FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT IMPLEMENTASI PRINSIP DASAR DEMOKRASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (STUDI DI KABUPATEN LUMAJANG)
Anis Ibrahim
- Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang -
ABSTRAK
Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap secara empirik praktik legislasi peraturan daerah
(Perda) yang dianalisis berdasarkan prinsip dasar demokrasi. Untuk mencapai hal
tersebut, maka penelitian ini menggunakan pendekatan
socio-legal research. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip dasar
demokrasi dalam legislasi Perda di lokasi penelitian belum terlembaga secara baik. Berdasarkan analisis
data primer maupun data sekunder yang diperoleh di lokasi penelitian dapat
diketengahkan bahwa paling tidak ada 5 (lima) faktor yang menghambat
pelembagaan prinsip dasar demokrasi di lokasi penelitian yaitu: a. faktor
substansi hukum, b. faktor struktur hukum, c. faktor kultur hukum, d. faktor
waktu, dan e. faktor anggaran.
Kata kunci: pelembagaan, demokrasi, legislasi, peraturan
daerah, socio-legal-research.
A. Pendahuluan
Legislasi[1] atau
proses pembentukan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) bukan perkara
yang sederhana. Ia merupakan kegiatan cukup rumit dan kompleks. Terkait dengan
hal itu, jauh hari Steven Vago pernah menyatakan bahwa: “Lawmaking is a complex and continuous process, and it exists as resp
onse to a number of social influences that operate in society. The forces that
influence lawmaking cannot always be precisely determined, measured, or
evaluated”. Menurutnya, paling
tidak ada tiga hal yang mempengaruhi legislasi, yaitu: interest groups, public opinion, dan social science.[2]
Gerakan Critical Legal Studies telah
mengingatkan bahwa legislasi untuk menjadikan hukum positif (in abstracto) selalu merupakan hasil
dari proses yang sarat dengan berbagai muatan, nilai, dan kepentingan para
aktor, yang di dalamnya niscaya mengandung pemihakan-pemihakan.[3]
Demikian pula William J. Chambliss dan Robert B. Seidman sampai pada simpulan
bahwa “The legislature is, therefore, not
mere neutral forum where pluralistic interest groups can bargain out a
compromise solution representing their respective power positions”.[4]
Dalam
negara yang demokratis konstantasi di atas merupakan keniscayaan. Pengaruh dari
berbagai pihak yang berkepentingan atas suatu produk legislasi menjadi sangat
kentara. Sebab dalam negara yang menganut langgam demokrasi yang menghormati
berbagai kepentingan yang plural tentu hal tersebut bukan merupakan suatu yang
tabu. Semua pihak beserta kepentingannya niscaya dihargai sama. Maka, legislasi
yang tujuan akhirnya akan mengasilkan sebuah produk hukum tertulis barang tentu
akan memperoleh perhatian tersendiri dan menjadi isu yang bisa berjalan dengan
penuh kontroversial.
Di
era demokratisasi dan otonomi daerah yang luas seperti sekarang ini, eksistensi
peraturan daerah (Perda) yang merupakan produk akhir dari legislasi daerah
nyatanya banyak menimbulkan kontroversi yang hingga kini belum berakhir. Telah
berkali-kali Pemerintah Pusat mempublikasikan adanya Perda yang dianggap tidak
mampu mewadahi kepentingan nasional, konteks sosial setempat, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum,
serta yang menurut banyak kalangan dinilai tidak aspiratif, sehingga
direkomendasikan untuk dibatalkan dan/atau direvisi.[5] Perda demikian ini
kemudian populer dengan sebutan “Perda bermasalah” atau “Perda tidak
aspiratif”.
Barang tentu munculnya Perda tidak aspiratif tersebut
tidak tiba-tiba. Ia muncul setelah melalui legislasiyang dilakukan oleh elite
daerah, yakni pemerintah daerah dan DPRD, yang secara legal memiliki kewenangan
untuk itu. Dalam berbagai penelitian menyimpulkan tanda-tanda munculnya proses
demokrasi yang elitis pasca terpilihnya elite daerah melalui Pemilu yang
demokratis.[6] Dalam
legislasi Perda pun tidak lepas dari tengara demikian, yakni legislasi Perda
cenderung elitis. Jika hal ini yang terjadi, jelas mencederai dan
mendistorsi makna dari demokrasi sebagai government
by the people.[7]
Legislasi Perda
yang elitis yang berdampak pada produk hukum daerah yang tidak aspiratif
tersebut tentu tidak sejalan dengan hukum[8] yang mendasari legislasi
yang di dalamnya telah dirumuskan ketentuan yang mendukung demokratisasi dalam
legislasi Perda pada satu sisi, dan pada sisi bersamaan sistem politik dan
ketatanegaraan di Indonesia di era otonomi daerah yang seluas-luasnya telah
dianggap cukup demokratis pula jika dibanding dengan era Orde Baru yang
sentralistrik dan totaliter.
Dengan demikian
tampak bahwa disentralisasi dan otonomi daerah sebagai wujud paling nyata dari
penerapan demokrasi tampaknya tidak berbanding lurus pada level legislasi Perda
yang niscaya demokratis-partisipatoris.[9] Untuk mengetahui dan
menganalisis latar belakang penyebab legislasi Perda yang dilakukan secara
elitis tersebut menjadi urgen untuk dilakukan penelitian dengan tema yang
sekaligus menjadi judul penelitian yaitu: Faktor-Faktor Yang Menghambat
Implementasi Prinsip Dasar Demokrasi Dalam Proses Pembentukan Peraturan
Daerah (Studi Di Kabupaten Lumajang)
Dari
latar belakang masalah tersebut, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut faktor-faktor apa saja yang menghambat pelembagaan prinsip
dasar demokrasi dalam legislasi Peraturan Daerah di Lumajang? Sedangkan tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat
pelembagaan prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Peraturan Daerah di
Lumajang.
B. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian yuridis empirik (socio-legal research). Pendekatan yang demikian ini dikarenakan
penelitian ini tidak semata-mata mengkaji aspek hukum legislasi Perda secara
normatif saja, namun juga mengkajinya dari sisi empirik ketika norma hukum
berinteraksi dalam kehidupan sosio-politik.[10]
Sedangkan jenis penelitian hukum
ini adalah penelitian kuantitatif-kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh
jawaban tentang faktor-faktor yang menghambat pelembagaan prinsip dasar
demokrasi dalam legislasi Peraturan Daerah dengan mengambil setting di
Kabupaten Lumajang.
C. Hasil dan Pembahasan
1) Berbagai
Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Legislasi Peraturan Daerah
Ada berbagai peraturan
perundang-undangan yang menjadi acuan hukum dalam legislasi Perda di lokasi
penelitian, yaitu:
1) UU No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan .
2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16
Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah tentang
Tata Tertib DPRD.
4) Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 16 tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum
Daerah.
5) Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lumajang No. 04 Tahun 2010
tentang Peraturan Tata
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lumajang.
Pada saat penelitian ini
dilangsungkan DPRD di lokasi penelitian telah menyesuaikan Peraturan Tatibnya
dengan PP Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan
Perwakilan Daerah tentang Tata Tertib DPRD
sebagaimana yang tercantum pada Keputusan DPRD Kabupaten Lumajang No 04 Tahun
2010 tentang Peraturan Tatib DPRD Kabupaten Lumajang. Boleh dikatakan
bahwa pada umumnya rumusan pasal dan ayat dalam Tatib tersebut sama sekali
tidak ada perbedaan yakni kesemuanya tampak sebagai turunan dan merupakan copy paste dari PP No. 16/2010.
Meski semua rumusan tata cara
pembentukan Perda dalam semua Tatib DPRD di lokasi penelitian persis sama
dengan yang ada dalam PP No. 16/2010, namun dalam Tatib DPRD Kabupaten Lumajang
ada tambahan 1 ayat. Hal ini tampakan pada Pasal 110 ayat (8)
Peraturan Tatib DPRD Kabupaten Lumajang merumuskan bahwa Perda yang dibentuk
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya. Sementara Peraturan Tatib DPRD lainnya tidak mengatur dan merumuskan
tentang larangan demikian ini. Ada pun rumusan pasal dan ayat lainnya sama
sekali tidak ada perbedaan yakni kesemuanya tampak sebagai turunan dan
merupakan copy paste dari PP No.
16/2010.
Dalam hal perencanaan dan persiapan
Raperda, Peraturan Tatib DPRD merumuskan bahwa Raperda diajukan berdasarkan
Prolegda. Namun ketentuan ini sifatnya tidak imperatif, sebab dalam keadaan
tertentu DPRD atau Kepala Daerah dapat mengajukan Raperda di luar Prolegda.
Sementara keberadaan naskah akademik juga bukan merupakan suatu keharusan untuk
menyertai setiap Raperda. Pasal 103 ayat (2) Tatib DPRD Kabupaten Lumajang
merumuskan dengan kalimat hukum bahwa “Raperda yang berasal dari DPRD atau
Kepala Daerah disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik”.
Dengan rumusan “disertai penjelasan
atau keterangan dan/atau naskah akademik” ini kiranya dapat diketengahkan bahwa
naskah akademik hanya pilihan saja. Artinya, naskah akademik boleh disertakan
maupun tidak disertakan dalam Raperda. Rumusan demikian merupakan copy paste dari Pasal 81 ayat (2) PP No.
10/2010, yang dalam penjelasan PP tersebut memang dirumuskan bahwa:
“Pada
prinsipnya semua naskah rancangan peraturan daerah harus disertai naskah
akademik, tetapi beberapa rancangan peraturan daerah seperti rancangan
peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah, rancangan
peraturan daerah yang hanya terbatas mengubah beberapa materi yang sudah
memiliki naskah akademik sebelumnya, dapat disertai atau tidak disertai naskah
akademik”.
2)
Hasil Penelitian
Pada saat penelitian ini dilangsungkan, Pemda Kabupaten
Lumajang telah memiliki website yakni: http://www.lumajang.go.id. Sementara itu
DPRD Kabupaten Lumajang belum memiliki website sendiri. Namun jika ditelusuri
lebih lanjut, ternyata website tersebut belum digunakan secara maksimal untuk
mempublikasikan Raperda. Dengan demikian masyarakat yang peduli dengan
legislasi Perda niscaya tidak bisa mengikuti jalannya proses pembentukan Perda.
Terkait dengan fungsi
legislasi Perda ini, dalam Peraturan Tatib DPRD di lokasi penelitian dirumuskan
adanya alat kelengkapan yang bersifat tetap dengan nama Badan Legislasi Daerah
(Banlegda) yang tugasnya adalah:
a.
menyusun rancangan program legislasi daerah yang memuat
daftar urutan dan prioritas rancangan peraturan daerah beserta alasannya untuk
setiap tahun anggaran di lingkungan DPRD;
b. koordinasi untuk penyusunan program
legislasi daerah antara DPRD dan pemerintah daerah;
c. menyiapkan rancangan peraturan daerah usul
DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
d. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi
dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut
disampaikan kepada pimpinan DPRD;
e. memberikan pertimbangan terhadap rancangan
peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi,
di luar prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan atau di luar
rancangan peraturan daerah yang terdaftar dalam program legislasi daerah;
f. mengikuti perkembangan dan melakukan
evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan peraturan daerah melalui
koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
g. memberikan masukan kepada pimpinan DPRD atas
rancangan peraturan daerah yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan
h. membuat laporan kinerja pada masa akhir
keanggotaan DPRD baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat
digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya.
DPRD di lokasi penelitian telah memiliki
alat kelengkapan yang berupa Banlegda tersebut. Sesuai dengan Peraturan Tatib
DPRD, Balegda inilah yang akan terkait erat dengan masalah legislasi Perda. Ada
pun Ketua Banlegda DPRD di lokasi penelitian dijabat oleh Ahmad Lukman Hakim,SE
dari Fraksi PKNU (Partai Kebangkitan Nahdlatul Umat).
Peraturan
Tatib DPRD di lokasi penelitian juga mengkonstatasi adanya kelompok pakar atau
tim ahli. Namun, ketika penelitian ini dilangsungkan, DPRD Kabupaten Lumajang
belum memiliki kelompok pakar/tim ahli. Menurut Ketua Banlegda DPRD Kabupaten
Lumajang, DPRD Kabupaten Lumajang membuat kebijakan bahwa DPRD mengangkat
kelompok pakar/tim ahli tidak secara permanen, tegasnya tim ahli tersebut
dibentuk secara ad hoc berdasarkan keperluan-keperluan yang dianggap mendesak.
Jika demikian itu
halnya maka kebijakan itu tampak kurang selaras dengan Peraturan Tatib DPRD
Kabupaten Lumajang dalam Pasal 120 ayat (1) yang merumuskan secara rinci tugas
tim ahli yaitu:
a. Jasa konsultasi,
b. Sosialisasi isu strategis;
c. Pengkajian peraturan daerah;
d. Menyusun naskah akademik dalam rangka
pembentukan peraturan daerah;
e. Pelatihan peningkatan kompetensi kinerja
kelembagaan dalam kerangka program legislasi daerah.
Jumlah Perda
yang dibentuk di lokasi penelitian dalam kurun waktu 7 bulan terakhir yaitu
dari bulan Januari 2011 hingga bulan Juli 2011 telah berhasil disahkan sebanyak
13 Perda. Sebenarnya jumlah Raperda yang direncanakan untuk dibahas semuanya
berjumlah 23 Raperda. Dengan pertimbangan dari DPRD, maka hanya 13 Raperda yang
dibahas dan berhasil disahkan. Semua Reperda tersebut adalah usulan dari
eksekutif daerah. Memang hingga kini belum pernah sekalipun ada Raperda yang
merupakan usul inisiatif DPRD.
Dari semua Perda tersebut Perda yang termasuk dalam
rumpun aktivitas usaha yang berdampak pada pungutan terhadap masyarakat
menempati urutan paling banyak yaitu 84,64%. Sedangkan Perda/Raperda dalam
rumpun kehidupan sosial maupun Perda dalam rumpun organisasi dan administrasi
pemerintahan sama jumlahnya yaitu masing-masing 15,38 %. Adapun Perda yang
menyangkut kehidupan sosial pada kurun waktu 7 bulan terakhir tidak ada yang
diproses. Hal ini bisa dilihat pada Tabel di bawah ini.
Tabel
KOMPOSISI
PERDA DI LOKASI PENELITIAN JANUARI-JULI 2011
NO.
|
RUMPUN
PERDA
|
JUMLAH
|
%
|
1
|
ORGANISASI DAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
|
2
|
15,38
|
2
|
AKTIVITAS USAHA
|
11
|
84,62
|
3
|
KEHIDUPAN SOSIAL
|
0
|
0,00
|
Jumlah
|
13
|
100,00
|
Sumber: Data Skunder Tahun 2011 diolah
Secara normatif, acuan Raperda apa saja yang
akan dirumuskan dan dibahas dalam satu tahun anggaran seharusnya didasarkan
pada Prolegda (Program legislasi daerah). Ternyata proses pembuatan Perda pada
tahun 2011 Kabupaten Lumajang tidak didasarkan pada Prolegda. Menurut Kabag
Hukum Pemkab Lumajang, meski tidak didasarkan Prolegda, namun legislasi Perda
di Kabupaten Lumajang bukannya tanpa didasarkan pada perencanaan yang ada. Ada
tidaknya Raperda yang akan diusulkan Pemkab tergantung dari usulan
masing-masing satuan kerja daerah.
Sementara itu karena DPRD Kabupaten Lumajang
hingga kini belum pernah mengusulkan Raperda inisiatif, maka mereka hanya pasif
saja menunggu usulan Raperda dari eksekutif. Berdasarkan hal tersebut dapat
dikatakan bahwa legislasi Perda di Kabupaten Lumajang tidak didasarkan pada
suatu program yang terencana dan sistematis.
3) Faktor-faktor yang menghambat pelembagaan prinsip
dasar demokrasi dalam legislasi Peraturan Daerah di Lumajang
Dalam penelitian ini,
dengan mendasarkan telaah/kajian teoritik tentang demokrasi, dikonstantasi
bahwa prinsip dasar demokrasi itu paling tidak ada lima prinsisp yang meliputi
meliputi: (a) prinsip keterbukaan, (b) prisip partisipasi publik, (c) prisip
persamaan/kesetaraan, (d) prinsip kebebasan, (e) prinsip kontrol rakyat
terhadap proses kebijakan yang dibuat elite. Lima prinsip dasar demokrasi ini
di lokasi penelitian ternyata belum terimplementasikan/belum terlembagakan
dengan baik. Barang tentu ada berbagai faktor yang menghambat pelembagaan
prinsip dasar demokrasi tersebut.
Pelembagaan (institutionalization) adalah suatu proses
yang dilewati suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari
salah satu lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial.
Maksudnya adalah norma kemasyarakatan itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai
dan kemudian dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari.[11] Beranjak
dari pengertian yang demikian ini, maka dalam konteks penelitian ini
pelembagaan demokrasi diberi makna sebagai suatu proses yang dilewati oleh
prinsip-prinsip demokrasi (sekalian dengan norma-normanya) – yang merupakan
norma dan prinsip yang baru – yang dikenali, diakui, dihargai, kemudian
dipatuhi dan selanjutnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat
yang bersangkutan.
Dari penelusuran terhadap fakta
empirik (data primer) yang diperoleh di lokasi penelitian maupun fakta normatif
(data skunder) dapat diketengahkan bahwa paling tidak ada 5 (lima) faktor yang
menghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi di lokasi penelitian yaitu: a.
faktor substansi hukum, b. faktor struktur hukum, c. faktor kultur hukum, d.
faktor waktu, dan e. faktor anggaran.
> Faktor Substansi Hukum
Substansi hukum dibatasi
pengertiannya pada peraturan perundang-undangan (peraturan hukum) yang dibentuk
oleh lembaga yang berwenang untuk menjalankan fungsi legislasi baik itu lembaga
legislatif di tingkat pusat mau pun di tingkat daerah dan lembaga eksekutif
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Peraturan hukum ini mulai dari
yang berjenis Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda,
Peraturan Menteri, Peraturan DPRD, maupun Keputusan DPRD.
Pada dasarnya UUP3 telah merumuskan
prinsip dasar demokrasi. Hal ini bisa ditelaah dari adanya rumusan asas
keterbukaan yang tercantum dalam Pasal 5 huruf g. Namun rumusan dalam UUP3 itu menunjukkan bahwa perumusan
prinsip dasar demokrasi khususnya dalam hal keterbukaan ternyata bersifat
relatif. Hal ini dikarenakan masalah apakah suatu Raperda baik ketika sedang
disiapkan maupun ketika sedang dibahas mesti dipublikasikan ke tengah
masyarakat, ternyata bukan merupakan suatu keharusan.
Prinsip partisipasi publik dalam legislasi
Perda dalam UUP3 tersebut juga bersifat relatif. Hal ini karena masih
tergantung pada DPRD untuk mau merumuskannya dalam Peraturan Tatibnya atau
tidak. Hal ini bisa dibaca dalam Penjelasan Pasal 53 yang berbunyi: ”Hak
masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat/dewan, perwakilan rakyat daerah”. Jadi kesimpulannya
bahwa hak normatif masyarakat untuk berpartisipasi dalam legislasi Perda
tergantung kepada ’kebaikan’ DPRD apakah akan dirumuskan ataukah tidak dalam
Peraturan Tatibnya. Perihal perumusan prinsip dasar demokrasi dalam
legislasi Perda yang demikian itu juga persis sama dengan yang ada dalam UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
PP No. 16 Tahun 2010 merupakan
pedoman umum bagi sekalian DPRD dalam pembuatan Peraturan Tatib DPRD. Di
dalamnya diatur berbagai segi tentang DPRD
kaitannya dengan bagaimana DPRD harusnya merumuskan hak dan kewajibannya,
serta bagaimana merumuskan secara normatif perihal fungsi pokok yang
dimilikinya. Salah satunya diatur tentang pedoman dalam merumuskan fungsi
legislasi Perda. Ketentuan DPRD dalam merumuskan fungsi legislasi diatur pada
Bab IX tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah dari Pasal 81 sampai
Pasal 88.
Jika
ditelaah akan segera tampak bahwa seluruh pasal yang jumlahnya 8 (delapan)
tersebut ternyata tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang prinsip dasar
demokrasi dalam legislasi Perda yakni asas keterbukaan (yang ditandai dengan
adanya rumusan tentang publikasi Raperda) dan prinsip partisipasi publik dalam
legislasi Perda. Selain masalah teknis pembentukan Perda, hal yang baru tentang
legislasi Perda dalam PP No. 16 Tahun 2010 adalah dicantumkannya ketentuan
Naskah Akademik dan ketentuan tentang Prolegda. Ketentuan tentang Naskah
Akademik dan Prolegda ini pun sifanya tidak imperatif dalam setiap pembentukan
Perda.
Sementara itu Permendagri No. 16
Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah merupakan sebuah
produk hukum pemerintah pusat yang di dalamnya berisi petunjuk teknis
administratif tentang bagaimana pihak eksekutif daerah ketika menyiapkan dan
penyusun Raperda. Kehadiran Permendagri tersebut
tampaknya tidak sesuai dengan UUP3 dan UU No. 32 Tahun 2004, sebab kedua UU
tersebut mengamanatkan bahwa tata cara pemerintah daerah dalam mempersiapakan
Raperda akan diatur lewat peraturan presiden (Perpres).
Dari pembacaan dan analisis seluruh ketentuan
yang ada dalam Permendagri No. 16 Tahun 2006 dapat diketengahkan bahwa
peraturan hukum ini sama sekali tidak merumuskan ketentuan yang menyangkut
penyebarluasan Raperda maupun partisipasi masyarakat pada saat Raperda sedang
disiapkan. Ketentuan penyebarluasan ini baru diatur setelah setelah Raperda
disahkan/ditetapkan dan dimuat dalam lembaran daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: “Produk hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 sebelum disebarluaskan harus terlebih
dahulu dilakukan autentifikasi”.
Khusus mengenai Peraturan Tatib
DPRD, pada dasarnya peraturan hukum di lingkungan DPRD tersebut merupakan
derivasi dari PP No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan
Perwakilan Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh
karena merupakan derivasi dari maka ketentuan tentang legislasi Perda pada
Peraturan Tatib DPRD di lokasi penelitian adalah persis sama yang ada dalam PP
No. 16 tahun 20110, dengan sedikit tambahan dalam Tatib DPRD Kabupaten Lumajang
ada tambahan 1 ayat yang menjadikannya agak berbeda peraturan di atasnya.
Pasal 110 ayat (8) Tatib DPRD
Kabupaten Lumajang merumuskan bahwa Perda yang dibentuk tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dan peraturan daerah lainnya. Sementara Peraturan Tatib DPRD lainnya tidak mengatur
dan merumuskan tentang larangan demikian ini. Ada pun rumusan pasal dan ayat
lainnya sama sekali tidak ada perbedaan yakni kesemuanya tampak sebagai turunan
dan merupakan copy paste dari PP No.
16/201.
Oleh karena rumusan
tata cara pembentukan Perda dalam Tatib DPRD merupakan turunan langsung dari PP
No. 16 Tahun 2010, maka di dalam Tatib DPRD tidak diatur dan juga tidak
dirumuskan tentang (a) bagaimana penyebarluasan Raperda, (b) hak masyarakat
untuk berpartisipasi dalam semua tahapan legislasi Perda, (c) bagaimana
pengakomodasian aspirasi publik, (d) tata cara melakukan konsultasi publik, dan
(e) mekanisme komplain publik jika hak-hak publik dirugikan.
Jika demikian halnya
maka dapat diketengahkan bahwa rumusan terkait dua prinsip dasar dalam
demokrasi dalam Tatib DPRD (termasuk juga dalam PP No. 16 Tahun 2010) mengalami
kemunduran manakala dibanding dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 10/2004
tentang P3 maupun UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Padahal kedua UU
tersebut telah menentukan tentang tata cara penyebarluasan Raperda dan hak
masyarakat untuk berpartisipasi dalam legislasi Perda – termasuk rambu-rambu
agar Perda tidak bertentangan dengan kepentingan umum (berarti harus melakukan
konsultasi publik) dan peraturan yang
lebih tinggi yang hanya diatur dalam Tatib DPRD Kabupaten Lumajang – agar
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tatib DPRD. Jadi, secara umum dapat
dikatakan bahwa pada tataran normatif jaminan hukum terhadap demokratisasi
dalam legislasi Perda menjadi terdegradasi dalam PP maupun Tatib DPRD.
> Faktor struktur hukum
Struktur hukum di sini diberi pengertian sebagai
kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum yang bersangkutan dengan berbagai
macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut.[12] Meski ada yang
menyatakan bahwa lembaga legislatif merupakan lembaga politik, namun karena
eksistensinya dilahirkan dari suatu produk dan ia memiliki fungsi-fungsi dan
tugas-tugas di bidang hukum, seperti fungsi pembentukan hukum
perundang-undangan, maka tidak salah jika lembaga legislatif sejatinya juga
merupakan salah satu komponen sruktural hukum.
Secara normatif, keberadaan lembaga
legislatif di Indonesia beserta berbagai fungsi yuridisnya – yakni fungsi
legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, dan fungsi perwakilan – sudah
tidak ada yang mempersalahkan. Namun implementasi fungsi-fungsi tersebut masih
menjadi permasalahan tersendiri.
Banyaknya Perda yang dibatalkan oleh
Menteri Dalam Negeri karena setelah dievaluasi dinyatakan bertentangan dengan
kepentingan umum menunjukkan bahwa lembaga legislatif dan eksekutif tidak
memperhatikan kepentingan publik. Ini artinya produk-produk hukum daerah yang
dihasilkan oleh lembaga ini tidak memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip
dasar demokrasi ketika kedua lembaga di daerah sedang memproses pembentukan
Perda.
> Faktor kultur hukum
Yang dimaksud dengan kultur hukum adalah berupa
nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan
tempat sistem hukum itu di tengah-tengah kultur hukum bangsa secara
keseluruhan. Salah satu sikap rakyat Indonesia terhadap hukum atau
pejabat-pejabat hukum adalah lebih cenderung kepada orientasi terhadap orang
dibanding terhadap hukum itu sendiri. Petugas-petugas hukum ditaati bukan
karena alasan-alasan karena kepatuhannya terhadap hukum negara.[13]
Berdasarkan
data penelitian yang berasal dari wawancara baik dengan responden anggota DRD
maupun dari pihak eksekutif di lokasi penelitian dapat menjadi petunjuk tentang
sikap mereka dalam kaitannya dengan pelembagaan prinsip dasar demokrasi dalam
legislasi Perda. Jawaban responden mengarah pada dua hal yakni: 1) Ada
responden telah mengimplementasikan dua prinsip dasar demokrasi dalam legislasi
Perda. Pertimbangannya adalah agar Perda setelah diundangkan nantinya efektif
maka sebelumnya harus memperoleh masukan dari masyarakat.
Secara umum
dapat disimpulkan bahwa meski ada proses publikasi dan partisipasi masyarakat,
namun proses ini tampaknya masih bersifat artifisial, karena hanya sekali
masyarakat diajak bicara untuk memberi masukan pada saat proses penyiapan dan
pembahasan Raperda. Bagaimana kemudian hasil dari masukan-masukan masyarakat
apakah benar-benar akan menjadi warna perubahan Raperda pada dasarnya
masyarakat tidak mengetahui. Hal ini karena elite daerah tidak lagi
mempublikasikan lagi hasil serap aspirasi masyarakat tersebut dalam suatu
proses uji publik lanjutan.
Di samping itu
juga ada responden yang menyatakan bahwa jika proses partisipasi masyarakat
ditempuh, maka proses pembahasan akan bertele-tele. Permintaan dan masukan
masyarakat macam-macam dan aneh-aneh, yang bisa saja tidak akan fokus pada
substansi Raperda. Jika diberi kesempatan maka bisa dipastikan bahwa Raperda
tidak akan jadi sementara Pemda sangat membutuhkan Perda tersebut.
> Faktor waktu
Waktu yang
terbatas juga menjadi faktor penyebab tidak terlembagakannya prinsip dasar
demokrasi berikutnya dalam proses pembentukan Perda di lokasi penelitian.
Memang tidak semua Raperda yang dibentuk selalu terkait dengan keterbatasan
waktu untuk menyiapkan/menyusun mau pun membahasnya. Beberapa Raperda ketika
sedang disiapakan/disusun di tingkat SKPD mau pun ketika dibahas tidak ada
kendala waktu untuk menyelesaikannya.
Pada umumnya masalah keterbatasan
waktu itu terjadi baik terhadap Raperda ketika sedang disusun di tingkat SKPD
maupun ketika sedang dibahas bersama antara Tim SKPD dengan DPRD. Keterbatasan
waktu penyiapan/penyusuan dan pembahasan Raperda tersebut disampaikan oleh semua
responden di lokasi penelitian ketika menyusun dan membahas Raperda terkait
dengan pungutan yang akan diterapkan kepada masyarakat.
> Faktor Anggaran
Jika ditelisik lebih lanjut alokasi
anggaran legislasi Perda masih sangat minim dibanding dengan Raperda yang
dibahas setiap tahunnya. Berapa anggaran legislasi Perda setiap tahunnya,
ternyata masing-masing responden DPRD maupun SKPD mengaku tidak tahu persisnya.
Dengan demikian dalam laporan penelitian ini tidak bisa diketengahkan besaran
anggaran legislasi Perda setiap tahun anggaran yang dibutuhkan.
Secara umum dapat diketengahkan
bahwa meski sudah ada Prolegda yang di dalamnya direncanakan sekian jumlah
Raperda yang akan dibahas dalam satu tahun anggaran, namun pos anggaran
tersebut sebenarnya kurang memadai. Dalam perhitungan kasar yang dilakukan oleh
responden, anggaran legislasi setiap Perda itu dialokasikan untuk 1) pembuatan
naskah akademik, 2) perancangan/ perumusan draf Raperda, 3) studi banding, 4)
kegiatan publikasi dan partisipasi publik, dan 5) pembahasan Raperda.
D. Simpulan dan Saran
Dari temuan dan
analisis hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada
lima faktor yang menghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi dalam legislasi
Perda di lokasi penelitian. Kelima faktor penghambat pelembagaan prinsip dasar
demokrasi tersebut adalah: a. faktor substansi hukum, b. faktor struktur hukum,
c. faktor kultur hukum, d. faktor terbatasnya waktu, e. faktor minimnya
anggaran legislasi Perda.
Berdasarkan simpulan di atas, maka untuk
memperbaiki proses pembentukan Perda agar tidak cenderung elitis maka patut
disarankan sebagai berikut:
1.
Agar para elite daerah bersedia menerapkan secara seksama prinsip dasar demokrasi yakni openness principle dalam segala tingkatan legislasi Perda mulai dari perencanaan
hingga sampai dengan penetapan Raperda.
2.
Agar dibuat pos anggaran khusus untuk publikasi Raperda
dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan pembahasan Rperda dalam
anggaran legislasi Perda baik dalam anggaran Pemerintah Daerah mau pun dalam
anggaran DPRD.
3.
Berbagai peraturan perundang-undang baik yang ada pusat
maupun yang ada di daerah yakni Peraturan Tatib DPRD di masing-masing lokasi
penelitian niscaya diamandemen dengan memasukkan prinsip-prinsip dasar
demokrasi.
4.
Harus ada perubahan pandangan elite daerah terhadap
posisi mereka sebagai wakil rakyat yang seharusnya senantiasa dekat dengan
rakyat sehingga dalam legislasi Perda selalu mengikutsertakan rakyat.
5.
Untuk menguatkan pengetahuan masyarakat tentang hak-hak
mereka dalam demokratisasi legislasi Perda, maka masyarakat harus diadvokasi
dan didorong untuk selalu mengawasi proses legislasi Perda di daerahnya
masing-masing.
------
DAFTAR PUSTAKA
Binawan, Al. Andang L., 2002,
“Merunut Logika Legislasi”, artikel dalam Jentera Jurnal Hukum. Edisi 10 – Tahun III, Oktober 2005.
Campbell, Tom and Adrienne Stone (Ed.), 2003, Law and Democracy, Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing
Limited, Burlington.
Chambliss, William J. dan Robert B. Seidman, 1971, Law, Order and Power, Addison-Wesley Publishing, Inc. Philippines.
Dworkin, Ronald, 2003, “The Moral Reading”, dalam Campbell, Tom and
Adrienne Stone (Ed.), Law and Democracy,
Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing Limited, Burlington.
Isra, Saldi, 2004, “Agenda Pembaruan Hukum: Catatan Fungsi Legislasi DPR”,
artikel dalam Jentera Jurnal Hukum,
Edisi 3-Tahun II, November 2004.
Jaweng, Robert Endi, 2006, “Ihwal Perda Bermasalah” Kompas. 24 Maret 2006.
Kasim, Ifdhal, 2000, “Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ dalam
Kajian Hukum di Indonesia”, artikel dalam Jurnal Wacana, Edisi 6, Tahun II,
2000.
Kompas. 16
Juli 2008.
Lev, Daniel S., 1972,
“Judicial Institution and Legal Culture in Indonesia” dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, Penerbit
Cornell University Press, Ithaca.
Rahardjo, Satjipto, 1984, Hukum dan
Masyarakat, Angkasa, Bandung.
-------, 2002, Sosiologi Hukum,
Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah, Penyunting Khudzaifah Dimyati,
Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Samekto, F.X. Adji, 2003 Studi Hukum
Kritis, Kritik Terhadap Hukum Modern. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Vago, Steven, 1997, Law and Society.
Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Varma, S.P., 2007, Modern Political Theory, diterjemahkan oleh Yohanes
Kristiarto SL (dkk.), Teori Politik
Modern. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
[1] Legislasi adalah suatu proses pembuatan
hukum dalam rangka melahirkan hukum positif. Lihat Binawan, Al. Andang L., “Merunut Logika
Legislasi”, artikel dalam Jentera Jurnal
Hukum. Edisi 10 – Tahun III, Oktober 2005, hlm. 9; Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode, dan
Pilihan Masalah, Penyunting Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University
Press, Surakarta, 2002, hlm. 123.
[2] Vago, Steven, Law and Society. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey,
1997, hlm. 166-174.
[3] Kasim, Ifdhal “Mempertimbangkan ‘Critical
Legal Studies’ dalam Kajian Hukum di Indonesia”, artikel dalam Jurnal Wacana, Edisi 6, Tahun II, 2000, hlm. 25. Lihat pula Samekto, F.X. Adji,
Studi Hukum Kritis, Kritik Terhadap Hukum
Modern. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2003, hlm. 68.
[4] Chambliss, William J. dan Robert B.
Seidman, Law, Order and Power,
Addison-Wesley Publishing, Inc. Philippines, 1971, hlm. 73.
[5] Kompas.
16 Juli 2008.
[6] Jaweng, Robert Endi, Ihwal Perda
Bermasalah, Kompas. 24 Maret 2006, hlm.
6.
[7] Dworkin, Ronald, “The Moral Reading”,
dalam Campbell, Tom and Adrienne Stone (Ed.), Law and Democracy, Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing
Limited, Burlington, 2003, hlm. 15.
[8] Ketentuan hukum tersebut masih
bersifat relatif. Lihat Isra, Saldi, “Agenda Pembaruan Hukum: Catatan Fungsi
Legislasi DPR”, artikel dalam Jentera
Jurnal Hukum, Edisi 3-Tahun II, November 2004, hlm. 71-72.
[9] Mengenai teori demokrasi elitis dan
demokrasi partisipatoris lihat Varma, S.P., Modern Political Theory.
Diterjemahkan oleh Yohanes Kristiarto SL (dkk.), Teori Politik Modern. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.
210-223.
[10] Campbell, Tom and Adrienne Stone (Ed.), Law and Democracy, Dartmouth Publishing
Company-Ashgate Publishing Limited, Burlington, 2003, hlm. xi.
[11] blog.unila.ac.id/abdulsyani/files/2009/08/strategi-kebudayaan-2.pdf.
[12] Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung,
1984, hlm. 84
[13]
Lev, Daniel S. “Judicial Institution and Legal Culture in Indonesia” dalam Claire
Holt (ed.), Culture and Politics in
Indonesia, Penerbit Cornell University Press, Ithaca, 1972, hlm. 281.