saja dari
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dari sekian banyak pengertian tentang
legislasi tersebut, tulisan ini memilih pengertian legislasi sebagai suatu
proses pembuatan hukum dalam rangka melahirkan hukum positif (dalam arti hukum
perundang-undangan/peraturan perundang-undangan). Legislasi ini dimulai dari
tahap perencanan pembuatan hukum, penyusunan, formulasi, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, hingga sosialiasasi produk hukum. Pengertian demikian
ini menjadi sangat relevan jika disandarkan pada pengertian yang diberikan oleh
Binawan bahwa kata serapan yang berakhiran ‘asi’, menunjuk pada suatu proses,
untuk menghasilkan hukum (UU).
ARTI PENTING LEGISLASI
Eksistensi hukum adalah untuk kehidupan
bersama manusia. Andaikata hukum dikaitkan dengan hal-hal lain – seperti untuk
mencapai keadilan, kesejahteraan, ketertiban, mendukung pembangunan, dan
sebagainya, namun ia pada akhirnya akan selalu terkait dengan kehidupan bersama
manusia tersebut. Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum
itu berfungsi untuk melayani dan sekaligus mengatur kehidupan bersama manusia
(masyarakat).
Sejatinya, sarana untuk mengatur kehidupan
bersama manusia (masyarakat) itu tidak hanya dimonopoli oleh hukum
(undang-undang) saja. Hal ini dapat dibaca dari pendapat Satjipto Rahardjo
sebagai berikut: “Apabila manusia dan kehidupan bermasyarakat yang didahulukan,
maka tidak penting untuk menjadikan hukum sebagai satu-satunya sarana mengatur
masyarakat”. Sebab, acapkali ditemukan bukti bahwa hukum yang dimaksudkan
sebagai sarana mengatur masyarakat tersebut “... juga menyimpan potensi
kriminogen”. Oleh karena bukan satu-satunya sarana untuk mengatur masyarakat,
maka “Di lain pihak, terdapat cara-cara nonhukum, seperti kontrol sosial
informal, yang sering menunjukkan prestasi lebih baik daripada yang ditunjukkan
oleh hukum”.[10]
Dalam kaitannnya fungsionalisasi hukum dalam
kehidupan manusia tersebut, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam
menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, hukum harus
menjalani suatu proses panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan
kualitas yang berbeda-beda. Secara garis besar proses itu terdiri atas pembentukan hukum (legislasi/law-making process) dan penegakan hukum (law enforcement). Pembentukan hukum merupakan awal dari sekalian
proses pengaturan masyarakat tersebut. Ia merupakan momentum yang memisahkan
keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Ia merupakan pemisah
antara “dunia sosial dengan dunia hukum”.[11]
Berdasarkan pandangan Satjipto Rahardjo
tersebut dapat diketengahkan bahwa proses pembentukan hukum (legislasi)
merupakan proses yang relatif sangat penting sebagaimana relatif pentingnya
melihat proses implementasi dan enforcement
dari hukum itu sendiri. Sebab, proses-proses yang terjadi dalam pembentukan
hukum bagaimana pun juga akan ikut mempengaruhi proses implementasi dan
penegakan hukumnya. Kekeliruan dalam proses pembentukan hukum bisa berakibat
fatal, sebab dari proses pembentukan hukum yang keliru tersebut bisa melahirkan
produk hukum yang bersifat kriminogen dalam pergaulan bersama masyarakat.[12]
T. Koopmans menyatakan bahwa fungsi
pembentukan hukum (peraturan perundang-udangan) untuk saat ini semakin terasa
penting dan sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan dalam negara yang berdasar
atas hukum modern (verzorgingsstaat)
tujuan utama legislasi bukan sekedar menciptakan kodifikasi bagi norma-norma
dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, namun
tujuannya lebih luas dari itu yaitu untuk menciptakan modifikasi dalam
kehidupan masyarakat.[13]
Pandangan Koopmans tersebut menunjuk pada
perbedaan ciri umum dari peraturan perundang-undangan (hukum modern) abad ke-19
dan abad ke-20. Hukum modern abad ke-19 pada umumnya merupakan ciri dari
peraturan perundang-undangan negara hukum liberal yang bersifat kodifikasi,
sementara ciri peraturan perundang-undangan abad ke-20 lebih sebagai peraturan
perundang-undangan negara kesejahteraan sosial yang bersifat modifikasi.[14]
Barang tentu untuk abad sekarang ini ciri peraturan perundang-undangan yang
bersifat modifikasi masih menjadi bagian dari tujuan pembentukan hukum.
Berdasarkan pendapat T. Koopmans tersebut
dapat diketengahkan bahwa saat ini legislasi menjadi hal yang sangat penting
bagi suatu negara yang berdasarkan atas hukum modern dalam melakukan
eksperimen-eksperimen dalam rangka pengembangan hukum. Legislasi menjadi sarat
beban untuk bisa memproduk hukum yang tidak saja sebagai wahana positivisasi
atas norma dan nilai yang tengah berlangsung di masyarakat, namun di dalamnya
juga sarat dengan beban untuk mengemban hukum yang ditujukan sebagai sarana
rekayasa sosial, sebagai sarana untuk mendukung pembangunan masyarakat maupun
pembangunan nasional, dan mewujudkan kesejahteraan sosial.
KEMAJEMUKAN DALAM
PEMBENTUKAN HUKUM
Dalam perspektif ilmu hukum, pembentukan
hukum (legislasi) dari suatu negara tidak bisa dilepaskan dari “cara berhukum”
bangsa yang bersangkutan. Dalam konstatasi Satjipto Rahardjo, “cara berhukum”
suatu bangsa menunjukkan bahwa
bangsa-bangsa itu memiliki semacam hak untuk menempuh jalannya sendiri
dalam berhukum atau ber-Rule of Law
(ber-ROL). Oleh karena merupakan hak, maka suatu bangsa itu secara bebas dapat
menentukan “cara berhukum” sendiri tanpa ada paksaan dari yang lainnya. Hal ini
dikarenakan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardo – “ ...
didasarkan pada suatu paham, bahwa kita berhadapan dengan kemajemukan (plurality) dalam hukum di dunia”.[15]
Oleh karenanya merupakan keniscayaan bahwa legislasi
sebagai bagian dari cara berhukum di suatu negara juga didekati dari optik
pluralisme tersebut. Kesadaran akan pluralisme ini ke depan jelas semakin
menjadi tren dunia. Hal ini bisa disimak misalnya dari perkataan Werner Menski
sebagai berikut: “It places legal
pluralism more confidently into the mainstream study of comparative law,
addressing some of the serious deficiences of comparative law and legal theory
in a global context”.[16]
Pemahaman tentang legal pluralism ini tidak lepas dari perbincangan tentang telah
surutnya ilmu hukum tradisional. Yang dimaksud dengan ilmu hukum tradisional
adalah ilmu yang membicarakan hukum semata-mata dalam konteks hukum itu
sendiri. Sedangkan ilmu hukum yang baru adalah tidak berhenti hanya pada
memperbincangkan hukum semata, namun dikaitkan dengan habitat sosial dimana
hukum itu berada.[17]
Selaras dengan pemikiran tersebut, Brian Z.
Tamanaha mendiskusikan sebuah tesis besar tentang hukum dengan mengatakan bahwa
hukum tidak lain merupakan pencerminan masyarakatnya sekaligus berfungsi
sebagai pemelihara tertib masyarakat – “the
idea that law is mirror of society and the idea that function of law is to
maintain sicial order”.[18]
Kerangka pemikiran ini yang dalam istilah Tamanaha disebutnya sebagai mirror thesis.[19]
Tesis besar Tamanaha ini barang tentu
memperkuat dan mengkonkritkan pernyataan Cicero bahwa ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum)
yang hingga kini masih berpengaruh, dan sekaligus sesuai dengan prinsip bahwa
hukum itu berakar pada “a peculiar form
of social life”.[20]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan hukum dari suatu bangsa itu
merupakan cerminan dan sekaligus berakar dari tradisi hukum yang eksis pada
bangsa yang bersangkutan.
Paling tidak ada tiga tradisi besar dalam
“cara berhukum” atau ber-ROL (istilah Satjipto Rahardjo)[21]
bangsa-bangsa di dunia. Seperti yang dinyatakan John Henry Merryman bahwa di
dunia ini ada tiga tradisi hukum yang utama, yaitu: tradisi hukum sipil (civil law), tradisi hukum kebiasaan (common law), dan tradisi hukum sosialis
(socialis law).[22]
Dengan menyitir Merryman, Peter de Cruz menyatakan sebagai berikut:
“It has became established practice to classify the legal systems of the
world into three main types of legal
families or legal traditions: civil law, common law and socialist law. A legal
tradition has been defined as a set of ‘deeply rooted historically conditioned
attitudes about the nature of law, the role of law in the society and the
political ideology, the organisation and operation of a legal system’”.[23]
Tradisi hukum-tradisi hukum yang muncul di
Barat (Euro/Western-centric) tersebut
– khususnya Civil Law Tradition dan Common Law Tradition – menjadi sangat
mendominasi wacana dan pemikiran di belahan dunia lain.[24]
Hal demikian ini dikritik oleh Satjipto Rahardjo berikut ini:
“Memang ribuan buku dan
artikel tentang ROL sudah ditulis orang. Namun apabila kita simak lebih jauh,
informasi itu hampir seluruhnya mengalir dri Barat ke Timur dan seluruh penjuru
dunia. Ini menjadikan ROL berat ke arah pemahaman sepihak. Dari arus informasi
tersebut, terbentuklah pikiran, bahwa dengan membaca sekalian tulisan tentang
ROL itu kita sudah membaca perjalanan hukum di dunia. Saya kira identifikasi
yang demikian itu tidak benar, oleh karena yang kita baca tergolong informasi
sepihak, yaitu perjalanan dan perkembangan hukum di bagian dunia yang disebut
Barat. Pada waktu membicarakan perjalanan ROL, maka yang segera muncul adalah
informasi atau cerita sejarah dari hukum Romawi, hukum Jerman, Civil Law, Common Law dan sebagainya. Dengan penceritaan yang demikian itu,
maka ROL versi Barat lalu menjadi standar dunia”.[25]
Dalam sejarah perkembangan hukum, cara
berhukum atau ber-ROL suatu bangsa itu sudah dimulai sejak sebelum Masehi.
Aristoteles dan Plato dari masa Yunani sudah berkutat dengan masalah ROL
tersebut. Plato mendesak agar pemerintah diikat oleh hukum. Bangsa Romawi juga
memberikan kontribusinya sendiri terhadap tradisi ROL. Cicero, satu abad
sebelum Masehi, sudah berani mengecam raja bahwa raja yang tidak mematuhi hukum
adalah seorang despot. Dalam kurun waktu 529 hingga 534 Kaisar Justinianus
melakukan kodifikasi yang terdiri atas tiga buku, yakni: Codex (himpunan perundang-undangan kerajaan), Digest (karya tulis para yuris), dan Institut (kitab ajar hukum).[26]
Setelah keambrukan kerajaan Romawi yang
berarti juga terjadi keambrukan ROL dengan sekalian studinya, ia muncul kembali
pada abad ke-16. Ilmu hukum Romawi dan Jerman menjadi standar dalam khasanah
ilmu hukum yang masih terasa hingga kini. Kemajuan dalam memperlajari hukum
tersebut oleh G.C.J.J. van den Bergh disebutnya sebagai kemajuan dari geleerd recht (scholl-rules law). Kata geleerd
mencerminkan betapa canggihnya pengilmiahan hukum pada waktu itu.[27]
ROL di Jerman muncul sebagai Rechtsstaat. Dilihat dari kacamata
keilmuan murni, setiap negara adalah Rechtsstaat,
tanpa memedulikan apakah negara itu demokratis, totaliter, Fascist, Bolshevist, atau
sebuah kerajaan yang absaolut. Esensi Rechtsstaat
terletak pada pemisahan antara struktur politik negara dari penataan hukumnya.
Sedangkan fungsi hukum adalah untuk menjamin kemerdekaan dan kepastian.
Pemfungsian hukum demikian itu tidak lain merupakan karya golongan borjuis yang
kemudian melahirkan hukum liberal.[28]
Dalam tataran yang lebih luas, dapat diketengahkan bahwa hukum yang diproduk
dalam kerangka Rechtsstaat ini adalah
bersifat vertikal, satu arah (top-down),
dari penguasa negara kepada warganegaranya.
Terkait dengan ROL tersebut, legislasi –
yang merupakan tema dalam tulisan ini – adalah berangkat dari tradisi hukum
sipil (Civil Law Tradition) yang
berkembang di Eropa daratan seperti itu. Menurut Bagir Manan, dalam sejarah hukum
modern, Perancis dapat disebut sebagai negara pendahulu dalam menggunakan
sistem ini. Tradisi hukum sipil ini mengutamakan hukum tertulis yakni berupa
peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Karena itu,
di negara-negara yang berada dan mengikuti tradisi hukum sipil akan selalu
berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis, bahkan dalam
suatu sistematika yang diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitab
undang-undang (kodifikasi).[29]
Namun, tidak semua negara di Eropa mengikuti
Civil Law Tradition. Meski berada
dalam satu benua Eropa, tetapi negara Inggris menolak cara berhukum dengan Civil Law Tradition. Inggris hidup
berbahagia dengan tradisinya sendiri, yakni yang berdasar pada tradisi Common Law. Hukum di Inggris lazim
disebut sebagai irrational, particular,
vague, fluid, chaotic, common sense, pragmatic. Di negara tersebut, hukum
merupakan lembaga yang spontaneuous.
Dengan memilih tradisi Common Law,
hukum yang berlaku adalah hukum yang tidak dibuat secara artifisial, melainkan
lebih merupakan people’s law. Jadi,
hukum Inggris adalah lex non scripta.[30]
Terkait dengan pembicaraan ini, maka cara
berhukum bangsa Indonesia yang masih terus menjadi konsumen dari pemikiran
tentang ROL yang berperspektif Barat tersebut memerlukan koreksi. Dengan optik
baru – yakni yang memperbincangkan hukum dengan habitat sosial di mana hukum
itu berada – maka cara berhukum atau ber-ROL yang Western-centric harus diubah. Optik yang digunakan tidak lagi
berkarakter normatif, melainkan lebih sosiologis. Optik yang demikian ini tidak
lagi preskriptif melainkan deskriptif, yaitu: “how to understand law itself and its various manifestations in a truly
global context”.[31]
Bagi negara Indonesia yang mengikuti tradisi
Civil Law, legislasi yang
menghasilkan produk hukum tertulis adalah menjadi penting. Namun, menurut
Satjipto Rahardjo, pada saat yang sama hendaknya disadari bahwa legislasi
tersebut bisa tergelincir dan terjebak pada hal-hal yang bersifat
teknis-formal. Jika ini terjadi, maka legislasi di Indonesia melupakan
kebutuhan “mengatur masyarakat”, yang konteksnya lebih luas dari sekedar menyangkut
hal-hal yang teknis-prosedural tersebut.[32]
ORGAN PEMBENTUK
HUKUM
Terkait dengan legislasi ini, maka
keberadaan organ pembentuk hukum menjadi sangat penting bagi negara yang
mengikuti tradisi hukum sipil ini. Dalam perkembangannya, Indonesia yang pernah
berada di bawah penjajahan Belanda, pada akhirnya juga berinteraksi dengan
tradisi hukum sipil (Civil Law Tradition)
ini sehingga legislasi dan organ pembentuknya menempati posisi yang cukup
penting dalam perkembangan dan pengembangan hukumnya.
Secara teoretis, peraturan
perundang-undangan dapat dibuat antara lain oleh: pemerintah, rakyat,
perwakilan rakyat, atau gabungannya. Di Belanda, undang-undang dibuat oleh
pemerintah bersama perwakilan rakyat. Hal yang sedikit berbeda adalah di negara
Italia dan Swis di mana beberapa keputusan diambil oleh rakyat melalui
referendum, sedang yang lainnya oleh perwakilan rakyat. Sementara di negara
yang diperintah secara diktator, maka undang-undang dibuat oleh pemerintah.[33]
Untuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia, semenjak UUD Tahun 1945 diamandemen, secara
normatif-konstitusional telah terjadi pergeseran peran dan fungsi legislasi
yang cukup signifikan, yakni dari semula berada di tangan eksekutif kemudian
bergeser kepada legislatif. Hal ini bisa disimak dari ketentuan Pasal 20A ayat
(1) UUD Tahun 1945 hasil amandemen yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan”. Kuatnya arus pengembangan dan perkembangan hukum lewat legislasi ini juga telah memiliki justifikasi konstitusitonal. Pasal 20A ayat (1) UUD Tahun 1945 (hasil amandemen) berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Dengan demikian istilah legislasi ini telah menjadi suatu terminologi konstitusi. Istilah ini juga muncul dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni pada Pasal 41 yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”.
Dengan demikian, pascaamandemen UUD Tahun
1945, lembaga yang membentuk hukum perundang-undangan adalah lembaga legislatif
baik yang ada di pusat (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) maupun yang ada di daerah
(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD). UUP3 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah secara tegas menentukan bahwa fungsi legislasi (fungsi
pembentukan peraturan perundang-undangan) adalah berada pada DPR dan DPRD.
Namun, fungsi legislasi ini bukan merupakan fungsi mandiri yang dimiliki
lembaga legislatif Indonesia, melainkan lembaga tersebut harus bekerja sama
dengan eksekutif baik di pusat maupun di daerah pada saat melaksanakan fungsi
legislasinya.
Dalam kacamata sosiologis, organ pembentuk
hukum tersebut tidak sekedar dilihat sebagai pabrik hukum (pabrik
undang-undang), “melainkan merupakan medan dimana berlaga berbagi kepentingan
dan kekuatan yang ada dalam masyarakat”. Berdasarkan optik demikian, maka organ
pembentuk hukum jelas mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang
ada dalam masyarakat tersebut.[34]
Pada negara yang menganut sistem demokrasi,
maka penyaluran berbagai kepentingan dan kekuatan tersebut adalah melalui
sistem perwakilan dan pemilihan umum. Dalam konteks sistem demokrasi yang
demikian ini, “Kecenderungan pemikiran, pendidikan, asal-usul sosial dan
lain-lain dari para anggota badan pembuatan Undang-undang akan turut menentukan
Undang-undang yang dibuat”.[35]
Perlu dipahami bahwa dalam pembentukan hukum modern itu bukanlah sekedar
merumuskan materi secara baku dengan sekalian standar-standar yuridisnya, namun
proses tersebut dimulai dengan membuat putusan politik terlebih dahulu.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo menguraikan
sebagai berikut:
“Dalam merumuskan putusan
itulah konfigurasi kekuatan dalam badan pembuat Undang-undang menjadi penting.
Kecuali ditentukan oleh susunan keanggotaan dalam badan pembuat Undang-undang,
intervensi-intervensi dari luar badan pembuat Undang-undang tersebut juga tidak
dapat diabaikan. Intervensi tersebut terutama hanya dapat dilakukan oleh
golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik
maupun ekonomi. Rakyat banyak tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
pendekatan atau lobi seperti “The haves”.
Satu-satunya bahasa intervensi yang mereka kenal adalah kekerasan. Secara
sosiologis tidak ada perbedaan antara intervensi halus oleh golongan elit dan
intervensi keras yang dilakukan oleh rakyat dalam proses pembuatan
Undang-undang.[36]
Abdul Hakim G. Nusantara menyebutkan bahwa
dalam tradisi hukum sipil (termasuk juga tradisi hukum sosialis), peran organ
negara (parlemen dan pemerintah) begitu dominan dan sangat monopolis dalam
menentukan arah perkembangan hukum. Oleh karena begitu kuatnya peranan organ
negara tersebut, maka tidak jarang ditemukan bahwa strategi dalam pembentukan
hukum menurut tradisi hukum sipil ini adalah menganut strategi pembangunan hukum
ortodoks. Hukum yang dihasilkan oleh strategi ini akan bersifat positivis-instrumentalis, yakni hukum
menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara.[37]
Dengan dominannya organ pembentuk hukum pada
negara yang menganut tradisi hukum sipil yang demikian ini – meski konfigurasi
politiknya demokratis – tidak jarang ditemukan bahwa dalam legislasinya
mencerminkan indikator-indikator yang tidak demokratis. Hal ini dikarenakan
sangat tergantung pada bagaimana konstelasi politik dari dari organ pembentuk
hukum yang bersangkutan dalam menerapkan dan menerjemahkan kekuasaan legislasi
yang diperolehnya lewat proses demokrasi.
Terdapat ambiguitas dalam konfigurasi
politik demokratis. Pada satu sisi konfigurasi politik dapat mengarah pada
konfigurasi politik yang demokratis-elitis, dan pada sisi lainnya bisa mengarah
pada konfigurasi politik yang demokratis-partisipatoris. Jadi, elitis ataukah
partisipatoris dalam legislasi sangat tergantung pada bagaimana konfigurasi
politik yang memegang legislasi dalam menjalankan fungsi legislasinya tersebut.[38]
PEMBENTUKAN
HUKUM: SUATU PROSES
Mengikuti pendapat Satjipto Rahardjo,
bahwa proses pembentukan hukum (legislasi) pada intinya terdiri atas dua
golongan besar, yaitu tahap sosiologis
(sosio-politis) dan tahap yuridis. Dalam tahap sosiologis berlangsung
proses-proses untuk mematangkan suatu masalah yang selanjutnya akan dibawa ke
dalam agenda yuridis. Dalam tahap sosio-politis, gagasan awal bahwa suatu hal
perlu diatur dalam hukum diolah oleh masyarakat sendiri, dibicarakan, dikritik,
dipertahankan, melalui pertukaran pendapat antara berbagai golongan dan
kekuatan dalam masyarakat. Pada tahap ini suatu gagasan mengalami ujian, apakah
ia akan bisa dilanjutkan sebagai agenda publik yang akan diformat secara hukum ataukah
berhenti di tengah jalan.[39]
Apabila gagasan itu secara politis
berhasil diteruskan, maka barang tentu bentuk dan isinya mengalami perubahan,
yakni makin dipertajam (articulated) dibanding pada saat ia muncul. Pada titik
ini, ia akan dilanjutkan ke dalam tahap yuridis yang merupakan pekerjaan yang
benar-benar menyangkut perumusan atau pengkaidahan suatu peraturan hukum. Tahap
ini melibatkan kegiatan intelektual yang murni bersifat yuridis yang niscaya
ditangani oleh tenaga-tenaga yang khusus berpendidikan hukum.
Dalam uraian Ann Seidman e.al – meski
pembahasannya hanya khusus menyangkut pembentukan undang-undang, namun bisa
diadposi untuk keperluan proses legislasi hukum pada umumnya – proses legislasi
hendaknya memperhatikan 6 (enam) hal yaitu: (1) asal-usul rancangan
undang-undang (a bill’s origins), (2)
konsep (the concept paper), (3)
penentuan prioritas (prioritise), (4)
penyusunan rancangan undang-undang (drafting
the bill), (5) penelitian (research),
dan (6) siapa yang mempunyai akses? (who
has acces and supplies input into the drafting process?
Dengan demikian, legislasi hendaknya
mampu menjawab 6 (enam) pertanyaan sebagai berikut ini:
(1)
Bagaimana cara menyusun gagasan
mengenai undang-undang yang masuk dalam
dalam suatu sistem – dan berasal dari siapa?
(2)
Siapa yang pada awalnya
menjelaskan gagasan tersebut – dan bagaimana caranya?
(3)
Siapa yang memutuskan, dengan
kriteria serta prosedur yang bagaimana, dalam upaya menggunakan sumber daya
terbatas yang ada saat menyusun beberapa rancangan undang-undang – dan bukannya
untuk menyusun rancangan undang-undang lainnya?
(4)
Siapa yang memastikan bahwa
rancangan undang-undang tersebut menggunakan prosedur dan memenuhi standar
resmi, serta tidak bertentangan dengan undang-undang lainnya?
(5)
Siapa yang melakukan penelitian
mengenai detil terperinci dalam suatu rancangan undang-undang? dan akhirnya,
(6)
bagaimana caranya
lembaga-lembaga memberikan masukan dan umpan balik pada beberapa orang yang
tepat, dan bukan kepada pihak yang salah, wewenang untuk memberikan informasi
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam menyusun rancangan undang-undang –
fakta-fakta, teori, serta aspirasi dan tuntutan dari “berbagai macam kelompok”?[40]
Berdasarkan paparan tersebut, Satjipto
Rahardjo mengetengahkan bahwa proses pembentukan hukum (legislasi) dapat
dirinci sebagai berikut:
Tahap inisiasi :
muncul gagasan dalam masyarakat;
Tahap
sosio-politis : pematangan dan
penajaman gagasan
Tahap
yuridis : penyusunan bahan
ke dalam rumusan
hukum dan kemudian
diundangkan.[41]
Selaras dengan uraian Rahardjo tersebut,
Chambliss dan Seidman menyebutkan bahwa
pada masyarakat dengan model konflik seperti sekarang ini, maka ada
beberapa kemungkinan yang dapat terjadi dalam pembentukan hukum, yaitu sebagai
berikut:
(1)
Pembentukan hukum akan dilihat
sebagai suatu proses adu kekuatan, di mana negara merupakan senjata di tangan
lapisan yang berkuasa.
(2)
Sekalipun terdapat pertentangan
nila-nilai di dalam masyarakat, namun negara tetap dapat berdiri sebagai badan
yang tidak memihak (value-neutral), di dalam mana nilai-nilai dan
kepentingan-kepentingan yang bertentangan dapat diselesaikan tanpa mengganggu
kehidupan masyarakat.[42]
Dalam legislasi yang di dalamnya terdapat
pertentangan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan, maka Schuyt menunjukkan
ada dua kemungkinan posisi hukum, yaitu sebagai berikut: (1) sebagai sarana
untuk mencairkan pertentangan (conflictoplossing),
dan (2) sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut (conflictversterking). Uraian ini
menunjukkan bahwa pada masyarakat yang tidak berlandaskan kesepakatan
nilai-nilai, maka pembentukan hukum selalu merupakan semacam endapan
pertentangan-pertentangan yang ada dalam masyarakat.
Dari
sini dapat dilihat bahwa adanya pertentangan nilai-nilai dan kepentingan dalam
masyarakat akan cenderung untuk mendorong dilakukan pembentukan hukum dengan
jalan membuat kompromi di antara hal yang bertentangan itu. Kompromi
memungkinkan pihak yang bertentangan menerima suatu penyelesaian yang
dikukuhkan lewat peraturan, sehingga dapat dikatakan bahwa peraturan merupakan
upaya untuk mengakhiri konflik nilai dan kepentingan. Jika di kemudian hari
salah satu pihak merasa tertipu atau menyadari bahwa peraturan itu sesungguhnya
hanya merupakan penyelasaian semu, maka akan timbul kembali pertentangan nilai
dan kepentingan yang bisa jadi akan lebih tajam.[43]
PENUTUP
Legislasi dalam rangka memproduksi hukum
perundang-undangan tidak bisa dilepaskan dari kerangka hukum modern yang
berangkat dari tradisi hukum sipil. Sejak hukum modern merambah berbagai
belahan dunia, maka legislasi kemudian merupakan upaya yang dipersiapkan dan
dirumuskan secara matang dengan mengikuti kaidah-kaidan tertentu dalam proses
pembentukannya. Mengikuti pola hukum modern yang muncul pada abad pertengahan,
legislasi dilakukan oleh suatu lembaga atau pejabat tertentu, yang serba
beratribut negara, yang secara legal formal memiliki kewenangan untuk itu.[44]
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, perkenalan bangsa Indonesia dengan
hukum modern terjadi pada saat negeri ini dijajah oleh Pemerintah kolonial
Belanda. Sistem hukum Belanda yang bertradisikan Hukum Sipil diperkenalkan dan
dimasukkan ke Indonesia yang kemudian bercampur (mixed) dengan tradisi hukum adat, adalah melalui asas konkordansi
dan asas ketunggalan hukum (eenheidsbeginsel).
Proses percampuran yang demikian ini oleh Soetandyo
Wignjosoebroto disebut sebagai transplantasi hukum dari sistem hukum asing
(Eropa) ke tengah tata hukum masyarakat kolonial yang khas.[45] Proses
transplantasi demikian acap kali menimbulkan permasalahan. Bangsa Indonesia
yang bertradisikan hukum adat, apakah dapat secara baik mengikuti tradisi yang
terlazimkan dalam hukum modern yang pada dasarnya bukan tradisi aslinya
tersebut?
Terlepas dari permasalahan tersebut, yang pasti legislasi di Indonesia
telah menjadi arus utama dalam perbincangan pembangunan hukum nasional. Hal itu
tercermin dari Konsideran huruf a UUP3 yang menyebutkan “bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud
apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan”.
Dengan demikian, perkembangan dan pengembangan hukum di Indonesia melalui
legislasi untuk saat ini dan ke depan adalah keniscayaan. Lebih-lebih dengan
terbitnya UUP3, tampaknya perkembangan dan pengembangan hukum di Indonesia
semuanya akan melalui “pintu” legislasi. Dengan kuatnya arus legislasi dalam
perkembangan dan pengembangan hukum di Indonesia, bisa jadi masa depan hukum
adat – sebagai hukum asli yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat Indonesia –
mengalami penyurutan.
UUD Tahun 1945 (hasil amandemen) pun tampaknya kurang memberi simpati pada
hukum adat dengan hanya menyebutnya sebagai ‘hak masyarakat tradisional’.[46]
Hal ini dapat disimak lewat Aturan Peralihan Pasal I yang berbunyi ”Segala
peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”, semakin jelas menunjukkan ada upaya
sistematis melalui Konstitusi untuk meminggirkan eksistensi hukum adat.[47]
Pada dasarnya sangat disayangkan terjadinya penyurutan secara sistematis
terhadap masa depan hukum adat tersebut. Jika kondisi ini yang terjadi, maka
“cara berhukum” atau ber-ROL bangsa Indonesia tampak kurang begitu antusias
dalam menyambut trend dunia yang menghargai kemajemukan dalam pelaksanaan ROL
tersebut. Barang tentu yang kemudian niscaya dilakukan adalah berusaha secara
sistematis untuk menampilkan hukum adat sejajar dalam proses legislasi. Atau
setidak-tidaknya, asas-asas hukum adat diangkat dan dijadikan rujukan dalam
setiap legislasi di Indonesia. Semoga.
-----------
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim G.
Nusantara (1988) Politik Hukum Indonesia.
Yayasan
Lembaga Bantuian Hukum Indonesia, Jakarta.
Al. Andang L. Binawan
(2005) “Merunut Logika Legislasi”. Jentera
Jurnal Hukum. Edisi 10 – Tahun III, Oktober 2005.
Anis Ibrahim (2008)
”Legislasi dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik dan Hukum
dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah di Jawa Timur”. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang.
Ann Seidman, Robert B. Seidman,
and Nalin Abeyserkeve (2001) Penyusunan
Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Sebuah
Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang. Terjemahan oleh Johanes
Usfunan et.al. Proyek ELIPS, Jakarta.
Bagir Manan (1992) Dasar-Dasar
Perundang-undangan Indonesia . IN-HILL-CO, Jakarta .
Brian Z. Tamanaha (2006) A General Jurisprudence of Law and Society. Oxford
University Press, Oxford New York .
Bryan A. Garner (Ed.)
(1999) Black’s Law Dictionary. West
Group, St. Paul, Minn.
Elizabeth A. Martin and
Jonathan Law (2006) A Dictionary of Law, Sixth Edition. Oxford University Press, New York.
Fery Edward (2002)
“Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah’. Makalah Pendidikan dan Latihan Legal
Drafting LAN, Jakartan, September 2002.
G.C.J.J. van den Bergh (1980) Geleerd Recht, Een Geschiedenis van de Europese Recthswetenschap in
Vogelvlucht. Kluwer, Deventer .
I.C. van der Vlies (2005)
Buku Perancang Peraturan
Perundang-Undangan. Terjemahan oleh
Linus Doludjawa. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta.
Jeremy Bentham (1996) An Introduction to the Principles of Morals
and Legislation. J.H. Burns and H.L.A. Hart (ed.). Clarendon Press, Oxford.
Jimly Asshiddiqie (2006) Perihal Undang-Undang. Konstitusi Press,
Jakarta.
John Henry Merryman (1969) The Civil Law Tradition. Stanford
University Press, Stanford , California .
John L. Austin (1954) The Province of Jurisprudence Determined and
the Uses of the Study of Jurisprudence. Weidenfeld and Nicolson, London.
John M. Echols dan Hassan Shadily (1995) Kamus Inggris Indonesia. Gramedia, Jakarta .
M. Solly Lubis (1995) Landasan dan Teknik Perundang-Undangan.
Mandar Maju, Bandung.
Maria Farida Indrati
Soeprapto (1998) Ilmu Perundang-undangan
Dasar-dasar dan Pembentukannya. Kanisius, Yogyakarta
Peter de Cruz ( 1999) Comparative Law in A Changing World. Cavendish Publishing, London .
Satjipto Rahardjo (1984) Hukum dan Masyarakat. Angkasa, Bandung .
------- (1991) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
------- (2002) Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode, dan
Pilihan Masalah. Penyunting
Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University Press, Surakarta .
------- (2003) Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia.
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
------- (2006) Hukum
dalam Jagat Ketertiban, Bacaan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro. UKI Press, Jakarta.
------- (2007)
“Kemajemukan sebagai Konsep Hukum”. Bacaan Mahasiswa Program Doktor Undip dalam Mata
Kuliah Ilmu Hukum dan Teori Hukum (No. 24). Pleburan, 20 Nopember 2007.
------- (2007) “Perjalanan Panjang “Rule of Law”. Bacaan Mahasiswa Program Doktor Undip dalam
Mata Kuliah Ilmu Hukum dan Teori Hukum (No. 23). Pleburan, 1 Oktober 2007.
Sirajuddin et al. (2006) Legislative Drafting, Pelembagaan Metode Partisipatif dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Malang Corruption Watch dan YAPPIKA, Jakarta .
Soetandyo Wignjosoebroto
(1995) Dari Hukum Kolonial Ke Hukum
Nasional Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan
Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990). RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Subekti dan
Tjitrosoedibio (1980) Kamus Hukum. Pradnya
Paramita, Jakarta.
Werner Menski (2006) Comparative Law in Global Context, The Legal Systems of Asia and Africa . Cambridge
University Press, Cambridge
William J. Chambliss and
Robert B. Seidman. (1971) Law, Order. And Power. Addison-Wesley
Publishing Company, Inc., Philippines .
-------------------
*
Dr. Anis Ibrahim,SH.MHum. adalah dosen PNS Dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
(STIH) Jenderal Sudirman Lumajang lulusan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro Semarang.
[1] Elizabeth A. Martin and Jonathan Law (2006) A Dictionary of Law, Sixth Edition. Oxford University Press, New York, p.
311.
[2]
John M. Echols dan Hassan Shadily (1995) Kamus
Inggris Indonesia. Gramedia, Jakarta ,
hal. 353
[3] Subekti dan Tjitrosoedibio (1980) Kamus Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta,
hal. 76.
[4]
Satjipto Rahardjo (2002) Sosiologi Hukum,
Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah. Penyunting Khudzaifah Dimyati,
Muhammadiyah University Press, Surakarta ,
hal.
123.
[5] Bryan A. Garner (Ed.) (1999) Black’s Law Dictionary. West Group, St.
Paul, Minn, p. 910.
[6] Jeremy Bentham (1996) An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. J.H.
Burns and H.L.A. Hart (ed.). Clarendon Press, Oxford; John L. Austin (1954) The
Province of Jurisprudence Determined and the Uses of the Study of Jurisprudence.
Weidenfeld and Nicolson, London. Lihat pada Jimly Asshiddiqie (2006) Perihal Undang-Undang. Konstitusi Press,
Jakarta, hal. 31-32.
[7] Maria Farida Indrati Soeprapto
(1998) Ilmu Perundang-undangan
Dasar-dasar dan Pembentukannya. Kanisius, Yogyakarta, hal. 2. Baca juga tulisan Fery Edward (2002) “Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan Tingkat Daerah’. Makalah
Pendidikan dan Latihan Legal Drafting LAN, Jakartan, September 2002.
[9] Al. Andang L. Binawan (2005) “Merunut Logika Legislasi”. Jentera Jurnal Hukum. Edisi 10 – Tahun
III, Oktober 2005, hal. 9.
[10] Satjipto Rahardjo (2006) Hukum
dalam Jagat Ketertiban, Bacaan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro. UKI Press, Jakarta, hal.
90-91.
[12] Satjipto Rahardjo (2003) Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia.
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 146.
[13] Maria Farida Indrati Soeprapto (1998) Ilmu … Op.Cit. hal. 2.
[14] I.C. van der Vlies (2005) Buku Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Terjemahan oleh Linus Doludjawa. Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Jakarta, hal. 9-10.
[15]
Satjipto Rahardjo (2007) “Perjalanan Panjang “Rule of Law”. Bacaan Mahasiswa Program Doktor Undip dalam
Mata Kuliah Ilmu Hukum dan Teori Hukum (No. 23). Pleburan, 1 Oktober 2007,
hal. 6.
[16]
Werner Menski (2006) Comparative Law in
Global Context, The Legal Systems of Asia and Africa .
Cambridge
University Press, Cambridge . Lihat pada Satjipto Rahardjo Ibid.
[17]
Baca lebih lanjut tentang perubahan paradigmatik dari “ilmu hukum tradisional”
kepada “ilmu hukum baru” ini dalam Satjipto Rahardjo (2006) Hukum dalam Jagat … Op.Cit. hal. 67-77.
[18]
Brian Z. Tamanaha (2006) A General
Jurisprudence of Law and Society. Oxford
University Press, Oxford New York ,
p. 1.
[19]
Uraian lebih lanjut tentang mirror thesis
ini dapat dibaca dalam Ibid . pp.
107-132.
[20]
Satjipto Rahardjo (2006) Hukum dalam
Jagat … Op.Cit. hal. 75.
[21]
Mengikuti Satjipto Rahardjo, ROL dalam hal ini dipakai “dalam artian generik
yang meliputi sekalian aktivitas manusia untuk menempatkan atau menata
kehidupan manusia dalam koridor hukum”. ROL dibicarakan “tidak hanya sebagai
sejarah atau perjalanan hukum, melainkan juga sebagai protret yang menggambarkan
pergulatan manusia dan hukumnya”. Satjipto Rahardjo (2007) “Perjalanan Panjang
…” Op.Cit. hal. 2.
[22]
John Henry Merryman (1969) The Civil Law
Tradition. Stanford University Press, Stanford , California ,
pp. 1-6.
[23]
Peter de Cruz ( 1999) Comparative Law in
A Changing World. Cavendish Publishing, London , p. 33.
[24]
Satjipto Rahardjo (2007) “Kemajemukan sebagai Konsep Hukum”. Bacaan Mahasiswa Program Doktor Undip dalam
Mata Kuliah Ilmu Hukum dan Teori Hukum (No. 24). Pleburan, 20 Nopember
2007, hal. 6.
[25]
Satjipto Rahardjo (2007) “Perjalanan Panjang …” Op.Cit. hal. 5.
[26] Ibid. hal. 3.
[27] G.C.J.J.
van den Bergh (1980) Geleerd Recht, Een
Geschiedenis van de Europese Recthswetenschap in Vogelvlucht. Kluwer, Deventer . Lihat pada Ibid. hal. 3-4.
[28]
Satjipto Rahardjo (2007) “Perjalanan Panjang …” Op.Cit. hal. 4-5.
[29]
Bagir Manan (1992) Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia . IN-HILL-CO, Jakarta , hal.6.
Lihat juga Sirajuddin et al. (2006) Legislative
Drafting, Pelembagaan Metode Partisipatif dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Malang Corruption Watch dan YAPPIKA, Jakarta ,
hal. 6.
[30]
Satjipto Rahardjo (2007) “Perjalanan Panjang …” Op.Cit. hal. 4.
[31]
Satjipto Rahardjo (2007)
“Kemajemukan …” Loc.Cit.
[33] I.C. van der Vlies. Op.Cit. hal. 28.
[34] Satjipto Rahardjo (2002) Sosiologi Hukum … hal. 128.
[37] Abdul Hakim G. Nusantara (1988) Politik Hukum Indonesia. Yayasan Lembaga Bantuian Hukum Indonesia,
Jakarta, hal. 27.
[38] Tentang demokrasi elitis dan demokrasi
partisipatoris baik dalam tataran teoritis maupun tataran praksis dalam
kaitannya dengan legislasi lebih jauh dapat dibaca tulisan Anis Ibrahim (2008) ”Legislasi
dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik dan Hukum dalam Proses
Pembentukan Peraturan Daerah di Jawa Timur”. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang.
[39] Satjipto Rahardjo (2003) Sisi-sisi ... Op.Cit. hal. 135.
[40] Ann Seidman, Robert B. Seidman, and Nalin
Abeyserkeve (2001) Penyusunan Rancangan
Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Sebuah Panduan Untuk
Pembuat Rancangan Undang-Undang. Terjemahan oleh Johanes Usfunan et.al. Proyek ELIPS, Jakarta, hal. 26- 30.
[41] Satjipto Rahardjo (1991) Op.Cit. hal. 177-178.
[42]
William J. Chambliss and Robert B. Seidman. (1971)
Law, Order. And Power. Addison-Wesley
Publishing Company, Inc., Philippines ,
p. 53.-54. Lihat juga dalam Satjipto Rahardjo (1984) Hukum dan Masyarakat. Angkasa, Bandung , hal. 50.
[43] Ibid.
[44] T. Koopmans mengatakan bahwa legislasi
semakin terasa kehadirannnya dalam negara hukum modern, karena dalam negara
yang berdasar atas hukum modern (verzorgingsstaat)
tujuan utama legislasi bukan lagi menciptalan kodifikasi bagi norma-norma dan
nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, namun menciptakan
modifikasi atau perubahan dalam kehiduopan masyarakat. Lihat Maria Farida
Indrati Soeprapto (1998) Op.Cit. hal.1-2.
[45] Perbincangan lebih jauh tentang
‘transplantasi hukum’ dapat dibaca dalam Soetandyo Wignjosoebroto (1995) Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Suatu
Kajian Tentang Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah
Abad di Indonesia (1840-1990). RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1-8.
[46] Bunyi selengkapnya pasal 28i ayat (3) UUD
Tahun 1945 hasil amandemen kedua tahun 2000 menyebutkan bahwa: “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
jaman dan peradaban”.
[47] Bandingkan dengan bunyi Pasal II Aturan
Peralihan UUD Tahun 1945 sebelum diamandemen yang berbunyi: “Segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Kata ‘peraturan’ dalam Pasal ini
memiliki makna yang lebih luas dibanding dengan “peraturan perundang-undangan”,
sebab menyangkut pula peraturan tidak tertulis, dan ini bisa menunjuk kepada
hukum adat yang memang tidak tertulis.