Selasa, 03 April 2012

FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT IMPLEMENTASI PRINSIP DASAR DEMOKRASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (STUDI DI KABUPATEN LUMAJANG)

Jurnal Hukum ARGUMENTUM Vol. 11 No. 1 Desember 2011      
ISSN: 1412-1751



FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT IMPLEMENTASI PRINSIP DASAR DEMOKRASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (STUDI DI KABUPATEN LUMAJANG)
Anis Ibrahim
- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang -

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap secara empirik praktik legislasi peraturan daerah (Perda) yang dianalisis berdasarkan prinsip dasar demokrasi. Untuk mencapai hal tersebut, maka penelitian ini menggunakan pendekatan socio-legal research. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Perda di lokasi penelitian belum terlembaga secara baik. Berdasarkan analisis data primer maupun data sekunder yang diperoleh di lokasi penelitian dapat diketengahkan bahwa paling tidak ada 5 (lima) faktor yang menghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi di lokasi penelitian yaitu: a. faktor substansi hukum, b. faktor struktur hukum, c. faktor kultur hukum, d. faktor waktu, dan e. faktor anggaran.
Kata kunci: pelembagaan, demokrasi, legislasi, peraturan daerah, socio-legal-research.

A. Pendahuluan
Legislasi[1] atau proses pembentukan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) bukan perkara yang sederhana. Ia merupakan kegiatan cukup rumit dan kompleks. Terkait dengan hal itu, jauh hari Steven Vago pernah menyatakan bahwa: “Lawmaking is a complex and continuous process, and it exists as resp onse to a number of social influences that operate in society. The forces that influence lawmaking cannot always be precisely determined, measured, or evaluated”. Menurutnya, paling tidak ada tiga hal yang mempengaruhi legislasi, yaitu: interest groups, public opinion, dan social science.[2]
Gerakan Critical Legal Studies telah mengingatkan bahwa legislasi untuk menjadikan hukum positif (in abstracto) selalu merupakan hasil dari proses yang sarat dengan berbagai muatan, nilai, dan kepentingan para aktor, yang di dalamnya niscaya mengandung pemihakan-pemihakan.[3] Demikian pula William J. Chambliss dan Robert B. Seidman sampai pada simpulan bahwa “The legislature is, therefore, not mere neutral forum where pluralistic interest groups can bargain out a compromise solution representing their respective power positions”.[4]
Dalam negara yang demokratis konstantasi di atas merupakan keniscayaan. Pengaruh dari berbagai pihak yang berkepentingan atas suatu produk legislasi menjadi sangat kentara. Sebab dalam negara yang menganut langgam demokrasi yang menghormati berbagai kepentingan yang plural tentu hal tersebut bukan merupakan suatu yang tabu. Semua pihak beserta kepentingannya niscaya dihargai sama. Maka, legislasi yang tujuan akhirnya akan mengasilkan sebuah produk hukum tertulis barang tentu akan memperoleh perhatian tersendiri dan menjadi isu yang bisa berjalan dengan penuh kontroversial.
Di era demokratisasi dan otonomi daerah yang luas seperti sekarang ini, eksistensi peraturan daerah (Perda) yang merupakan produk akhir dari legislasi daerah nyatanya banyak menimbulkan kontroversi yang hingga kini belum berakhir. Telah berkali-kali Pemerintah Pusat mempublikasikan adanya Perda yang dianggap tidak mampu mewadahi kepentingan nasional, konteks sosial setempat, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, serta yang menurut banyak kalangan dinilai tidak aspiratif, sehingga direkomendasikan untuk dibatalkan dan/atau direvisi.[5] Perda demikian ini kemudian populer dengan sebutan “Perda bermasalah” atau “Perda tidak aspiratif”.
Barang tentu munculnya Perda tidak aspiratif tersebut tidak tiba-tiba. Ia muncul setelah melalui legislasiyang dilakukan oleh elite daerah, yakni pemerintah daerah dan DPRD, yang secara legal memiliki kewenangan untuk itu. Dalam berbagai penelitian menyimpulkan tanda-tanda munculnya proses demokrasi yang elitis pasca terpilihnya elite daerah melalui Pemilu yang demokratis.[6] Dalam legislasi Perda pun tidak lepas dari tengara demikian, yakni legislasi Perda cenderung elitis. Jika hal ini yang terjadi, jelas mencederai dan mendistorsi makna dari demokrasi sebagai government by the people.[7]
Legislasi Perda yang elitis yang berdampak pada produk hukum daerah yang tidak aspiratif tersebut tentu tidak sejalan dengan hukum[8] yang mendasari legislasi yang di dalamnya telah dirumuskan ketentuan yang mendukung demokratisasi dalam legislasi Perda pada satu sisi, dan pada sisi bersamaan sistem politik dan ketatanegaraan di Indonesia di era otonomi daerah yang seluas-luasnya telah dianggap cukup demokratis pula jika dibanding dengan era Orde Baru yang sentralistrik dan totaliter.
         Dengan demikian tampak bahwa disentralisasi dan otonomi daerah sebagai wujud paling nyata dari penerapan demokrasi tampaknya tidak berbanding lurus pada level legislasi Perda yang niscaya demokratis-partisipatoris.[9] Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang penyebab legislasi Perda yang dilakukan secara elitis tersebut menjadi urgen untuk dilakukan penelitian dengan tema yang sekaligus menjadi judul penelitian yaitu: Faktor-Faktor Yang Menghambat Implementasi Prinsip Dasar Demokrasi Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah  (Studi Di Kabupaten Lumajang)
Dari latar belakang masalah tersebut, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut faktor-faktor apa saja yang menghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Peraturan Daerah di Lumajang? Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Peraturan Daerah di Lumajang.

B. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis empirik (socio-legal research). Pendekatan yang demikian ini dikarenakan penelitian ini tidak semata-mata mengkaji aspek hukum legislasi Perda secara normatif saja, namun juga mengkajinya dari sisi empirik ketika norma hukum berinteraksi dalam kehidupan sosio-politik.[10]
Sedangkan jenis penelitian hukum ini adalah penelitian kuantitatif-kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh jawaban tentang faktor-faktor yang menghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Peraturan Daerah dengan mengambil setting di Kabupaten Lumajang.

C. Hasil dan Pembahasan
1)    Berbagai Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Legislasi Peraturan Daerah
Ada berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan hukum dalam legislasi Perda di lokasi penelitian, yaitu:
1)       UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan .
2)       Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
3)       Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah tentang Tata  Tertib DPRD.
4)       Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 16 tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
5)       Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lumajang No. 04 Tahun 2010 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lumajang.
Pada saat penelitian ini dilangsungkan DPRD di lokasi penelitian telah menyesuaikan Peraturan Tatibnya dengan PP Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah tentang Tata  Tertib DPRD sebagaimana yang tercantum pada Keputusan DPRD Kabupaten Lumajang No 04 Tahun 2010 tentang Peraturan Tatib DPRD Kabupaten Lumajang. Boleh dikatakan bahwa pada umumnya rumusan pasal dan ayat dalam Tatib tersebut sama sekali tidak ada perbedaan yakni kesemuanya tampak sebagai turunan dan merupakan copy paste dari PP No. 16/2010.
Meski semua rumusan tata cara pembentukan Perda dalam semua Tatib DPRD di lokasi penelitian persis sama dengan yang ada dalam PP No. 16/2010, namun dalam Tatib DPRD Kabupaten Lumajang ada tambahan 1 ayat. Hal ini tampakan pada Pasal 110 ayat (8) Peraturan Tatib DPRD Kabupaten Lumajang merumuskan bahwa Perda yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya. Sementara Peraturan Tatib DPRD lainnya tidak mengatur dan merumuskan tentang larangan demikian ini. Ada pun rumusan pasal dan ayat lainnya sama sekali tidak ada perbedaan yakni kesemuanya tampak sebagai turunan dan merupakan copy paste dari PP No. 16/2010.
Dalam hal perencanaan dan persiapan Raperda, Peraturan Tatib DPRD merumuskan bahwa Raperda diajukan berdasarkan Prolegda. Namun ketentuan ini sifatnya tidak imperatif, sebab dalam keadaan tertentu DPRD atau Kepala Daerah dapat mengajukan Raperda di luar Prolegda. Sementara keberadaan naskah akademik juga bukan merupakan suatu keharusan untuk menyertai setiap Raperda. Pasal 103 ayat (2) Tatib DPRD Kabupaten Lumajang merumuskan dengan kalimat hukum bahwa “Raperda yang berasal dari DPRD atau Kepala Daerah disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik”.
Dengan rumusan “disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik” ini kiranya dapat diketengahkan bahwa naskah akademik hanya pilihan saja. Artinya, naskah akademik boleh disertakan maupun tidak disertakan dalam Raperda. Rumusan demikian merupakan copy paste dari Pasal 81 ayat (2) PP No. 10/2010, yang dalam penjelasan PP tersebut memang dirumuskan bahwa:
“Pada prinsipnya semua naskah rancangan peraturan daerah harus disertai naskah akademik, tetapi beberapa rancangan peraturan daerah seperti rancangan peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah, rancangan peraturan daerah yang hanya terbatas mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya, dapat disertai atau tidak disertai naskah akademik”.

2) Hasil Penelitian
Pada saat penelitian ini dilangsungkan, Pemda Kabupaten Lumajang telah memiliki website yakni: http://www.lumajang.go.id. Sementara itu DPRD Kabupaten Lumajang belum memiliki website sendiri. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata website tersebut belum digunakan secara maksimal untuk mempublikasikan Raperda. Dengan demikian masyarakat yang peduli dengan legislasi Perda niscaya tidak bisa mengikuti jalannya proses pembentukan Perda.
Terkait dengan fungsi legislasi Perda ini, dalam Peraturan Tatib DPRD di lokasi penelitian dirumuskan adanya alat kelengkapan yang bersifat tetap dengan nama Badan Legislasi Daerah (Banlegda) yang tugasnya adalah:
a.    menyusun rancangan program legislasi daerah yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan peraturan daerah beserta alasannya untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPRD;
b.    koordinasi untuk penyusunan program legislasi daerah antara DPRD dan pemerintah daerah;
c.    menyiapkan rancangan peraturan daerah usul DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
d.    melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD;
e.    memberikan pertimbangan terhadap rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi, di luar prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan atau di luar rancangan peraturan daerah yang terdaftar dalam program legislasi daerah;
f.      mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan peraturan daerah melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
g.    memberikan masukan kepada pimpinan DPRD atas rancangan peraturan daerah yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan
h.    membuat laporan kinerja pada masa akhir keanggotaan DPRD baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya.
DPRD di lokasi penelitian telah memiliki alat kelengkapan yang berupa Banlegda tersebut. Sesuai dengan Peraturan Tatib DPRD, Balegda inilah yang akan terkait erat dengan masalah legislasi Perda. Ada pun Ketua Banlegda DPRD di lokasi penelitian dijabat oleh Ahmad Lukman Hakim,SE dari Fraksi PKNU (Partai Kebangkitan Nahdlatul Umat).
Peraturan Tatib DPRD di lokasi penelitian juga mengkonstatasi adanya kelompok pakar atau tim ahli. Namun, ketika penelitian ini dilangsungkan, DPRD Kabupaten Lumajang belum memiliki kelompok pakar/tim ahli. Menurut Ketua Banlegda DPRD Kabupaten Lumajang, DPRD Kabupaten Lumajang membuat kebijakan bahwa DPRD mengangkat kelompok pakar/tim ahli tidak secara permanen, tegasnya tim ahli tersebut dibentuk secara ad hoc berdasarkan keperluan-keperluan yang dianggap mendesak.
Jika demikian itu halnya maka kebijakan itu tampak kurang selaras dengan Peraturan Tatib DPRD Kabupaten Lumajang dalam Pasal 120 ayat (1) yang merumuskan secara rinci tugas tim ahli yaitu:
a.    Jasa konsultasi,
b.    Sosialisasi isu strategis;
c.    Pengkajian peraturan daerah;
d.    Menyusun naskah akademik dalam rangka pembentukan peraturan daerah;
e.    Pelatihan peningkatan kompetensi kinerja kelembagaan dalam kerangka program legislasi daerah.
Jumlah Perda yang dibentuk di lokasi penelitian dalam kurun waktu 7 bulan terakhir yaitu dari bulan Januari 2011 hingga bulan Juli 2011 telah berhasil disahkan sebanyak 13 Perda. Sebenarnya jumlah Raperda yang direncanakan untuk dibahas semuanya berjumlah 23 Raperda. Dengan pertimbangan dari DPRD, maka hanya 13 Raperda yang dibahas dan berhasil disahkan. Semua Reperda tersebut adalah usulan dari eksekutif daerah. Memang hingga kini belum pernah sekalipun ada Raperda yang merupakan usul inisiatif DPRD.
Dari semua Perda tersebut Perda yang termasuk dalam rumpun aktivitas usaha yang berdampak pada pungutan terhadap masyarakat menempati urutan paling banyak yaitu 84,64%. Sedangkan Perda/Raperda dalam rumpun kehidupan sosial maupun Perda dalam rumpun organisasi dan administrasi pemerintahan sama jumlahnya yaitu masing-masing 15,38 %. Adapun Perda yang menyangkut kehidupan sosial pada kurun waktu 7 bulan terakhir tidak ada yang diproses. Hal ini bisa dilihat pada Tabel di bawah ini.
Tabel
KOMPOSISI PERDA DI LOKASI PENELITIAN JANUARI-JULI 2011
NO.
RUMPUN PERDA
JUMLAH
%
1
ORGANISASI DAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
2
15,38
2
AKTIVITAS USAHA
11
 84,62
3
KEHIDUPAN SOSIAL
  0
   0,00
Jumlah
13
100,00
Sumber: Data Skunder Tahun 2011 diolah
Secara normatif, acuan Raperda apa saja yang akan dirumuskan dan dibahas dalam satu tahun anggaran seharusnya didasarkan pada Prolegda (Program legislasi daerah). Ternyata proses pembuatan Perda pada tahun 2011 Kabupaten Lumajang tidak didasarkan pada Prolegda. Menurut Kabag Hukum Pemkab Lumajang, meski tidak didasarkan Prolegda, namun legislasi Perda di Kabupaten Lumajang bukannya tanpa didasarkan pada perencanaan yang ada. Ada tidaknya Raperda yang akan diusulkan Pemkab tergantung dari usulan masing-masing satuan kerja daerah. 
Sementara itu karena DPRD Kabupaten Lumajang hingga kini belum pernah mengusulkan Raperda inisiatif, maka mereka hanya pasif saja menunggu usulan Raperda dari eksekutif. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa legislasi Perda di Kabupaten Lumajang tidak didasarkan pada suatu program yang terencana dan sistematis.

3) Faktor-faktor yang menghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Peraturan Daerah di Lumajang
Dalam penelitian ini, dengan mendasarkan telaah/kajian teoritik tentang demokrasi, dikonstantasi bahwa prinsip dasar demokrasi itu paling tidak ada lima prinsisp yang meliputi meliputi: (a) prinsip keterbukaan, (b) prisip partisipasi publik, (c) prisip persamaan/kesetaraan, (d) prinsip kebebasan, (e) prinsip kontrol rakyat terhadap proses kebijakan yang dibuat elite. Lima prinsip dasar demokrasi ini di lokasi penelitian ternyata belum terimplementasikan/belum terlembagakan dengan baik. Barang tentu ada berbagai faktor yang menghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi tersebut.
Pelembagaan (institutionalization) adalah suatu proses yang dilewati suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial. Maksudnya adalah norma kemasyarakatan itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai dan kemudian dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari.[11] Beranjak dari pengertian yang demikian ini, maka dalam konteks penelitian ini pelembagaan demokrasi diberi makna sebagai suatu proses yang dilewati oleh prinsip-prinsip demokrasi (sekalian dengan norma-normanya) – yang merupakan norma dan prinsip yang baru – yang dikenali, diakui, dihargai, kemudian dipatuhi dan selanjutnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat yang bersangkutan.
Dari penelusuran terhadap fakta empirik (data primer) yang diperoleh di lokasi penelitian maupun fakta normatif (data skunder) dapat diketengahkan bahwa paling tidak ada 5 (lima) faktor yang menghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi di lokasi penelitian yaitu: a. faktor substansi hukum, b. faktor struktur hukum, c. faktor kultur hukum, d. faktor waktu, dan e. faktor anggaran.
> Faktor Substansi Hukum
Substansi hukum dibatasi pengertiannya pada peraturan perundang-undangan (peraturan hukum) yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang untuk menjalankan fungsi legislasi baik itu lembaga legislatif di tingkat pusat mau pun di tingkat daerah dan lembaga eksekutif baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Peraturan hukum ini mulai dari yang berjenis Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda, Peraturan Menteri, Peraturan DPRD, maupun Keputusan DPRD.
Pada dasarnya UUP3 telah merumuskan prinsip dasar demokrasi. Hal ini bisa ditelaah dari adanya rumusan asas keterbukaan yang tercantum dalam Pasal 5 huruf g. Namun rumusan dalam UUP3 itu menunjukkan bahwa perumusan prinsip dasar demokrasi khususnya dalam hal keterbukaan ternyata bersifat relatif. Hal ini dikarenakan masalah apakah suatu Raperda baik ketika sedang disiapkan maupun ketika sedang dibahas mesti dipublikasikan ke tengah masyarakat, ternyata bukan merupakan suatu keharusan.
Prinsip partisipasi publik dalam legislasi Perda dalam UUP3 tersebut juga bersifat relatif. Hal ini karena masih tergantung pada DPRD untuk mau merumuskannya dalam Peraturan Tatibnya atau tidak. Hal ini bisa dibaca dalam Penjelasan Pasal 53 yang berbunyi: ”Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/dewan, perwakilan rakyat daerah”. Jadi kesimpulannya bahwa hak normatif masyarakat untuk berpartisipasi dalam legislasi Perda tergantung kepada ’kebaikan’ DPRD apakah akan dirumuskan ataukah tidak dalam Peraturan Tatibnya. Perihal perumusan prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Perda yang demikian itu juga persis sama dengan yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
PP No. 16 Tahun 2010 merupakan pedoman umum bagi sekalian DPRD dalam pembuatan Peraturan Tatib DPRD. Di dalamnya diatur berbagai segi tentang DPRD   kaitannya dengan bagaimana DPRD harusnya merumuskan hak dan kewajibannya, serta bagaimana merumuskan secara normatif perihal fungsi pokok yang dimilikinya. Salah satunya diatur tentang pedoman dalam merumuskan fungsi legislasi Perda. Ketentuan DPRD dalam merumuskan fungsi legislasi diatur pada Bab IX tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah dari Pasal 81 sampai Pasal 88.
Jika ditelaah akan segera tampak bahwa seluruh pasal yang jumlahnya 8 (delapan) tersebut ternyata tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Perda yakni asas keterbukaan (yang ditandai dengan adanya rumusan tentang publikasi Raperda) dan prinsip partisipasi publik dalam legislasi Perda. Selain masalah teknis pembentukan Perda, hal yang baru tentang legislasi Perda dalam PP No. 16 Tahun 2010 adalah dicantumkannya ketentuan Naskah Akademik dan ketentuan tentang Prolegda. Ketentuan tentang Naskah Akademik dan Prolegda ini pun sifanya tidak imperatif dalam setiap pembentukan Perda.
Sementara itu Permendagri No. 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah merupakan sebuah produk hukum pemerintah pusat yang di dalamnya berisi petunjuk teknis administratif tentang bagaimana pihak eksekutif daerah ketika menyiapkan dan penyusun Raperda. Kehadiran Permendagri tersebut tampaknya tidak sesuai dengan UUP3 dan UU No. 32 Tahun 2004, sebab kedua UU tersebut mengamanatkan bahwa tata cara pemerintah daerah dalam mempersiapakan Raperda akan diatur lewat peraturan presiden (Perpres).
 Dari pembacaan dan analisis seluruh ketentuan yang ada dalam Permendagri No. 16 Tahun 2006 dapat diketengahkan bahwa peraturan hukum ini sama sekali tidak merumuskan ketentuan yang menyangkut penyebarluasan Raperda maupun partisipasi masyarakat pada saat Raperda sedang disiapkan. Ketentuan penyebarluasan ini baru diatur setelah setelah Raperda disahkan/ditetapkan dan dimuat dalam lembaran daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: “Produk hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 sebelum disebarluaskan harus terlebih dahulu dilakukan autentifikasi”.
Khusus mengenai Peraturan Tatib DPRD, pada dasarnya peraturan hukum di lingkungan DPRD tersebut merupakan derivasi dari PP No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena merupakan derivasi dari maka ketentuan tentang legislasi Perda pada Peraturan Tatib DPRD di lokasi penelitian adalah persis sama yang ada dalam PP No. 16 tahun 20110, dengan sedikit tambahan dalam Tatib DPRD Kabupaten Lumajang ada tambahan 1 ayat yang menjadikannya agak berbeda peraturan di atasnya.
Pasal 110 ayat (8) Tatib DPRD Kabupaten Lumajang merumuskan bahwa Perda yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya. Sementara Peraturan Tatib DPRD lainnya tidak mengatur dan merumuskan tentang larangan demikian ini. Ada pun rumusan pasal dan ayat lainnya sama sekali tidak ada perbedaan yakni kesemuanya tampak sebagai turunan dan merupakan copy paste dari PP No. 16/201.
Oleh karena rumusan tata cara pembentukan Perda dalam Tatib DPRD merupakan turunan langsung dari PP No. 16 Tahun 2010, maka di dalam Tatib DPRD tidak diatur dan juga tidak dirumuskan tentang (a) bagaimana penyebarluasan Raperda, (b) hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam semua tahapan legislasi Perda, (c) bagaimana pengakomodasian aspirasi publik, (d) tata cara melakukan konsultasi publik, dan (e) mekanisme komplain publik jika hak-hak publik dirugikan.
Jika demikian halnya maka dapat diketengahkan bahwa rumusan terkait dua prinsip dasar dalam demokrasi dalam Tatib DPRD (termasuk juga dalam PP No. 16 Tahun 2010) mengalami kemunduran manakala dibanding dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 10/2004 tentang P3 maupun UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Padahal kedua UU tersebut telah menentukan tentang tata cara penyebarluasan Raperda dan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam legislasi Perda – termasuk rambu-rambu agar Perda tidak bertentangan dengan kepentingan umum (berarti harus melakukan konsultasi publik)  dan peraturan yang lebih tinggi yang hanya diatur dalam Tatib DPRD Kabupaten Lumajang – agar diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tatib DPRD. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa pada tataran normatif jaminan hukum terhadap demokratisasi dalam legislasi Perda menjadi terdegradasi dalam PP maupun Tatib DPRD.
> Faktor struktur hukum
Struktur hukum di sini diberi pengertian sebagai kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum yang bersangkutan dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut.[12] Meski ada yang menyatakan bahwa lembaga legislatif merupakan lembaga politik, namun karena eksistensinya dilahirkan dari suatu produk dan ia memiliki fungsi-fungsi dan tugas-tugas di bidang hukum, seperti fungsi pembentukan hukum perundang-undangan, maka tidak salah jika lembaga legislatif sejatinya juga merupakan salah satu komponen sruktural hukum.
Secara normatif, keberadaan lembaga legislatif di Indonesia beserta berbagai fungsi yuridisnya – yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, dan fungsi perwakilan – sudah tidak ada yang mempersalahkan. Namun implementasi fungsi-fungsi tersebut masih menjadi permasalahan tersendiri.
Banyaknya Perda yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri karena setelah dievaluasi dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum menunjukkan bahwa lembaga legislatif dan eksekutif tidak memperhatikan kepentingan publik. Ini artinya produk-produk hukum daerah yang dihasilkan oleh lembaga ini tidak memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip dasar demokrasi ketika kedua lembaga di daerah sedang memproses pembentukan Perda.
> Faktor kultur hukum
Yang dimaksud dengan kultur hukum adalah berupa nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah kultur hukum bangsa secara keseluruhan. Salah satu sikap rakyat Indonesia terhadap hukum atau pejabat-pejabat hukum adalah lebih cenderung kepada orientasi terhadap orang dibanding terhadap hukum itu sendiri. Petugas-petugas hukum ditaati bukan karena alasan-alasan karena kepatuhannya terhadap hukum negara.[13]
Berdasarkan data penelitian yang berasal dari wawancara baik dengan responden anggota DRD maupun dari pihak eksekutif di lokasi penelitian dapat menjadi petunjuk tentang sikap mereka dalam kaitannya dengan pelembagaan prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Perda. Jawaban responden mengarah pada dua hal yakni: 1) Ada responden telah mengimplementasikan dua prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Perda. Pertimbangannya adalah agar Perda setelah diundangkan nantinya efektif maka sebelumnya harus memperoleh masukan dari masyarakat.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa meski ada proses publikasi dan partisipasi masyarakat, namun proses ini tampaknya masih bersifat artifisial, karena hanya sekali masyarakat diajak bicara untuk memberi masukan pada saat proses penyiapan dan pembahasan Raperda. Bagaimana kemudian hasil dari masukan-masukan masyarakat apakah benar-benar akan menjadi warna perubahan Raperda pada dasarnya masyarakat tidak mengetahui. Hal ini karena elite daerah tidak lagi mempublikasikan lagi hasil serap aspirasi masyarakat tersebut dalam suatu proses uji publik lanjutan.
Di samping itu juga ada responden yang menyatakan bahwa jika proses partisipasi masyarakat ditempuh, maka proses pembahasan akan bertele-tele. Permintaan dan masukan masyarakat macam-macam dan aneh-aneh, yang bisa saja tidak akan fokus pada substansi Raperda. Jika diberi kesempatan maka bisa dipastikan bahwa Raperda tidak akan jadi sementara Pemda sangat membutuhkan Perda tersebut.
> Faktor waktu
Waktu yang terbatas juga menjadi faktor penyebab tidak terlembagakannya prinsip dasar demokrasi berikutnya dalam proses pembentukan Perda di lokasi penelitian. Memang tidak semua Raperda yang dibentuk selalu terkait dengan keterbatasan waktu untuk menyiapkan/menyusun mau pun membahasnya. Beberapa Raperda ketika sedang disiapakan/disusun di tingkat SKPD mau pun ketika dibahas tidak ada kendala waktu untuk menyelesaikannya.
Pada umumnya masalah keterbatasan waktu itu terjadi baik terhadap Raperda ketika sedang disusun di tingkat SKPD maupun ketika sedang dibahas bersama antara Tim SKPD dengan DPRD. Keterbatasan waktu penyiapan/penyusuan dan pembahasan Raperda tersebut disampaikan oleh semua responden di lokasi penelitian ketika menyusun dan membahas Raperda terkait dengan pungutan yang akan diterapkan kepada masyarakat.
> Faktor Anggaran
Jika ditelisik lebih lanjut alokasi anggaran legislasi Perda masih sangat minim dibanding dengan Raperda yang dibahas setiap tahunnya. Berapa anggaran legislasi Perda setiap tahunnya, ternyata masing-masing responden DPRD maupun SKPD mengaku tidak tahu persisnya. Dengan demikian dalam laporan penelitian ini tidak bisa diketengahkan besaran anggaran legislasi Perda setiap tahun anggaran yang dibutuhkan.
Secara umum dapat diketengahkan bahwa meski sudah ada Prolegda yang di dalamnya direncanakan sekian jumlah Raperda yang akan dibahas dalam satu tahun anggaran, namun pos anggaran tersebut sebenarnya kurang memadai. Dalam perhitungan kasar yang dilakukan oleh responden, anggaran legislasi setiap Perda itu dialokasikan untuk 1) pembuatan naskah akademik, 2) perancangan/ perumusan draf Raperda, 3) studi banding, 4) kegiatan publikasi dan partisipasi publik, dan 5) pembahasan Raperda.

D. Simpulan dan Saran
Dari temuan dan analisis hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada lima faktor yang menghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi dalam legislasi Perda di lokasi penelitian. Kelima faktor penghambat pelembagaan prinsip dasar demokrasi tersebut adalah: a. faktor substansi hukum, b. faktor struktur hukum, c. faktor kultur hukum, d. faktor terbatasnya waktu, e. faktor minimnya anggaran legislasi Perda.
Berdasarkan simpulan di atas, maka untuk memperbaiki proses pembentukan Perda agar tidak cenderung elitis maka patut disarankan sebagai berikut:
1.         Agar para elite daerah bersedia menerapkan secara seksama prinsip dasar demokrasi yakni openness principle dalam segala tingkatan legislasi Perda mulai dari perencanaan hingga sampai dengan penetapan Raperda.
2.         Agar dibuat pos anggaran khusus untuk publikasi Raperda dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan pembahasan Rperda dalam anggaran legislasi Perda baik dalam anggaran Pemerintah Daerah mau pun dalam anggaran DPRD.
3.         Berbagai peraturan perundang-undang baik yang ada pusat maupun yang ada di daerah yakni Peraturan Tatib DPRD di masing-masing lokasi penelitian niscaya diamandemen dengan memasukkan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
4.         Harus ada perubahan pandangan elite daerah terhadap posisi mereka sebagai wakil rakyat yang seharusnya senantiasa dekat dengan rakyat sehingga dalam legislasi Perda selalu mengikutsertakan rakyat.
5.         Untuk menguatkan pengetahuan masyarakat tentang hak-hak mereka dalam demokratisasi legislasi Perda, maka masyarakat harus diadvokasi dan didorong untuk selalu mengawasi proses legislasi Perda di daerahnya masing-masing.
------


DAFTAR PUSTAKA

Binawan, Al. Andang L., 2002,  “Merunut Logika Legislasi”, artikel dalam Jentera Jurnal Hukum. Edisi 10 – Tahun III, Oktober 2005.
Campbell, Tom and Adrienne Stone (Ed.), 2003, Law and Democracy, Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing Limited, Burlington.
Chambliss, William J. dan Robert B. Seidman, 1971, Law, Order and Power, Addison-Wesley Publishing, Inc. Philippines.
Dworkin, Ronald, 2003, “The Moral Reading”, dalam Campbell, Tom and Adrienne Stone (Ed.), Law and Democracy, Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing Limited, Burlington.
Isra, Saldi, 2004, “Agenda Pembaruan Hukum: Catatan Fungsi Legislasi DPR”, artikel dalam Jentera Jurnal Hukum, Edisi 3-Tahun II, November 2004.
Jaweng, Robert Endi, 2006, “Ihwal Perda Bermasalah” Kompas. 24 Maret 2006.
Kasim, Ifdhal, 2000, “Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ dalam Kajian Hukum di Indonesia”, artikel dalam Jurnal Wacana, Edisi 6, Tahun II,  2000.
Kompas. 16 Juli 2008.
Lev, Daniel S., 1972, “Judicial Institution and Legal Culture in Indonesia” dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, Penerbit Cornell University Press, Ithaca.
Rahardjo, Satjipto, 1984, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung.
-------, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah, Penyunting Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Samekto, F.X. Adji, 2003 Studi Hukum Kritis, Kritik Terhadap Hukum Modern. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Vago, Steven, 1997, Law and Society. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Varma, S.P., 2007, Modern Political Theory, diterjemahkan oleh Yohanes Kristiarto SL (dkk.), Teori Politik Modern. RajaGrafindo Persada, Jakarta.



[1] Legislasi adalah suatu proses pembuatan hukum dalam rangka melahirkan hukum positif.  Lihat Binawan, Al. Andang L., “Merunut Logika Legislasi”, artikel dalam Jentera Jurnal Hukum. Edisi 10 – Tahun III, Oktober 2005, hlm. 9; Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah, Penyunting Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002,  hlm. 123.
[2] Vago, Steven, Law and Society. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey, 1997, hlm. 166-174.
[3] Kasim, Ifdhal “Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ dalam Kajian Hukum di Indonesia”, artikel dalam Jurnal Wacana, Edisi 6, Tahun II,  2000, hlm. 25. Lihat pula Samekto, F.X. Adji, Studi Hukum Kritis, Kritik Terhadap Hukum Modern. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2003, hlm. 68.
[4] Chambliss, William J. dan Robert B. Seidman, Law, Order and Power, Addison-Wesley Publishing, Inc. Philippines, 1971, hlm. 73.
[5] Kompas. 16 Juli 2008.
[6] Jaweng, Robert Endi, Ihwal Perda Bermasalah, Kompas. 24 Maret 2006, hlm. 6.
[7] Dworkin, Ronald, “The Moral Reading”, dalam Campbell, Tom and Adrienne Stone (Ed.), Law and Democracy, Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing Limited, Burlington, 2003, hlm. 15.
[8] Ketentuan hukum tersebut masih bersifat relatif. Lihat Isra, Saldi, “Agenda Pembaruan Hukum: Catatan Fungsi Legislasi DPR”, artikel dalam Jentera Jurnal Hukum, Edisi 3-Tahun II, November 2004, hlm. 71-72.
[9] Mengenai teori demokrasi elitis dan demokrasi partisipatoris lihat Varma, S.P., Modern Political Theory. Diterjemahkan oleh Yohanes Kristiarto SL (dkk.), Teori Politik Modern. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 210-223.
[10] Campbell, Tom and Adrienne Stone (Ed.), Law and Democracy, Dartmouth Publishing Company-Ashgate Publishing Limited, Burlington, 2003, hlm. xi.
[11] blog.unila.ac.id/abdulsyani/files/2009/08/strategi-kebudayaan-2.pdf.
[12] Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hlm. 84
[13] Lev, Daniel S. “Judicial Institution and Legal Culture in Indonesia” dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, Penerbit Cornell University Press, Ithaca, 1972, hlm. 281.