Jurnal Hukum
“ARGUMENTUM”, Vol. 9 No. 2, Juni 2010
ISSN: 1412-1751
TELAAH
YURIDIS PERKEMBANGAN HUKUM POSITIF TENTANG HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA
ABSTRAK
Berbagai
instrumen internasional HAM telah diratifikasi oleh Indonesia. Ini menunjukkan
bahwa secara legal formal – lewat hukum positif – Indonesia telah mengakui dan
mempromosikan HAM di Negara ini secara menggembirakan. Namun, legislasi HAM di
tingkat daerah perlu mendapat catatan sendiri karena ditengarai terdapat
berbagai Perda yang melanggara HAM.
Kata
Kunci: Instrumen Internasional HAM, Hukum Positif HAM Indonesia.
A. PENDAHULUAN
Pasca Perang Dunia II
hingga kini, perbincangan tentang hak asasi manusia (HAM/human rights)
terus mengemuka. HAM yang secara konsepsional berangkat dari alam pemikiran
Eropa Barat dan Amerika itu terus menembus dan berinteraksi dengan berbagai
lapisan bangsa dan sosial beserta segala pergualatan pemikiran penerimaannya.
Darji Darmodiharjo dan
Shidarta mendefinisikan HAM sebagai hak dasar atau hak pokok yang dibawa
manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 1 angka 1 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan bahwa HAM
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
HAM adalah landasan
dari kebebasan, keadilan, dan kedamaian. Oleh karenanya HAM mencakup semua yang
dibutuhkan manusia untuk tetap menjadi manusia baik dari segi kehidupan sipil,
politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Jadi, HAM merupakan suatu fundamen yang di atasnya seluruh organisasi hidup
bersama harus dibangun dan merupakan asas-asas yang menjadi bangunan seluruh
hukum perundang-undangan.
Menurut Universal
Declaration of Human Rights 1948 (DUHAM), HAM itu terdiri atas: 1) hak
untuk hidup; 2) hak atas kebebasan dan keamanan pribadi; 3) hak untuk bebas
dari penyiksaan; 4) hak partisipasi politik; 5) hak atas harta benda; 6) hak
atas perkawinan dan membentuk keluarga; 7) hak untuk bebas mengemukakan
pendapat dan pikiran; 8) hak untuk memeluk agama; 9) kebebasan untuk berkumpul
dan berapat; 10) hak atas pekerjaan; 11) hak atas kehidupan yang layak; 12) hak
atas pendidikan; dan 13) hak untuk menikmati kebudayaan.
Apakah HAM itu bersifat
universal sehingga harus diterima dan diserap apa adanya, ataukah disesuaikan
dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat sehingga bersifat partikular?
Jika bersifat universal, apakah HAM yang berangkat dari alam pemikiran dan
budaya Barat yang individual-liberal itu, misalnya, kira-kira cocok dengan
masyarakat Timur yang bercorak kekeluargaan? Masalah seperti ini hanya sebagian
saja dari banyaknya diskurus yang muncul di sekitar perbincangan HAM.
Partikulasi dari HAM
yang versifat universal dan global tersebut tampak dari penormaan HAM dalam
konteks Negara Indonesia. Bangsa Indonesia yang bercorak kekeluargaan
mengkonstantasi bahwa setiap HAM seseorang akan menimbulkan kewajiban dasar dan
tanggung jawab untuk menghormati HAM orang lain secara timbal balik serta
menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya
(Pasal 69 ayat (2) UUHAM Tahun 1999). Di samping merupakan tugas, pemerintah
juga wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan
memajukan HAM (Pasal 71).
Ketika para pendiri
negara (founding fathers) merumuskan Konstitusi Negara RI tahun 1945
juga tidak lepas dari diskursus tersebut. Prof. Soepomo memandang HAM sangat
identik dengan ideologi individual-liberal yang karenanya tidak cocok dengan
sifat kekeluargaan bangsa Indonesia. Sementara M. Yamin berpendapat bahwa tidak
ada dasar apa pun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM
dalam UUD yang sedang dirancang.
Walhasil, dari
pertentangan pemikiran tersebut akhirnya tercapai kompromi untuk memasukkan
beberapa prinsip HAM dalam UUD yang sedang dirancang. Wujudnya adalah tampak
pada pasal 27, 28, 29, 31, dan 34 UUD 1945. Dibanding dengan UUDS Tahun 1950
yang memuat 36 pasal (pasal 7 – pasal 43) terkait HAM, tentu saja pemuatan HAM
dalam UUD 1945 relatif lebih sedikit.
Ada yang berpendapat
bahwa minimnya pengaturan HAM dalam UUD 1945 dikarenakan UUD 1945 disusun lebih
dahulu dibanding DUHAM 1948. Namun Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim tidak
sependapat. Menurutnya, pada waktu itu telah ada Declaration of Independence
dan Declaration des droits de l’homme et du citoyen yang dapat dijadikan
bahan penyusunan pasal-pasal HAM yang lengkap. Lewat sejarah reformasi,
akhirnya MPR mengamandemen UUD 1945 dengan memasukkan prinsip-prinsip HAM di
dalamnya sebagaimana yang terumus dalam Pasal 28 yang terdiri atas 24 ayat dari
ayat 24A – 24J.
Agar memiliki tingkat
prediktibiltas yang pasti yang sekaligus di dalamnya mengandung nilai-nilai
yang dipertaruhkan, maka prinsip-prinsip HAM sangat perlu untuk dibingkai ke
dalam hukum tertulis. Positivisasi prinsip-prinsip HAM yang universal dalam
konteks lokalitas negara kebangsaan Indonesia pada dasarnya tidak lepas dari
upaya maksimal dari bangsa ini untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain
dalam upayanya mempromosikan HAM di Indonesia tanpa harus kehilangan
nilai dan filosofi dasar yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Bagaimana penghormatan,
pengakuan, pemajuan, perlindungan, dan perwadahan HAM di Indonesia melalui
instrumentasi hukum, berikut ini akan diuraikan secara padat tentang
perkembangan hukum positif yang mengatur HAM di Indonesia. Perlu dicatat bahwa
perkembangan hukum positif tentang HAM di Indonesia senyatanya tidak bisa
menghindar dari instrumen-instrumen hukum internasional.
B. TIGA GENERASI HAM DALAM
INSTRUMEN INTERNASIONAL
Kalau ditelusuri lebih
mendalam substansi nilai HAM adalah terkait dan mendasari seluruh gerak
perjuangan kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat perumusan DUHAM PBB
tahun 1948, primus interpares HAM adalah dignity of man -
kemuliaan manusia. Padanan kata Inggris “dignity” dalam bahasa Indonesia
adalah derajat atau yang lebih tepat adalah martabat. Martabat
adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia. Oleh sebab itu kalau
diperhatikan seluruh konvensi dan atau kovenan internasional berikut
protokolnya tampak bahwa seluruh hak-hak yang masuk dalam HAM terkait dan
dirumuskan dalam kerangka (melindungi, menghormati atau meninggikan) martabat
manusia. Masalah martabat dan inti kemuliaan manusia itu sudah dipikirkan
sejak abad ke 12, bahkan lebih subur lagi muli abad ke 15 dan 16 dalam sejarah
Eropa. Tumbuh suburnya pemikiran ini terkait dengan absolutisme kekuasaan
raja-raja yang menindas dan seweng-wenang.
Secara kronologis dan
historis,
perkembangan konsep HAM tersebut adalah bermula dari dunia Barat yang dimulai
dari abad XVII sampai dengan abad XX.. Pada abad XVII, HAM berasal dari hak
kodrat (natural rights) yang mengalir dari hukum kodrat (natural law).
Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah kebebasan politik (political freedom)
dan hak untuk ada (rights to be). Hal ini dipengaruhi keadaan masa
sebelumnya dalam kehidupan bernegara yang absolut.
Pada abad XVIII, hak
kodrat dirasionalkan melalui konsep kontrak sosial dan mebuat hak tersebut
menjadi sekular, rational, universal, individual demokratik dan radikal. Dua
hak yang sangat ditonjolkan adalah kebebasan sipil (civil libertis) dan
hak untuk memiliki (rights to have). Pada abad XIX masuk pemikiran
sosialisme yang lebih memberikan penekanan pada masyarakat (society).
Pada masa ini lahir fungsi sosial dan hak-hak individu. Dua hak yang sangat
ditonjolkan adalah hak untuk berpartisipasi (participation rights) dan
hak untuk berbuat (rights to do).
Pada abad XX ditandai
dengan usaha untuk mengkonversikan hak-hak individu yang sifatnya kodrat
menjadi hak-hak hukum (form natural human rights into positive legal rights).
Saat itu lahirlah The Universal Declaration of Human Rights. Hak yang menonjol
pada abad ini adalah hak-hak sosial ekonomi (sosial economic rights) dan
hak untuk mendapatkan sesuatu (rights to receive).
Dengan demikian dapat
dilihat bahwa dalam rentang waktu yang tidak singkat tersebut, konsepsi tentang
HAM mengalami perkembangan. Ide dasar pengakuan, penghormatan, pemenuhan, dan
promosi HAM tidak bisa dilepaskan dari proses panjang demokratisasi di berbagai
belahan dunia. Konsep HAM dalam iklim demokrasi lebih berfokus pada hak (rights-based)
ketimbang pada kebebasan (liberty-based). Konsep HAM yang demikian ini
terjadi sejak adanya pergeseran paradigma dari paham hak kodrat tradisional
yang lebih menekankan ide kebebasan kepada paham hak kodrat modern yang lebih
menekankan ide hak itu sendiri.
Jika konsep tradisional
yang terutama diwakili Aristoteles, manusia dilihat sebagai makhluk sosial,
maka konsep modern yang terutama diwakili Hobbes melihat manusia sebagai
makhluk yang mencari kepentingan diri sendiri dan kebebasan hanya bermakna
sejauh itu untuk memuaskan kepentingan diri sendiri itu. Para pemikir hak
kodrat tradisional melihat keutamaan, atau kehidupan yang baik, sebagai tujuan
baik individu maupun bersama (komunitas). Sementara, para pemikir modern
mengajukan teori hak yang mengutamakan kepemilikan dan pemuasan hasrat untuk
kepentingan sendiri.
Pemikiran yang demikian
ini berimplikasi pada konsep dan praktik demokrasi. Konsep dan praktik
demokrasi yang diajukan oleh paham tradisional lebih melihat hak manusia pada
jalin berkelindan kebebasan satu sama lain. Sementara paham modern lebih
melihat hak manusia sebagai tuntutan individual tanpa memperhatikan kepentingan
yang lain apalagi bersama. Selain itu, secara geneologis, HAM sekarang memasuki
fase ketiga yang diwarnai sekaligus merupakan respons terhadap ideologi politik
neoliberalisme di satu sisi dan globalisme di sisi lain.
Dengan demikian HAM
terkepung di tengah dua ideologi besar kontemporer ini, yang meski tampak
mirip, namun tetap distingtif. Sementara itu, konsep HAM konvensional sangat
menekankan peran negara dalam penegakannya. Inilah sebuah dilema besar. Di satu
sisi ada pandangan yang berpusat pada negara (state-centred), di sisi
lain ada upaya penyelesaian alternatif di luar peran negara yang sangat
sentral. Pendekatan state-centred di satu sisi menuntut penguatan posisi
negara di tengah kepungan ideologi fundamentalisme pasar dan globalisme, di
sisi lain berekses pada bahaya kembalinya otoritarianisme yang, secara
genealogis, merupakan ciri khas HAM generasi kedua.
Dengan demikian, konsep
HAM dalam instrumentasi internasional relative dinamis. Secara konseptual,
perkembangan HAM dalam instrument internasional dibagi dalam 3 (tiga) generasi.
Generasi I HAM dimulai dari peristiwa penandatanganan naskah DUHAM oleh
PBB tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan HAM itu tercantum dalam
naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti:
o
Magna Charta dan Bill Of Rights di Inggris (1215) .
o
Declaration of Independence di Amerika Serikat (1776)
o
Declaration of Rights of Man And of The Citizens di Perancis (1789).
o Buku
Franklin D Roosevelt (1882-1945) ‘The Four Freedoms’ yang mengkonstasi empat
kebebasan dasar manusia, yaitu: Freedom of Speech, Freedom of Religion,
Freedom from Want, Freedom from Fear.
Elemen dasar konsepsi HAM Generasi I meliputi: prinsip integritas
manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Dengan
demikian, konsepsi HAM pada Generasi I ini barang tentu bercorak hak-hak dasar
manusia yang bersifat alamiah. Ciri yang menonjol dari HAM pada Generasi I ini
adalah meliputi: 1. Hak untuk menentukan nasib sendiri, 2. Hak
untuk hidup, 3. Hak untuk tidak dihukum mati, 4. Hak untuk tidak disiksa, 5.
Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang, 6. Hak atas peradilan yang adil, 7.
Hak-hak bidang politik: a. Hak untuk menyampai-kan pendapat, b. Hak untuk
berkumpul dan berserikat, c. Hak untuk mendapat persamaan perlakuan di depan
hukum, dan d. Hak untuk memilih dan dipilih.
HAM dalam katagori
Generasi II muncul pada tahun 60-an yaitu dimulai dari persitiwa
penandatanganan International Couvenant on Civil and Political Rights dan
International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights (ditetapkan
Mmlalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966). Konsep
HAM tampaknya tidak lagi berkutat pada persoalan integritas pribadi kehidupan
manusia, namun melangkah pada persoalan ekonomi dan budaya. Hal ini dapat
dilihat pada konsep HAM Generasi II dalam instrumen internasional yang
meliputi: 1. Hak untuk bekerja, 2. Hak untuk mendapat upah yang sama, 3. Hak
untuk tidak dipaksa bekerja, 4. Hak untuk cuti, 5. Hak atas makanan, 6. Hak
atas perumahan, 7. Hak atas kesehatan, 8. Hak atas pendidikan, dan 9. Hak-hak
bidang budaya yang terdiri atas: a. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan
kebudayaan, b. Hak untuk menikmati kemajuan iptek, dan c. Hak untuk memperoleh
perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta).
Dalam tahap berikutnya, yaitu dimulai tahun 1986 hingga kini, muncul
konsepsi baru tentang HAM yang lebih luas dibanding dengan konsep HAM
sebelumnya, yaitu mencakup juga pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights
to development. Munculnya konsep baru tentang HAM di pertengahan tahun
80-an merupakan tanda dimulainya perjalanan konsep HAM Generasi III. Hak atas
atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju
yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup
sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut.
Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil
pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial
dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja,
dan lain-lain sebagainya. Secara ringkas cirri HAM Generasi III ini adalah
meliputi: 1. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat, 2. Hak untuk memperoleh
perumahan yang layak, dan 3. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
memadai.
Jika menyimak
perkembangan HAM dari Generasi I hingga Generasi III tersebut akan tampak
perbedaan karakteristik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari Semula
mempunyai karakteristik dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat
vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara (setiap pelanggaran
selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by
government). Pada tahap selanjutnya berkembang dengan karakteristik
hubungan kekuasaan dalam konsepsi yang bersifat horizontal.
Perkembangan karakteristik HAM dari yang bercorak vertikal kea rah
horisontal disebabkan oleh fenomena-fenomena sebagai berikut:
• Fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu
negara yang kemudian berkembang menjadi multi national corporations
(mnc’s) atau disebut juga trans-national corporations (tnc’s) di dunia.
Hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah antara produsen dan
konsumen.
•
Munculnya fenomena nations without state seperti
bangsa kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina
nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara
di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia.
•
Fenomena berkembangnya suatu lapisan sosial tertentu
dalam setiap masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan
internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global
citizens di kalangan diplomat dan pekerja atau pengusaha asing. Contoh, di
setiap negara terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang
bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk
berbelanja.
• Fenomena berkembangnya corporate federalism sebagai
sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar
pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk.
C. PERKEMBANGAN HUKUM
POSITIF TENTANG HAM DI NDONESIA
Perkembangan legislasi
HAM Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan demokratisasi dan
pengaruh instrumen HAM internasional. Berbagai instrumen hukum internasional di
bidang HAM barang tentu berpengaruh secara signifikan terhadap legislasi HAM di
Indonesia. Di samping itu, perkembangan positivisasi HAM di Indonesia juga
tidak lepas dari sistem politik/konfigurasi politik yang dianut oleh Negara
ini. Untuk memudahkan identifikasi dan uraian instrument HAM
Indonesia, maka uraiannya dibagi dalam beberapa era yakni dimulai dari era Orde
Lama hingga era Orde Reformsi. Sementara itu, pergulatan pemikiran tentang HAM
oleh founding fathers tidak diuraikan di sini.
1. Era Orde Lama
Melalui UUDS Tahun
1950, di dalamnya dimasukkan sebanyak 36 pasal tentang HAM. Salah satu keistimewaan
UUDS ini adalah dalam salah satu pasalnya (pasal 21) dicantumkan tentang hak
untuk melakukan demonstrasi dan mogok kerja oleh para buruh sebagai alat
memperjuangkan hak-haknya terhadap majikannya. Namun, UUDS ini tidak berumur
panjang, sebab pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno kembali memberlakukan
UUD 1945.
Di era ini, pelanggaran
HAM secara signifikan banyak sekali terjadi. Hal ini dimungkinkan berdasarkan
Penpres No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Penpres tersebut
telah membatasi gerak dan kreasi seseorang dalam melakukan aktivitasnya
sehari-hari. Pada era ini ada satu Konvensi HAM yang diratifikasi, yaitu
Konvensi Hak Politik Wanita (Convention on the Political Rights of Women),
melalui UU No. 68/1958.
2. Era Orde Baru
Di era Orde Baru
(Orba), kondisi penghormatan dan pemajuan HAM boleh dikatakan berjalan di
tempat. Bahkan banyak yang menengarai perkembangan HAM di era ini sangat suram.
Sebut saja peristiwa petrus (penembakan misterius), penculikan dan
penghilangan orang yang “membahayakan” kekuasaan, pembatasan berserikat,
pemberangusan pers, dsb. menjadi catatan atas suramnya perkembangan HAM saat
itu.
Di tengah suramnya perjalanan
HAM, pada waktu itu ada tiga konvensi HAM yang disahkan, yaitu:
a. Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dengan UU No. 7/1984.
b. Konvensi Hak
Anak dengan Keppres No. 36/1990.
c. Konvensi
Internasional Menentang Apartheid dalam Olahraga dengan Keppres No. 48/1993.
Kuatnya pemerintahan
Presiden Soeharto, menyebabkan kritikan dan kecaman terhadap pelanggaran HAM di
Indonesia tidak memberikan pengaruh yang besar bagi dirinya. Namun, tahun 1993
rezim ini mulai menunjukkan perubahan sikap terhadap HAM, yaitu dengan
membentuk Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM) melalui Keppres No.
50/1993. Perubahan sikap itu disebabkan oleh: 1) pengaruh perubahan konstelasi
politik dunia yang ditandai melemahnya komunisme dan semakin kuatnya dominasi
Barat, dan 2) isu pelanggaran HAM di Irian Jaya dan Timor Timur yang pada saat
itu telah menjadi isu internasional.
3. Era Reformasi
Menjelang berakhirnya
abad 20, perbincangan HAM dan demokrasi semakin menguat. Perlindungan dan
penegakan HAM di suatu negara menjadi penilaian yang cukup signifikan dalam
pergaulan internasional. Sebagai salah satu bagian dari masyarakat Internasional,
Indonesia juga tidak bisa terhindar darinya. Positivisasi HAM di Indonesia
berseiring dengan perubahan politik dalam negeri dan pengaruh tekanan
internasional akibat peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat.
Dengan berakhirnya
rezim Orba oleh kekuatan reformasi, maka cukup banyak instrumen hukum dalam
penghormatan dan pemajuan HAM yang dibuat. Bukan hanya meratifikasi berbagai
konvensi internasioal, namun UUD 1945 juga diamandemen dengan memasukkan
prinsip-prinsip HAM yang sifatnya universal. Berbeda dengan pergulatan
pemikiran para founding fathers, MPR di era ini mulus-mulus saja
memasukkan prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945. Prinsip-prinsip HAM tersebut
terumus pada pasal 28A hingga pasal 28J UUD Tahun 1945 (amandemen).
Pada era ini, banyak
instrumen HAM internasional yang diratifikasi, seperti:
a. Konvensi
menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU No. 5/1999.
b. Konvensi
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial dengan UU No. 29/1999.
c. Konvensi ILO
No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi
dengan Keppres No. 83/1998.
d. Konvensi ILO
No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU No. 19/1999.
e. Konvensi ILO
No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan UU No. 21/1999.
f. Konvensi ILO
No. 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan UU No. 20/1999.
g. Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan UU No. 11/2005.
h. Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dengan UU No. 12/2005.
Sebagai
cermin dari kesungguhan negara Indonesia dalam menghormati, melindungi, dan
memajukan HAM bagi warganegaranya, kemudian disahkan sejumlah UU seperti:
a. UU No. 8/1999
tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat;
b. UU No. 39/1999
tentang HAM;
c. UU No. 26/2000
tentang Pengadilan HAM;
d. Amandemen
berbagai UU untuk diselaraskan dengan prinsip-prinsip HAM, seperti UU Parpol,
UU Kekuasaan Kehakiman, pencabutan Penpres No. 11/1963, dsb.
e. Diluncurkan
Rencana Aksi Nasional HAM (RAN-HAM) dalam rangka memberikan jaminan bagi
peningkatan pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan
nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Secara normatif, hal
yang cukup menggembirakan dalam perlindungan HAM di Indonesia adalah
diterbitkannya UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan
HAM. Menurut Penjelasan Umum UU No. 39/1999, posisi hukum UU tersebut “adalah
merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang HAM. Oleh
karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas HAM dikenakan
sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
UU No. 39/1999 secara
rinci mengatur tentang: hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa
dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan,
hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak
memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan
hak atas kebebasan beragama. Semua hak itu terumus dalam Bab III di bawah judul
HAM dan Kebebasan Dasar Manusia (Pasal 9 - Pasal 66).
UU No. 39/1999 juga
mengatur tentang Kewajiban Dasar Manusia. Dalam Pasal 69 ayat (2) dirumuskan
bahwa: “Setiap HAM seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab
untuk menghormati HAM orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas
Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya”. Bahkan
dalam Pasal 71 disebutkan bahwa masalah itu bukan hanya tugas pemerintah saja,
namun pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakkan dan memajukan HAM.
Di samping perkembangan
HAM dalam instrumen hukum nasional yang menggembirakan tersebut, dalam catatan
ELSAM ada ironi terkait dengan legislasi HAM di tingkat daerah. ELSAM mencatat,
otonomi daerah berdasarkan UU No 22/1999 yang telah diganti dengan UU No 32
/2004 ternyata berdampak banyaknya produk hukum daerah, terutama Peraturan
Daerah (Perda) dianggap bermasalah.
Oleh karena itu, Perda-Perda yang demikian itu perlu ada perhatian tersendiri
mengingat Perda merupakan satu kesatuan yang tidak bias dilepaskan dari sistem
peraturan perundang-undang Indonesia.
D. PENUTUP
Berdasarkan uraian
singkat di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan hukum positif di Indonesia
yang mengatur tentang HAM saat ini telah menunjukkan perkembangan yang relatif
baik dan memadai jika dibandingkan dengan masa lalu. Ini berarti penghormatan
dan pengakuan HAM secara normatif oleh negara telah memperoleh tempat yang
cukup menggembirakan dalam hukum positif di Indonesia. Meski demikian perlu ada
perhatian khusus terkait dengan legislasi Perda yang ditengarai ada yang
melanggar HAM.
Agar pengaturan HAM
dalam hukum positif tersebut tidak sekedar menjadi deretan kalimat indah yang
menjanjikan tapi tidak membuktikan, maka menjadi tugas seluruh komponen bangsa
dan kewajiban seluruh aparat negara untuk selalu melakukan penghormatan, perlindungan,
pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM untuk seluruh masyarakat Indonesia
umumnya dan khususnya pada masyarakat di sekitar lingkungannya.
-----
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung
Nasution (2003) “Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Dan Supremasi
Hukum”. Makalah disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia
RI Denpasar, 14-18 Juli 2003. Lihat
http://www.docstoc.com/docs/17584105/Implementasi-Perlindungan-Hak-Asasi-Manusia
Anis Ibrahim
(2008) Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum
dalam Pembentukan Hukum di Daerah. In-Trans Publishing, Malang.
Arthur J. Dyck
(1994) Rethinking Rights and Responsibilities, The Moral Bonds of Community.
The Pilgrim Press, Cleveland, Ohio, hlm. 4-5. Sebagaimana dikutip Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik,
Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”.
Dalam http://www.docstoc.com/
docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
Artidjo
Alkostar (2004) Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban. PUSHM-UII, Yogyakarta.
Asri Wijayanti
“Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia”. Dalam
http://www.docstoc.com/docs/17537142/Sejarah-Perkembangan-Hak-Asasi-Manusia.
Darji
Darmodiharjo dan Shidarta (1995) Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Eddie Riyadi
(2006) “Hak Asasi Manusia: Sebuah Telusuran Genealogis dan Paradigmatik” Makalah
dipresentasikan pada Training Hak Sipol dan Politik Berperspektif Jender dengan
materi “Hak Asasi Manusia: Sejarah, Prinsip dan Isinya”, yang diselenggarakan
oleh Lembaga Damar, Lampung, 18 September 2006.
Firdaus (2005) “Implikasi Pengaturan HAM dalam UUD terhadap Ius
Constitutum”. Dalam Muladi (Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan
Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. Refika Aditama,
Bandung.
I Gede Arya B.
Wiranata (2005) “Hak Asasi (Anak) dalam Realitas: Quo Vadis?”. Dalam
Muladi (Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan masyarakat. Refika Aditama, Bandung.
Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik,
Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”. http://www.docstoc.com/
docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
Moh. Mahfud MD
(1998) Politik Hukum Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
Muh. Budairi Idjehar (2003) HAM versus Kapitalisme. Insist Press,
Yogyakarta.
Dr. Anis Ibrahim,SH.,MHum. adalah dosen
PNS Dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Lumajang.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta (1995)
Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Muh. Budairi Idjehar
(2003) HAM versus Kapitalisme. Insist Press, Yogyakarta.
I Gede Arya B. Wiranata (2005) “Hak Asasi
(Anak) dalam Realitas: Quo Vadis?”. Dalam Muladi (Edt) Hak Asasi
Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat.
Refika Aditama, Bandung.
Firdaus (2005)
“Implikasi Pengaturan HAM dalam UUD terhadap Ius Constitutum”. Dalam Muladi
(Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan masyarakat. Refika Aditama, Bandung.
Adnan Buyung Nasution (2003) “Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Dan Supremasi Hukum”.
Makalah disampaikan pada: Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
Dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003. Lihat http://www.docstoc.com/docs/17584105/Implementasi-Perlindungan-Hak-Asasi-Manusia
Asri Wijayanti “Sejarah Perkembangan Hak
Asasi Manusia”. Lihat http://www.docstoc.com/docs/17537142/Sejarah-Perkembangan-Hak-Asasi-Manusia.
Arthur J. Dyck (1994) Rethinking Rights and
Responsibilities, The Moral Bonds of Community. The Pilgrim Press, Cleveland, Ohio, hlm. 4-5.
Sebagaimana dikutip Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi
Manusia Tanpa Dukungan Politik, Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM)”. http://www.docstoc.com/ docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
Eddie Riyadi (2006) “Hak Asasi Manusia:
Sebuah Telusuran Genealogis dan Paradigmatik” Makalah dipresentasikan
pada Training Hak Sipol dan Politik Berperspektif Jender dengan materi “Hak
Asasi Manusia: Sejarah, Prinsip dan Isinya”, yang diselenggarakan oleh Lembaga
Damar, Lampung, 18 September 2006.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM) “
Hak Asasi Manusia
Tanpa Dukungan Politik,
Catatan
HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”.
Dalam
http://www.docstoc.com/
docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
Uraian tentang hubungan antara konfigurasi
politik dan legislasi serta produk hukum lihat pada Moh. Mahfud MD (1998)
Politik
Hukum Indonesia.
Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta, dan Anis Ibrahim (2008)
Legislasi dan Demokrasi,
Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum dalam Pembentukan Hukum di Daerah.
In-Trans Publishing, Malang.
Muh. Budairi Idjehar Loc.Cit.
Artidjo Alkostar (2004) Pengadilan
HAM, Indonesia, dan Peradaban. PUSHM-UII, Yogyakarta.
Menurut catatan ELSAM, hingga tahun 2007, setidaknya ada 46 Perda
berbasis Syariah yang berlaku, dan belum ada satupun yang ditinjau atau
dibatalkan oleh Pemerintah pusat meskipun Perda tersebut melanggar
prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi, khususnya prinsip-prinsip
kebebasan beragama dan hak-hak perempuan. Misalnya saja, 18 dari 22
kabupaten/kota di propinsi Sulawesi Selatan mengadopsi aspek-aspek Syariah
dalam Perda-nya. Kabupaten Bulukumba bahkan punya empat Perda yang menerapkan
aspek-aspek Syariah. Kabupaten Bulukumba dan Bone mewajibkan kepala desa, calon-calon
PNS, siswa SMP ke atas, dan mereka yang akan menikah untuk dapat membaca
tulisan Al-Qur’an. Di kantor Pemda Padang, Sumatera Barat menerapkan aturan berjilbab bagi PNS
perempuan.
Perda di Kabupaten Pamekasan mewajibkan pemakaian jilbab bagi PNS perempuan
serta mengatur penundaan semua kegiatan publik pada saat adzan
dikumandangkan. Kota Tangerang sampai saat ini masih menerapkan Perda
kota Tangerang No 8/2005 tentang pelarangan pelacuran dimana sering terjadi
salah penangkapan pelanggarnya; Perda Provinsi Sumbar No 11/2001 tentang
pemberantasan dan pencegahan maksiat; Perda.Kab Solok No 10/2001 tentang
kewajiban membaca Alquran bagi siswa dan pengantin; Perda Kab Solok No 6/2002
tentang pakaian Muslimah; Perda Kab Padang Pariaman No 2/2004 tentang
pencegahan, penindakan, dan pemberantasan maksiat; Perda No 6/2005 Enrekang
(Sulawesi Selatan) tentang busana Muslimah dan baca tulis Alquran, Perda Gresik
No 7/2002 tentang larangan praktik prostitusi; Perda No 6/2000 Kab Garut
tentang kesusilaan dan belum lagi Perda-perda yang mengatur tentang
pajak/restribusi daerah, yang terkadang bertabrakan dengan peraturan pemerintah
pusat mengenai hal itu. Lihat (ELSAM). Loc.Cit.