Rabu, 28 Juli 2010

TELAAH YURIDIS PERKEMBANGAN HUKUM POSITIF TENTANG HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA

 
Jurnal Hukum “ARGUMENTUM”, Vol. 9 No. 2, Juni 2010     
ISSN: 1412-1751

 
TELAAH YURIDIS PERKEMBANGAN HUKUM POSITIF TENTANG HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA
Oleh: Anis Ibrahim*

ABSTRAK
Berbagai instrumen internasional HAM telah diratifikasi oleh Indonesia. Ini menunjukkan bahwa secara legal formal – lewat hukum positif – Indonesia telah mengakui dan mempromosikan HAM di Negara ini secara menggembirakan. Namun, legislasi HAM di tingkat daerah perlu mendapat catatan sendiri karena ditengarai terdapat berbagai Perda yang melanggara HAM.
Kata Kunci:   Instrumen Internasional HAM, Hukum Positif HAM Indonesia.

A.     PENDAHULUAN
Pasca Perang Dunia II hingga kini, perbincangan tentang hak asasi manusia (HAM/human rights) terus mengemuka. HAM yang secara konsepsional berangkat dari alam pemikiran Eropa Barat dan Amerika itu terus menembus dan berinteraksi dengan berbagai lapisan bangsa dan sosial beserta segala pergualatan pemikiran penerimaannya.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta mendefinisikan HAM sebagai hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.[1] Pasal 1 angka 1 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
HAM adalah landasan dari kebebasan, keadilan, dan kedamaian. Oleh karenanya HAM mencakup semua yang dibutuhkan manusia untuk tetap menjadi manusia baik dari segi kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.[2] Jadi, HAM merupakan suatu fundamen yang di atasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun dan merupakan asas-asas yang menjadi bangunan seluruh hukum perundang-undangan.[3]
Menurut Universal Declaration of Human Rights 1948 (DUHAM), HAM itu terdiri atas: 1) hak untuk hidup; 2) hak atas kebebasan dan keamanan pribadi; 3) hak untuk bebas dari penyiksaan; 4) hak partisipasi politik; 5) hak atas harta benda; 6) hak atas perkawinan dan membentuk keluarga; 7) hak untuk bebas mengemukakan pendapat dan pikiran; 8) hak untuk memeluk agama; 9) kebebasan untuk berkumpul dan berapat; 10) hak atas pekerjaan; 11) hak atas kehidupan yang layak; 12) hak atas pendidikan; dan 13) hak untuk menikmati kebudayaan.
Apakah HAM itu bersifat universal sehingga harus diterima dan diserap apa adanya, ataukah disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat sehingga bersifat partikular? Jika bersifat universal, apakah HAM yang berangkat dari alam pemikiran dan budaya Barat yang individual-liberal itu, misalnya, kira-kira cocok dengan masyarakat Timur yang bercorak kekeluargaan? Masalah seperti ini hanya sebagian saja dari banyaknya diskurus yang muncul di sekitar perbincangan HAM.
Partikulasi dari HAM yang versifat universal dan global tersebut tampak dari penormaan HAM dalam konteks Negara Indonesia. Bangsa Indonesia yang bercorak kekeluargaan mengkonstantasi bahwa setiap HAM seseorang akan menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati HAM orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya (Pasal 69 ayat (2) UUHAM Tahun 1999). Di samping merupakan tugas, pemerintah juga wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM (Pasal 71).
Ketika para pendiri negara (founding fathers) merumuskan Konstitusi Negara RI tahun 1945 juga tidak lepas dari diskursus tersebut. Prof. Soepomo memandang HAM sangat identik dengan ideologi individual-liberal yang karenanya tidak cocok dengan sifat kekeluargaan bangsa Indonesia. Sementara M. Yamin berpendapat bahwa tidak ada dasar apa pun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang sedang dirancang.[4]
Walhasil, dari pertentangan pemikiran tersebut akhirnya tercapai kompromi untuk memasukkan beberapa prinsip HAM dalam UUD yang sedang dirancang. Wujudnya adalah tampak pada pasal 27, 28, 29, 31, dan 34 UUD 1945. Dibanding dengan UUDS Tahun 1950 yang memuat 36 pasal (pasal 7 – pasal 43) terkait HAM, tentu saja pemuatan HAM dalam UUD 1945 relatif lebih sedikit.
Ada yang berpendapat bahwa minimnya pengaturan HAM dalam UUD 1945 dikarenakan UUD 1945 disusun lebih dahulu dibanding DUHAM 1948. Namun Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim tidak sependapat. Menurutnya, pada waktu itu telah ada Declaration of Independence dan Declaration des droits de l’homme et du citoyen yang dapat dijadikan bahan penyusunan pasal-pasal HAM yang lengkap. Lewat sejarah reformasi, akhirnya MPR mengamandemen UUD 1945 dengan memasukkan prinsip-prinsip HAM di dalamnya sebagaimana yang terumus dalam Pasal 28 yang terdiri atas 24 ayat dari ayat 24A – 24J.
Agar memiliki tingkat prediktibiltas yang pasti yang sekaligus di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dipertaruhkan, maka prinsip-prinsip HAM sangat perlu untuk dibingkai ke dalam hukum tertulis. Positivisasi prinsip-prinsip HAM yang universal dalam konteks lokalitas negara kebangsaan Indonesia pada dasarnya tidak lepas dari upaya maksimal dari bangsa ini untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain dalam upayanya mempromosikan HAM  di Indonesia tanpa harus kehilangan nilai dan filosofi dasar yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Bagaimana penghormatan, pengakuan, pemajuan, perlindungan, dan perwadahan HAM di Indonesia melalui instrumentasi hukum, berikut ini akan diuraikan secara padat tentang perkembangan hukum positif yang mengatur HAM di Indonesia. Perlu dicatat bahwa perkembangan hukum positif tentang HAM di Indonesia senyatanya tidak bisa menghindar dari instrumen-instrumen hukum internasional.

B.     TIGA GENERASI HAM DALAM INSTRUMEN INTERNASIONAL
Kalau ditelusuri lebih mendalam substansi nilai HAM adalah terkait dan mendasari seluruh gerak perjuangan kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat perumusan DUHAM PBB tahun 1948, primus interpares HAM adalah dignity of man - kemuliaan manusia. Padanan kata Inggris “dignity” dalam bahasa Indonesia adalah derajat atau yang lebih tepat adalah martabat. Martabat adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia. Oleh sebab itu kalau diperhatikan seluruh konvensi dan atau kovenan internasional berikut protokolnya tampak bahwa seluruh hak-hak yang masuk dalam HAM terkait dan dirumuskan dalam kerangka (melindungi, menghormati atau meninggikan) martabat manusia.  Masalah martabat dan inti kemuliaan manusia itu sudah dipikirkan sejak abad ke 12, bahkan lebih subur lagi muli abad ke 15 dan 16 dalam sejarah Eropa. Tumbuh suburnya pemikiran ini terkait dengan absolutisme kekuasaan raja-raja yang menindas dan seweng-wenang.[5]
Secara kronologis dan historis,[6] perkembangan konsep HAM tersebut adalah bermula dari dunia Barat yang dimulai dari abad XVII sampai dengan abad XX.. Pada abad XVII, HAM berasal dari hak kodrat (natural rights) yang mengalir dari hukum kodrat (natural law). Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah kebebasan politik (political freedom) dan hak untuk ada (rights to be). Hal ini dipengaruhi keadaan masa sebelumnya dalam kehidupan bernegara yang  absolut.
Pada abad XVIII, hak kodrat dirasionalkan melalui konsep kontrak sosial dan mebuat hak tersebut menjadi sekular, rational, universal, individual demokratik dan radikal. Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah kebebasan sipil (civil libertis) dan hak untuk memiliki (rights to have). Pada abad XIX masuk pemikiran sosialisme yang lebih memberikan penekanan pada masyarakat (society). Pada masa ini lahir fungsi sosial dan hak-hak individu. Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah hak untuk berpartisipasi (participation rights) dan hak untuk berbuat (rights to do).
Pada abad XX ditandai dengan usaha untuk mengkonversikan hak-hak individu yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (form natural human rights into positive legal rights). Saat itu lahirlah The Universal Declaration of Human Rights. Hak yang menonjol pada abad ini adalah hak-hak sosial ekonomi (sosial economic rights) dan hak untuk mendapatkan sesuatu (rights to receive).
Dengan demikian dapat dilihat bahwa dalam rentang waktu yang tidak singkat tersebut, konsepsi tentang HAM mengalami perkembangan. Ide dasar pengakuan, penghormatan, pemenuhan, dan promosi HAM tidak bisa dilepaskan dari proses panjang demokratisasi di berbagai belahan dunia. Konsep HAM dalam iklim demokrasi lebih berfokus pada hak (rights-based) ketimbang pada kebebasan (liberty-based). Konsep HAM yang demikian ini terjadi sejak adanya pergeseran paradigma dari paham hak kodrat tradisional yang lebih menekankan ide kebebasan kepada paham hak kodrat modern yang lebih menekankan ide hak itu sendiri.[7]
Jika konsep tradisional yang terutama diwakili Aristoteles, manusia dilihat sebagai makhluk sosial, maka konsep modern yang terutama diwakili Hobbes melihat manusia sebagai makhluk yang mencari kepentingan diri sendiri dan kebebasan hanya bermakna sejauh itu untuk memuaskan kepentingan diri sendiri itu. Para pemikir hak kodrat tradisional melihat keutamaan, atau kehidupan yang baik, sebagai tujuan baik individu maupun bersama (komunitas). Sementara, para pemikir modern mengajukan teori hak yang mengutamakan kepemilikan dan pemuasan hasrat untuk kepentingan sendiri.[8]
Pemikiran yang demikian ini berimplikasi pada konsep dan praktik demokrasi. Konsep dan praktik demokrasi yang diajukan oleh paham tradisional lebih melihat hak manusia pada jalin berkelindan kebebasan satu sama lain. Sementara paham modern lebih melihat hak manusia sebagai tuntutan individual tanpa memperhatikan kepentingan yang lain apalagi bersama. Selain itu, secara geneologis, HAM sekarang memasuki fase ketiga yang diwarnai sekaligus merupakan respons terhadap ideologi politik neoliberalisme di satu sisi dan globalisme di sisi lain.[9]
Dengan demikian HAM terkepung di tengah dua ideologi besar kontemporer ini, yang meski tampak mirip, namun tetap distingtif. Sementara itu, konsep HAM konvensional sangat menekankan peran negara dalam penegakannya. Inilah sebuah dilema besar. Di satu sisi ada pandangan yang berpusat pada negara (state-centred), di sisi lain ada upaya penyelesaian alternatif di luar peran negara yang sangat sentral. Pendekatan state-centred di satu sisi menuntut penguatan posisi negara di tengah kepungan ideologi fundamentalisme pasar dan globalisme, di sisi lain berekses pada bahaya kembalinya otoritarianisme yang, secara genealogis, merupakan ciri khas HAM generasi kedua.[10]
Dengan demikian, konsep HAM dalam instrumentasi internasional relative dinamis. Secara konseptual, perkembangan HAM dalam instrument internasional dibagi dalam 3 (tiga) generasi. Generasi I HAM dimulai dari peristiwa penandatanganan naskah DUHAM oleh PBB tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan HAM itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti:
o     Magna Charta dan Bill Of Rights di Inggris (1215) .
o     Declaration of Independence di Amerika Serikat (1776)
o     Declaration of Rights of Man And of The Citizens di Perancis (1789).
o  Buku Franklin D Roosevelt (1882-1945) ‘The Four Freedoms’ yang mengkonstasi empat kebebasan dasar manusia, yaitu: Freedom of Speech, Freedom of Religion, Freedom from Want, Freedom from Fear.
Elemen dasar konsepsi HAM Generasi I meliputi: prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Dengan demikian, konsepsi HAM pada Generasi I ini barang tentu bercorak hak-hak dasar manusia yang bersifat alamiah. Ciri yang menonjol dari HAM pada Generasi I ini adalah meliputi: 1. Hak untuk menentukan nasib sendiri, 2. Hak untuk hidup, 3. Hak untuk tidak dihukum mati, 4. Hak untuk tidak disiksa, 5. Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang, 6. Hak atas peradilan yang adil, 7. Hak-hak bidang politik: a. Hak untuk menyampai-kan pendapat, b. Hak untuk berkumpul dan berserikat, c. Hak untuk mendapat persamaan perlakuan di depan hukum, dan d. Hak untuk memilih dan dipilih.
HAM dalam katagori Generasi II muncul pada tahun 60-an yaitu dimulai dari persitiwa penandatanganan International Couvenant on Civil and Political Rights dan  International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights (ditetapkan Mmlalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966). Konsep HAM tampaknya tidak lagi berkutat pada persoalan integritas pribadi kehidupan manusia, namun melangkah pada persoalan ekonomi dan budaya. Hal ini dapat dilihat pada konsep HAM Generasi II dalam instrumen internasional yang meliputi: 1. Hak untuk bekerja, 2. Hak untuk mendapat upah yang sama, 3. Hak untuk tidak dipaksa bekerja, 4. Hak untuk cuti, 5. Hak atas makanan, 6. Hak atas perumahan, 7. Hak atas kesehatan, 8. Hak atas pendidikan, dan 9. Hak-hak bidang budaya yang terdiri atas: a. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan, b. Hak untuk menikmati kemajuan iptek, dan c. Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta).
Dalam tahap berikutnya, yaitu dimulai tahun 1986 hingga kini, muncul konsepsi baru tentang HAM yang lebih luas dibanding dengan konsep HAM sebelumnya, yaitu mencakup juga pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Munculnya konsep baru tentang HAM di pertengahan tahun 80-an merupakan tanda dimulainya perjalanan konsep HAM Generasi III. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut.
Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Secara ringkas cirri HAM Generasi III ini adalah meliputi: 1. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat, 2. Hak untuk memperoleh perumahan yang layak, dan 3. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.
Jika menyimak perkembangan HAM dari Generasi I hingga Generasi III tersebut akan tampak perbedaan karakteristik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari Semula mempunyai karakteristik dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara (setiap pelanggaran selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government). Pada tahap selanjutnya berkembang dengan karakteristik hubungan kekuasaan dalam konsepsi yang bersifat horizontal.
Perkembangan karakteristik HAM dari yang bercorak vertikal kea rah horisontal disebabkan oleh fenomena-fenomena sebagai berikut:[11] 
   Fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi multi national corporations (mnc’s) atau disebut juga trans-national corporations (tnc’s) di dunia. Hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah antara produsen dan konsumen.
       Munculnya fenomena nations without state seperti bangsa kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia. 
       Fenomena berkembangnya suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens di kalangan diplomat dan pekerja atau pengusaha asing. Contoh, di setiap negara terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbelanja.
   Fenomena berkembangnya corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk.

C.     PERKEMBANGAN HUKUM POSITIF TENTANG HAM DI NDONESIA
Perkembangan legislasi HAM Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan demokratisasi dan pengaruh instrumen HAM internasional. Berbagai instrumen hukum internasional di bidang HAM barang tentu berpengaruh secara signifikan terhadap legislasi HAM di Indonesia. Di samping itu, perkembangan positivisasi HAM di Indonesia juga tidak lepas dari sistem politik/konfigurasi politik yang dianut oleh Negara ini. [12] Untuk memudahkan identifikasi dan uraian instrument HAM Indonesia, maka uraiannya dibagi dalam beberapa era yakni dimulai dari era Orde Lama hingga era Orde Reformsi. Sementara itu, pergulatan pemikiran tentang HAM oleh founding fathers tidak diuraikan di sini.
1.       Era Orde Lama
Melalui UUDS Tahun 1950, di dalamnya dimasukkan sebanyak 36 pasal tentang HAM. Salah satu keistimewaan UUDS ini adalah dalam salah satu pasalnya (pasal 21) dicantumkan tentang hak untuk melakukan demonstrasi dan mogok kerja oleh para buruh sebagai alat memperjuangkan hak-haknya terhadap majikannya. Namun, UUDS ini tidak berumur panjang, sebab pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno kembali memberlakukan UUD 1945.
Di era ini, pelanggaran HAM secara signifikan banyak sekali terjadi. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Penpres No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Penpres tersebut telah membatasi gerak dan kreasi seseorang dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pada era ini ada satu Konvensi HAM yang diratifikasi, yaitu Konvensi Hak Politik Wanita (Convention on the Political Rights of Women), melalui UU No. 68/1958.[13]
2.       Era Orde Baru
Di era Orde Baru (Orba), kondisi penghormatan dan pemajuan HAM boleh dikatakan berjalan di tempat. Bahkan banyak yang menengarai perkembangan HAM di era ini sangat suram. Sebut saja peristiwa petrus (penembakan misterius), penculikan dan penghilangan orang yang “membahayakan” kekuasaan, pembatasan berserikat, pemberangusan pers, dsb. menjadi catatan atas suramnya perkembangan HAM saat itu.
Di tengah suramnya perjalanan HAM, pada waktu itu ada tiga konvensi HAM yang disahkan, yaitu:
a.       Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dengan UU No. 7/1984.
b.       Konvensi Hak Anak dengan Keppres No. 36/1990.
c.       Konvensi Internasional Menentang Apartheid dalam Olahraga dengan Keppres No. 48/1993.
Kuatnya pemerintahan Presiden Soeharto, menyebabkan kritikan dan kecaman terhadap pelanggaran HAM di Indonesia tidak memberikan pengaruh yang besar bagi dirinya. Namun, tahun 1993 rezim ini mulai menunjukkan perubahan sikap terhadap HAM, yaitu dengan membentuk Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM) melalui Keppres No. 50/1993. Perubahan sikap itu disebabkan oleh: 1) pengaruh perubahan konstelasi politik dunia yang ditandai melemahnya komunisme dan semakin kuatnya dominasi Barat, dan 2) isu pelanggaran HAM di Irian Jaya dan Timor Timur yang pada saat itu telah menjadi isu internasional.[14]

3. Era Reformasi
Menjelang berakhirnya abad 20, perbincangan HAM dan demokrasi semakin menguat. Perlindungan dan penegakan HAM di suatu negara menjadi penilaian yang cukup signifikan dalam pergaulan internasional. Sebagai salah satu bagian dari masyarakat Internasional, Indonesia juga tidak bisa terhindar darinya. Positivisasi HAM di Indonesia berseiring dengan perubahan politik dalam negeri dan pengaruh tekanan internasional akibat peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat.
Dengan berakhirnya rezim Orba oleh kekuatan reformasi, maka cukup banyak instrumen hukum dalam penghormatan dan pemajuan HAM yang dibuat. Bukan hanya meratifikasi berbagai konvensi internasioal, namun UUD 1945 juga diamandemen dengan memasukkan prinsip-prinsip HAM yang sifatnya universal. Berbeda dengan pergulatan pemikiran para founding fathers, MPR di era ini mulus-mulus saja memasukkan prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945. Prinsip-prinsip HAM tersebut terumus pada pasal 28A hingga pasal 28J UUD Tahun 1945 (amandemen).
Pada era ini, banyak instrumen HAM internasional yang diratifikasi, seperti:
a.       Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU No. 5/1999.
b.       Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial dengan UU No. 29/1999.
c.     Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan Keppres No. 83/1998.
d.       Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU No. 19/1999.
e.       Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan UU No. 21/1999.
f.        Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan UU No. 20/1999.
g.       Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan UU No. 11/2005.
h.       Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dengan UU No. 12/2005.
Sebagai cermin dari kesungguhan negara Indonesia dalam menghormati, melindungi, dan memajukan HAM bagi warganegaranya, kemudian disahkan sejumlah UU seperti:
a.       UU No. 8/1999 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat;
b.       UU No. 39/1999 tentang HAM;
c.       UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM;
d.   Amandemen berbagai UU untuk diselaraskan dengan prinsip-prinsip HAM, seperti UU Parpol, UU Kekuasaan Kehakiman, pencabutan Penpres No. 11/1963, dsb.
e.   Diluncurkan Rencana Aksi Nasional HAM (RAN-HAM) dalam rangka memberikan jaminan bagi peningkatan pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Secara normatif, hal yang cukup menggembirakan dalam perlindungan HAM di Indonesia adalah diterbitkannya UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Penjelasan Umum UU No. 39/1999, posisi hukum UU tersebut “adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang HAM. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas HAM dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
UU No. 39/1999 secara rinci mengatur tentang: hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Semua hak itu terumus dalam Bab III di bawah judul HAM dan Kebebasan Dasar Manusia (Pasal 9 - Pasal 66).
UU No. 39/1999 juga mengatur tentang Kewajiban Dasar Manusia. Dalam Pasal 69 ayat (2) dirumuskan bahwa: “Setiap HAM seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati HAM orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya”. Bahkan dalam Pasal 71 disebutkan bahwa masalah itu bukan hanya tugas pemerintah saja, namun pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM.
Di samping perkembangan HAM dalam instrumen hukum nasional yang menggembirakan tersebut, dalam catatan ELSAM ada ironi terkait dengan legislasi HAM di tingkat daerah. ELSAM mencatat, otonomi daerah berdasarkan UU No 22/1999 yang telah diganti dengan UU No 32 /2004 ternyata berdampak banyaknya produk hukum daerah, terutama Peraturan Daerah (Perda) dianggap bermasalah.[15] Oleh karena itu, Perda-Perda yang demikian itu perlu ada perhatian tersendiri mengingat Perda merupakan satu kesatuan yang tidak bias dilepaskan dari sistem peraturan perundang-undang Indonesia.
                                                          
D.     PENUTUP
Berdasarkan uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang HAM saat ini telah menunjukkan perkembangan yang relatif baik dan memadai jika dibandingkan dengan masa lalu. Ini berarti penghormatan dan pengakuan HAM secara normatif oleh negara telah memperoleh tempat yang cukup menggembirakan dalam hukum positif di Indonesia. Meski demikian perlu ada perhatian khusus terkait dengan legislasi Perda yang ditengarai ada yang melanggar HAM.
Agar pengaturan HAM dalam hukum positif tersebut tidak sekedar menjadi deretan kalimat indah yang menjanjikan tapi tidak membuktikan, maka menjadi tugas seluruh komponen bangsa dan kewajiban seluruh aparat negara untuk selalu melakukan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM untuk seluruh masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya pada masyarakat di sekitar lingkungannya.
-----

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution (2003) “Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Dan Supremasi Hukum”. Makalah disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003. Lihat http://www.docstoc.com/docs/17584105/Implementasi-Perlindungan-Hak-Asasi-Manusia
Anis Ibrahim (2008) Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum dalam Pembentukan Hukum di Daerah. In-Trans Publishing, Malang.
Arthur J. Dyck (1994) Rethinking Rights and Responsibilities, The Moral Bonds of Community. The Pilgrim Press, Cleveland, Ohio, hlm. 4-5. Sebagaimana dikutip Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik, Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”. Dalam http://www.docstoc.com/ docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
Artidjo Alkostar (2004) Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban. PUSHM-UII, Yogyakarta.
Asri Wijayanti “Sejarah Perkembangan  Hak Asasi Manusia”. Dalam http://www.docstoc.com/docs/17537142/Sejarah-Perkembangan-Hak-Asasi-Manusia.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta (1995) Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Eddie Riyadi (2006) “Hak Asasi Manusia: Sebuah Telusuran Genealogis dan Paradigmatik” Makalah dipresentasikan pada Training Hak Sipol dan Politik Berperspektif Jender dengan materi “Hak Asasi Manusia: Sejarah, Prinsip dan Isinya”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Damar, Lampung, 18 September 2006.
Firdaus (2005) “Implikasi Pengaturan HAM dalam UUD terhadap Ius Constitutum”. Dalam Muladi (Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. Refika Aditama, Bandung.
I Gede Arya B. Wiranata (2005) “Hak Asasi (Anak) dalam Realitas: Quo Vadis?”. Dalam Muladi (Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. Refika Aditama, Bandung.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik, Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”. http://www.docstoc.com/ docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
Moh. Mahfud MD (1998) Politik Hukum Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
Muh. Budairi Idjehar (2003) HAM versus Kapitalisme. Insist Press, Yogyakarta.







* Dr. Anis Ibrahim,SH.,MHum. adalah dosen PNS Dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Lumajang.
[1] Darji Darmodiharjo dan Shidarta (1995) Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[2] Muh. Budairi Idjehar (2003) HAM versus Kapitalisme. Insist Press, Yogyakarta.
[3] I Gede Arya B. Wiranata (2005) “Hak Asasi (Anak) dalam Realitas: Quo Vadis?”. Dalam Muladi (Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. Refika Aditama, Bandung.
[4] Firdaus (2005) “Implikasi Pengaturan HAM dalam UUD terhadap Ius Constitutum”. Dalam Muladi (Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. Refika Aditama, Bandung.
[5] Adnan Buyung Nasution (2003) “Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Dan Supremasi Hukum”. Makalah disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003. Lihat http://www.docstoc.com/docs/17584105/Implementasi-Perlindungan-Hak-Asasi-Manusia
[6] Asri Wijayanti Sejarah Perkembangan  Hak Asasi Manusia”. Lihat http://www.docstoc.com/docs/17537142/Sejarah-Perkembangan-Hak-Asasi-Manusia.
[7] Arthur J. Dyck (1994) Rethinking Rights and Responsibilities, The Moral Bonds of Community. The Pilgrim Press, Cleveland, Ohio, hlm. 4-5. Sebagaimana dikutip Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik, Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”. http://www.docstoc.com/ docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
[8] Ibid.
[9] Eddie Riyadi (2006) “Hak Asasi Manusia: Sebuah Telusuran Genealogis dan Paradigmatik” Makalah dipresentasikan pada Training Hak Sipol dan Politik Berperspektif Jender dengan materi “Hak Asasi Manusia: Sejarah, Prinsip dan Isinya”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Damar, Lampung, 18 September 2006.
[10] Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik, Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”. Dalam http://www.docstoc.com/ docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
[11] Asri Wijayanti. Loc.Cit.
[12] Uraian tentang hubungan antara konfigurasi politik dan legislasi serta produk hukum lihat pada Moh. Mahfud MD (1998) Politik Hukum Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, dan Anis Ibrahim (2008) Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum dalam Pembentukan Hukum di Daerah. In-Trans Publishing, Malang.
[13] Muh. Budairi Idjehar Loc.Cit.
[14] Artidjo Alkostar (2004) Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban. PUSHM-UII, Yogyakarta.
[15] Menurut catatan ELSAM, hingga tahun 2007, setidaknya ada 46 Perda berbasis Syariah yang berlaku, dan belum ada satupun yang ditinjau atau dibatalkan oleh Pemerintah pusat meskipun Perda tersebut melanggar prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi, khususnya prinsip-prinsip kebebasan beragama dan hak-hak perempuan. Misalnya saja, 18 dari 22 kabupaten/kota di propinsi Sulawesi Selatan mengadopsi aspek-aspek Syariah dalam Perda-nya. Kabupaten Bulukumba bahkan punya empat Perda yang menerapkan aspek-aspek Syariah. Kabupaten Bulukumba dan Bone mewajibkan kepala desa, calon-calon PNS, siswa SMP ke atas, dan mereka yang akan menikah untuk dapat membaca tulisan Al-Qur’an. Di kantor Pemda Padang, Sumatera Barat menerapkan aturan berjilbab bagi PNS perempuan. Perda di Kabupaten Pamekasan mewajibkan pemakaian jilbab bagi PNS perempuan serta mengatur penundaan semua kegiatan publik pada saat adzan dikumandangkan.  Kota Tangerang sampai saat ini masih menerapkan Perda kota Tangerang No 8/2005 tentang pelarangan pelacuran dimana sering terjadi salah penangkapan pelanggarnya; Perda Provinsi Sumbar No 11/2001 tentang pemberantasan dan pencegahan maksiat; Perda.Kab Solok No 10/2001 tentang kewajiban membaca Alquran bagi siswa dan pengantin; Perda Kab Solok No 6/2002 tentang pakaian Muslimah; Perda Kab Padang Pariaman No 2/2004 tentang pencegahan, penindakan, dan pemberantasan maksiat; Perda No 6/2005 Enrekang (Sulawesi Selatan) tentang busana Muslimah dan baca tulis Alquran, Perda Gresik No 7/2002 tentang larangan praktik prostitusi; Perda No 6/2000 Kab Garut tentang kesusilaan dan belum lagi Perda-perda yang mengatur tentang pajak/restribusi daerah, yang terkadang bertabrakan dengan peraturan pemerintah pusat mengenai hal itu. Lihat (ELSAM). Loc.Cit.



Minggu, 25 Juli 2010

AGAR KEBIJAKAN TAK BERUJUNG DI PENGADILAN

Oleh: ANIS IBRAHIM

- Direktur Pusat Kajian Konstitusi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang, Lulusan S3 Univ. Diponegoro -

Banyak yang mengira bahwa menjadi pejabat negara/pemerintah itu enak dan terhormat. Oleh karenanya banyak yang berjibaku habis-habisan untuk meraihnya. Padahal, pejabat negara – baik di pusat maupun di daerah – dengan kekuasan yang dimilikinya di samping enak dan terhormat juga sangat rentan terlilit kasus hukum. Lord Acton telah mengingatkan bahwa power tend to corrupt. Korupsi adalah lilitan hukum yang sangat populer saat ini. Menurut hukum Indonesia, manakala perbuatan demikian itu terkuak dan terbukti di pengadilan akan diganjar dengan penestapaan baik berupa pengembalian kerugian uang negara, denda, dan pidana badan..

Biasanya mereka terlilit masalah hukum terkait dengan kebijakan yang diambil pada saat menjabat. Pertanyaan hukumnya adalah: apakah pejabat pembuat kebijakan dapat dipidana? Analog dengan pertanyaan ini adalah kebijakan yang dibuat oleh Bupati dan mantan Bupati Lumajang yang saat ini gencar diberitakan di media massa. Apakah Bupati Lumajang Pak Masdar saat menjadi pjs Bupati Jember yang membuat kebijakan dana bantuan hukum (bankum) dan Pak Fauzi mantan Bupati Lumajang yang membuat kebijakan Kerja Sama Operasional (KSO) pengelolaan pasir dapat dipidanakan?

Terjadi perdebatan hukum untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tergantung perspektif yang digunakan, apakah perspektif hukum administrasi ataukah hukum pidana. Jika ditinjau dari perspektif hukum administrasi, pendapat yang kuat menyatakan bahwa kesalahan dalam pengambilan kebijakan tidak dapat dipidana. Kebijakan masuk dalam ranah administrasi. Oleh karena itulah jika terjadi kesalahan dalam pengambilan kebijakan, maka hukuman terhadap pejabat pembuat kebijakan tidak lebih hanya berupa hukuman administrasi.

Dalam hukum administrasi, pejabat pemerintah tidak sekedar menjalankan undang-undang namun dalam dirinya juga melekat berbagai wewenang. Salah satunya adalah wewenang diskresional (kebebasan dalam menentukan kebijakan) yang diberikan oleh hukum perundang-undangan untuk mengambil tindakan atau keputusan berdasarkan pertimbangan sendiri. Meski ada wewenang yang demikian itu, namun penggunaan “pertimbangan sendiri” secara cermat dan hati-hati dalam setiap diskresi yang akan dilakukan oleh pejabat pemerintah adalah suatu keniscayaan.

Menyitir pendapat Eko Prasojo, esensi wewenang diskresi bagi pejabat pemerintah adalah untuk menghindari kekosongan pemerintahan, menyelamatkan kepentingan negara dan kepentingan umum yang mendesak, serta berbagai pilihan tindakan yang disediakan peraturan perundang-undangan untuk dilakukan. Walaupun ada kebebasan untuk melakukan berbagai keputusan dan tindakan, namun prinsip dasar penggunaan wewenang diskresi oleh pejabat pemerintah adalah tidak sekedar tidak boleh bertentangan dengan berbagai hukum formal yang ada, namun juga tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dengan demikian, para pihak yang menangani kasus kebijakan pemerintah daerah tersebut – baik pengacara, jaksa penuntut umum, dan majelis hakim – patut secara hati-hati dan cermat untuk menelaah kebijakan dana bankum maupun KSO tersebut. Selayaknya kasus tersebut tidak sekedar disisir dari aspek pelanggaran peraturan hukum pidana formal, namun juga dari sisi asas kepatutan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Namun, bercermin dari banyak kasus yang telah diputuskan pengadilan, pertimbangan dari sisi legal formal menjadi hal yang lebih mengedepan di banding aspek non-legal-formal dalam kasus kebijakan yang dianggap terindikasi pidana.

Bagaimana dilihat dalam konteks hukum pidana? Secara yuridis, kebijakan pejabat yang terindikasi pidana itu disebabkan oleh dua hal: pertama dilakukan dengan kesengajaan (dolus/by design) dan kedua mungkin dilakukan tidak dengan sengaja atau ketidakhati-hatian (culpa) yang bisa jadi karena ketidaktahuan atau ada kesalahan informasi yang diperolehnya. Dalam terori hukum pidana, baik perbuatan itu dilakukan sengaja ataupun tidak sengaja, kedua-duanya merupakan perbuatan yang dapat pidana.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini disitir pendapat Eddy OS Hiariej. Menurut ahli hukum pidana dari UGM tersebut, paling tidak ada tiga parameter yang secara kumulatif untuk menjustifikasi suatu kebijakan pejabat pemerintah memasuki ranah hukum pidana. Ketiga parameter tersebut meliputi: (1) pembuatan kebijakan sebagai sarana untuk kejahatan, (2) adanya aji mumpung, dan (3) kebijakan itu melanggar peraturan. Jika ketiga parameter itu ada dalam suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, maka pembuat kebijakan dapat dipidana, dan sebaliknya.

Pertama, jika suatu kebijakan dijadikan sarana untuk melakukan suatu kejahatan. Untuk membuktikan hal ini tentunya harus dibuktikan dengan ajaran kausalitas dalam hukum pidana yakni kejahatan yang terjadi dan disangkakan itu memang merupakan rangkaian dari kebijakan yang dibuat sebelumnya. Barang tentu jika perbuatan kebijakan adalah by design/dolus tentu lebih gampang pembuktiannya. Namun, jika itu culpa harus ditunjukkan secara jelas hubungan kausalitasnya yang tentu lebih sulit pembuktiannya.

Kedua, dalam membuat kebijakan ada aji mumpung (moral hazard). Yang dipersoalkan dalam hukum pidana tidak sekedar kesalahan yuridis, namun juga adanya aji mumpung dalam melakukan suatu perbuatan. Aji mumpung ini terkait dengan sikap batin seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. Oleh karena aji mumpung ini merupakan sikap batin barang tentu tidak mudah untuk dibuktikan. Tidak mudah dibuktikan bukan berarti tidak dapat dibuktikan. Hanya saja pembuktiannya relatif sulit sebab ia tidak tersurat tapi tersirat dan amat samar antara ada dan tiada.

Ketiga, kebijakan itu melanggar peraturan. Pengertian peraturan di sini cukup luas tidak sekedar melanggar undang-undang namun juga meliputi berbagai jenis peraturan perundang-undangan lain termasuk peraturan yang dibuat oleh pejabat publik maupun lembaga negara, misal peraturan pemerintah, peraturan menteri, dsb.. Acapkali pelanggaran peraturan inilah yang menjadi aspek yang paling disorot dalam masalah kebijakan yang berdimensi pidana.

Dari paparan singkat tersebut, barang tentu jawaban atas kebijakan dana bankum Pak Masdar maupun kebijakan KSO Pak Fauzi tidaklah tunggal. Tergantung sudat pandang mana yang dipakai. Ujungnya, sangat sulit menduga bagaimana isi putusan hukum atas kasus tersebut. Masyarakat hanya bisa menganalisis dan menebak-nebak saja. Sementara pengacara harus bisa membuktikan bahwa perbuatan yang dituduhkan pada kliennya bukan merupakan delik karena tidak terpenuhinya tiga parameter di atas, dan Jaksa Penuntut Umum tentu berusaha sebaliknya. Namun akhirnya, pengadilanlah yang nantinya akan memutuskan.

Terlepas dari hal itu, pelajaran terpenting bagi pejabat publik di daerah ke depan adalah untuk selalu berhati-hati dan cermat dalam menentukan langkah pengambilan kebijakan. Rujukan legal formal yang jelas dan pasti haruslah pertama kali dijadikan sandaran dalam setiap kebijakan. Jika tidak ada peraturannya, jangalah sampai membuat kebijakan, sebab hal itu rawan tersandung masalah pidana Sebab, pada dasarnya praktek hukum di Indonesia masih belum juga beranjak.dari arus utama yang normatif-legalistik. (*)

Dimuat di Jawa Pos Radar Jember, tanggal 23 Juli 2010.