Senin, 25 Juli 2005

PENGARUH TRANSFORMASI GLOBAL DALAM HUBUNGAN HUKUM ANTARA PEMERINTAH DAN KONTRAKTOR DALAM KONTRAK PRODUCTION SHARING PADA USAHA PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI

Jurnal Hukum ARGUMENTUM, Vol. 4 No. 2, Juni 2005     ISSN: 1412-1751

PENGARUH TRANSFORMASI GLOBAL DALAM HUBUNGAN HUKUM ANTARA PEMERINTAH DAN KONTRAKTOR DALAM KONTRAK PRODUCTION SHARING PADA USAHA PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI

Oleh: Anis Ibrahim*

ABSTRAK
Kehadiran UU Migas pada tahun 2001 telah membawa perubahan besar dalam tata penguasaan dan pengusahaan migas di Indonesia yang mengarah pada sistem kompetisi dan liberalisasi karena terpengaruh oleh transformasi global. Berdasarkan keputusan judicial review tahun 2004, MK mengarahkan UU Migas untuk tetap pada koridor UUD 1945. Dalam pada itu, ada dua pola hubungan hukum antara pemerintah dan kontraktor dalam KPS dalam usaha pertambangan migas. Pertama, hubungan hukum didasarkan pada status pemerintah sebagai pelaksanan HPN, sementara kontraktor adalah subordinasi pemerintah. Kedua, hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan kontraktual. Dalam KPS posisi prinsipal dijalankan oleh BP Migas sebagai BHMN yang berstatus sebagai subyek hukum perdata, yang melakukan hubungan kontrak keperdataan dengan kontraktor. Karena diberi hak kepengawasan, maka kedudukan BP Migas lebih tinggi dibanding kontraktor. Sementara posisi pemerintah selaku pemegang KP yang merupakan perwujudan kedaulatan negara atas migas, adalah berada di atas para pihak itu.

A.    PENDAHULUAN
Minyak dan gas bumi (migas) adalah kekayaan alam sebagai karunia Tuhan yang diberikan kepada bangsa Indonesia.[1] Menurut Penjelasan Umum UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dinyatakan bahwa migas adalah sumber daya alam strategis takterbarukan yang dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan energi dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang penting.
Sebagai salah satu undang-undang di bidang ekonomi, UU Migas[2]  yang diundangkan pada tanggal 23 Nopember 2001 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136 telah membawa perubahan besar, baik dalam sektor hulu mau pun hilir.[3] Di antaranya adalah mengubah sistem monopoli ke arah sistem kompetisi; liberalisasi harga BBM; diciptakan badan baru, yakni Badan Pelaksana dan Badan Pengatur yang menggantikan fungsi dan peran Pertamina selama ini.
UU Migas Tahun 2001 merupakan perubahan UU No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang menurut Penjelasan Umum UU Migas 2001 dinyatakan bahwa dalam pelaksanaannya ditemukan berbagai kendala karena substansi materi kedua UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sekarang mau pun kebutuhan ke depan. Di samping itu, dalam Konsideran huruf e dinyatakan bahwa UU Migas Tahun 2001 dibuat dengan mempertimbangkan aspek nasional mau pun internasional. Dengan dasar pertimbangan huruf e tersebut dapat diketengahkan bahwa transformasi global mempengaruhi hukum migas di Indonesia sehingga aturan hukum lama harus dilakukan perubahan agar sesuai dengan aturan global. Hal ini tentu juga berdampak pada masalah pengaturan kontraktualnya antara pemerintah dengan kontraktor di bidang migas.
Karena dianggap bertentangan dengan pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tanggal 14 Januari 2003 sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengajukan judicial review UU Migas ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan memberikan konsesi bagi swasta, maka UU Migas ini akan memberikan kekuasaan langsung untuk mengeksploitasi kekayaan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak. Padahal, hak konsesi seharusnya berada di tangan negara melalui BUMN sesuai amanat undang-undang. Pemberian kewenangan kepada badan kontraktor, berarti UU Migas telah mereduksi peran negara sebagai yang memiliki wewenang tertinggi atas sumber daya alam.
Tanggal 21 Desember 2004 MK memutuskan agar pemerintah merevisi tiga pasal UU Migas.[4] Salah satu pasal terpenting yang harus direvisi dalam hal ini adalah pasal 12 ayat (3) yang berbunyi “Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang (garis bawah penulis) melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”.
MK menilai, adanya kata ‘diberi wewenang’ telah menyebabkan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini karena pasal tersebut memberikan penafsiran bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintah telah diserahkan sepenuhnya kepada kontraktor. Jika dibiarkan berarti UU Migas telah mereduksi kuasa pertambangan (KP) yang dimiliki pemerintah sebagai wujud kedaulatan negara atas sumber daya alam migas.
Pasca judicial review tersebut, tanggal 25 Juni 2005 Tim Negosiasi bentukan Pemerintah Indonesia dan ExxonMobil dari Amerika Serikat, menyepakati prinsip-prinsip dan menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dalam perpanjangan pengelolaan lapangan migas Blok Cepu di Jawa Tengah (Grobogan dan Blora) dan Jawa Timur (Bojonegoro dan Tuban). Paling lambat 90 hari kedepan, penandatanganan kontrak (joint operation agreement) antara Pertamina dan ExxonMobil harus terealisasi. Hal-hal prinsip yang disepakati antara lain menyangkut persoalan penyertaan modal (participating interest) dan bagi hasil (production sharing) berdasarkan tingkat harga minyak mentah.[5]
Menyertai MoU tersebut, ternyata masih menyisakan banyak persoalan. Misal, Komisi VII DPR menilai Tim Negosiasi itu ilegal karena telah mengambil alih posisi Pertamina sebagai perunding dengan ExxonMobil dan karenanya tidak mengakui hasil negosiasinya. Sistem bagi hasil yang akan diberikan ke daerahpun belum jelas, sementara wilayah Blok Cepu meliputi dua Provinsi yang tentu tidak sama kandungan migasnya.
Dalam banyak kasus, praktik investasi migas di daerah sarat dengan masalah. Daerah migas yang memiliki persoalan selain Blok Cepu tersebut antara lain Garut dan Indramayu (Jawa Barat), Bojonegoro serta Riau.[6] Pada intinya, persoalan utamanya adalah menyangkut bagi hasil dari kegiatan eksplorasi mau pun ekploitasi migas di daerah yang selama ini dirasa kurang adil. Pada umumnya, rakyat di sekitar daerah penghasil migas dalam kondisi yang miskin dan terbelakang.[7]
Memperhatikan paparan singkat di atas, maka sangat menarik untuk melakukan pembahasan tentang: “Bagaimana pengaruh transformasi global dalam hubungan hukum antara pemerintah dan kontraktor dalam kontrak production sharing pada usaha pertambangan minyak dan gas bumi pasca diterbitkannya UU Migas?”
B.     HAK PENGUASAAN NEGARA ATAS BAHAN TAMBANG MIGAS
Secara yuridis-konstitusional, kaitan negara dengan bahan tambang migas dapat dibaca melalui pasal 33 ayat (3) yang berbunyi bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, dan ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Dikuasai oleh negara mempunyai padanan arti Negara Menguasai atau Penguasaan Negara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kata ‘menguasai’ ialah berkuasa atas (sesuatu), memegang kekuasaan atas (sesuatu), sedangkan pengertian kata ‘penguasaan’ berarti: proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan. Dengan demikian, pengertian kata penguasaan lebih luas dari kata menguasai. Oleh karena itu penyebutan yang tepat kekuasaan negara atas sumber daya alam dalam rangka pasal 33 UUD 1945 adalah Hak Penguasaan Negara (HPN). [8] 
Dalam kaitannya dengan objek kepemilikan, HPN harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban negara sebagai pemilik (domein) yang bersifat publiekrechtelijk, bukan sebagai eigenaar yang bersifat privaaterechtelijk. Pemahaman yang demikian bermakna bahwa negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam Nasional.[9]
Penguasaan bahan galian dalam konteks HPN menjadi dilematis. Di satu sisi HPN tidak dapat dialihkan dan didelegasikan kepada badan swasta. Di sisi lain, negara tidak mempunyai kemampuan untuk mengusahakan sendiri bahan galian agar bermanfaat bagi kemakmuran rakyat. Berhadapan dengan situasi demikian barang tentu perlu diciptakan suatu piranti hukum yang kondusif untuk membangun  relasi dengan sektor swasta sehingga mampu memberi nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dengan tidak menyimpang dari amanat pasal 33 UUD 1945.[10] 
Sebagaimana telah disebut di atas, usaha untuk membangun pengusahaan migas tersebut dilandaskan pada UU Migas. UU ini dimaksudkan sebagai piranti hukum ekonomi yang dianggap mampu untuk membangun dan memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan migas dalam kerangka mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat (Menimbang huruf f). Diharapkan dengan UU Migas ini pengusahaan migas di Indonesia semakin kompetitif dan mampu bersaing dengan negara lain, sehingga investor asing mau menanamkan investasinya di Indonesia.
Dalam hal penguasaan dan pengusahaan migas, pasal 4 ayat (2) UU Migas menetapkan bahwa penguasaan migas oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan (KP). Selanjutnya pada ayat (3)-nya dinyatakan bahwa pemerintah sebagai pemegang KP membentuk Badan Pelaksana (BP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 23 untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu migas.
C. HUBUNGAN HUKUM DENGAN KONTRAKTOR DIDASARKAN PADA STATUS PEMERINTAH SEBAGAI PEMEGANG DAN PELAKSANA HPN
Inti hubungan yang mengandalkan status yang menurut Parson adalah power and priveleges. Kedua hal tersebut menunjukkan supremasi secara struktural. Di masyarakat tradisional kedua hal tersebut dapat dicermati di dalam struktur kekerabatan. Hubungan yang berlangsung disitu bukan karena konsensus subjek individual, tetapi didasarkan pada kerangka normatif struktur sosial yang ada.[11]  Di level negara, kerangka hubungan yang demikian ini menurut Colin Turpin disebut invested by law.[12] Hal senada juga dikemukakan oleh Antony Allot, bahwa pre-eminent cases of category (status relationship) is provide by the legally recognized, defined and protected status.[13]
Abrar Saleng, dengan mengutip Friedmann, menyatakan pola hubungan yang didasarkan status, meski pun hingga kini dipraktikkan negara modern, tetapi hal tersebut sangat selektif. Hal ini terjadi karena pendasaran ontologis dalam hubungan status adalah situasi masyarakat abad pertengahan yang sederhana, relegius dan etatis. Adapun negara modern sudah menunjukkan ciri yang berbeda yakni lebih demokratis, kompleks dan rasional.[14]
Berdasarkan konstruksi hukum tersebut, maka Pemerintah dalam statusnya sebagai pemegang HPN dan pengaturan pengusahaan bahan galian, sifatnya adalah atribusi. Dengan demikian, seyogyanya hubungan hukum yang timbul berdasarkan kewenangan atributif lebih didasarkan pada status pemerintah selaku pemegang hak istimewa. Status yang demikian, kalaupun didelegasikan atau dimandatkan kepada pihak swasta (kontraktor), kedudukannya sebagai subordinasi terhadap pemerintah.[15]
Dengan argumentasi yang demikian, maka dapat diketengahkan bahwa hubungan hukum antara pemerintah sebagai pemegang KP dengan kontraktor dalam migas bukanlah suatu mekanisme pengalihan HPN, tetapi merupakan suatu sarana atau instrumen hukum yang memungkinkan pihak swasta nasional/asing untuk dapat turut serta di dalam usaha pertambangan migas. Posisi kontraktor adalah subordinasi dari pemerintah sebagai yang memiliki wewenang dalam pertambangan migas.
Masalahnya, dalam UU Migas masalah KP sebagai wujud kedaulatan negara atas migas ternyata tidak secara tegas diatur sebagaimana halnya di UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina). Bahkan ada kecenderungan UU Migas bahwa KP setelah diperoleh oleh pemerintah dari negara berdasarkan pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) ternyata malah oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral diserahkan wewenangnya kepada pelaku usaha melalui pasal 1 angka 5 dan pasal 12 ayat (3).[16]
Seperti telah disebutkan di atas MK memutuskan agar pasal 12 ayat (3) tersebut direvisi oleh pemerintah, karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut membuka tafsir bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintah telah diserahkan sepenuhnya kepada kontraktor. Konsep ini berarti UU Migas mereduksi KP yang dimiliki pemerintah sebagai wujud kedaulatan negara atas tambang migas. Ini juga berarti menghilangkan kekuasaan konstitusional negara atas bahan tambang migas.
Dengan keputusan MK yang meminta agar pemerintah merevisi pasal 12 ayat (3) agar sesuai dengan amanat konstitusi, berarti MK telah mengembalikan kedaulatan negara (melalui HPN) atas migas sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945. Penjelasan UU Migas menyebutkan bahwa HPN atas migas ini dalam penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah selaku pemegang KP pada kegiatan usaha hulu. Oleh karena KP ada pada pemerintah, maka keterlibatan badan usaha swasta (kontraktor) dalam kegiatan pengusahaan migas adalah subordinasi pemerintah.
Jadi, kontraktor bukan yang memiliki wewenang atas migas, tapi diikutsertakan dalam pengusahaan migas. Barang tentu, inilah konstruksi yuridis yang sebenarnya dikehendaki oleh UUD 1945, yakni monopoli tapi kompetitif. Atau yang menurut kalimat Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, “MK mencari jalan tengah antara idealisme versus pragmatisme berkaitan dengan peran negara versus mekanisme pasar”.[17]
D. HUBUNGAN HUKUM ANTARA PEMERINTAH DAN KONTRAKTOR DALAM KONTRAK PRODUCTION SHARING PADA USAHA PERTAMBANGAN MIGAS
Inti hubungan kontraktual menurut Parsons adalah “free agreement of individuals”.[18] Motivasi yang fundamental mengenai beralihnya suatu pola hubungan dari status ke kontraktual adalah hasrat untuk maju dan lebih rasional sesuai dengan tuntutan perkembangan ekonomi dan hubungan industrial. Segi-segi hubungan yang bersifat kontraktual antara pemerintah dengan kontraktor tersebut telah diperkenalkan oleh UUPMA dalam bentuk kontrak karya.[19]
Kontrak (contract, contracten) acap kali disebut juga perjanjian. Ade Maman Suherman menyatakan bahwa kontrak itu tidak ada kaitannya dengan bentuk fisik atau dengan bentuk tertulis. Namun pada umumnya, jika menyebut kontrak maka orang akan langsung merujuk pada suatu dokumen tertulis.[20] Menurut Subekti, pengertian kontrak lebih sempit dari perjanjian karena kontrak mensyaratkan bentuknya selalu tertulis, sedangkan perjanjian bentuknya selain tertulis dapat juga dilakukan secara lisan. Apabila demikian pengertian kontrak, maka hukum kontrak merupakan specis dari hukum perjanjian.[21] 
Salah satu asas dalam hukum perjanjian adalah bahwa berbagai kaidah hukum yang mengatur soal kontrak dalam peraturan perundang-undangan merupakan hukum pelengkap (aanvullend recht). Berdasarkan asas tersebut, maka kaidah hukum perjanjian dapat dipersempit atau diperluas oleh para pihak yang membuat perjanjian/kontrak.[22]
Hukum kontrak secara berkelanjutan berkembang terus. Subjek yang tersangkut di dalamnya tidak terbatas pada manusia individual saja, tetapi lebih luas lagi seperti badan hukum dan negara. Substansinya pun semakin kompleks. Pernyataan kehendak (promise) dan konsensus saja tidak cukup, tetapi perlu unsur-unsur lain seperti isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan hukum, moral, kepatutan dan kesusilaan.[23]
Pasal 1320 KUHPerdata mensyaratkan sahnya suatu perjanjian adalah: (a) sepakat mereka yang mengikatkan diri; (b) kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; (c) suatu hal tertentu; (d) suatu sebab yang halal. Khusus dalam kontrak kerja sama, selain isi, juga ditentukan mengenai persyaratan dan hal-hal yang bersifat teknis yang harus dicantumkan di dalamnya.
Bagaimana halnya dengan pemerintah yang melakukan kontrak? Dalam rangka mencapai sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat, pemerintah turut menyelenggarakan berbagai fungsi di luar fungsi penyelenggaraan pemerintahan, yang menuntut pemerintah turut serta dalam pergaulan kemasyarakatan atau hubungan (hukum) sebagai pihak atau subjek yang tidak berbeda dengan subjek hukum keperdataan pada umumnya. Tindakan itu menurut Bagir Manan,[24] sebagaimana yang diktuip Abrar Saleng, adalah hubungan (hukum) kesederajatan yang merupakan hubungan keperdataan antara pemerintah dan orang atau badan hukum keperdataan. Hubungan keperdataan timbul dari perbuatan keperdataan misalnya melakukan kontrak dengan subjek hukum lainnya. Sedangkan yang dapat melakukan hubungan atau perbuatan perdata adalah manusia (naturlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon).
Berdasarkan pemahaman ini, maka perbuatan hukum keperdataan pemerintah hanya dapat dilakukan oleh badan pemerintahan yang berstatus badan hukum (rechtspersoon). Salah satu badan pemerintahan yang berstatus badan hukum adalah negara.[25] Negara dalam melakukan perbuatan keperdataan (kontrak) dilakukan oleh pemerintah. Kedudukan pemerintah di sini semacam dengan kedudukan direksi dalam sebuah perseroan terbatas. Dalam kaitan ini, pemerintah baik secara langsung (pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota), mau pun tidak langsung (melalui BUMN, perusahaan negara) dapat mengadakan perjanjian/kontrak.
Sementara itu, Mariam Darus Badrulzaman,[26] sebagaimana dikutip Abrar Saleng, menyatakan bahwa kontrak yang dilakukan oleh pemerintah diwarnai hukum publik. Kontrak tersebut berorientasi kepada kepentingan umum dan bersifat memaksa. Di dalam kontrak yang demikian tidak terdapat kebebasan berkontrak,[27] karena syarat-syarat yang ditentukan dalam kontrak itu tidak didasarkan kepada kehendak kedua belah pihak, akan tetapi hanya didasarkan kepada kehendak satu pihak yaitu pemerintah.
Syarat-syarat tersebut ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Hubungan antara pemerintah dan mitranya (lawan kontrak) tidak berada di dalam kedudukan yang sama (nebengeordnet), tetapi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari mitranya (untergeordnet). Karena itu kontrak ini disebut perjanjian publik. Sunaryati Hartono memandang hubungan pemerintah dan lawan kontraknya (dalam joint venture) sebagai pihak (partner) sekaligus sebagai pemerintah. Oleh karena itu, kontrak yang melahirkan joint venture dimana pemerintah sebagai pihak (partner) tidak dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian perdata (commercial contract) biasa, sebab pemerintah mempunyai kedudukan rangkap baik sebagai pihak mau pun sebagai pemerintah.[28]
Akibatnya terhadap kontrak yang demikian tidak hanya berlaku peraturan hukum perjanjian dan perseroan Indonesia saja, tetapi juga karena pemerintah telah menyetujui sejumlah perjanjian bilateral dan multilateral di bidang perekonomian dengan berbagai negara dan organisasi internasional, maka kontrak dalam rangka PMA itu berlaku juga perjanjian-perjanjian tersebut dan peraturan hukum Internasional. Karena itu, kontrak dalam rangka PMA dinamakan perjanjian transnasional atau perjanjian quasi internasional, contract sui generis atau economic development contract.[29]
1. Istilah Dan Pengertian Kontrak Production Sharing
Istilah kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari production sharing contract. Kontrak ini dikenal dalam kontrak yang diadakan pada bidang migas. Istilah kontrak production sharing (KPS) termaktub pada pasal 1 angka 19 UU Migas, bahwa “Kontrak kerja sama adalah kontrak  bagi hasil  atau bentuk kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksplotasi yang lebih menguntungkan  negara dan hasilnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.” Pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian KPS, tetapi difokuskan pada konsep teoritis kerja sama di bidang  migas. Kerja sama di bidang migas dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu KPS dan kontrak-kontrak lainnya.
Dalam Pasal 1 angka (1) PP Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi disebutkan pengertian KPS (bagi hasil) yaitu: “Kerja sama antara Pertamina dan Kontrator untuk melaksanakan prinsip pembagian hasil produksi.” Sementara Soedjono Dirdjosisworo mengartikan KPS adalah “Kerja sama dengan sistem bagi hasil antara Perusahaan Negara dengan perusahaan asing yang sifatnya kontrak. Apabila kontrak telah habis maka mesin-mesin yang di bawah pihak asing tetap tinggal di Indonesia. Kerja sama dalam bentuk ini merupakan suatu kredit luar negeri di mana pembayarannya dilakukan dengan cara bagi hasil terhadap produksi yang telah dihasilkan perusahaan”.[30]
Kesamaan dari kedua definisi di atas adalah bahwa KPS merupakan perjanjian bagi hasil di bidang migas. Dalam UU Migas para pihaknya adalah Badan Pelaksana dengan kontraktor (Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa KPS adalah “Perjanjian atau kontrak yang dibuat antara Badan Pelaksana dengan kontraktor untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang migas dengan prinsip bagi hasil.” Prinsip bagi hasil - dirundingkan antara kedua belah pihak - merupakan prinsip yang mengatur pembagian hasil yang diperoleh dari eksplorasi dan eksploitasi migas antara badan pelaksana dengan kontraktor.
KPS mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1964, yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina. Timbulnya KPS adalah untuk mengatasi permasalahan keterbatasan modal, teknologi, dan sumber daya manusia yang dihadapi Pertamina, khususnya dalam menjalankan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas.[31]
2.      Prosedur Dan Syarat-Syarat Dalam Kontrak Production Sharing
Kegiatan di bidang migas dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir.[32] Kegiatan usaha hulu merupakan kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan usaha hulu dituangkan dalam KPS. Menurut UU Migas, prosedur yang ditempuh untuk dapat melakukan usaha  hulu, adalah:
a.       Hanya dapat dilakukan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap.
b.      Kegiatan usaha ini didasarkan pada kontrak production sharing.
c.    Tujuan penuangan berbagai kewajiban dalam persyaratan kontrak adalah untuk mempermudah pengendalian kegiatan usaha hulu dan didasarkan juga pada peraturan perundang-undangan lainnya.
d.      Setiap kontrak kerja sama yang telah ditandatangani kedua belah pihak, salinan kontraknya dikirimkan kepada DPR RI, khususnya pada komisi  yang membidangi minyak dan gas bumi.
Di dalam KPS memuat tiga persyaratan pokok, yaitu
a.       kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b.      pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
c.       modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
3.      Bentuk Dan Substansi Kontrak Production Sharing
Bentuk KPS adalah berbentuk tertulis dan kontrak itu dalam bentuk akta di bawah tangan, yaitu dibuat antara Badan Pelaksana dengan kontraktor.[33] Sedangkan substansi yang harus dimuat dalam KPS telah ditentukan dalam Pasal 11 ayat (3) UU Migas, yaitu: 1) penerimaan negara; 2) wilayah kerja dan pengembaliannya; 3) kewajiban pengeluaran dana; 4) perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi; 5) jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak; 6) penyelesaian perselisihan; 7) kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri; 8) berakhirnya kontrak; 9) kewajiban pasca operasi pertambangan; 10) keselamatan dan kesehatan kerja; 11) pengelolaan lingkungan hidup; 12) pengalihan dan kewajiban; 13) pelaporan yang diperlukan; 14) rencana pengembangan lapangan; 15) pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; 16) pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat; 17) pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
4.      Subjek Dan Objek Dalam Kontrak Production Sharing
KPS hanya diberikan kepada kegiatan usaha hulu. Kegiatan usaha hulu ini meliputi eksplorasi dan eksploitasi. Sebelum berlakunya UU Migas, maka para pihak yang terkait dalam KPS adalah Pertaminadan kontraktor.[34]  Kontraktor itu dapat berasal dari kontraktor dalam negeri dan luar negeri. Dengan berlakunya UU Migas, para pihak yang terkait dalam KPS, yaitu negara, yang diwakili oleh Badan Pelaksana[35]. Sedangkan pihak kedua atau kontraktornya adalah Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap.
BP Migas adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. Fungsi BP Migas ini adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam migas dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat [Pasal 44 ayat (2) UU Migas dan pasal 10 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi].
Menurut pasal 45 ayat (1) UU Migas beserta penjelasannya disebutkan bahwa BP Migas merupakan badan hukum milik negara (BHMN) yang berstatus sebagai subjek hukum perdata dan merupakan institusi yang tidak mencari keuntungan serta dikelola secara profesional. Jadi, meski BP Migas adalah BHMN, tetapi ia berstatus sebagai subjek hukum perdata. Dalam posisi sebagai subjek hukum perdata inilah, BP Migas melakukan KPS dengan kontraktor.
Melihat konstruksi yuridis tentang BP Migas tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pemerintah adalah pemegang KP – sebagai wujud nyata kedaulatan negara atas sumber daya alam migas. Untuk mengoperasionalkan KP di bidang migas, pemerintah membentuk institusi keperdataan yang namanya BP Migas.
Dalam statusnya sebagai subjek hukum perdata yang demikian ini, posisi BP Migas adalah turunan pemerintah yang sekaligus mewakili pemerintah untuk melakukan perbuatan keperdataan (dalam hal ini melakukan KPS) dengan kontraktor. Jadi, yang menjadi pihak (prinsipal) dari pemerintah adalah BP Migas (badan pemerintah) yang mengadakan kontrak (menggunakan hukum perdata) dengan kontraktor sebagai mitra kontraknya. Manakala konstruksinya demikian, maka menurut asas hukum perdata, kedudukan BP Migas sejajar dengan mitra kontraknya tersebut (staat op gelijke voet als een privaat persoon).[36] Tetapi karena menurut pasal 41 ayat (2) BP Migas memiliki hak kepengawasan terhadap kontraktor berdasarkan KPS atas pelaksanaan kegiatan usaha hulunya, maka mau tidak mau posisi BP Migas berkedudukan lebih tinggi.
Bangunan hukum yang diintrodusir oleh UU Migas ini menunjukkan bahwa posisi pemerintah dalam KPS bukan sebagai pihak (prinsipal) dalam KPS. Prinsipalnya adalah BP Migas dengan mitra kontraktornya. Pemerintah sebagai pemegang KP dalam rangka menyelenggarakan HPN atas migas berdiri di atas para pihak – yaitu BP Migas dan kontraktor – yang terlibat dalam suatu KPS. Dalam kaitan ini, pemerintah melakukan pembinaan yang meliputi (a) penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang kegiatan usaha migas, dan (b) menetapkan kebijakan mengenai kegiatan usaha migas (pasal 39 ayat 1). Kesimpulannya, kegiatan pemerintah dalam usaha pertambangan migas berada dalam ranah publik, ada pun di ranah perdata pemerintah diwakili oleh BP Migas.
Tugas BP Migas menurut pasal 44 ayat (3) UU Migas jo. pasal 11 PP Nomor 42 Tahun 2002 yaitu:
1) memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta kontrak kerja sama;
2) melaksanakan penandatanganan kontrak kerja sama;
3) mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;
4) memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan, selain yang tercantum  pada angka 3 di atas;
5) memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
6) melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan kontrak kerja sama;
7) menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Dari ketujuh hal di atas maka tugas penandatanganan KPS merupakan tugas yang paling penting, karena dengan adanya penandatanganan kontrak itu akan menimbulkan hak dan kewajiban para pihak.
Adapun pihak kedua dalam KPS adalah kontraktor (Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha tetap). Pasal 1 angka 17 UU Migas menyebutkan bahwa Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap atau terus-menerus didirikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan RI. Sedangkan pasal 1 angka 18 menyatakan bahwa Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan RI yang melakukan  kegiatan di wilayah Negara Kesatuan RI dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di RI.
Obyek dari KPS adalah kegiatan usaha migas, terutama kegiatan usaha hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan  dan memperoleh perkiraan cadangan migas di wilayah kerja yang ditentukan. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan migas dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpangan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan, serta kegiatan lain yang mendukungnya.
5.      Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Production Sharing
Hak kontraktor adalah melakukan kegiatan usaha hulu berdasarkan KPS, yaitu eksplorasi dan eksploitasi migas. Jangka waktu KPS tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak ditandatanganinya dan diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Jangka waktu terdiri dari jangka waktu eksplorasi dan jangka waktu eksploitasi (pasal 14-pasal 15 UU Migas).
Dalam kaitaan dengan hak kontraktor ini, pasal 6 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas menetapkan bahwa: “Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagai kontraktor yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha hulu pada wilayah kerja”. Sebagaimana telah disebutkan di atas, MK telah membatalkan pasal 12 ayat (3) UU Migas karena konstruksi kata “wewenang” adalah berada pada negara yang tidak bisa dialihkan kepada kontraktor, maka kata “wewenang” dalam PP tersebut juga ikut batal.
Sedang kewajiban kontraktor seperti diatur dalam Pasal 31 UU Migas, yaitu:
1)      membayar pajak yang merupakan penerimaan negara, dan
2)      membayar bukan pajak yang merupakan penerimaan negara.
Penerimaan negara yang berupa pajak, terdiri atas: 1) pajak-pajak; 2) bea masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai; 3) pajak daerah dan distribusi daerah.
Ada pun penerimaan Negara bukan pajak, terdiri atas:
1)  bagian negara, merupakan bagian produksi yang diserahkan oleh Badan Usaha atau Usaha Tetap kepada negara sebagai pemilik sumber daya minyak dan gas bumi;
2)  iuran tetap, yaitu iuran yang dibayar oleh Badan Usaha atau Usaha Tetap kepada negara sebagai pemilik sumber daya migas sesuai luas wilayah kerja sebagai imbalan atas kesempatan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi;
3)  iuran eksplorasi dan eksploitasi merupakan iuran yang dibayarkan oleh Badan Usaha atau Usaha Tetap kepada negara sebagai kompensasi atas pengambilan kekayaan alam minyak dan gas bumi yang tak terbarukan;
4)      bonus-bonus adalah penerimaan dari bonus-bonus penandatanganan bonus kompensasi data, bonus produksi, dan bonus-bonus dalam bentuk apapun yang diperoleh Badan Pelaksana dalam rangka kontrak production sharing.
Sejak berlakunya otonomi daerah, Pemerintah Pusat berkewajiban untuk mendistribusikan kembali penerimaan negara dari hasil minyak dan gas bumi kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang mempunyai sumber daya alam tersebut. Besarnya bagian yang diterima oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota telah ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) sampai ayat (4) UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yakni:
1)      Minyak Bumi
Bagian Pemerintah Pusat dari minyak bumi sebanyak 85%; Pemda sebesar 15%. Dari pembagian sebanyak 15% maka bagian dari Pemerintah Provinsi yang bersangkutan sebanyak 3% (tiga persen); bagian kabupaten/Kota penghasil sebesar 6%; dan bagian kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 6%.
2)      Gas Alam
Bagian Pemerintah Pusat dari gas alam sebesar 70%; Pemda sebesar 30%. Dari pembagian sebanyak 30%, maka bagian dari Pemerintah Provinsi yang bersangkutan sebanyak 6% (enam persen); bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 12%;dan bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 12%.
Salim HS[37] menyatakan bahwa bagian yang diterima oleh daerah sangat kecil. Hal ini disebabkan biaya yang dikeluarkan  untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi sangat besar dan diperlukan teknologi yang canggih. Biasanya dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam  tersebut harus  mengadakan KPS dengan perusahaan domestik atau perusahaan asing. Perusahaan asing ini memiliki modal dan skill yang tinggi, sehingga mereka juga mempunyai hak untuk mendapat bagian dari KPS. Haknya adalah menerima bagian yang telah disepakati antara BP Migas dengan kontraktor, sebagaimana yang tercantum dalam KPS.
Berkenaan dengan kehendak Pemda untuk melakukan kontrak langsung dengan kontraktor terhadap kekayaan migas di daerahnya, hal ini secara yuridis tidak dapat dibenarkan. UU Migas sudah menetapkan bahwa pihak pemerintah yang dapat melakukan kontrak migas adalah BP Migas. Pemda diajak konsultasi oleh Menteri mengenai wilayah kerja migas yang akan ditawarkan kepada badan usaha. UU Otonomi Daerah Tahun 2004 pun tidak memberi hak kepada daerah untuk melakukan KPS dengan pihak lain. UU tersebut menggariskan bahwa hubungan Pemda dalam migas di daerahnya adalah berupa bagi hasil. Dalam kaitan ini, MoU Blok Cepu cukup progresif yang memungkinakan daerah terlibat dalam KPS melalui penanaman modal sebasar 10%.[38] Pasal 34 PP No. No. 35 Tahun 2004 memang menentukan bahwa: “Sejak disetujuinya rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dari suatu wilayah kerja, kontraktor wajib menawarkan participating interest 10% kepada BUMD”.
Pembagian hasil penjualan minyak dalam MoU Blok Cepu tersebut lebih menguntungkan pemerintah. Sebab menurut prinsip KPS generasi terakhir (2002-sekarng) komposisinya adalah 65% untuk Pemerintah dan 35% untuk kontraktor,[39] sedang dalam MoU tersebut disepakati bahwa 85% untuk pemerintah dan 15% bagi kontraktor untuk harga minyak di atas 45 dollar AS per barrel. Jika harga minyak berkisar antara 40-45 dollar AS, pembagian hasil menjadi 80:20. Dan jika harga minyak kurang dari 35 dollar AS, maka pembagian hasil menjadi 70:30.
6.      Pola Penyelesaian Sengketa
Dalam UU Migas tidak ditemukan pasal yang mengatur tentang penyelesaian sengketa, jika terjadi sengketa antara kontraktor dengan BP Migas terhadap substansi KPS. Pola penyelesaian sengketanya ditentukan dan dituangkan dalam KPS yang dibuat para pihak.
Meski demikian dapat diketengahkan bahwa apabila terjadi sengketa antara kontraktor dengan Badan Pelaksana maka hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia jika kontraktornya adalah badan usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia dan mereka  tunduk kepada hukum Indonesia. Akan tetapi, apabila terjadi sengketa antara kontraktor asing (Bentuk Usaha Tetap) dengan Badan Pelaksana maka para pihak menggunakan aturan arbitrase dalam International Chamber of Commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris,[40] karena Bentuk Usaha Tetap ini merupakan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Dengan kata lain, bahwa dalam kontrak itu adalah adanya unsur asing sehingga aturan hukum yang digunakan adalah ICC.

E.     PENUTUP
Kehadiran UU Migas sebagai salah satu UU bidang ekonomi pada tahun 2001 telah membawa perubahan besar dalam tata penguasaan dan pengusahaan migas di Indonesia yang mengarah kepada sistem kompetisi dan liberalisasi karena terpengaruh oleh transformasi global. Akan tetapi, berdasarkan keputusan judicial review tahun 2004, MK mengarahkan UU Migas untuk tetap dalam koridor UUD 1945 dengan memberikan suatu ‘jalan tengah’ antara monopoli negara atas migas tapi yang kompetitif. Disarankan agar putusan MK tersebut secepatnya direspons pemerintah dengan mengamandemen UU Migas Tahun 2001 beserta PP No. 35 Tahun 2004 agar sesuai dengan UUD 1945.
Ada dua pola hubungan hukum antara pemerintah dengan kontaktor dalam KPS dalam usaha pertambangan migas. Pertama, hubungan hukum yang didasarkan pada status pemerintah sebagai pelaksana HPN, sementara kontraktor adalah subordinasi pemerintah. Kedua, hubungan hukum yang didasarkan pada pada hubungan kontraktual.
Dalam KPS posisi prinsipal dijalankan oleh BP Migas sebagai BHMN yang berstatus sebagai subjek hukum perdata, yang melakukan hubungan kontrak keperdataan dengan kontraktor. Posisi BP Migas seharusnya sejajar dengan mitra kontraknya, tetapi karena menurut UU Migas diberi hak kepengawasan, maka kedudukannya menjadi lebih tinggi. Sementara posisi pemerintah selaku pemegang KP yang merupakan perwujudan kedaulatan negara atas migas, adalah berada di atas para pihak itu.
-----

DAFTAR PUSTAKA
Abrar Saleng (2000) Hubungan Hukum Antara Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta dalam Berbagai Pola Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan. Jurnal Hukum, UII, Yogyakarta, No. 13 Vol 7 – 2000
------- (2004) Hukum Pertambangan. UII Press, Yogyakarta
Ade Maman Suherman (2005) Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global (Edisi Revisi). Ghalia Indonesia, Bogor.
Bagir Manan (1996) Bentuk-bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Journal of Padjadjaran University, Bandung, Nomor 3 Vol. 14 – 1996
Boedi Harsono (1997) Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Djambatan, Jakarta.
Colin Turpin (1972) Government Contract. Penguin Book Ringwood, London.
Deno Kamelus (1998) Fungsi Hukum Terhadap Ekonomi Indonesia. Disertasi PPS Universitas Airlangga, Surabaya
Indroharto (1994) Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I (Edisi Baru). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Kurtubi (2004) UU Kelistrikan dan UU Migas. Kompas, 21 Desember 2004
Mariam Darus Badrulzaman (1998) Perjanjian dengan Pemerintah (Government Contract). Dalam Peter Mahmud Marzuki et.al. (Ed.) Hukum Kontrak Indonesia. ELIPS, Jakarta.
Rudi M. Simamora (2000) Hukum Minyak dan Gas Bumi. Djambatan, Jakarta.
Salim H.S. (2004) Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Buku Kesatu. Sinar Grafika, Jakarta.
Soedjono Dirdjosisworo (1999) Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Subekti (1983) Pokok-pokok Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta.
------- (1985) Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta.
Sunaryati Hartono (1974) Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan Modal Indonesia. Alumni, Bandung.
W. Friedmann (1960) Legal Theory. Stevens & Sons, London.
UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
UU Nomor 44 Prp Th. 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
UU Nomor 8 Th. 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas.
PP Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Kompas, 15 Juni 2005
Kompas, 22 Desember 2004
Kompas, 23 Desember 2004
Kompas, 25 Juni 2005
Kompas, 27 Juni 2005




* Anis Ibrahim,SH.MHum. adalah dosen PNS Dpk pada STIH Jenderal Sudirman Lumajang.
[1] Suasana teologis dari keberadaan sumber daya alam di Indonesia disandarkan dari pendapat Boedi Harsono (1997) Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Djambatan, Jakarta, hal. 217.
[2] UU yang lama yang diganti karena diangap tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan migas (Menimbang huruf d) adalah UU No. 44 Prp Th. 1960 tentang Pertambangan Migas, UU No. 15 Th. 1962 tentang Penetapan Perpu No 2 Th. 1962, dan UU No. 8 Th. 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
[3] Menurut pasal 5 UU Migas, sektor hulu migas mencakup: a) ekplorasi; dan b) ekploitasi. Sedangkan sektor hilir mencakup: a) pengolahan; b) pengangkutan; c) penyimpanan; dan d) niaga.
[4] Kompas, 22 Desember 2004, hal 1. MK juga berpendapat bahwa adanya kata ‘paling banyak’ dalam Pasal 22 ayat (1) UU Migas Tahun 2001 bisa disepadankan dengan kata ‘minimal’, dan ini oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sementara penetapan harga bahan bakar minyak dan gas diserahkan pada mekanisme pasar sebagaimana dalam pasal 28 ayat (2) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sebab penetapan harga migas adalah melalui kewenangan pemerintah. Hingga tulisan ini dibuat, perubahan atas pasal-pasal ini belum dilakukan.
[5] Kompas, 25 Juni 2005, hal. 13.
[6] Kompas, 15 Juni 2005, hal. 1.
[7] Kompas, 27 Juni 2005, hal. 13.
[8] Abrar Saleng (2004) Hukum Pertambangan. UII Press, Yogyakarta, hal. 21.
[9] Ibid. hal, 33.
[10] Abrar Saleng (2000) Hubungan Hukum Antara Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta dalam Berbagai Pola Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan. Jurnal Hukum, UII, Yogyakarta, No. 13 Vol 7 – 2000, hal. 13.
[11] Ibid mengutip Deno Kamelus (1998) Fungsi Hukum Terhadap Ekonomi Indonesia. Disertasi PPS Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 326.
[12] Ibid mengutip Colin Turpin (1972) Government Contract. Penguin Book Ringwood, London, hal. 23.
[13] Ibid mengutip Deno Kamelus. Loc.Cit.
[14] W. Friedmann (1960) Legal Theory. Stevens & Sons, London, hal 165.
[15] Abrar Saleng (2000) Op.cit. hal. 14.
[16] Kurtubi (2004) UU Kelistrikan dan UU Migas. Kompas, 21 Desember 2004, hal. 14.
[17] Kompas, 23 Desember 2004, hal 9.
[18] Abrar Saleng (2000) Loc.cit. mengutip Deno Kamelus. Op.Cit. hal. 328
[19] Pasal 8 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA berbunyi: “Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
[20] Ade Maman Suherman (2005) Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global (Edisi Revisi). Ghalia Indonesia, Bogor. hal. 18.
[21] Subekti (1983) Pokok-pokok Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta, hal. 1.
[22] Subekti (1985) Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta, hal. 128.
[23] Abrar Saleng (2000) Op.Cit. hal. 16.
[24] Bagir Manan (1996) Bentuk-bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Journal of Padjadjaran University, Bandung, Nomor 3 Vol. 14 – 1996, hal. 24.
[25] Ibid. hal. 28.
[26] Mariam Darus Badrulzaman (1998) Perjanjian dengan Pemerintah (Government Contract). Dalam Peter Mahmud Marzuki et.al. (Ed.) Hukum Kontrak Indonesia. ELIPS, Jakarta, hal. 159.
[27] Lihat pasal 1338 KUHPerdata.
[28] Sunaryati Hartono (1974) Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan Modal Indonesia. Alumni, Bandung, hal. 28.
[29] Ibid. hal 29.
[30] Soedjono Dirdjosisworo (1999) Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia. Mandar Maju, Bandung, hal. 231-232.
[31] Rudi M. Simamora (2000) Hukum Minyak dan Gas Bumi. Djambatan, Jakarta, hal. 93.
[32] Menurut Pasal 1 angka (10) UU Migas, kegiatan usaha hilir merupakan kegiatan usaha yang berintikan atau kegiatan yang bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga). Kegiatan usaha hilir dilaksanakan dengan izin usaha.
[33] Salim H.S. (2004) Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Buku Kesatu. Sinar Grafika, Jakarta,. hal.44-45.
[34] Ibid. hal. 45. Menurut UU Migas yang lama (UU No. 44 Prp. Tahun 1960), usaha pertambangan migas adalah monopoli Pertamina atau pemegang KP satu-satunya. Hal ini dapat dibaca dari (1) bunyi pasal 3 ayat (2): Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata; dan (2) bunyi Penjelasan umum angka 5 yang menyebutkan bahwa hanya Perusahaan Negaralah yang dapat menguasai suatu wilayah pertambangan migas dan hak inipun jauh berlainan dengan konsesi yang lama.
[35] Berdasarkan PP No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, pada Agustus 2002 telah dibentuk Badan Pelaksanan Hulu Migas/BP Migas.
[36] Indroharto (1994) Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I (Edisi Baru). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 18.
[37] Salim H.S. Op.Cit. hal. 48.
[38] Meski Komisi VII DPR tidak mengakui keberadaan Tim Negosasi tersebut karena tidak sesuai dengan UU, pemerintah  perlu menjelaskan argumentasinya bahwa hal itu bisa dilaksanakan oleh pemerintah, sebab menurut pasal 63 huruf e. pelaksanaan negosiasi antara Pertamina dan pihak lain dalam rangka kerja sama eksplorasi dan ekploitasi beralih kepada Menteri. Jadi, dapat dibenarkan jika pemerintah/Menteri membentuk Tim Negosiasi perpanjang kontrak pengusahaan migas karena ada kaitannya dengan Pertamina yang selama ini telah melakukan KKS dengan ExxonMobil
[39] Salim H.S. Op.Cit. hal 42.
[40] Ibid. hal. 50.