Jurnal HUKUM Vol. XVI, No. 4, Desember 2006 TERAKREDITASI
SK Akreditasi Dirjen Dikti No. 26/DIKTI/KEP/2005 ISSN 1412-2723
KLONASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF OTONOMI
KEILMUAN DAN PENGATURAN HUKUMNYA DI INDONESIA
Oleh: ANIS IBRAHIM
Dosen STIH Jenderal Sudirman Lumajang
Abstract
The certainty
of scientists in the processing of knowledgeis guided by scientific ethics. In
human clonation, scientists are guided by bioethics. It shows that scientific
autonomy is not absulute freedom possessed by scientists, but it must be based
on intellectual values. However ethics is not religion, its frames are ignored
frequantly. So it needs responsive legal frame made participatively, contains
of exact values and alive legal principles in society. By this perspective, the
rule of law about human clonation can aim more fairly, definitely and useful in
the processing of knowledge to achieve and support human existence who has high
values as the God creatures.
Key Words: Human
Clonation. Scientific Autonomy, Legal Regulation
A. PENDAHULUAN
Keberhasilan kloning atau klonasi Dolly – suatu jenis domba gunung Skotlandia – tahun 1997 oleh Ian Wilmut peneliti pada the Roslin Insitute di Edinburg, Skotlandia, yang sebelumnya juga telah didahului dengan keberhasilan klonasi pada makhluk lain yang kemudian disusul dengan berbagai keberhasilan kloning hewan lainnya di tempat yang berbeda, ternyata telah menyulut berbagai kontroversi dan kekhawatiran baik di kalangan masyarakat awam, rohaniawan, politisi dan negarawan mau pun masyarakat ilmuwan sediri.[1] Munculnya kontroversi dan kekhawatiran ini terutama jika klonasi diterapkan pada manusia. Diperkirakan “proyek” klonasi manusia dalam waktu yang tidak terlampau lama niscaya akan dapat dilakukan meski biayanya dipastikan teramat mahal dan membutuhkan sukarelawan yang tidak sedikit jumlahnya.[2]
Istilah klonasi sendiri secara harfiah berasal dari kata ‘klon’ (clone), dari bahasa Greek yang berarti “potongan/pangkasan tanaman”. Secara singkat kloning atau klonasi merupakan metode atau cara penggandaan individu atau reproduksi secara aseksual (tanpa melalui cara seksual). Melalui klonasi akan diperoleh klon, yaitu kelompok individu atau organisma dengan genotip yang identik dan ciri-ciri fisiknya “sama” dengan pendonornya tanpa lewat perbanyakan seksual.[3]
Ada dua macam teknologi kloning yaitu: klonasi reproduksi dan klonasi terapi. Klonasi reproduksi yaitu klonasi yang didasarkan pada pemindahan inti sel yang mengandung genom (sebagai donor) ke dalam sel telur yang inti selnya telah dihilangkan. Paten teknologi klonasi reproduksi ini telah diberikan di Inggris pada Januari 2001. Aslinya teknologi ini dikembangkan untuk mempertahankan varietas unggul hewan ternak.[4] Sedangkan klonasi terapi adalah teknologi rekayasa genetik untuk menangani masalah sakit keturunan pada manusia, yang menjanjikan terapi genetik dengan mengganti gen ‘rusak’ dengan gen ‘sehat’.[5] Klonasi terapi ini sangat menentukan pengembangan lebih lanjut terhadap klonasi reproduksi. Sebab, sekali mendapatkan embrio hasil klonasi terapi, maka klonasi manusia pun akan berhasil dilakukan yaitu hanya dengan mencangkokkan embrio itu kepada rahim seorang perempuan.[6]
Apa yang dikhawatirkan pada tahun 1997 tersebut benar-benar terjadi ketika pada awal April 2002 dr. Severino Antinori dan kawan-kawan dari Italia mengumumkan telah berhasil menumbuhkan janin berumur dua bulan hasil klonasi manusia dalam rahim seorang perempuan.[7] Pasca pengumuman, hingga kini tidak ada keterangan apakah janin tersebut kemudian mampu bertahan hidup dan lahir di dunia ataukah meninggal selama dalam kandungan. Masih banyak misteri di balik keberhasilan tersebut.
Sejak semula usaha klonasi manusia menimbulkan pro-kontra. Bagi yang tidak setuju, yang terbayang adalah kekhawatiran munculnya pabrik manusia yang amat merendahkan martabat manusia. Bukankah penggunaan ilmu terapan sangat bias ketika dipraktikkan dalam tataran realitas? Sedangkan para pendukung kloning melihat ini sebagai kesempatan untuk bisa kembali hidup dengan orang dicintai atau dipuja, tak peduli harus berbeda generasi. Tidak heran bila di Amerika Serikat, para pendukung Elvis Presley berupaya kembali menghidupkan sang raja rock’n roll ini. Sumber DNA (deoxyribo-nucleic acid)-nya bisa diambil dari kutil Presley yang hingga kini masih disimpan salah satu pengagumnya.[8]
Apa pun kontroversi yang melingkupi usaha klonasi manusia, para ahli sebenarnya juga menanti-nanti kehadiran bayi manusia hasil klonasi dengan rasa penasaran yang luar biasa. Sama seperti saat Louise Brown – si bayi tabung pertama dilahirkan – jutaan mata mengikuti proses tumbuh kembangnya. Kalau saat ini gadis itu ternyata normal dan sudah masuk perguruan tinggi, muncul pertanyaan: apakah hal serupa juga bisa terjadi pada anak hasil klonasi?[9]
Barang tentu jika suatu saat klonasi manusia benar-benar berhasil dilakukan jelas akan mengubah cara reproduksi manusia dari semula melalui proses seksual menjadi aseksual. Proses reproduksi yang demikian ini dikhawatirkan akan menghancurkan harkat dan martabat manusia. Hal ini jelas berdampak kepada etika dan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teknologi klonasi bukan hanya urusan ilmu dan teknologi, tetapi juga menyangkut hukum bahkan merambah bisnis.[10]
Di negara-negara yang maju sangat berhati-hati dalam menghadapi usaha klonasi manusia. Peraturan hukum di Spanyol, Jerman, Kanada, Denmark dan Inggris melarang klonasi manusia. Hukum Prancis memberikan harapan kepada setiap orang melakukan eksperimen yang luar biasa. Hukum Amerika Serikat masih melarang klonasi embrio.[11] Sedangkan Jepang memberikan izin klonasi terapi.[12]
Menurut Arief B Witarto,[13] Indonesia walau belum menjadi negara yang memiliki kemampuan klonasi manusia, perlu memiliki peraturan tegas tentang klonasi manusia: baik untuk klonasi reproduksi mau pun klonasi terapi. Tidak mustahil akan banyak pendatang ke Indonesia untuk melakukan riset dan bisnis klonasi manusia jika sejak dini negara tidak membuat ketentuan hukum tentang klonasi manusia.
Pencapaian teknologi rekayasa genetik (bioteknologi) khususnya di bidang klonasi tersebut menunjukkan bahwa garis depan (frontier) ilmu dari waktu ke waktu selalu berubah, bergerak dan berkembang secara dinamis. Gerakan dinamis tersebut disebut sebagai kemajuan (progress).[14] Peringgan (dari “perhinggaan” = frontier) ilmu, baik peringgan luar mau pun peringgan dalamnya, memang didesak mundur terus oleh kemajuan ilmu, tetapi di sebelah sana dari peringgan itu terbentang kawasan gelap gulita yang ananta-besar (infinitely large) luasnya.[15]
Kemajuan yang sangat mengesankan bahkan boleh dibilang revolusioner di bidang rekayasa genetika di akhir abad 20 tersebut oleh Walter Isaacson[16] disebut sebagai abad bioteknologi (the century of biotechnology). Pada dasarnya berkembangnya ilmu yang dinamis pemicunya adalah karena rasa ingin tahu manusia yang melekat erat (inherent) dalam dirinya. Semua manusia niscaya menghadapi lingkungan alam yang sama di dunia. Untuk bisa survive, maka ia harus mengetahui apa yang dihadapi. Berdasarkan ilmu beserta turunannya (teknologi), manusia kemudian mampu menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala-gejala alam yang dihadapinya.[17]
Pertanyaan-pertanyaan terhadap alam yang terbentang dengan segala misterinya itu yang selalu bergelayut dalam diri manusia. Berdasarkan sifat yang demikian, walau kontroversi masih berlangsung, percobaan klonasi manusia ternyata jalan terus dan banyak negara bersedia jadi tuan rumah. Permasalahan mendasar yang kemudian muncul adalah:
1. Apakah ilmu (science) akan dibiarkan mencari jalannya sendiri? Atau dengan rumusan lain, apakah ilmu dibiarkan berjalan dengan otonominya (otonomi keilmuan) sendiri secara mutlak?
2. Berhadapan dengan kemajuan ilmu dan teknologi klonasi manusia yang bisa saja suatu saat akan dikuasi oleh masyarakat ilmuwan Indonesia, bagaimanakah hukum Indonesia seharusnya mengatur dan mengantisipasi masalah ini?
B. KLONASI MANUSIA SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK PENCAPAIAN OTONOMI KEILMUAAN
Ilmu
adalah suatu cara untuk mengetahui. Ini artinya bahwa ilmu bukan merupakan
satu-satunya cara untuk mengetahui. Di luar ilmu ada cara lainnya untuk
mengetahui, yakni yang pada umumnya disebut dengan pengetahuan. Dengan
perspektif yang demikian itu, Liek Wilardjo[18]
menyatakan bahwa ilmu itu merupakan bagian dari pengetahuan. Sebagai bagian
dari pengetahuan, ilmu tidaklah sekedar akumulasi informasi. Lebih dari itu,
ilmu juga membentuk cara berpikir.
Koento Wibisono Siswomihardjo
menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan dan kebenaran
universal yang implisit melekat di dalam dirinya, demikian menurut.[19]
Dengan demikian, ilmu itu niscaya berorientasi dan selalu berusaha untuk
mengungkapkan kebenaran yang universal. Meski demikian, kebenaran yang ingin
dicapai oleh ilmu itu tidaklah mutlak dan tidak langgeng, melainkan bersifat
nisbi, sementara, dan hanya merupakan pendekatan saja. Apa yang dewasa ini
dikukuhi sebagai kebenaran senantiasa merupakan hasil jerih payah
bertahun-tahun mengembangkan dan menyempurnakan kebenaran lama. Kebenaran yang
sekarang ini pun, mungkin suatu waktu nanti akan digantikan dengan suatu
kebenaran yang lebih tinggi lagi.[20]
Untuk
membedakan dengan entitas lainnya, maka ilmu sebagai bagian dari pengetahuan
niscaya memiliki ciri-ciri khas. Ciri khas atau karakteristik pengetahuan
keilmuan ini mencerminkan landasan yang akan digunakan untuk menjelaskan apakah
pengetahuan itu dapat dikatagorikan sebagai ilmu ataukah hanya berhenti pada
pengetahuan saja. Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa ilmu itu nisacaya
memilki tiga landasan, yaitu: (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3)
aksiologi/teleologi.[21]
Berikut ini dipaparkan tiga landasan keilmuan tersebut.
1) Landasan ontologis membahas tentang apa yang ingin diketahui, atau dengan kata lain ontologi merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek yang ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris hal ini dikarenakan objeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia. Berlainan dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya pada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, dan karenanya selalu berhadapan dengan dunia empiris,
2) Landasan epistemologis membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengethuan tentang apa pun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata bernda. Hakikat keilmuan ditentukan oleh oleh cara berpikir yang dilakukan menurut syarat keilmuan, yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran di atas segala-galanya. Oleh karena itu, ilmu barangkali boleh salah, tetapi yang tidak boleh (haram) adalah bohong (menutupi/menghilangkan kebenaran) daalam ilmu.
3) Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Liek Wilardjo menyatakan bahwa aksiologi ialah telaah tentang nilai-nilai, sedangkan teleologi ialah tentang tujuan. ‘Tujuan’ di sini dapat ditafsirkan sebagai kodrat (devine purpose) atau semata-mata sebagai tujuan pemanfaatan pengetahuan. Karena kedua arti ‘tujuan’ ini tidak lepas dari nilai-nilai, maka sebagai landasan suatu pengetahuan aksiologi dan teleologi tak perlu dirisaukan perbedaannya. Landasan aksiologis/teleologis suatu pengetahuan mengacu kepada nilai-nilai yang dipegang dalam menentukan pengembangan, memilih dan menentukan prioritas bidang penelitian, dan menerapkan serta memanfaatkan pengetahuan.[22]
Manusia
adalah makhluk yang serba ingin tahu. Ia merasa tidak akan pernah puas atas
segala yang terhampar di depannya. Dari sebab yang demikian inilah, maka ilmu
menjadi tumbuh subur dan terus menerus berkembang. Bahkan di dunia modern
sekarang ini, ilmu telah mengalami perubahan-perubahan dalam perangainya. Praktik-praktik
komunitas ilmuwan dalam kegiatannya bukan saja dipengaruhi oleh weltanschauung dan perspektif religius
serta politik sang ilmuwan, melainkan juga telah dibayangi ilmu itu sendiri
dalam hakekatnya sebagai kekuasaan.[23]
Meski
Robert G. Olson[24]
menyatakan bahwa ilmu adalah suatu hal yang bebas nilai, sehingga tidak
mempermasalahkan implikasi dari hasil-hasilnya, tetapi Liek Wilardjo[25]
menegaskan bahwa sulit rasanya untuk mengatakan bahwa ilmu itu netral. Sejak
semula ilmu memang tidak netral, melainkan sarat nilai. Bukan saja nilai-nilai
konstitutif yang mempengaruhi ilmuwan beserta proses dan produk kegiatan
keilmuannya, melainkan juga nilai-nilai kontekstual. Melalui nilai-nilai
kontekstual itu barang tentu ilmuwan rentan terhadap pengaruh kepentingan-kepentingan
pihak lain.
Menurut
van Peursen, ilmu itu selalu dalam keadaan berubah dan terus berkembang, dalam
arti lebih trivial yaitu tidak ada
ilmu yang selesai. Para ilmuwan selalu dapat mengembangkan ilmunya lebih
lanjut.[26]
Lebih lanjut van Peursen menyatakan bahwa ada gambaran tradisional terkait
dengan ilmu yang memperlihatkan bentuk limas dan dicirikan oleh kecondongannya
membentuk sistem tertutup. Hal ini dalam arti bahwa ilmu itu memiliki struktur
dan kedudukan sendiri (otonomi keilmuan). Memang terdapat pengaruh dari
lingkungan kepada ilmu (masukan), dan dari ilmu kepada lingkungan (keluaran).
Akan tetapi pendapat tentang ilmu sebagai sistem tertutup ini akan sangat
menekankan bahwa semua pengaruh itu seakan-akan disalurkan lewat pintu-pintu,
sehingga kedudukan khas dan otonomi ilmu tetap utuh.[27]
Meski
ilmu memiliki kemandirian (otonomi), tetapi otonomi yang amat luwes lewat
penyesuaian terus menerus kepada informasi dari konteks dan lewat pembaruan
kreatif. Dengan demikian ilmu tidak pernah merupakan sistem tertutup penuh dan
justru sifat tertutup ini mengacu kepada keharusan untuk selalu membicarakan
sistem itu dan memperluasnya. Jadi dalam arti ini, ilmu itu merupakan sistem
terbuka dan dinamis yang secara tidak langsung selalu merujuk kepada pemakai
insani dan lingkungan hidupnya. Otonomi ilmu bukanlah tujuan, melainkan selalu
berhubungan dengan konteks yang lebih luas, yang bersifat politis, teknis,
sosial, dan susila.[28]
Ini berarti bahwa dalam berolah ilmu itu tidaklah mungkin berjalan secara otonom
lepas dari lingkungannya. Otonomi keilmuan tidak bersifat mutlak, tetapi
otonomi yang relatif yakni niscaya terkait dengan persoalan dan
pertimbangan-pertimbangan baik teknis, politis dan etis.
Pada
ranah perguruan tinggi, menurut pasal 17 ayat (1) PP No. 60 Tahun 1999 tentang
Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa otonomi keilmuan (bersama dengan kebebasan
akademik dan kebebasan mimbar akademik) merupakan kekebasan yang dimiliki
anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab dan
mandiri.[29]
Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa “Dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, perguruan tinggi dan sivitas akademika berpedoman pada otonomi
keilmuan”. Ayat (2)-nya berbunyi: “Perwujudan otonomi keilmuan pada perguruan
tinggi diatur dan dikelola oleh senat perguruan tinggi yang bersangkutan”.
Sedangkan pasal 30 ayat (2) PP No. 60 Tahun 1999 menggariskan bahwa peraturan
pelaksanaan otonomi keilmuan dirumuskan oleh senat perguruan tinggi. Ini menunjukkan bahwa otonomi keilmuan yang
merupakan kebebasan yang dimiliki oleh sivitas akademika menuntut adanya
peraturan normatif yang dijadikan pedoman dalam berolah ilmu.
Persoalan
apakah otonomi keilmuan sebagai suatu bentuk kebebasan dalam berolah ilmu yang
dimiliki ilmuwan itu bersifat mutlak sehingga lepas dari konteks sekelilingnya
atau harus selalu dikaitkan dengan konteksnya ini dapat dipersamakan dengan
memperbincangkan tujuan (aksiologi)
dalam berolah ilmu. Ada dua pandangan dalam hal ini. Pertama, menurut ideal Aristoteles yang
berpendapat bahwa berolah ilmu itu hanya untuk ilmu itu sendiri. Orang berolah
ilmu itu tidak lebih sebagai kegiatan dalam usahanya untuk memenuhi rasa
keingintahuannya, dan tidak digunakan untuk tujuan lainnya. Hal yang demikian
tentu berbeda dengan, kedua, jika
menerima ideal Bacon yang berpandangan bahwa tujuan ilmu adalah mengusahakan
posisi yang lebih menguntungkan bagi manusia dalam menghadapi alam. Ilmu
bertujuan menyodorkan sejumlah alternatif sebagai basis pengambilan keputusan
untuk mengatasi, misalnya: paceklik, menghadapi bencana alam, mengusahakan
redanya pertikaian dan terciptanya perdamaian, dan sebagainya.[30]
Sekarang
ini umat manusia berada dalam era “Big
Science”.[31]
Penelitian dilakukan dengan gencar dan secara berencana serta dana raksasa
dipompakan ke dalam kegiatan ini. Perusahaan-perusahaan besar dan pemerintah
membiayai dan merencanakan berbagai penelitian dan pengembangan ilmu dan
teknologi. Dengan kegiatan keilmuan yang demikian ini maka diperoleh
temuan-temuan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sayangnya,
manusia kemudian terjebak pada sifat kecongkakannya. Manusia menjadi sombong
oleh segala yang telah dicapainya, sehingga tidak jarang dengan ilmunya manusia
berpretensi hendak membentuk dan menguasai alam. Oleh karena itulah tidak
berlebihan jika Francis Bacon mengatakan bahwa ilmu adalah kekuasaan, dan
teknologi adalah tangan dalam menggunakan kekuasaan itu. Siapa yang menguasai
ilmu dan teknologi maka ia akan dapat menguasai dan menundukkan alam secara
otonom dan juga memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain yang tak
memilikinya. Sifat yang demikian ini jelas memutus dimensi transenden dengan
Alkhaliknya, yang pada gilirannya membahayakan lingkungan alan mau pun
lingkungan sosial.[32]
Pembicaraan
tentang keterkaitan ilmu dengan dimensi lainnya, maka mau tidak mau harus
diterima pernyataan bahwa berolah ilmu itu merupakan kegiatan sosial. Berolah
ilmu tidak sekedar menerapkan metode keilmuan untuk memperoleh kebenaran yang
“obyektif”. Sebagai kegiatan sosial, berolah ilmu senantiasa mempunyai tujuan
tertentu, yaitu tujuan kemanusiaan yang lebih besar dan lebih dari sekedar
“ilmu untuk ilmu itu sendiri". Dengan demikian, setiap ilmuwan dengan otonomi
keilmuannya memiliki tanggung jawab etis yang menyiratkan kewajiban untuk mawas
secara kritis, memeriksa motif dan akibat perbuatannya. Jika dalam kegiatan
keilmuan para ilmuwan menghindari segi-segi penilaian subyektif demi mengejar
pengetahuan “obyektif”, maka kegiatan itu sendiri perlu disorot dengan
asas-asas etika[33]
yang berlaku bagi manusia sebagai individu dan sebagai warga masyarakat.
Sayangnya, di era sekarang ini tanggung jawab ilmuwan kepada masyarakat
cenderung mengabaikan tanggung jawab etis.[34]
Harus
diakui bahwa perkembangan ilmu dan teknologi telah banyak menyumbang kemajuan
peradaban manusia. Pencapaian teknologi klonasi pada hewan mamalia – yakni
klonasi tidak saja berhasil dilakukan pada sel embrio tapi juga pada sel dewasa
hewan mamalia sehingga mampu menciptakan duplikatnya – menunjukkan bahwa tidak
ada hambatan lagi untuk menerapkan teknologi klonasi tersebut pada manusia. Keberhasilan para ilmuwan biologi dalam klonasi tersebut merupakan sebuah
pencapaian yang luar biasa dalam sejarah ilmu pengetahuan.
Sebagaimana
lazimnya dalam setiap pencapaian yang dilakukan oleh ilmu dan teknologi, maka
keberhasilan di bidang klonasi yang luar biasa ini sangat mungkin akan
memberikan dampak baik positif mau pun negatif, memberikan harapan sekaligus
ancaman besar bagi kehidupan umat manusia.[35]
Oleh karenanya persoalan yang mendesak untuk dijawab adalah apakah yang menurut
ilmu – dengan otonominya – dan secara teknis bisa dilakukan berarti juga patut
dilakukan? Persoalan ini jelas terkait
dengan persoalan etika. Apakah secara etis penciptaan manusia melalui klonasi
seperti itu tidak melanggar norma yang selama ini telah baku?
Seperti
yang sudah disebutkan di atas, bahwa ilmu itu tidak netral. Ini berarti ilmu
terikat kepada nilai-nilai. Keterikatan ilmu kepada nilai-nilai ini membuatnya
tidak dapat dipisahkan dari etika.[36]
Akan tetapi, T. Jacob meragukan posisi ancangan etika yang akan efektif mampu
mengarahkan perkembangan ilmu, khususnya biologi reproduksi. Untuk itu
diperlukan aturan hukum di bidang kebijakan biologi reproduksi klonasi manusia.[37]
C. KLONASI
MANUSIA DAN PENGATURAN HUKUMNYA DI INDONESIA
Suatu
kemahiran atau ketrampilan menuntut tanggung jawab. Demikian pula bekerja dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi itu menuntut tanggung jawab. Ini berarti bahwa
ilmuwan bertanggung jawab atas otonomi keilmuan yang dimilkinya Penguasaan ilmu
tidak boleh berhenti pada peringkat bertanya: apakah ini, bagaimanan
mekanismenya, bagaimana terjadinya dan variasinya, serta mengapa demikian. Juga
tidak boleh berhenti pada peringkat: apakah dapat dibuat sesuatu dengan itu,
bagaimana memanfaatkannya dan bagimana dapat dijual. Akan tetapi, bagi setiap
ilmuwan dalam berolah ilmu harus naik ke peringkat ketiga: apakah ini baik
ataukah membahayakan manusia dan lingkungan.[38]
Deklarasi
Muktamar IDI ke-23 tahun 1997 di Padang telah mengeluarkan pernyataan yang
salah satunya adalah menolak dilakukannya klonasi pada manusia. Sebab, klonasi
pada manusia merupakan upaya yang mencerminkan penurunan derajat dan martabat
manusia sampai setingkat dengan bakteri, akan menghasilkan manusia yang tidak
memiliki ayah dan ibu mau pun genetik, yang lebih lanjut akan merusak sistem
pranata hukum dan sosial manusia. Sementara tanggapan berbagai kalangan di
Indonesia sangat beragam: ada yang tegas minta klonasi manusia dicegah, ada
yang meminta agar tidak sekedar menghujat akan tetapi harus memberikan jalan ke
luar yang baik, dan ada yang berpendapat tengah-tengah bahwa klonasi manusia
harus diatur agar tetap baik.[39]
Ini berarti membutuhkan etika mau pun aturan legal yang dapat digunakan untuk
mengatur pengembangan dan penelitian tentang klonasi manusia di Indonesia.
Sebagaimana
disebut sebelumnya, ilmuwan yang memiliki kebebasan dalam berolah ilmu niscaya
dibimbing oleh etika. Dalam kaitannya dengan disiplin biologi, para ilmuwan
dibimbing oleh bioetika. Bioetika tentang
bioteknologi, genoteknologi, teknologi reproduksi dan klonasi telah
dibuat dan dengan teratur diperbarui oleh UNESCO, Amerika Serikat, Uni Eropa,
perhimpunan dan lembaga ilmiah, serta lembaga bioetika baik yang sekular,
bersudut pandang agama tertentu atau pun yang multireligius. Apakah bioetika
akan mampu secara efektif menjadi pedoman bagi para ilmuwan biologi dalam
berolah ilmu? T. Jacob meragukan hal itu dan berpendapat bahwa “pengawasan
melalui etika dan agama acapkali diabaikan atau digeser bingkai-bingkainya.
Oleh karena itu diperlukan bingkai hukum yang dapat memberi sanksi-sanksi yang
setimpal”.[40]
Demikian pula Liek Wilardjo menengarai bahwa dimensi etis dalam berolah ilmu
acap kali disingkirkan demi mencapai pengetahuan “obyektif”. Ilmuwan cenderung
meniadakan tanggung jawab moral dan etisnya kepada masyarakat.[41]
Jika
manusia memiliki kecenderungan yang demikian ini, barang tentu tanggung jawab
etis tersebut perlu didampaingi dengan suatu pedoman – yakni hukum – yang
memiliki kekuatan mengikat untuk ditegakkan kepada komunitas ilmuwan dalam
berolah ilmu. Dengan demikian, untuk membingkai tanggung jawab ilmuwan dalam
berolah ilmu barang tentu diperlukan adanya hukum.
Memperbincangkan
kehadiran hukum (dalam arti hukum modern) di tengah perkembangan ilmu, analog
dengan memperbincangan kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat.
Perbincangan yang acap kali muncul adalah: apakah kehadiran hukum sekedar
menjustifikasi kenyataan yang sudah ada lebih dahului (ini berarti hukum selalu
tertinggal di belakang kenyataan) ataukah hukum itu seharusnya memimpin dan
mengarahkan kenyataan? Perbincangan ini menjurus kepada fungsi hukum di
tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Dragan
Milovanovic menyebutkan bahwa hukum memiliki tiga dimensi/fungsi, yakni dimensi
represif, dimensi fasilitatif dan dimensi ideologis. Fungsi represif/menindas
dari hukum dicirikan dengan pemaksaan dari hukum. Fungsi fasilitatif hukum
menunjukkan bahwa hukum memberi jaminan kepastian dan peramalan atas suatu
tindakan. Sedangkan fungsi ideologis memperlihatkan bahwa hukum merupakan suatu
sistem kepercayaan, yang berisi kesepakatan nilai-nilai yang ada pada
masyarakat.[42]
Lain
halnya dengan pendapat Steven Vago[43] yang menyatakan bahwa fungi hukum adalah
sebagai: social control, dispute settlemen, dan social change. Sementara itu, Philip
Selznick[44]
menyatakan bahwa ada dua pandangan tentang kehadiran hukum di tengah
masyarakat, pertama, melihat hukum
sebagai suatu yang harus diterima begitu saja; kedua, yang berpandangan idealis berpendapat bahwa hukum itu mencita-citakan tercapainya
tujuan-tujuan moral. Pandangan yang pertama disebut juga sebagai pandangan
fungsional yang melihat hukum sebagai sarana untuk menyelesaikan problem
praktis. Hal ini berlainan dengan pandangan idealis yang menggantungi hukum
dengan harapan dan janji.
Lebih
lanjut Philip Selznick menjelaskan bahwa apabila kehadiran hukum itu dilihat
secara fungsional, maka ia terpanggil untuk melayani kebutuhan-kebutuhan
elementar bagi kelangsungan kehidupan sosial, seperti: mempertahankan
kedamaian, menyelesaikan sengketa-sengketa, serta meniadakan
penyimpangan-penyimpangan. Singkatnya, hukum mempertahankan ketertiban dan
melakukan kontrol. Hal ini mirip dengan fungsi hukum sebagai social control dan dispute settlement sebagaimana yang diintrodusir oleh Steven Vago.
Pandangan fungsional ini tidak menjadikan isi ketertiban sebagai perhatian
utamanya. Makanya, keadilan bukan merupakan lambang yang harus diwujudkan,
bahkan kadang-kadang dalam keadaan yang ekstrim ia diabaikan. Tetapi bagaimana
pun, ketertiban dan kontrol itu pun sebenarnya dapat juga dilihat sebagai suatu
nilai tersendiri dan diberi penghargaan oleh masyarakat, meski merupakan nilai
yang lemah.
Sementara
itu pandangan idealis melihat hukum sebagai suatu lembaga di dalam masyarakat
yang menegakkan ketertiban dan menjalankan kontrol dengan kualitas tertentu.
Pandangan ini menuntut agar hukum lebih dari sekedar menjalankan kontrol dan
memelihara ketertiban saja, melainkan menginginkan agar hukum mempunyai nilai
yang lebih kaya. Oleh karena hukum itu dalam dirinya mengandung nilai-nilai
tersendiri, maka ia tidak dapat dibeli dengan harga berapa pun juga. Dalam
keadaan demikian, hukum bahkan akan melakukan pembatasan-pembatasan terhadap
dijalankannya kontrol sosial. Semakin masyarakat mengaitkan hukum dengan
nilai-nilai yang harus diwujudkan, dan semakin besar peranan hukum itu dalam
melindungi hak-hak manusia, maka akan semakin jelas pula tegangan yang terjadi
antara hukum dan ketertiban. Dalam konsep hukum yang demikian ini, maka
kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat itu tidak sekedar didorong oleh
karena keharusan sosial, melainkan karena ada tugas-tugas yang harus
dijalankan.
Dari
pandangan demikian itu tampak jelas bahwa Selznick secara sengaja mengaitkan
hukum pada suatu latar belakang susunan masyarakat dan nilai-nilai tertentu,
yaitu demokrasi. Berbicara tentang nilai-nilai, maka barang tentu mulai terbuka
perbedaan dalam pilihan mengenai nilai-nilai apa yang seharusnya dirumuskan dan
kemudian diwujudkan oleh hukum.[45]
Menurut Soerjono Soekanto,[46] hukum merupakan suatu percobaan untuk
menetapkan pola hubungan antar manusia dan merumuskan nilai-nilai yang diterima
oleh masyarakat ke dalam bagan-bagan atau stereotip-stereotip.
Kehadiran
hukum dan penggunaannya untuk tujuan-tujuan tertentu secara sadar dan terencana
sekarang ini sudah tidak dapat dielakkan lagi. Membicarakan kehadiran hukum
beserta penggunaannya untuk tujuan-tujuan tertentu tersebut berarti hukum tidak
hanya sekedar digunakan untuk mengatur perilaku yang sudah ada dalam masyarakat
dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang sudah ada, tetapi lehih dari itu,
hukum menjurus penggunaannya sebagai sarana. Memang harus diakui ada berbagai sarana
untuk mewujudkan dan melaksanakan tujuan-tujuan yang telah dipilih dan
ditentukan. Namun, salah satu yang dianggap cukup memadai dan efektif untuk
mewujudkan tujuan tersebut adalah melalui hukum dengan berbagai bentuk
peraturan perundang-undangan yang ada.[47]
Pemberlakuan
hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan dikarenakan secara teknis hukum
dapat memberikan atau melakukan hal-hal sebagai berikut:[48]
a. Hukum
merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan prediktabilitas
di dalam kehidupan masyarakat;
b.
Hukum
merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi;
c. Hukum
sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik;
d.
Hukum
dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-sumber daya.
Berpijak
dari perspektif yang demikian ini, maka kehadiran hukum tidak bisa dilepaskan
dari penggunaannya oleh negara. Hukum yang dibebani dengan tujuan-tujuan
tertentu tersebut menunjukkan semakin pentingnya peran hukum untuk mewujudkan
kebijakan-kebijakan negara. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa dari sudut
pandang ini menunjukkan bahwa hukum merupakan serangkaian alat untuk
merealisasikan kebijakan negara.[49]
Dalam
kaitan ini Hans Kelsen[50]
menyatakan bahwa peraturan-peraturan hukum yang diundangkan di dalam suatu
negara modern mempunyai aspek ganda, yaitu: (1) bahwa peraturan hukum itu
tertuju kepada warga negara dan mengarahkannya agar berbuat menurut cara-cara
tertentu, (2) bahwa peraturan-peraturan itu sekaligus juga ditujukan kepada
para hakim agar menerapkan sanksi manakala ada warga negara yang melanggar
peraturan itu.
Walau
pun ada optimisme bahwa hukum secara efektif dapat digunakan sebagai sarana
untuk menggerakkan perubahan atau mencapai suatu keadaan tertentu, akan tetapi
ada yang berpendapat bahwa terdapat batas-batas kemampuan yang dimiliki oleh
hukum. Pengaruh hukum terhadap tiap-tiap bidang kehidupan sosial tidaklah sama.
Ada bidang-bidang yang dengan mudah menerima pengaruh perubahan yang
dikehendaki oleh hukum dan ada pula yang tidak mudah dipengaruhinya bahkan
kemungkinan tidak dapat dipengaruhi sama sekali. Satjipto Rahardjo[51]
dengan mengutip pendapat Yehezkel Dror menyebutkan bahwa tindakan masyarakat
yang semata-mata bersifat instrumental seperti dalam kegiatan komersial, dengan
nyata sekali dapat menerima pengaruh dari peraturan-peraturan hukum yang baru.
Sebaliknya, bidang kehidupan sosial yang erat hubungannya dengan kepercayaan
dan lembaga-lembaga yang bersifat mendasar, serta yang berhubungan dengan
tindakan-tindakan yang merupakan ekspresi dari keyakinan akan mengalami
pengaruh yang kecil sekali, seperti kehidupan keluarga dan perkawinan.
Pada
sisi yang sejajar, hukum tidak saja dapat digunakan untuk mempengaruhi dan
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Akan tetapi hukum juga sangat rentan terhadap
pengaruh dari keadaan-keadaan sekelilingnya. Perubahan-perubahan sosial –
termasuk kemajuan ilmu dan teknologi – juga akan berpengaruh terhadap hukum.
Keadaan yang saling pengaruh-mempengaruhi ini acap kali disebut dengan pengaruh
timbal balik antara hukum dan sosial. Perubahan sosial menyebabkan perubahan
hukum, dan sebaliknya.
Dalam
kaitan antara hukum dan teknologi, Steven Vago[52]
dengan mengutip Volti, menyatakan bahwa banyak sosiolog mau pun aliran hukum
yang menegaskan bahwa tidak bisa dipungkiri teknologi merupakan salah satu
kekuatan yang besar dalam perubahan hukum. Menurut Arthur Selwyn Miller[53]
hukum dipengaruhi oleh teknologi setidak-tidaknya melalui tiga cara, yaitu:
The most obvious … is
technology’s contribution to refinement of legal technique by providing
implements to be used in applying law (e.g., fingerprinting or the use of a lie
detector). A second, no less significant, is technology’s effect on the process
of formulating and applying law as a result of the changes technology fosters
in the social and intelectual climate in which the legal process is executed
(e.g., televised hearings). Finally, technology effects the substance of law by
presenting new problems and new conditions with which law must ideal.
Dari
kemungkinan terjadinya pengaruh timbal balik antara hukum dengan perubahan
sosial, termasuk perubahan dan kemajuan di bidang ilmu dan teknologi klonasi
yang sangat mungkin dapat diterapkan kepada manusia, maka pertanyaannya adalah
apakah hukum dibiarkan menunggu untuk menerima informasi-informasi dari klonasi
tersebut dan kemudian menjustifikasikannya dalam rumusan-rumusan pasal hukum
ataukah sejak jauh hari hukum sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk
mengantisipasi dan mengarahkan kemungkinan diterapkannya klonasi manusia di
Indonesia?
Sebagaimana
sudah dipaparkan di depan, Deklarasi Muktamar IDI ke-23 tahun 1997 di Padang
menolak dilakukannya klonasi pada manusia, sebab hal itu merupakan upaya yang
mencerminkan penurunan derajat dan martabat manusia sampai setingkat dengan
bakteri, akan menghasilkan manusia yang tidak memiliki ayah dan ibu mau pun
genetik. Hal ini barang tentu akan merusak sistem pranata hukum dan sosial
manusia.
Sejak
Deklarasi IDI tersebut hingga kini tampaknya belum ada tanda-tanda untuk
mengatur secara komprehensif masalah klonasi manusia di Indonesia. Desakan IDI
yang melarang klonasi manusia tersebut selayaknya segera direspon oleh
kekuasaan yang memiliki wewenang membuat hukum – yakni eksekutif dan legislatif
– untuk menyiapkan hukum yang digunakan sebagai pedoman mengikat dalam berolah
ilmu beserta penerapannya (olah teknologi) di bidang klonasi manusia.
Pandangan
yang demikian ini ingin menunjukkan bahwa hukum niscaya digunakan sebagai
sarana untuk membingkai kebijakan negara – dalam hal ini adalah kebijakan biologis
(biopolicies).[54]
Ini berarti bahwa hukum tidak hanya digunakan untuk mengatur perilaku yang
sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang sudah
ada. Akan tetapi lebih dari itu, hukum secara sadar digunakan oleh negara
sebagai sarana untuk membingkai kebijakan biologis.
Hukum
yang digunakan sebagai sarana untuk membingkai kebijakan negara di bidang
biologis barang tentu tidak serta merta menerima masukan dari IDI yang melarang
teknologi klonasi manusia di Indonesia. Sebagai negara demokrasi, pengaturan
oleh hukum di bidang klonasi sepatutnya mempertimbangkan masukan-masukan dan
aspirasi dari berbagai kalangan, seperti para agamawan, etikawan, kalangan
hukum sendiri, dan sebagainya. Pengaturan hukum klonasi manusia juga harus mengedepankan
nilai-nilai mau pun asas-asas hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Nilai adalah suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang.[55]
Sedangkan asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Hal ini
dikarenakan asas hukum merupakan landasan yang paling luas sekaligus alasan
bagi lahirnya suatu peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.[56]
Dengan
mempertimbangkan berbagai masukan dan aspirasi dari berbagai kalangan ahli yang
kompeten, melakukan pilihan nilai-nilai dan asas-asas hukum, maka diharapkan
hukum yang dibuat dalam rangka mengantisipasi klonasi manusia di Indonesia akan
bercorak responsif. Sebagaimana yang diintrodusir oleh Philippe Nonet dan
Philip Selznick, hukum responsif adalah hukum sebagai fasilitator dari berbagai
respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial.[57]
Bukankah kegiatan berolah ilmu itu menurut Liek Wilardjo merupakan kegiatan dan
proses sosial juga?[58]
Dengan demikian, kebijakan negara dalam pengembangan ilmu dan teknologi,
termasuk pula kebijakan di ranah biologi reproduksi, khususnya klonasi manusia
– haruslah berdimensi partisipasif, berisikan pilihan nilai-nilai yang tepat
dan taat asas dalam rangka mendudukkan
manusia yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi sebagai ciptaan Tuhan
Yang Maha Kuasa.
D.
PENUTUP
Dari
uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa klonasi manusia yang hingga kini
terus diusahakan di kalangan ilmuwan biologi reproduksi menimbulkan pro dan
kontra. Jika klonasi manusia benar-benar berhasil dilakukan, maka hal itu harus
diakui sebagai salah satu bentuk pencapaian ilmu dan teknologi yang luar biasa.
Dan kemungkinan keberhasilan ini hanya dapat dicapai berkat adanya otonomi
keilmuan, yakni kebebasan yang dimiliki oleh ilmuwan dalam berolah ilmu.
Keniscayaan
para ilmuwan dalam berolah ilmu adalah dibimbing oleh etika keilmuan. Dalam hal
klonasi manusia, maka para ilmuwan dibimbing oleh bioetika. Ini menunjukkan
bahwa otonomi keilmuaan bukanlah suatu kebebasan yang mutlak dimiliki oleh
ilmuwan, tetapi ia harus didasarkan pada nilai-nilai kontekstualnya. Namun
etika bahkan agama acapkali diabaikan atau digeser bingkai-bingkainya.
Oleh
karenanya diperlukan bingkai hukum yang responsif yang dibuat secara
partisipatif, berisikan pilihan nilai-nilai yang tepat dan asas-asas hukum yang
hidup dalam masyarakat. Dengan perspektif demikian ini, maka pengaturan hukum
tentang klonasi manusia dapat mengarahkan secara lebih adil, pasti dan
bermanfaat dalam berolah ilmu untuk mencapai dan mendukung keberadaan manusia
yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi sebagai ciptaan Tuhan.
-----
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Salam (1997)
Kloning atau Klonasi dalam Rekayasa Genetika Ditinjau dari Segi Medis. Makalah disampaikan pada Diskusi Panel
Nasional “Implikasi Moral dan Yuridis Rekayasa Genetika Melalui Kloning”.
Diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan PAU
Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 28 Juni 1997
Arief B Witarto (2002)
Kloning Anak Manusia dan Bisnis. Kompas,
21 April 2002.
Arthur Selwyn Miller
(1979) Social Change and Fundamental Law:
America’s Evolving constitution. Greenwood Press, Westport.
Bambang Sunggono (1994) Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Sinar
Grafika, Jakarta.
C.A. Van Peursen (1980)
De Opbouw van de Wetenschap een Inleiding in de Wetenschapsleer. Boom Meppel,
Amsterdam. Diterjemahkan oleh J. Drost (1989) Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Gramedia,
Jakarta.`
Darji Darmodiharjo dan
Shidarta (1995) Pokok-pokok Filsafat
Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Dragan Milovanovic (1994)
A Primer in the Sociology of Law, Second
Edition. Harrow and Heston, New York.
Esmi Warasih Pujirahayu
(1991) Implementasi Kebijaksanaan
Pemerintah Melalui Peraturan Perundang-undangan dalam Perspektif Sosiologis.
Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya.
H.R. Otje Salman dan
Anton F Susanto (2004) Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali). Refika Aditama, Bandung.
Hari Kartiko (1997)
Rekayasa Genetika dan Teknik Kloning, Segi Positif dan Negatifnya bagi
Kehidupan Umat Manusia. Makalah
disampaikan pada Diskusi Panel Nasional “Implikasi Moral dan Yuridis Rekayasa
Genetika Melalui Kloning”. Diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada dan PAU Bioteknologi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 28 Juni 1997.
John Finley Scott (1971) Internalization of Norm – A Sociological Theory of Moral Commitment.
Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Jujun S. Suriasumantri
(1991) Ilmu dalam Perspektif.
Gramedia, Jakarta.
------- (2003) Tentang
Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi. Dalam Jujun S. Suriasumantri (Edt.) Ilmu Dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Koento Wibisono
Siswomihardjo (2003) Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan
Pengembangannya sebagai Pengantar untuk memahami Filsafat Ilmu. Dalam Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Liberty, Yogyakarta.
Kompas, 9 April 2002.
Kompas. 21 April 2002.
L. Wilardjo (2004) Hipotetikalitas. Makalah disampaikan
dalam Studium Generale Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, 9 September 2004.
------- (1990) Realita dan Desiderata. Duta Wacana
University Press, Yogyakarta.
P.S. Atiyah (1995) Law
& Modern Society. Oxford University Press, New York.
Peraturan Pemerintah (PP)
No. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi
Philip Selznick (1969) Law, Society, and Industrial Justice.
Russell Sage Foundation.
Philippe Nonet dan Philip
Selznick (1978) Law and Society in Transition: Toward Responsive Law.
Harper and Row Publishers, New York.
R. Djokomoeljanto (1999)
Refleksi Terhadap Perkembangan Bioteknologi. Makalah disampaikan pada PS-S3 Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang 8 September 1999.
Robert B. Seidman (1972)
Law and Development: A General Model. Law
and Society Review. Th. VI, Februari 1972.
Robert G. Olson (1967) A Short Introduction to Philosophy.
Harcourt Brance, Chicago, San
Francisco, Atlanta.
Satjipto Rahardjo (1984) Hukum dan Masyarakat. Angkasa, Bandung.
------- (1991) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.
------- (2005) Ilmu Hukum dan Garis Depan Sains.
Makalah tidak dipublikasikan sebagai bahan Bacaan bagi mahasiswa program doktor
hukum Undip untuk mk. Ilmu Hukum dan Teori Hukum, Semarang.
Soerjono Soekanto (1975) Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Steven Vago (1997) Law and Society. Prentice Hall, Upper
Saddle River, New Jersey.
T. Jacob (1997) Klonasi:
Biologi, Hukum dan Budaya. Makalah
disampaikan pada Diskusi Panel Nasional “Implikasi Moral dan Yuridis Rekayasa
Genetika Melalui Kloning”. Diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada dan PAU Bioteknologi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 28 Juni 1997.
The Lancet. Volume 349, Number 9053, March 8, 1997.
Walter Isaacson (1999)
The Biotech Century. Time, 22 Maret
1999.
Yehezkel Dror (1973) Law
and Social Chenge. Dalam Vilhelm Aubert (edt.) Sociology of Law. Middlesex Penguin Bokks.
--------------------------------
[1] Abdul Salam (1997) Kloning atau Klonasi
dalam Rekayasa Genetika Ditinjau dari Segi Medis. Makalah disampaikan pada Diskusi Panel Nasional “Implikasi Moral
dan Yuridis Rekayasa Genetika Melalui Kloning”. Diselenggarakan atas kerjasama
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan PAU Bioteknologi Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 28 Juni 1997, hal. 1.
[2] T. Jacob (1997) Klonasi: Biologi, Hukum
dan Budaya. Makalah disampaikan pada
Diskusi Panel Nasional “Implikasi Moral dan Yuridis Rekayasa Genetika Melalui
Kloning”. Diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
dan PAU Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 28 Juni 1997, hal. 4.
Perlu diperhatikan bahwa Wilmut melakukan 277 percobaan klonasi, hanya 29 yang
berhasil menjadi embrio domba yang dapat ditranspalansikan ke rahim domba, dan
hanya satu yang berhasil dilahirkan menjadi domba normal, yang kemudian mati
karena sakit.
[3] Abdul Salam. Op.Cit. hal. 3-4.
[4] Arief B Witarto (2002) Kloning Anak
Manusia dan Bisnis. Kompas, 21 April
2002, hal. 26.
[5] Hari Kartiko (1997) Rekayasa Genetika dan
Teknik Kloning, Segi Positif dan Negatifnya bagi Kehidupan Umat Manusia. Makalah disampaikan pada Diskusi Panel
Nasional “Implikasi Moral dan Yuridis Rekayasa Genetika Melalui Kloning”.
Diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan PAU
Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 28 Juni 1997, hal.5.
[6] Arief B Witarto. Loc.Cit.
[7] Kompas,
9 April 2002, hal. 1.
[8] Kompas.
21 April 2002, hal. 27.
[9] Ibid.
[10] Arief B Witarto. Loc.Cit. menulis bahwa Geron
Corp yang menguasai tiga teknologi utama kloning di pasar saham meraup
keuntungan lima sampai enam kali lebih besar dibanding perusahaan sel ES (embryonic stem) lainnya.
[11] The
Lancet. Volume 349, Number 9053, March 8, 1997, hal. 661.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Satjipto Rahardjo (2005) Ilmu Hukum dan Garis Depan Sains.
Makalah tidak dipublikasikan sebagai
bahan Bacaan bagi mahasiswa program doktor hukum Undip untuk mk. Ilmu Hukum dan
Teori Hukum, Semarang, hal. 1.
[15] L. Wilardjo (2004) Hipotetikalitas. Makalah disampaikan dalam Studium Generale Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 9 September 2004, hal. 2.
[16] Walter Isaacson (1999) The Biotech
Century. Time, 22 Maret 1999, hal.
32.
[17] Jujun S. Suriasumantri (2003) Tentang
Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi. Dalam Jujun S. Suriasumantri (Edt.) Ilmu Dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 18.
[18] Dengan menggunakan model revolusi ilmu
dari Kuhn, dapat diketengahkan bahwa paradigma akan membentuk cara berpikir
dari suatu komunitas keilmuan. Lihat Liek Wilardjo (1990) Realita dan Desiderata. Duta Wacana University Press, Yogyakarta,
hal. 168-169. H.R. Otje Salman dan Anton F Susanto (2004) Teori
Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali). Refika Aditama,
Bandung, hal. 14
[19] Koento Wibisono Siswomihardjo (2003) Ilmu
Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Pengembangannya sebagai
Pengantar untuk memahami Filsafat Ilmu. Dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Liberty, Yogyakarta, hal. 14.
[20] Liek
Wilardjo (1990) Op.cit. hal. 261.
[21] Jujun S. Suriasumantri (1991) Ilmu dalam Perspektif. Gramedia,
Jakarta. hal. 9.
[22] Liek Wilardjo (1990) Op.Cit. hal. 169
[23] Ibid.
hal. 220-221.
[24] Robert G. Olson (1967) A Short Introduction to Philosophy.
Harcourt Brance, Chicago, San
Francisco, Atlanta, hal. 68.
[25] Liek Wilardjo (1990) Op.Cit. hal. 221.
[26] C.A. Van Peursen (1980) De Opbouw van de
Wetenschap een Inleiding in de Wetenschapsleer. Boom Meppel, Amsterdam.
Diterjemahkan oleh J. Drost (1989) Susunan
Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Gramedia, Jakarta, hal.
7.`
[27] Ibid.
hal. 12 dan 63.
[28] Ibid.
hal. 75-77.
[29] Ketentuan yang lama yakni pasal 20 ayat
(1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi
disebutkan bahwa “Otonomi keilmuan
merupakan kegiatan keilmuan yang berpedoman pada norma dan kaidah keilmuan yang
harus ditaati oleh para anggota sivitas akademika”.
[30] Liek Wilardjo (1990) Op.Cit. hal. 134.
[31] Ibid.
hal. 202
[32] Ibid.
hal. 205-206, 218.
[33] Etika adalah cabang filsafat yang memberi
nasihat mengenai tingkah laku manusia yang baik mau pun yang buruk. Darji
Darmodiharjo dan Shidarta (1995) Pokok-pokok
Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hal. 9.
[34] Ibid.
hal 218.
[35] Penggunaan senjata bom atom dan bom
nuklir yang memiliki kemampuan menghancurkan umat manusia secara masal adalah
salah satu contoh dari sisi dampak negatif pencapain ilmu dan teknologi atom.
[37] T. Jacob. Op.Cit. hal. 8.
[38] Ibid.
[39] R. Djokomoeljanto (1999) Refleksi
Terhadap Perkembangan Bioteknologi. Makalah
disampaikan pada PS-S3 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 8
September 1999, hal. 7.
[40] T. Jacob. Loc.Cit.
[41] Liek Wilardjo (1990) Op.Cit. hal. 218.
[42] Dragan Milovanovic (1994) A Primer in the Sociology of Law, Second
Edition. Harrow and Heston, New York, hal. 8-12.
[43] Steven Vago (1997) Law and Society. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey,
hal. 16-18.
[44] Dikutip oleh Satjipto Rahardjo (1984) Hukum dan Masyarakat. Angkasa, Bandung,
hal.79-80, dari Philip Selznick (1969) Law,
Society, and Industrial Justice. Russell Sage Foundation.
[45] Ibid.
hal. 81.
[46] Soerjono Soekanto (1975) Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,
hal. 25. Menurut John Finley Scott
(1971) Internalization of Norm – A Sociological Theory of Moral Commitment.
Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, hal. 83 menyatakan bahwa nilai adalah suatu
pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang (jadi perspektifnya
individual).
[47] Bambang Sunggono (1994) Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 76.
[48] Dikutip Ibid dari Esmi Warasih Pujirahayu (1991) Implementasi Kebijaksanaan Pemerintah Melalui Peraturan Perundang-undangan
dalam Perspektif Sosiologis. Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya,
hal. 54.
[49] Robert B. Seidman (1972) Law and
Development: A General Model. Law and
Society Review. Th. VI, Februari 1972, hal. 311-399; P.S. Atiyah (1995) Law
& Modern Society. Oxford University Press, New York, hal. 126-130.
[50] Yehezkel Dror (1973) Law and Social
Chenge. Dalam Vilhelm Aubert (edt.) Sociology
of Law. Middlesex Penguin Bokks, hal. 92.
[51] Satjipto Rahardjo (1984) Op.Cit. hal 121.
[52] Steven Vago (1997) Op.Cit. hal 289.
[53] Arthur Selwyn Miller (1979) Social Change and Fundamental Law: America’s
Evolving constitution. Greenwood Press, Westport, hal. 14, sebagaimana
dikutip oleh Ibid.
[54] Istilah ini diambil dari makalah T.
Jacob. Loc.Cit.
[55] Satjipto Rahardjo (1984) Op.Cit. hal. 77.
[56] Satjipto Rahardjo (1991) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 45.
[57] Philippe Nonet dan Philip Selznick (1978)
Law and
Society in Transition: Toward Responsive Law. Harper and Row
Publishers, New York, hal. 14.
[58] Liek Wilardjo (1990) Op.Cit. hal. 218.