Jurnal Hukum ARGUMENTUM, Vol. 4 No. 2, Juni 2005 ISSN: 1412-1751
PENGARUH
TRANSFORMASI GLOBAL DALAM HUBUNGAN HUKUM ANTARA PEMERINTAH DAN KONTRAKTOR DALAM
KONTRAK PRODUCTION SHARING PADA USAHA
PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI
Oleh: Anis Ibrahim*
ABSTRAK
Kehadiran UU Migas pada tahun
2001 telah membawa perubahan besar dalam tata penguasaan dan pengusahaan migas
di Indonesia yang mengarah pada sistem kompetisi dan liberalisasi karena
terpengaruh oleh transformasi global. Berdasarkan keputusan judicial review
tahun 2004, MK mengarahkan UU Migas untuk tetap pada koridor UUD 1945. Dalam
pada itu, ada dua pola hubungan hukum antara pemerintah dan kontraktor dalam
KPS dalam usaha pertambangan migas. Pertama, hubungan hukum didasarkan pada
status pemerintah sebagai pelaksanan HPN, sementara kontraktor adalah
subordinasi pemerintah. Kedua, hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan
kontraktual. Dalam KPS posisi prinsipal dijalankan oleh BP Migas sebagai BHMN
yang berstatus sebagai subyek hukum perdata, yang melakukan hubungan kontrak
keperdataan dengan kontraktor. Karena diberi hak kepengawasan, maka kedudukan
BP Migas lebih tinggi dibanding kontraktor. Sementara posisi pemerintah selaku
pemegang KP yang merupakan perwujudan kedaulatan negara atas migas, adalah
berada di atas para pihak itu.
A.
PENDAHULUAN
Minyak dan gas bumi (migas) adalah
kekayaan alam sebagai karunia Tuhan yang diberikan kepada bangsa Indonesia.[1]
Menurut Penjelasan Umum UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU
Migas) dinyatakan bahwa migas adalah sumber daya alam strategis takterbarukan
yang dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan
penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan energi dalam negeri,
dan penghasil devisa negara yang penting.
Sebagai salah satu undang-undang di
bidang ekonomi, UU Migas[2] yang diundangkan pada tanggal 23 Nopember
2001 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136 telah
membawa perubahan besar, baik dalam sektor hulu mau pun hilir.[3]
Di antaranya adalah mengubah sistem monopoli ke arah sistem kompetisi;
liberalisasi harga BBM; diciptakan badan baru, yakni Badan Pelaksana dan Badan
Pengatur yang menggantikan fungsi dan peran Pertamina selama ini.
UU Migas
Tahun 2001 merupakan perubahan UU No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi serta UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi yang menurut Penjelasan Umum UU Migas 2001 dinyatakan bahwa
dalam pelaksanaannya ditemukan berbagai kendala karena substansi materi kedua
UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sekarang mau pun
kebutuhan ke depan. Di samping itu, dalam Konsideran huruf e dinyatakan bahwa
UU Migas Tahun 2001 dibuat dengan mempertimbangkan aspek nasional mau pun
internasional. Dengan dasar pertimbangan huruf e tersebut dapat diketengahkan
bahwa transformasi global mempengaruhi hukum migas di Indonesia sehingga aturan
hukum lama harus dilakukan perubahan agar sesuai dengan aturan global. Hal ini
tentu juga berdampak pada masalah pengaturan kontraktualnya antara pemerintah
dengan kontraktor di bidang migas.
Karena
dianggap bertentangan dengan pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tanggal 14 Januari 2003
sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengajukan judicial review UU Migas ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan
memberikan konsesi bagi swasta, maka UU Migas ini akan memberikan kekuasaan
langsung untuk mengeksploitasi kekayaan negara yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Padahal, hak konsesi seharusnya berada di tangan negara melalui BUMN
sesuai amanat undang-undang. Pemberian kewenangan kepada badan kontraktor,
berarti UU Migas telah mereduksi peran negara sebagai yang memiliki wewenang
tertinggi atas sumber daya alam.
Tanggal
21 Desember 2004 MK memutuskan agar pemerintah merevisi tiga pasal UU Migas.[4]
Salah satu pasal terpenting yang harus direvisi dalam hal ini adalah pasal 12
ayat (3) yang berbunyi “Menteri
menetapkan badan usaha atau bentuk
usaha tetap yang diberi wewenang (garis bawah penulis) melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan
eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”.
MK
menilai, adanya kata ‘diberi wewenang’
telah menyebabkan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini karena
pasal tersebut memberikan penafsiran bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintah
telah diserahkan sepenuhnya kepada kontraktor. Jika dibiarkan berarti UU Migas
telah mereduksi kuasa pertambangan (KP) yang dimiliki pemerintah sebagai wujud
kedaulatan negara atas sumber daya alam migas.
Pasca judicial review tersebut, tanggal 25 Juni
2005 Tim Negosiasi bentukan Pemerintah Indonesia dan ExxonMobil dari Amerika
Serikat, menyepakati prinsip-prinsip dan menandatangani Nota Kesepahaman (MoU)
dalam perpanjangan pengelolaan lapangan migas Blok Cepu di Jawa Tengah
(Grobogan dan Blora) dan Jawa Timur (Bojonegoro dan Tuban). Paling lambat 90
hari kedepan, penandatanganan kontrak (joint
operation agreement) antara Pertamina dan ExxonMobil harus terealisasi.
Hal-hal prinsip yang disepakati antara lain menyangkut persoalan penyertaan
modal (participating interest) dan
bagi hasil (production sharing)
berdasarkan tingkat harga minyak mentah.[5]
Menyertai
MoU tersebut, ternyata masih menyisakan banyak persoalan. Misal, Komisi VII DPR
menilai Tim Negosiasi itu ilegal karena telah mengambil alih posisi Pertamina
sebagai perunding dengan ExxonMobil dan karenanya tidak mengakui hasil
negosiasinya. Sistem bagi hasil yang akan diberikan ke daerahpun belum jelas,
sementara wilayah Blok Cepu meliputi dua Provinsi yang tentu tidak sama
kandungan migasnya.
Dalam
banyak kasus, praktik investasi migas di daerah sarat dengan masalah. Daerah
migas yang memiliki persoalan selain Blok Cepu tersebut antara lain Garut dan
Indramayu (Jawa Barat), Bojonegoro serta Riau.[6]
Pada intinya, persoalan utamanya adalah menyangkut bagi hasil dari kegiatan
eksplorasi mau pun ekploitasi migas di daerah yang selama ini dirasa kurang
adil. Pada umumnya, rakyat di sekitar daerah penghasil migas dalam kondisi yang
miskin dan terbelakang.[7]
Memperhatikan
paparan singkat di atas, maka sangat menarik untuk melakukan pembahasan
tentang: “Bagaimana pengaruh transformasi global dalam hubungan hukum antara
pemerintah dan kontraktor dalam kontrak production
sharing pada usaha pertambangan minyak dan gas bumi pasca diterbitkannya UU
Migas?”
B. HAK PENGUASAAN NEGARA ATAS
BAHAN TAMBANG MIGAS
Secara
yuridis-konstitusional, kaitan negara dengan bahan tambang migas dapat dibaca
melalui pasal 33 ayat (3) yang berbunyi bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, dan
ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara”.
Dikuasai
oleh negara mempunyai padanan arti Negara Menguasai atau Penguasaan Negara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kata ‘menguasai’ ialah
berkuasa atas (sesuatu), memegang kekuasaan atas (sesuatu), sedangkan
pengertian kata ‘penguasaan’ berarti: proses, cara, perbuatan menguasai atau
mengusahakan. Dengan demikian, pengertian kata penguasaan lebih luas dari kata
menguasai. Oleh karena itu penyebutan yang tepat kekuasaan negara atas sumber
daya alam dalam rangka pasal 33 UUD 1945 adalah Hak Penguasaan Negara (HPN). [8]
Dalam
kaitannya dengan objek kepemilikan, HPN harus dilihat dalam konteks hak dan
kewajiban negara sebagai pemilik (domein)
yang bersifat publiekrechtelijk,
bukan sebagai eigenaar yang bersifat privaaterechtelijk. Pemahaman yang
demikian bermakna bahwa negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana,
pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan dan
pemanfaatan sumber daya alam Nasional.[9]
Penguasaan
bahan galian dalam konteks HPN menjadi dilematis. Di satu sisi HPN tidak dapat
dialihkan dan didelegasikan kepada badan swasta. Di sisi lain, negara tidak
mempunyai kemampuan untuk mengusahakan sendiri bahan galian agar bermanfaat
bagi kemakmuran rakyat. Berhadapan dengan situasi demikian barang tentu perlu
diciptakan suatu piranti hukum yang kondusif untuk membangun relasi dengan sektor swasta sehingga mampu
memberi nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dengan
tidak menyimpang dari amanat pasal 33 UUD 1945.[10]
Sebagaimana
telah disebut di atas, usaha untuk membangun pengusahaan migas tersebut
dilandaskan pada UU Migas. UU ini dimaksudkan sebagai piranti hukum ekonomi
yang dianggap mampu untuk membangun dan memberikan landasan hukum bagi
langkah-langkah pembaruan dan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan migas
dalam kerangka mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat (Menimbang huruf f).
Diharapkan dengan UU Migas ini pengusahaan migas di Indonesia semakin
kompetitif dan mampu bersaing dengan negara lain, sehingga investor asing mau
menanamkan investasinya di Indonesia.
Dalam
hal penguasaan dan pengusahaan migas, pasal 4 ayat (2) UU Migas menetapkan
bahwa penguasaan migas oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai
pemegang kuasa pertambangan (KP). Selanjutnya pada ayat (3)-nya dinyatakan
bahwa pemerintah sebagai pemegang KP membentuk Badan Pelaksana (BP) sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 23 untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha
hulu migas.
C. HUBUNGAN HUKUM DENGAN KONTRAKTOR
DIDASARKAN PADA STATUS PEMERINTAH SEBAGAI PEMEGANG DAN PELAKSANA HPN
Inti
hubungan yang mengandalkan status yang menurut Parson adalah power and priveleges. Kedua hal tersebut
menunjukkan supremasi secara struktural. Di masyarakat tradisional kedua hal
tersebut dapat dicermati di dalam struktur kekerabatan. Hubungan yang
berlangsung disitu bukan karena konsensus subjek individual, tetapi didasarkan
pada kerangka normatif struktur sosial yang ada.[11] Di level negara, kerangka hubungan yang
demikian ini menurut Colin Turpin disebut invested
by law.[12]
Hal senada juga dikemukakan oleh Antony Allot, bahwa pre-eminent cases of category (status relationship) is provide by the
legally recognized, defined and protected status.[13]
Abrar
Saleng, dengan mengutip Friedmann, menyatakan pola hubungan yang didasarkan
status, meski pun hingga kini dipraktikkan negara modern, tetapi hal tersebut
sangat selektif. Hal ini terjadi karena pendasaran ontologis dalam hubungan
status adalah situasi masyarakat abad pertengahan yang sederhana, relegius dan
etatis. Adapun negara modern sudah menunjukkan ciri yang berbeda yakni lebih
demokratis, kompleks dan rasional.[14]
Berdasarkan
konstruksi hukum tersebut, maka Pemerintah dalam statusnya sebagai pemegang HPN
dan pengaturan pengusahaan bahan galian, sifatnya adalah atribusi. Dengan
demikian, seyogyanya hubungan hukum yang timbul berdasarkan kewenangan
atributif lebih didasarkan pada status
pemerintah selaku pemegang hak istimewa. Status yang demikian, kalaupun
didelegasikan atau dimandatkan kepada pihak swasta (kontraktor), kedudukannya
sebagai subordinasi terhadap
pemerintah.[15]
Dengan
argumentasi yang demikian, maka dapat diketengahkan bahwa hubungan hukum antara
pemerintah sebagai pemegang KP dengan kontraktor dalam migas bukanlah suatu
mekanisme pengalihan HPN, tetapi merupakan suatu sarana atau instrumen hukum
yang memungkinkan pihak swasta nasional/asing untuk dapat turut serta di dalam
usaha pertambangan migas. Posisi kontraktor adalah subordinasi dari pemerintah
sebagai yang memiliki wewenang dalam pertambangan migas.
Masalahnya,
dalam UU Migas masalah KP sebagai wujud kedaulatan negara atas migas ternyata
tidak secara tegas diatur sebagaimana halnya di UU No. 8 Tahun 1971 tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina). Bahkan ada
kecenderungan UU Migas bahwa KP setelah diperoleh oleh pemerintah dari negara
berdasarkan pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) ternyata malah oleh Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral diserahkan wewenangnya
kepada pelaku usaha melalui pasal 1 angka 5 dan pasal 12 ayat (3).[16]
Seperti
telah disebutkan di atas MK memutuskan agar pasal 12 ayat (3) tersebut direvisi
oleh pemerintah, karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut membuka
tafsir bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintah telah diserahkan sepenuhnya
kepada kontraktor. Konsep ini berarti UU Migas mereduksi KP yang dimiliki
pemerintah sebagai wujud kedaulatan negara atas tambang migas. Ini juga berarti
menghilangkan kekuasaan konstitusional negara atas bahan tambang migas.
Dengan
keputusan MK yang meminta agar pemerintah merevisi pasal 12 ayat (3) agar
sesuai dengan amanat konstitusi, berarti MK telah mengembalikan kedaulatan
negara (melalui HPN) atas migas sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD
1945. Penjelasan UU Migas menyebutkan bahwa HPN atas migas ini dalam
penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah selaku pemegang KP pada kegiatan
usaha hulu. Oleh karena KP ada pada pemerintah, maka keterlibatan badan usaha
swasta (kontraktor) dalam kegiatan pengusahaan migas adalah subordinasi pemerintah.
Jadi,
kontraktor bukan yang memiliki wewenang atas
migas, tapi diikutsertakan dalam pengusahaan migas. Barang tentu, inilah
konstruksi yuridis yang sebenarnya dikehendaki oleh UUD 1945, yakni monopoli
tapi kompetitif. Atau yang menurut kalimat Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, “MK
mencari jalan tengah antara idealisme versus pragmatisme berkaitan dengan peran
negara versus mekanisme pasar”.[17]
D. HUBUNGAN HUKUM ANTARA PEMERINTAH DAN KONTRAKTOR DALAM
KONTRAK PRODUCTION SHARING PADA USAHA
PERTAMBANGAN MIGAS
Inti hubungan kontraktual
menurut Parsons adalah “free agreement of
individuals”.[18]
Motivasi yang fundamental mengenai beralihnya suatu pola hubungan dari status
ke kontraktual adalah hasrat untuk maju dan lebih rasional sesuai dengan
tuntutan perkembangan ekonomi dan hubungan industrial. Segi-segi hubungan yang
bersifat kontraktual antara pemerintah dengan kontraktor tersebut telah
diperkenalkan oleh UUPMA dalam bentuk kontrak karya.[19]
Kontrak (contract, contracten) acap kali disebut
juga perjanjian. Ade Maman Suherman menyatakan bahwa kontrak itu tidak ada
kaitannya dengan bentuk fisik atau dengan bentuk tertulis. Namun pada umumnya,
jika menyebut kontrak maka orang akan langsung merujuk pada suatu dokumen
tertulis.[20]
Menurut Subekti, pengertian kontrak lebih sempit dari perjanjian karena kontrak
mensyaratkan bentuknya selalu tertulis, sedangkan perjanjian bentuknya selain
tertulis dapat juga dilakukan secara lisan. Apabila demikian pengertian
kontrak, maka hukum kontrak merupakan specis
dari hukum perjanjian.[21]
Salah satu
asas dalam hukum perjanjian adalah bahwa berbagai kaidah hukum yang mengatur
soal kontrak dalam peraturan perundang-undangan merupakan hukum pelengkap (aanvullend recht). Berdasarkan asas
tersebut, maka kaidah hukum perjanjian dapat dipersempit atau diperluas oleh
para pihak yang membuat perjanjian/kontrak.[22]
Hukum kontrak
secara berkelanjutan berkembang terus. Subjek yang tersangkut di dalamnya tidak
terbatas pada manusia individual saja, tetapi lebih luas lagi seperti badan
hukum dan negara. Substansinya pun semakin kompleks. Pernyataan kehendak (promise) dan konsensus saja tidak cukup,
tetapi perlu unsur-unsur lain seperti isi kontrak tidak boleh bertentangan
dengan hukum, moral, kepatutan dan kesusilaan.[23]
Pasal 1320
KUHPerdata mensyaratkan sahnya suatu perjanjian adalah: (a) sepakat mereka yang
mengikatkan diri; (b) kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; (c) suatu hal
tertentu; (d) suatu sebab yang halal. Khusus dalam kontrak kerja sama, selain
isi, juga ditentukan mengenai persyaratan dan hal-hal yang bersifat teknis yang
harus dicantumkan di dalamnya.
Bagaimana
halnya dengan pemerintah yang melakukan kontrak? Dalam rangka mencapai
sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat, pemerintah turut menyelenggarakan
berbagai fungsi di luar fungsi penyelenggaraan pemerintahan, yang menuntut
pemerintah turut serta dalam pergaulan kemasyarakatan atau hubungan (hukum)
sebagai pihak atau subjek yang tidak berbeda dengan subjek hukum keperdataan
pada umumnya. Tindakan itu menurut Bagir Manan,[24]
sebagaimana yang diktuip Abrar Saleng, adalah hubungan (hukum) kesederajatan
yang merupakan hubungan keperdataan antara pemerintah dan orang atau badan
hukum keperdataan. Hubungan keperdataan timbul dari perbuatan keperdataan
misalnya melakukan kontrak dengan subjek hukum lainnya. Sedangkan yang dapat
melakukan hubungan atau perbuatan perdata adalah manusia (naturlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon).
Berdasarkan
pemahaman ini, maka perbuatan hukum keperdataan pemerintah hanya dapat
dilakukan oleh badan pemerintahan yang berstatus badan hukum (rechtspersoon). Salah satu badan
pemerintahan yang berstatus badan hukum adalah negara.[25]
Negara dalam melakukan perbuatan keperdataan (kontrak) dilakukan oleh
pemerintah. Kedudukan pemerintah di sini semacam dengan kedudukan direksi dalam
sebuah perseroan terbatas. Dalam kaitan ini, pemerintah baik secara langsung
(pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota), mau pun
tidak langsung (melalui BUMN, perusahaan negara) dapat mengadakan
perjanjian/kontrak.
Sementara
itu, Mariam Darus Badrulzaman,[26]
sebagaimana dikutip Abrar Saleng, menyatakan bahwa kontrak yang dilakukan oleh
pemerintah diwarnai hukum publik. Kontrak tersebut berorientasi kepada
kepentingan umum dan bersifat memaksa. Di dalam kontrak yang demikian tidak
terdapat kebebasan berkontrak,[27]
karena syarat-syarat yang ditentukan dalam kontrak itu tidak didasarkan kepada
kehendak kedua belah pihak, akan tetapi hanya didasarkan kepada kehendak satu
pihak yaitu pemerintah.
Syarat-syarat
tersebut ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Hubungan antara
pemerintah dan mitranya (lawan kontrak) tidak berada di dalam kedudukan yang
sama (nebengeordnet), tetapi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari mitranya (untergeordnet). Karena itu kontrak ini disebut perjanjian publik.
Sunaryati Hartono memandang hubungan pemerintah dan lawan kontraknya (dalam joint venture) sebagai pihak (partner) sekaligus sebagai pemerintah.
Oleh karena itu, kontrak yang melahirkan joint
venture dimana pemerintah sebagai pihak (partner) tidak dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian perdata (commercial contract) biasa, sebab
pemerintah mempunyai kedudukan rangkap baik sebagai pihak mau pun sebagai
pemerintah.[28]
Akibatnya
terhadap kontrak yang demikian tidak hanya berlaku peraturan hukum perjanjian
dan perseroan Indonesia saja, tetapi juga karena pemerintah telah menyetujui
sejumlah perjanjian bilateral dan multilateral di bidang perekonomian dengan
berbagai negara dan organisasi internasional, maka kontrak dalam rangka PMA itu
berlaku juga perjanjian-perjanjian tersebut dan peraturan hukum Internasional. Karena
itu, kontrak dalam rangka PMA dinamakan perjanjian transnasional atau
perjanjian quasi internasional, contract
sui generis atau economic development
contract.[29]
1. Istilah Dan Pengertian Kontrak Production Sharing
Istilah kontrak bagi hasil merupakan
terjemahan dari production sharing
contract. Kontrak ini dikenal dalam kontrak yang diadakan pada bidang
migas. Istilah kontrak production sharing
(KPS) termaktub pada pasal 1 angka 19 UU Migas, bahwa “Kontrak kerja sama
adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kerja sama lain dalam kegiatan
eksplorasi dan eksplotasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat.” Pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian KPS, tetapi difokuskan pada konsep teoritis
kerja sama di bidang migas. Kerja sama
di bidang migas dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu KPS dan
kontrak-kontrak lainnya.
Dalam Pasal 1 angka (1) PP Nomor 35 tahun 1994
tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas
Bumi disebutkan pengertian KPS (bagi hasil) yaitu: “Kerja sama antara Pertamina
dan Kontrator untuk melaksanakan prinsip pembagian hasil produksi.” Sementara
Soedjono Dirdjosisworo mengartikan KPS adalah “Kerja sama dengan sistem bagi
hasil antara Perusahaan Negara dengan perusahaan asing yang sifatnya kontrak.
Apabila kontrak telah habis maka mesin-mesin yang di bawah pihak asing tetap
tinggal di Indonesia. Kerja sama dalam bentuk ini merupakan suatu kredit luar
negeri di mana pembayarannya dilakukan dengan cara bagi hasil terhadap produksi
yang telah dihasilkan perusahaan”.[30]
Kesamaan dari kedua definisi di atas adalah
bahwa KPS merupakan perjanjian bagi hasil di bidang migas. Dalam UU Migas para
pihaknya adalah Badan Pelaksana dengan kontraktor (Badan Usaha dan/atau Bentuk
Usaha Tetap). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa KPS adalah “Perjanjian
atau kontrak yang dibuat antara Badan Pelaksana dengan kontraktor untuk
melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang migas dengan prinsip
bagi hasil.” Prinsip bagi hasil - dirundingkan antara kedua belah pihak -
merupakan prinsip yang mengatur pembagian hasil yang diperoleh dari eksplorasi
dan eksploitasi migas antara badan pelaksana dengan kontraktor.
KPS mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
1964, yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Prp Tahun 1960
tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971
tentang Pertamina. Timbulnya KPS adalah untuk mengatasi permasalahan
keterbatasan modal, teknologi, dan sumber daya manusia yang dihadapi Pertamina,
khususnya dalam menjalankan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas.[31]
2.
Prosedur Dan Syarat-Syarat Dalam Kontrak Production Sharing
Kegiatan di bidang migas dapat dibagi menjadi 2
(dua) macam, yaitu kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir.[32]
Kegiatan usaha hulu merupakan kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada
kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan usaha hulu dituangkan dalam
KPS. Menurut UU Migas, prosedur yang
ditempuh untuk dapat melakukan usaha
hulu, adalah:
a.
Hanya dapat
dilakukan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap.
b.
Kegiatan usaha
ini didasarkan pada kontrak production
sharing.
c. Tujuan
penuangan berbagai kewajiban dalam persyaratan kontrak adalah untuk mempermudah
pengendalian kegiatan usaha hulu dan didasarkan juga pada peraturan
perundang-undangan lainnya.
d.
Setiap kontrak
kerja sama yang telah ditandatangani kedua belah pihak, salinan kontraknya
dikirimkan kepada DPR RI, khususnya pada komisi
yang membidangi minyak dan gas bumi.
Di dalam KPS memuat tiga
persyaratan pokok, yaitu
a.
kepemilikan
sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b.
pengendalian
manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
c.
modal dan
resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
3.
Bentuk Dan Substansi Kontrak Production Sharing
Bentuk KPS adalah berbentuk tertulis dan kontrak itu dalam
bentuk akta di bawah tangan, yaitu dibuat antara Badan Pelaksana dengan
kontraktor.[33]
Sedangkan substansi yang harus dimuat dalam KPS telah ditentukan dalam Pasal 11
ayat (3) UU Migas, yaitu: 1) penerimaan negara; 2) wilayah kerja dan
pengembaliannya; 3) kewajiban pengeluaran dana; 4) perpindahan kepemilikan
hasil produksi atas minyak dan gas bumi; 5) jangka waktu dan kondisi
perpanjangan kontrak; 6) penyelesaian perselisihan; 7) kewajiban pemasokan
minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri; 8) berakhirnya
kontrak; 9) kewajiban pasca operasi pertambangan; 10) keselamatan dan kesehatan
kerja; 11) pengelolaan lingkungan hidup; 12) pengalihan dan kewajiban; 13)
pelaporan yang diperlukan; 14) rencana pengembangan lapangan; 15) pengutamaan
pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; 16) pengembangan masyarakat
sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat; 17) pengutamaan penggunaan tenaga
kerja Indonesia.
4.
Subjek Dan Objek Dalam Kontrak Production Sharing
KPS hanya diberikan kepada kegiatan usaha hulu.
Kegiatan usaha hulu ini meliputi eksplorasi dan eksploitasi. Sebelum berlakunya
UU Migas, maka para pihak yang terkait dalam KPS adalah Pertaminadan
kontraktor.[34] Kontraktor itu dapat berasal dari kontraktor
dalam negeri dan luar negeri. Dengan berlakunya UU Migas, para pihak yang
terkait dalam KPS, yaitu negara, yang diwakili oleh Badan Pelaksana[35].
Sedangkan pihak kedua atau kontraktornya adalah Badan Usaha dan/atau Bentuk
Usaha Tetap.
BP Migas adalah suatu badan yang dibentuk untuk
melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi.
Fungsi BP Migas ini adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu
agar pengambilan sumber daya alam migas dapat memberikan manfaat dan penerimaan
yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat [Pasal 44
ayat (2) UU Migas dan pasal 10 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2002
tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi].
Menurut
pasal 45 ayat (1) UU Migas beserta penjelasannya disebutkan bahwa BP Migas
merupakan badan hukum milik negara (BHMN) yang berstatus sebagai subjek hukum perdata dan merupakan institusi yang
tidak mencari keuntungan serta dikelola secara profesional. Jadi, meski BP
Migas adalah BHMN, tetapi ia berstatus sebagai subjek hukum perdata. Dalam
posisi sebagai subjek hukum perdata inilah, BP Migas melakukan KPS dengan
kontraktor.
Melihat
konstruksi yuridis tentang BP Migas tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa
pemerintah adalah pemegang KP – sebagai wujud nyata kedaulatan negara atas
sumber daya alam migas. Untuk mengoperasionalkan KP di bidang migas, pemerintah
membentuk institusi keperdataan yang namanya BP Migas.
Dalam
statusnya sebagai subjek hukum perdata yang demikian ini, posisi BP Migas
adalah turunan pemerintah yang
sekaligus mewakili pemerintah untuk
melakukan perbuatan keperdataan (dalam hal ini melakukan KPS) dengan
kontraktor. Jadi, yang menjadi pihak (prinsipal) dari pemerintah adalah BP
Migas (badan pemerintah) yang mengadakan kontrak (menggunakan hukum perdata)
dengan kontraktor sebagai mitra kontraknya. Manakala konstruksinya demikian,
maka menurut asas hukum perdata, kedudukan BP Migas sejajar dengan mitra
kontraknya tersebut (staat op gelijke
voet als een privaat persoon).[36]
Tetapi karena menurut pasal 41 ayat (2) BP Migas memiliki hak kepengawasan
terhadap kontraktor berdasarkan KPS atas pelaksanaan kegiatan usaha hulunya,
maka mau tidak mau posisi BP Migas berkedudukan lebih tinggi.
Bangunan
hukum yang diintrodusir oleh UU Migas ini menunjukkan bahwa posisi pemerintah
dalam KPS bukan sebagai pihak (prinsipal) dalam KPS. Prinsipalnya adalah BP
Migas dengan mitra kontraktornya. Pemerintah sebagai pemegang KP dalam rangka
menyelenggarakan HPN atas migas berdiri di atas para pihak – yaitu BP Migas dan
kontraktor – yang terlibat dalam suatu KPS. Dalam kaitan ini, pemerintah
melakukan pembinaan yang meliputi (a) penyelenggaraan urusan pemerintah di
bidang kegiatan usaha migas, dan (b) menetapkan kebijakan mengenai kegiatan
usaha migas (pasal 39 ayat 1). Kesimpulannya, kegiatan pemerintah dalam usaha
pertambangan migas berada dalam ranah publik, ada pun di ranah perdata
pemerintah diwakili oleh BP Migas.
Tugas BP Migas menurut pasal 44 ayat (3)
UU Migas jo. pasal 11 PP Nomor 42 Tahun 2002 yaitu:
1) memberikan
pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan
penawaran wilayah kerja serta kontrak kerja sama;
2) melaksanakan
penandatanganan kontrak kerja sama;
3) mengkaji dan
menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan
dalam suatu wilayah kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;
4) memberikan
persetujuan rencana pengembangan lapangan, selain yang tercantum pada angka 3 di atas;
5) memberikan
persetujuan rencana kerja dan anggaran;
6) melaksanakan
monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan kontrak kerja
sama;
7) menunjuk
penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan
sebesar-besarnya bagi negara.
Dari ketujuh hal di atas maka tugas
penandatanganan KPS merupakan tugas yang paling penting, karena dengan adanya
penandatanganan kontrak itu akan menimbulkan hak dan kewajiban para pihak.
Adapun pihak kedua dalam KPS adalah
kontraktor (Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha tetap). Pasal 1 angka 17 UU Migas
menyebutkan bahwa Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
menjalankan jenis usaha bersifat tetap atau terus-menerus didirikan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam
wilayah Negara Kesatuan RI. Sedangkan pasal 1 angka 18 menyatakan bahwa Bentuk
Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar
wilayah Negara Kesatuan RI yang melakukan
kegiatan di wilayah Negara Kesatuan RI dan wajib mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku di RI.
Obyek dari KPS adalah kegiatan usaha
migas, terutama kegiatan usaha hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi
geologi untuk menemukan dan memperoleh
perkiraan cadangan migas di wilayah kerja yang ditentukan. Eksploitasi adalah
rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan migas dari wilayah kerja
yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur,
pembangunan sarana pengangkutan, penyimpangan, dan pengolahan untuk pemisahan
dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan, serta kegiatan lain yang
mendukungnya.
5.
Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Production Sharing
Hak kontraktor adalah melakukan kegiatan usaha
hulu berdasarkan KPS, yaitu eksplorasi dan eksploitasi migas. Jangka waktu KPS
tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak ditandatanganinya
dan diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Jangka waktu terdiri
dari jangka waktu eksplorasi dan jangka waktu eksploitasi (pasal 14-pasal 15 UU
Migas).
Dalam kaitaan dengan hak kontraktor ini, pasal 6
ayat (1) PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas menetapkan
bahwa: “Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagai
kontraktor yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha hulu pada wilayah
kerja”. Sebagaimana telah disebutkan di atas, MK telah membatalkan pasal 12 ayat (3) UU Migas karena
konstruksi kata “wewenang” adalah berada pada negara yang tidak bisa dialihkan
kepada kontraktor, maka kata “wewenang” dalam PP tersebut juga ikut batal.
Sedang kewajiban kontraktor seperti diatur dalam
Pasal 31 UU Migas, yaitu:
1) membayar pajak yang merupakan penerimaan negara,
dan
2) membayar bukan pajak yang merupakan penerimaan
negara.
Penerimaan negara yang berupa pajak, terdiri atas: 1)
pajak-pajak; 2) bea masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai; 3) pajak
daerah dan distribusi daerah.
Ada pun penerimaan
Negara bukan pajak, terdiri atas:
1) bagian negara, merupakan bagian produksi yang
diserahkan oleh Badan Usaha atau Usaha Tetap kepada negara sebagai pemilik
sumber daya minyak dan gas bumi;
2) iuran tetap, yaitu iuran yang dibayar oleh Badan
Usaha atau Usaha Tetap kepada negara sebagai pemilik sumber daya migas sesuai
luas wilayah kerja sebagai imbalan atas kesempatan untuk melakukan kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi;
3) iuran eksplorasi dan eksploitasi merupakan iuran
yang dibayarkan oleh Badan Usaha atau Usaha Tetap kepada negara sebagai
kompensasi atas pengambilan kekayaan alam minyak dan gas bumi yang tak
terbarukan;
4) bonus-bonus adalah penerimaan dari bonus-bonus
penandatanganan bonus kompensasi data, bonus produksi, dan bonus-bonus dalam
bentuk apapun yang diperoleh Badan Pelaksana dalam rangka kontrak production
sharing.
Sejak berlakunya otonomi daerah,
Pemerintah Pusat berkewajiban untuk mendistribusikan kembali penerimaan negara
dari hasil minyak dan gas bumi kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
yang mempunyai sumber daya alam tersebut. Besarnya bagian yang diterima oleh
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota telah ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1)
sampai ayat (4) UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yakni:
1)
Minyak Bumi
Bagian Pemerintah Pusat dari minyak bumi
sebanyak 85%; Pemda sebesar 15%. Dari pembagian sebanyak 15% maka bagian dari
Pemerintah Provinsi yang bersangkutan sebanyak 3% (tiga persen); bagian
kabupaten/Kota penghasil sebesar 6%; dan bagian kabupaten/Kota lainnya dalam
Provinsi yang bersangkutan sebesar 6%.
2)
Gas Alam
Bagian Pemerintah Pusat dari gas alam
sebesar 70%; Pemda sebesar 30%. Dari pembagian sebanyak 30%, maka bagian dari
Pemerintah Provinsi yang bersangkutan sebanyak 6% (enam persen); bagian
Kabupaten/Kota penghasil sebesar 12%;dan bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam
Provinsi yang bersangkutan sebesar 12%.
Salim HS[37]
menyatakan bahwa bagian yang diterima oleh daerah sangat kecil. Hal ini
disebabkan biaya yang dikeluarkan untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi sangat
besar dan diperlukan teknologi yang canggih. Biasanya dalam melakukan
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam
tersebut harus mengadakan KPS
dengan perusahaan domestik atau perusahaan asing. Perusahaan asing ini memiliki
modal dan skill yang tinggi, sehingga
mereka juga mempunyai hak untuk mendapat bagian dari KPS. Haknya adalah
menerima bagian yang telah disepakati antara BP Migas dengan kontraktor,
sebagaimana yang tercantum dalam KPS.
Berkenaan dengan kehendak Pemda untuk melakukan
kontrak langsung dengan kontraktor terhadap kekayaan migas di daerahnya, hal
ini secara yuridis tidak dapat dibenarkan. UU Migas sudah menetapkan bahwa
pihak pemerintah yang dapat melakukan kontrak migas adalah BP Migas. Pemda
diajak konsultasi oleh Menteri mengenai wilayah kerja migas yang akan
ditawarkan kepada badan usaha. UU Otonomi Daerah Tahun 2004 pun tidak memberi
hak kepada daerah untuk melakukan KPS dengan pihak lain. UU tersebut
menggariskan bahwa hubungan Pemda dalam migas di daerahnya adalah berupa bagi
hasil. Dalam kaitan ini, MoU Blok Cepu cukup progresif yang memungkinakan
daerah terlibat dalam KPS melalui penanaman modal sebasar 10%.[38]
Pasal 34 PP No. No. 35 Tahun 2004 memang menentukan bahwa: “Sejak disetujuinya
rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dari suatu
wilayah kerja, kontraktor wajib menawarkan participating
interest 10% kepada BUMD”.
Pembagian hasil penjualan minyak dalam MoU Blok
Cepu tersebut lebih menguntungkan pemerintah. Sebab menurut prinsip KPS
generasi terakhir (2002-sekarng) komposisinya adalah 65% untuk Pemerintah dan
35% untuk kontraktor,[39]
sedang dalam MoU tersebut disepakati bahwa 85% untuk pemerintah dan 15% bagi
kontraktor untuk harga minyak di atas 45 dollar AS per barrel. Jika harga
minyak berkisar antara 40-45 dollar AS, pembagian hasil menjadi 80:20. Dan jika
harga minyak kurang dari 35 dollar AS, maka pembagian hasil menjadi 70:30.
6.
Pola Penyelesaian Sengketa
Dalam UU Migas tidak ditemukan pasal yang
mengatur tentang penyelesaian sengketa, jika terjadi sengketa antara kontraktor
dengan BP Migas terhadap substansi KPS.
Pola penyelesaian sengketanya ditentukan dan dituangkan dalam KPS yang dibuat
para pihak.
Meski demikian dapat diketengahkan bahwa apabila
terjadi sengketa antara kontraktor dengan Badan Pelaksana maka hukum yang
digunakan adalah hukum Indonesia jika kontraktornya adalah badan usaha yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan mereka
tunduk kepada hukum Indonesia. Akan tetapi, apabila terjadi sengketa
antara kontraktor asing (Bentuk Usaha Tetap) dengan Badan Pelaksana maka para
pihak menggunakan aturan arbitrase dalam International
Chamber of Commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris,[40]
karena Bentuk Usaha Tetap ini merupakan perusahaan asing yang beroperasi di
Indonesia. Dengan kata lain, bahwa dalam kontrak itu adalah adanya unsur asing
sehingga aturan hukum yang digunakan adalah ICC.
E. PENUTUP
Kehadiran
UU Migas sebagai salah satu UU bidang ekonomi pada tahun 2001 telah membawa
perubahan besar dalam tata penguasaan dan pengusahaan migas di Indonesia yang
mengarah kepada sistem kompetisi dan liberalisasi karena terpengaruh oleh
transformasi global. Akan tetapi, berdasarkan keputusan judicial review tahun 2004, MK mengarahkan UU Migas untuk tetap
dalam koridor UUD 1945 dengan memberikan suatu ‘jalan tengah’ antara monopoli
negara atas migas tapi yang kompetitif. Disarankan agar putusan MK tersebut
secepatnya direspons pemerintah dengan mengamandemen UU Migas Tahun 2001
beserta PP No. 35 Tahun 2004 agar sesuai dengan UUD 1945.
Ada dua
pola hubungan hukum antara pemerintah dengan kontaktor dalam KPS dalam usaha
pertambangan migas. Pertama, hubungan
hukum yang didasarkan pada status pemerintah sebagai pelaksana HPN, sementara
kontraktor adalah subordinasi pemerintah.
Kedua, hubungan hukum yang didasarkan
pada pada hubungan kontraktual.
Dalam KPS
posisi prinsipal dijalankan oleh BP Migas sebagai BHMN yang berstatus sebagai subjek hukum perdata,
yang melakukan hubungan kontrak keperdataan dengan kontraktor. Posisi BP Migas
seharusnya sejajar dengan mitra kontraknya, tetapi karena menurut UU Migas
diberi hak kepengawasan, maka kedudukannya menjadi lebih tinggi. Sementara
posisi pemerintah selaku pemegang KP yang merupakan perwujudan kedaulatan
negara atas migas, adalah berada di atas para pihak itu.
-----
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Saleng (2000)
Hubungan Hukum Antara Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta dalam Berbagai Pola
Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan. Jurnal Hukum, UII, Yogyakarta, No. 13 Vol 7 – 2000
------- (2004) Hukum Pertambangan. UII Press,
Yogyakarta
Ade Maman Suherman (2005)
Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global (Edisi
Revisi). Ghalia Indonesia, Bogor.
Bagir Manan (1996)
Bentuk-bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah
Daerah. Journal of Padjadjaran University,
Bandung, Nomor 3 Vol. 14 – 1996
Boedi Harsono (1997) Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional.
Djambatan, Jakarta.
Colin Turpin (1972) Government Contract. Penguin Book
Ringwood, London.
Deno Kamelus (1998) Fungsi Hukum Terhadap Ekonomi Indonesia.
Disertasi PPS Universitas Airlangga, Surabaya
Indroharto (1994) Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I
(Edisi Baru). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Kurtubi (2004) UU
Kelistrikan dan UU Migas. Kompas, 21
Desember 2004
Mariam Darus Badrulzaman
(1998) Perjanjian dengan Pemerintah (Government Contract). Dalam Peter Mahmud
Marzuki et.al. (Ed.) Hukum Kontrak Indonesia.
ELIPS, Jakarta.
Rudi M. Simamora (2000) Hukum Minyak dan Gas Bumi. Djambatan,
Jakarta.
Salim H.S. (2004) Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di
Indonesia, Buku Kesatu. Sinar Grafika, Jakarta.
Soedjono Dirdjosisworo
(1999) Hukum Perusahaan Mengenai
Penanaman Modal di Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Subekti (1983) Pokok-pokok Hukum Perjanjian. Intermasa,
Jakarta.
------- (1985) Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa,
Jakarta.
Sunaryati Hartono (1974) Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara
Modal Asing dan Modal Indonesia. Alumni, Bandung.
W. Friedmann (1960) Legal Theory. Stevens & Sons,
London.
UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi
UU Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing
UU Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
UU Nomor 44 Prp Th. 1960
tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
UU Nomor 8 Th. 1971
tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
PP Nomor 42 Tahun 2002
tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas.
PP Nomor 35 Tahun 2004
tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Kompas, 15 Juni 2005
Kompas, 22 Desember 2004
Kompas, 23 Desember 2004
Kompas, 25 Juni 2005
Kompas, 27 Juni 2005
*
Anis Ibrahim,SH.MHum. adalah dosen PNS Dpk pada STIH Jenderal Sudirman
Lumajang.
[1] Suasana teologis dari keberadaan sumber
daya alam di Indonesia disandarkan dari pendapat Boedi Harsono (1997) Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah
Nasional. Djambatan, Jakarta, hal. 217.
[2] UU yang lama yang diganti karena diangap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan migas (Menimbang huruf d)
adalah UU No. 44 Prp Th. 1960 tentang Pertambangan Migas, UU No. 15 Th. 1962
tentang Penetapan Perpu No 2 Th. 1962, dan UU No. 8 Th. 1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
[3] Menurut pasal 5 UU Migas, sektor hulu
migas mencakup: a) ekplorasi; dan b) ekploitasi. Sedangkan sektor hilir
mencakup: a) pengolahan; b) pengangkutan; c) penyimpanan; dan d) niaga.
[4] Kompas,
22 Desember 2004, hal 1. MK juga berpendapat bahwa adanya kata ‘paling banyak’
dalam Pasal 22 ayat (1) UU Migas Tahun 2001 bisa disepadankan dengan kata
‘minimal’, dan ini oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sementara
penetapan harga bahan bakar minyak dan gas diserahkan pada mekanisme pasar
sebagaimana dalam pasal 28 ayat (2) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,
sebab penetapan harga migas adalah melalui kewenangan pemerintah. Hingga
tulisan ini dibuat, perubahan atas pasal-pasal ini belum dilakukan.
[5] Kompas,
25 Juni 2005, hal. 13.
[6] Kompas,
15 Juni 2005, hal. 1.
[7] Kompas,
27 Juni 2005, hal. 13.
[8] Abrar Saleng (2004) Hukum Pertambangan. UII Press, Yogyakarta, hal. 21.
[9] Ibid.
hal, 33.
[10] Abrar Saleng (2000) Hubungan Hukum Antara
Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta dalam Berbagai Pola Kontrak Kerja Sama
Pengusahaan Pertambangan. Jurnal Hukum,
UII, Yogyakarta, No. 13 Vol 7 – 2000, hal. 13.
[11] Ibid
mengutip Deno Kamelus (1998) Fungsi
Hukum Terhadap Ekonomi Indonesia. Disertasi PPS Universitas Airlangga,
Surabaya, hal. 326.
[12] Ibid
mengutip Colin Turpin (1972) Government
Contract. Penguin Book Ringwood, London, hal. 23.
[13] Ibid
mengutip Deno Kamelus. Loc.Cit.
[14] W. Friedmann (1960) Legal Theory. Stevens & Sons, London, hal 165.
[15] Abrar Saleng (2000) Op.cit. hal. 14.
[16] Kurtubi (2004) UU Kelistrikan dan UU
Migas. Kompas, 21 Desember 2004, hal.
14.
[17] Kompas,
23 Desember 2004, hal 9.
[18] Abrar Saleng (2000) Loc.cit. mengutip Deno Kamelus. Op.Cit.
hal. 328
[19] Pasal 8 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967
tentang PMA berbunyi: “Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan
pada suatu kerjasama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
[20] Ade Maman Suherman (2005) Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global (Edisi
Revisi). Ghalia Indonesia, Bogor. hal. 18.
[21] Subekti (1983) Pokok-pokok Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta, hal. 1.
[22] Subekti (1985) Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta, hal. 128.
[23] Abrar Saleng (2000) Op.Cit. hal. 16.
[24] Bagir Manan (1996) Bentuk-bentuk
Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Journal of Padjadjaran University,
Bandung, Nomor 3 Vol. 14 – 1996, hal. 24.
[25] Ibid.
hal. 28.
[26] Mariam Darus Badrulzaman (1998)
Perjanjian dengan Pemerintah (Government Contract). Dalam Peter Mahmud Marzuki
et.al. (Ed.) Hukum Kontrak Indonesia.
ELIPS, Jakarta, hal. 159.
[27] Lihat pasal 1338 KUHPerdata.
[28] Sunaryati Hartono (1974) Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara
Modal Asing dan Modal Indonesia. Alumni, Bandung, hal. 28.
[29] Ibid.
hal 29.
[30] Soedjono Dirdjosisworo (1999) Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di
Indonesia. Mandar Maju, Bandung, hal. 231-232.
[31] Rudi M. Simamora (2000) Hukum Minyak dan Gas Bumi. Djambatan,
Jakarta, hal. 93.
[32] Menurut Pasal 1 angka (10) UU Migas,
kegiatan usaha hilir merupakan kegiatan usaha yang berintikan atau kegiatan
yang bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan,
dan/atau niaga). Kegiatan usaha hilir dilaksanakan dengan izin usaha.
[33] Salim H.S. (2004) Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Buku Kesatu.
Sinar Grafika, Jakarta,. hal.44-45.
[34] Ibid.
hal. 45. Menurut UU Migas yang lama (UU No. 44 Prp. Tahun 1960), usaha
pertambangan migas adalah monopoli Pertamina atau pemegang KP satu-satunya. Hal
ini dapat dibaca dari (1) bunyi pasal 3 ayat (2): Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan
Negara semata-mata; dan (2) bunyi Penjelasan umum angka 5 yang menyebutkan
bahwa hanya Perusahaan Negaralah yang dapat menguasai suatu wilayah
pertambangan migas dan hak inipun jauh berlainan dengan konsesi yang lama.
[35] Berdasarkan PP No. 42 Tahun 2002 tentang
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, pada Agustus 2002 telah dibentuk
Badan Pelaksanan Hulu Migas/BP Migas.
[36] Indroharto (1994) Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I (Edisi Baru). Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hal. 18.
[37] Salim H.S. Op.Cit. hal. 48.
[38] Meski Komisi VII DPR tidak mengakui
keberadaan Tim Negosasi tersebut karena tidak sesuai dengan UU, pemerintah perlu menjelaskan argumentasinya bahwa hal
itu bisa dilaksanakan oleh pemerintah, sebab menurut pasal 63 huruf e.
pelaksanaan negosiasi antara Pertamina dan pihak lain dalam rangka kerja sama
eksplorasi dan ekploitasi beralih kepada Menteri. Jadi, dapat dibenarkan jika
pemerintah/Menteri membentuk Tim Negosiasi perpanjang kontrak pengusahaan migas
karena ada kaitannya dengan Pertamina yang selama ini telah melakukan KKS
dengan ExxonMobil
[39] Salim H.S. Op.Cit. hal 42.
[40] Ibid.
hal. 50.