Kamis, 30 Desember 2010

PERSPEKTIF FUTURISTIK PANCASILA SEBAGAI ASAS/IDEOLOGI DALAM UU KEORMASAN

Jurnal Konstitusi Vol. III No. 2, November 2010      ISSN: 1829-7706


PERSPEKTIF FUTURISTIK PANCASILA SEBAGAI ASAS/IDEOLOGI DALAM UU KEORMASAN
Oleh: Dr. Anis Ibrahim,SH.,M.Hum.*

ABSTRAK
UU Keormasaan Tahun 1985 yang di dalamnya memuat ketentuan bahwa setiap ormas wajib mencantumkan Pancasila sebagai satu-satu asas organisasi, kini sudah tidak efektif lagi. Ketidakefektifan ini dikarenakan munculnya kesenyapan dalam memperbincangkan Pancasila dalam perspektif pencarian solusi atas permasalahan bangsa serta ada keengganan pemerintah untuk menegakkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ormas. Oleh karena itu, UU tersebut sudah pada waktunya untuk diamandemen dengan mengadopsi UU Parpol Tahun 2008 khususnya yang berkaitan dengan posisi Pancasila sebagai asas yang memungkinkan ormas menggunakan asas selain Pancasila dengan ketentuan bahwa asas yang digunakan tidak boleh bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Kata kunci: UU Keormasan, Amandemen, Ideologi Pancasila.
A.     Gema Yang Mengendur
Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru (Orba), sungguh popularitas Pancasila mengalami kemerosotan yang luar biasa. Kecuali sekedar dilafalkan pada upacara hari senin di sekolah, peringatan hari besar RI, dan setahun sekali di awal bulan Juni, selebihnya Pancasila nyaris dilupakan orang. Maka tidak berlebihan jika Ketua Mahkamah Konsitusi, Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa “gema Pancasila sudah sangat mengendur” di era reformasi ini.[1]
Padahal, Pancasila di era Orba memiliki kedigdayaan yang luar biasa. Hampir setiap nafas bangsa ini tidak luput dari hembusan Pancasila. Mulai dari dijadikan bahan pidato para pejabat, alat sanjungan, hingga dijadikan sarana dan tameng untuk menjatuhkan lawan politik. Orang Indonesia belum dianggap sebagai Pancasilais sejati jika belum mengikuti Penataran P4. Tempat strategis selalu ada tetenger Pancasila ini, dan masih banyak contoh lainnya.
Coba sekarang diamati, siapa kira-kira yang saat ini masih getol membicarakan,  mengelaborasi, dan mengekplorasi bahkan mungkin “berjibaku mengekploitasi” Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan di Indonesia. Nyaris banyak yang alergi dengan Pancasila. Bisa jadi banyak yang merasa malu dan risih jika membicarakan Pancasila, karena khawatir akan muncul anggapan bahwa orang demikian ini termasuk ahli waris Orba yang selalu meneriakkan Pancasila namun perilakunya sarat dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).[2]
Kesenyapan mendialogkan Pancasila dalam pentas keseharian semakin terasakan pada akhir-akhir ini ketika organisasi kemasyarakatan (ormas) mau pun partai politik (Parpol) kehilangan gairah untuk mengkaitkan Pancasila dalam berbagai hal aspek kehidupan. Dalam situasi yang demikian ini, bahkan ada beberapa organisasi yang tidak lagi mendasarkan dirinya pada Pancasila sebagai asas dan ideologi institusinya. Sebut misalnya, Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu Ormas yang tidak berasaskan Pancasila.[3] Bagaimana dengan ormas lainnya? Apakah masih konsisten menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas?
Padahal, UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan hingga kini belum dicabut. Dalam Konsideran d, Pasal 2 dan Penjelasannya, secara tegas dirumuskan bahwa Ormas harus memegang teguh Pancasila sebagai satu-satunya asas. Jika tidak menggunakan asas Pancasila, Pemerintah melalui Pasal 15 dapat membubarkan ormas yang bersangkutan.
Meskipun UU produk Orba itu belum dicabut, tampaknya di era demokrasi dan otonomi daerah saat ini pemerintah enggan untuk kembali menerapkannya. Statemen pemerintah beberapa saat lalu yang akan membubarkan ormas yang anarkis dan tidak berasaskan Pancasila ternyata hanya berhenti pada statemen. Bolehlah hal ini dikatakan bahwa negara dan hukum yang mengatur tentang keormasan telah mandul ataukah ada kesengajaan untuk dimandulkan.
UU Keormasan Tahun 1985 yang sudah tidak efektif lagi dalam mengatur dan menertibkan ormas yang tidak menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas tampaknya mendesak untuk diamandemen. Argumentasinya adalah  bahwa sebagai negara hukum, pemerintah Indonesia tidak bisa membiarkan ormas berjalan sendiri-sendiri tanpa ada ketentuan baku yang pasti dan berkeadilan bagi semuanya.

B.     Pancasila sebagai Dasar Negara
Bernard Arief Sidharta menyimpulkan bahwa Negara Indonesia yang akan diwujudkan oleh bangsa Indonesia adalah Negara Pancasila dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Negara Pancasila adalah negara hukum, (2) Negara Pancasila itu adalah negara demokrasi yang dalam keseluruhan kegiatan kenegaraannya selalu terbuka bagi partisipasi seluruh rakyat, (3) Negara Pancasila adalah organisasi seluruh rakyat yang menata diri secara rasional dan dalam kebersamaan berikhtiar dalam kerangka dan melalui tatanan kaidah hukum yang berlaku, mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat dengan selalu mengacu pada nilai-nilai martabat manusia dan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]
Secara konstitusional, Pancasila tersebut terumus dalam alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945, yakni: “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Keberadaan Pancasila yang telah terumus secara pasti dalam UUD Tahun 1945 dengan iringan berbagai rumusan gagasan/konsepsi tentang fungsi Pancasila tersebut pada kenyataannya masih terus mengalami pematangan melalui berbagai “gugatan” dari warga negara Indonesia sendiri. Internalisasi Pancasila oleh Orde Baru melalui model penataran - yang ternyata tidak lebih sebagai bentuk indoktrinasi - Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) (dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) yang dilakukan selama lebih kurang duapuluh tahun  dianggap tidak mampu menanamkan nilai-nilai Pancasila secara mendalam apalagi menjadi bagian dari budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.
Akhirnya, pada tahun 1998 di tengah kegandrungan reformasi yang sedang begulir, bangsa Indonesia melalui MPR melakukan evaluasi dan menyimpulkan bahwa Penataran P4 telah gagal. Kemudian Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 tersebut dicabut melalui Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketatapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara.
Setelah terbitnya Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tersebut, untuk saat ini kedudukan Pancasila adalah sebagai asas/dasar negara. Hal ini jelas dan tegas termaktub dalam Pasal 1 Ketetapan MPR tersebut yang berbunyi sebagai berikut: “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 adalah dasar negara (huruf tebal, penulis) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara”. Masalahnya adalah bagaimana kini bangsa Indonesia harus melaksanakan Pancasila secara konsisten tersebut, ternyata tidak ada penjelasan konsepsional maupun yuridis konstitusionalnya.
Ketiadaan konsep yang dapat dijadikan pedoman dalam memahami dan melaksanakan Pancasila baik sebagai dasar negara mau pun sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bermasyarakat Indonesia bisa menimbulkan kerumitan-kerumitan tersendiri. Apakah hanya dengan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara melalui sebuah Ketetapan MPR berarti Pancasila akan mampu menjadi pedoman menyelesaikan berbagai persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan? Barang tentu tidak demikian. Sebuah tantangan bagi bangsa saat ini untuk mampu memberikan rumusan konsepsional dan bahkan operasional yang sesuai dengan nilai dan semangat Pancasila sebagai dasar negara tersebut.  

C.    Pancasila sebagai Rechtsidee
Dengan mengunakan perspektif Hans Nawiasky, Pancasila merupakan  Staatsfundamentalnorm – yang diterjemahkan A. Hamid S. Attamimi sebagai “Norma Fundamental Negara” – adalah norma hukum tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum. Staatsfundamentalnorm sebagai norma tertinggi suatu negara merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, namun bersifat pre-supposed oleh masyarakat dalam suatu negara, dan merupakan norma hukum bagi bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.[5]
Staatsfundamentalnorm suatu negara merupakan dasar filosofis yang mengandung kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut.[6] Bagi Negara Republik Indonesia, Pancasila adalah staatsfundamentalnorm, dengan argumentasi karena Pancasila merupakan rechtsidee (cita hukum - Attamimi menerjemahkan “cita-cita hukum”)  rakyat Indonesia.[7]
Hasil Seminar “Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional” menyebutkan bahwa “Cita-hukum (rechtsidee) mengandung arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan fikiran dari masyarakat itu sendiri”. Dalam dinamika kehidupan masyarakat, cita hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi), dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, dan penerapan hukum) dan perilaku hukum. Cita-hukum (rechtsidee) Pancasila berintikan:
(1)   Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2)   Penghormatan atas martabat manusia;
(3)   Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara;
(4)   Persamaan dan kelayakan;
(5)   Keadilan sosial;
(6)   Moral dan budi pekerti yang luhur; dan
(7)   Partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan putusan publik.[8] 
A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan “bintang pemandu” yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan yang memberi isi pada tiap-tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif merupakan  kerangka untuk membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut. Terhadap isi peraturan perundang-undangan, sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan merupakan asas hukum umum.[9]
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara sekaligus sebagai cita hukum merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Jika demikian halnya, maka Pancasila dalam tatanan hukum di Indonesia memiliki 2 (dua) dimensi, yaitu (1) sebagai norma kritik, yakni menjadi batu uji bagi norma-norma di bawahnya, dan (2) sebagai bintang pemandu, yang menjadi pedoman dalam pembentukan hukum di bawahnya. Atau yang secara padat dinyatakan Muladi bahwa Pancasila merupakan instrumen dari “Margin of Appreciation doctrine”, yang dalam hal ini Pancasila menjadi acuan parameter bagi penerapan “Margin of Appreciation Doctrine”.[10]

D.    Kehandalan Pancasila sebagai Ideologi
Selama ini telah terwacanakan bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia tidak sekedar sebagai dasar negara saja, namun Pancasila juga sebagai rechtsidee, filosofi dasar dan ideologi bangsa/negara. Sebagai dasar negara, filosofi dasar, dan ideologi bangsa Pancasila sudah “tidak bisa ditawar” lagi. Muladi menyatakan bahwa Pancasila harus dilihat secara utuh sebagai “national guidelines, atau sebagai national standart, norms and principles[11] bagi seluruh perjalanan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat di Indonesia.
Moh. Mahfud MD menegaskan bahwa Pancasila yang rumusannya terdapat dalam Alinea IV Pembukaan UUD Tahun 1945 adalah modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia. Pancasila sangat cocok dengan realitas bangsa Indonesia yang plural. Dengan Pancasila akan menjadi “ruang” bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang semula mungkin saling bertentangan secara diametral.[12] Kesejarahan bangsa Indonesia selama ini tampak selalu gagal untuk menemukan ideologi baru selain Pancasila dalam kerangka untuk menyatukan relitas bangsa yang pluralistik.
Jadi, kata kuncinya utamanya adalah Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia adalah sebagai dasar sekaligus sebagai ideologi. Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang Pancasila sebagai ideologi, pada kesempatan ini layak kiranya jika dibuka-buka kembali ingatan tentang apa itu yang dinamakan ideologi. Uraian secara singkat tentang makna ideologi itu diperlukan agar terdapat kesamaan pandangan tentang apa yang dimaksud dengan ideologi itu.
Sejak diperkenalkan Destutt de Tarcy tahun 1796, istilah ideologi mengalami perkembangan dalam makna semantisnya. Semula ideologi mengandung arti sebagai science of ideas, yang merupakan makna etimologis. Dalam perkembangannya, ideologi berarti cara berpikir tertentu, yang berbeda dengan cara berpikir ilmiah maupun filosofis.[13]
Pada perkembngannya, ideologi tumbuh menjadi sistem keyakinan (belief system) yang sangat berbeda dengan arti semula sebagai science ideas. Ideologi sebagai sistem keyakinan dengan segala kepentingannya tersebut akhirnya menjadi sistem normatif, yang karenanya sering disebut dengan doktrin, ajaran perjuangan yang berdasar pada pandangan hidup atau flsafah hidup.[14] Franz Magnis-Suseno secara padat mengartikan ideologi sebagai “kepercayaan mengenai bagaimana manusia harus hidup dan bagaimana masyarakat seharusnya diatur”.[15]
Menurut M. Sastrapratedja, ideologi adalah seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur. Dengan demikian, ideologi memuat suatu interpretasi, etika, dan retorika. Dalam hal ideologi memuat retorika dikarenakan ia merupakan pernyataan tentang sesuatu kepada seseorang, sehingga ia tidak hanya berdiri dan diam saja, namun “berbuat” sesuatu.[16]
Soerjanto Poespowardojo menyatakan pada hakikatnya ideologi adalah hasil refleksi manusia yang berkat kemampuannnya mengadakan distingsi terhadap kehidupannya. Berdasarkan hal ini tampak bahwa antara ideologi dan kenyataan hidup masyarakat terjadi hubungan dialektis, yakni hubungan yang timbal balik antara keduanya, yang terwujud dalam suatu interaksi, yang pada satu sisi memacu ideologi makin realistis dan di sisi lain mendorong masyarakat makin mendekati bentuk yang ideal. Dengan demikian, ideologi mencerminkan cara berpikir masyarakat sekaligus membentuk masyarakat menuju cita-cita. Ideologi adalah masalah keyakinan pilihan yang jelas, yang membawa komitmen untuk mewujudkannya.[17]
Dari pengertian yang demikian ini, meski kelihatannya ada perbedaan penekanan dalam merumuskan pengertian ideologi, namun pada dasarnya semua pendapat tersebut terdapat segi-segi yang sama. Kesamaannya terletak pada (1) ideologi adalah merupakan sebuah gagasan yang berorientasi futuristik, dan (2) berisi keyakinan yang jelas yang membawa komitmen untuk diwujudkan atau berorientasi pada tindakan. Dengan demikian, ideologi berbeda dengan “pandangan hidup” maupun “filsafat”.
Perbedaan antara ideologi dengan pandangan hidup ialah jika pandangan hidup memberikan orientasi secara global dan tidak bersifat ekplisit, maka ideologi memberikan orientasi yang lebih ekplisit, lebih terarah kepada seluruh sistem masyarakat dalam berbagai aspeknya yang dilakukan dengan cara dan penjelasan yang lebih logis dan sistematis. Oleh karenanya, ideologi lebih siap dalam menghadapi perubahan-perubahan zaman. Meski begitu, pandangan hidup dapat saja menjadi ideologi. Ini berarti pandangan hidup perlu dieksplitisasi lebih lanjut dari prinsip-prinsip dasarnya ke dalam kondisi kekinian dan membersihkannya dari unsur magis agar mampu memberikan orientasi yang jelas dalam mencapai tujuan dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.[18]
Ideologi juga berbeda dengan filsafat. Ideologi memang mengandung nilai-nilai dan pengetahuan filosofis, namun berlaku sebagai sebagai keyakinan yang normatif. Sebaliknya filsafat adalah rangkaian pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematis tentang kenyataannya-kenyataan hidup, termasuk kenyataan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dalam filsafat terungkap pemikiran-pemikiran reflektif yang harus ditanggapi bukan dengan dogmatis, melainkan dengan sikap yang kritis rasional. Dengan demikian, filsafat selalu terbuka terhadap kritikan dan tidak bersifat eksklusif.
Berdasarkan hal demikian, filsafat sangat berguna bagi ideologi dan proses penjabaran ideologis. Melalui pendekatan filosofis dikaji secara mendasar hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat, bangsa, dan negara. Refleksi filosofis membuat ideologi tetap terbuka, tidak eksklusif, dan tidak totaliter, bahkan sebaliknya menjadi dinamis dan tanggap terhadap perubahan dan kemajuan melalui interpretasinya yang objektif, rasional, dan ilmiah. Dengan demikian, ideologi menjadi tetap relevan.[19]
Secara padat Moerdiono menyatakan bahwa ideologi adalah suatu “wawasan yang hendak diwujudkan”. Dengan pengertian demikian, ideologi berkonotasi politik. Ideologi hampir selalu bersumber dari nilai falsafah yang mendahuluinya dan menghubungkannya dengan politik yang menangani dunia nyata yang hendak diubah. Dalam konteks demikian, menurut Moerdiono, politik bisa dikatakan sebagai kebijakan, yang menyangkut asas serta dasar bagaimana mewujudkan ideologi itu dalam alam empiri, khususnya dengan membangun kekuatan yang diperlukan, serta untuk mempergunakan kekuatan itu untuk mencapai tujuan.[20]
Dengan demikian sistem politik dari suatu masyarakat bangsa menjadi penting eksistensinya dalam rangka mewujudkan ideologi. Idealnya, ideologi akan mempengaruhi gerak langkah sistem politik dalam mewujudkan ideologi. Sebab, ia adalah kerangka wawasan yang hendak diwujudkan di alam kenyataan.
Bagi bangsa dan negara Indonesia, ideologi yang paling tepat adalah Pancasila. Kerangka argumentasinya – mengikuti Nurcholish Madjid – adalah bahwa setiap bangsa  mempunyai  “etos”  atau  “suasana  kejiwaan”  yang menjadi kerakteristik utama bangsa itu, termasuk juga Bangsa Indonesia.  Etos  itu  kemudian  dinyatakan  dalam berbagai  bentuk perwujudkan seperti jati diri, kepribadian, ideologi dan seterusnya. Perwujudannya di zaman modern ini adalah dalam bentuk  perumusan formal  yang  sistematik  yang kemudian menghasilkan ideologi. Berkenaan  dengan  bangsa Indonesia,  Pancasila dapat  dipandang  sebagai  perwujudan etos nasional dalam bentuk perumusan formal itu, sehingga sudah sangat  lazim  dan  semestinya bahwa Pancasila disebut sebagai ideologi nasional.[21]
Berdasarkan paparan Nurcholish Madjid tersebut dapat dikemukakan bahwa ideologi bangsa Indonesia adalah sila-sila Pancasila, sebagi hasil rumusan para pendiri bangsa (founding fathers) tentang etos atau suasa kejiwaan bangsa Indonesia. Dalam pernyataan Slamet Sutrisno, Pancasila sebagai ideologi adalah bersendikan nilai-nilai Filsafat Pancasila dalam artian sistem kognitif di satu pihak, dan di pihak lain bersendikan Weltanschauung Pancasila dalam artian sistem normatif.
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menguraikan sebagai berikut:
“Tetapi  Pancasila adalah sebuah ideologi modern. Hal itu tidak saja karena  ia  diwujudkan  dalam  zaman  modern,  tapi  juga lebih-lebih  lagi  karena  ia  ditampilkan  oleh  seorang atau sekelompok orang  dengan  wawasan  modern,  yaitu  para  bapak pendiri  Republik  Indonesia,  dan  dimaksudkan  untuk memberi landasan  filosofis  bersama  (common  philosophycal   ground) sebuah   masyarakat   plural  yang  modern,  yaitu  Masyarakat Indonesia.
Sebagai  produk  pikiran  modern, Pancasila adalah sebuah ideologi yang   dinamis,  tidak  statis,  dan  memang  harus dipandang demikian. Watak  dinamis  Pancasila  itu  membuatnya sebagai  ideologi terbuka …”[22]
Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki fungsi sebagai “nilai-nilai dasar bersama” di mana segenap tingkah laku rakyat dan negara harus mengacu kepadanya. Dalam fungsinya sebagai nilai-nilai dasar bersama inilah Pancasila menetapkan tujuan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang hendak dicapai serta menentukan apa yang baik dan apa yang buruk bagi tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam rangka mencapai tujuan bersama tersebut.[23]
Sebagai sebuah ideologi, Pancasila adalah sebuah gagasan yang berorientasi futuristik yang berisi keyakinan yang jelas yang membawa komitmen untuk diwujudkan atau berorientasi pada tindakan.[24] Namun demikian, ada berbagai kalangan yang mempersoalkan kehandalan Pancasila sebagai ideologi dalam memecahkan persoalan bangsa Indonesia. Misalnya, dalam seminar “Pemahaman Ideologi Pancasila dan Problematika Bangsa serta Solusinya” yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 5 September 2007, ditegaskan bahwa Pancasila sebagai ideologi tidak mampu menyelesaikan berbagai problem kebangsaan. Seminar kemudian mengusulkan agar nilai substansial Pancasila digali kembali agar membumi dengan kondisi bangsa Indonesia.[25]
Adanya Seminar tersebut, dan tentu seminar-seminar lainnya yang tidak sempat diekspos melalui media massa, peringatan Hari Kelahiran Pancasila setiap 1 Juni, tidak  dihapuskannya Pancasila dan Pembukaan UUD Tahun 1945, dalam berbagai upacara kenegaraan dan upacara hari senin di sekolah-sekolah maupun di lembaga-lembaga pemerintahan, menunjukkan bahwa Pancasila masih milik bangsa Indonesia. Ia masih merupakan dasar negara dan ideologi yang selalu mengikuti perjalanan bangsa Indonesia, meski sejak era reformasi tahun 1998 “gema Pancasila sudah mengendur”.
Di tengah mengendurnya gema Pancasila ini, tantangan yang harus dijawab adalah berupa penafsiran kembali dan merumuskannya dalam sebuah kesepakatan tentang posisi Pancasila baik sebagai asas (dasar, landasan, pedoman pokok, vide Penjelasan Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1985) sekaligus sebagai ideologi bangsa. Dalam konteks ini adalah bagaimana meletakkan Pancasila sebagai asas dan ideologi keormasan Indonesia. Hal ini mendesak untuk diketengahkan mengingat pertumbuhan ormas di Indonesia pascatumbangnya Orde berkembang dengan pesat, sementara ditengarai ormas-ormas baru tersebut sudah kurang peduli dengan norma-norma dalam UU No. 8 Tahun 1985 pada satu sisi dan pada sisi bersamaan tampak keengganan negara untuk menerapkan UU tersebut dalam menata kehidupan ormas.

E.     Perspektif Futuristik Pancasila dalam UU Kormasan
Di tengah mengendurnya gema Pancasila dalam berbagai dialog kebangsaan dan aktifitas keormasan, justru terjadi “kemajuan” dan liberalisasi asas dan ideologi bagi partai politik (Parpol) di Indonesia produk reformasi. Hal ini terlihat dari UU No. 2/2008 tentang Parpol yang tidak mewajibkan setiap Parpol untu menggunakan dan mencantumkan secara formal Pancasila sebagai satu-satunya asas. Yang penting adalah asas Parpol tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Perihal tidak perlu dicantumkannya Pancasila secara formal  sebagai asas Parpol  ini dapat dibaca pada bunyi Pasal 9 sebagai berikut:
a.  Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b.   Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c.  Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Model perumusan Pancasila dalam tatanan kehidupan Parpol demikian itu barangkali bisa dibaca sebagai jalan tengah dalam menafsirkan posisi ideologis hubungan antara Parpol dengan Pancasila. Meski tidak ada keharusan Parpol untuk mencantumkan Pancasila sebagai asas Parpol, namun asas dan ciri tertentu yang menjadi dasar perjuangan Parpol niscaya merupakan derivasi Pancasila dan UUD Tahun 1945 yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Melihat perlakukan Parpol yang diberi ruang untuk menentukan asasnya sendiri, barangtentu tidak adil jika Ormas juga tidak diberi ruang yang sama seperti Parpol. Seperti yang sudah dicontohkan di depan, ada ormas yang tidak mencantumkan Pancasila sebagai asasnya ternyata tidak mendapatkan sanksi dari Pemerintah. Padahal menurut UU Keormasan Tahun 1985, ormas yang demikian itu niscaya dibubarkan oleh pemerintah. Namun faktanya pemerintah tidak mengambil tindakan untuk membubarkannya, padahal UU Keormasan hingga kini masih berlaku.
Dengan kondisi seperti ini, patut jika dikatakan bahwa UU Keormasan sudah tidak efektif lagi. Menurut Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya hukum itu tergantung pada lima faktor, yaitu: 1) faktor hukumnya itu sendiri, dalam hal ini berupa undang-undang; 2) faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan 5) faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[26]
Memperhatikan fakta-fakta tentang UU Keormasan yang seharusnya tetap berlaku karena belum dicabut tapi tidak efektif tersebut bisa jadi dikarenakan oleh 3 faktor dari 5 faktor sebagaimana yang dikonstantasi Soekanto tadi. Ketiga faktor tersebut meliputi faktor hukumnya sendiri (yaitu UU Keormasan yang boleh jadi sudah kurang selaras dengan perkembangan nilai dan kesadaran hukum masyarakat), faktor penegak hukum yang tampak enggan menerapkan UU Keormasan, dan faktor masyarakat yang juga tampak enggan menggunakan hukum tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta yakni fakta konstitusi, fakta yuridis, dan fakta empirik dalam dinamika keormasan, maka UU No. 8/1985 sudah pada tempatnya jika diamandemen. Perumusan posisi Pancasila seperti dalam UU No. 2/2008 tersebut tampak cukup menarik untuk diadopsi dalam menata hubungan Pancasila dengan kehidupan ormas Indonesia ke depan. Dasar pertimbangannya adalah:
(1)   Pancasila merupakan modus vivendi dan “ruang” bersama bangsa Indonesia sebagai tempat yang paling niscaya bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang mungkin saling bertentangan;
(2)   Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa adalah berisi gagasan yang berorientasi futuristik yang berisi keyakinan yang jelas yang membawa komitmen untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata;
(3)   Pancasila dengan lima silanya adalah sebagai bintang pemandu sekaligus sebagai norma kritik bagi setiap pokok-pokok perumusan kebijakan dan segala tindakan negara, bangsa, dan masyarakat.
Jadi, daripada UU Keormasan Tahun 1985 seperti macan ompong, maka apakah tidak lebih baik jika diamandemen saja dengan menggunakan model perumusan seperti yang ada dalam UU Parpol Tahun 2008. Ke depan boleh saja Ormas secara formal tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas dan ideologi perjuangannya. Namun, harus ditegaskan bahwa Parpol yang mencantumkan asas, ideologi, dan garis perjuangannya yang bertentangan dengan dan bukan merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD Tahun 1945 harus dibubarkan alias tidak boleh hidup di Indonesia.
*****

DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid S. Attamimi (1981) UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang (kaitan norma hukum ketiganya). Jakarta, 31 Desember 1981.
A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I – PELITA IV)”. Disertasi. Universitas Indonesia, Jakarta.
Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Franz Magnis-Suseno (1999) Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kompas. 6 September 2007.
M. Sastrapratedja (1992) “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai  Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta.
Moerdiono (1992) “Pancasila sebagai Ideologi, Sebuah Renungan Awal”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta.
Moh. Mahfud MD (2007) Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. LP3ES, Jakarta.
Muchyar Yara (2006) “Mencari Model Demokrasi ala Indonesia”. Makalah disampaikan pada Simposium “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan dan Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Jakarta, 8 Agustus 2006.
Muladi (2004) “Menggali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengambangan Ilmu Hukum di Indonesia”. Makalah dalam Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia” yang diselenggarakan IAIN Walisongo dan IKA PDIH Undip, Semarang, 8 Desember 2004.
------- (2005) “Mengali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, Volume 1/nomor 1/April 2005.
Nurcholish Madjid. “Islam Di Indonesia dan Potensinya sebagai Sumber Substansiasi Ideologi dan Etos Nasional” Dalam http://media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/potensiislamn1.html
Slamet Sutrisno (2006) Filsafat dan Ideologi Pancasila. Andi, Yogyakarta.
Soerjanto Poespowardojo (1992) “Pancasila sebagai Ideologi Ditinjau dari Segi Pandangan Hidup Bersama”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta.
Soerjono Soekanto (2005) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. RajaGrafindo Persada, Jakarta

www.kapanlagi.com/h/0000121044.html



* Dr, Anis Ibrahim,SH.,MHum. adalah dosen PNS Dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang,
[1] Moh. Mahfud MD (2007) Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. LP3ES, Jakarta, hal. 5.
[2] Ibid.

[3] www.kapanlagi.com/h/0000121044.html

[4] Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung, hal. 48.
[5] A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I – PELITA IV)”. Disertasi. Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 359 dan seterusnya. Lihat dalam Ibid. hal. 43.
[6] A. Hamid S. Attamimi (1981) UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang (kaitan norma hukum ketiganya). Jakarta, 31 Desember 1981, hal. 4. Lihat dalam Ibid. hal. 4.
[7] Ibid. hal. 310.
[8] Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi tentang …. Op.Cit. hal 185.
[9] A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan …”. Op.Cit. hal. 308.
[10] Muladi (2005) “Mengali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, Volume 1/nomor 1/April 2005, hal 35.
[11] Muladi (2004) “Menggali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengambangan Ilmu Hukum di Indonesia”. Makalah dalam Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia” yang diselenggarakan IAIN Walisongo dan IKA PDIH Undip, Semarang, 8 Desember 2004, hal, 4.
[12] Moh. Mahfud MD (2007) Op.Cit. hal. 3-5.
[13] Slamet Sutrisno (2006) Filsafat dan Ideologi Pancasila. Andi, Yogyakarta, hal. 41.
[14] Ibid.
[15] Franz Magnis-Suseno (1999) Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 283.
[16] M. Sastrapratedja (1992) “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai  Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegra. BP-7 Pusat, Jakarta, hal. 142.
[17] Soerjanto Poespowardojo (1992) “Pancasila sebagai Ideologi Ditinjau dari Segi Pandangan Hidup Bersama”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Op.Cit. hal. 47-48.
[18] Ibid. hal. 49.
[19] Ibid. hal. 50-51.
[20] Moerdiono (1992) “Pancasila sebagai Ideologi, Sebuah Renungan Awal”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian. Op.Cit. hal. 382.
[21] Nurcholish Madjid. “Islam Di Indonesia dan Potensinya sebagai Sumber Substansiasi Ideologi dan Etos Nasional” Dalam http://media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/potensiislamn1.html
[22] Ibid.
[23]  Muchyar Yara (2006) “Mencari Model Demokrasi ala Indonesia”. Makalah disampaikan pada Simposium “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan dan Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Jakarta, 8 Agustus 2006, hal. 10.
[24] Bandingkan dengan Franz Magnis-Suseno (1999) Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 283; dan M. Sastrapratedja (1992) “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (1992) Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta, hal. 142..
[25] Kompas. 6 September 2007.
[26] Soerjono Soekanto (2005) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 8.

Rabu, 06 Oktober 2010

MEMBEDAH KEWENANGAN “BUPATI PLT”
Anis Ibrahim

Topik ‘pelaksana tugas’ (Plt) Bupati - di samping pemberhentian sementara bupati - pada minggu-minggu ini merupakan topik yang cukup menarik dalam lalu lintas perbincangan di tengah-tengah masyarakat lokal. Bagaimana tidak menarik? Di Lumajang misalnya, baru saja Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menetapkan Drs. As’at yang semula Wakil Bupati (Wabup) Lumajang menjadi Plt penyelenggara pemerintahan di Kabupaten Lumajang.
Ditetapkannya Wabup As’at sebagai Plt penyelenggara pemerintahan di Kabupaten Lumajang (Plt Bupati) itu disebabkan Bupati definitif Dr. H. Sjahrazad Masdar,MA diberhentikan sementara sebagai bupati karena berstatus terdakwa dalam kasus dana bantuan hukum ketika menjadi pejabat Bupati Jember beberapa tahun silam. Pemberhentian sementara dan penetapan Plt Bupati Lumajang itu termaktub dalam Keputusan Mendagri No. 131.35-623 Tahun 2010 yang ditetapkan tanggal 27 Agustus 2010.
Pertanyaan yang barang kali masih menggelayut di sebagian masyarakat adalah apakah jumlah dan luasnya wewenang Plt Bupati persis sama dan sebangun dengan wewenang Bupati itu sendiri? Misalnya, apakah setiap Plt Bupati memiliki wewenang legal untuk mengangkat dan memutasi PNS, mengesahkan APBD, Perda, serta tindakan-tindakan hukum publik lain layaknya Bupati? Secara ringkas tulisan ini akan membedah perihal wewenang “Bupati Plt” dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan pisau hukum administrasi negara.
Perdefinisi hukum, wewenang/kewenangan (Inggris: authority/competence; Belanda: gezag/bevoegdheid) adalah kekuasaan dan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Dengan adanya wewenang yang didapatkan secara legal tersebut maka segala tindakan dan hubungan hukum publik yang dimiliki seorang pejabat publik itu berkatagori legal/sah.
Secara teoritis, wewenang seorang pejabat publik dapat dibedakan menjadi dua macam: 1) bersifat atributif (orisinil), yakni wewenang yang diberikan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan; dan 2) bersifat non-atributif (non-orisinil), yakni wewenang yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari pejabat lain. Dalam hal yang ke-2) ini, pelimpahan wewenang dibedakan menjadi dua macam pula yaitu mandat dan delegasi. Pelimpahan wewenang secara mandat bermakna bahwa yang beralih hanya sebagian wewenang saja. Oleh karenanya pertanggungjawaban tetap pada mandans. Sedang dalam pelimpahan wewenang secara delegasi, maka yang beralih adalah seluruh wewenang dari delegans. Oleh karenanya yang bertanggungjawab sepenuhnya adalah delegataris.
Sekarang bagaimana membaca wewenang Wabup sebagai Plt Bupati karena bupatinya diberhentikan sementara? Dalam konteks Lumajang, diktum ke-2 Keputusan Mendagri No. 131.35-623 Tahun 2010 berbunyi “Menunjuk Saudara: Drs. As’at Wakil Bupati Lumajang untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Lumajang”. Ini berarti bahwa Pak As’at tidak sekedar “melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan”, namun lebih luas dari hal itu ia “memikul tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan” di Kabupaten Lumajang.
Rumusan diktum ke-2 Keputusan Mendagri tersebut agak berbeda jika dibanding dengan rumusan Pasal 34 ayat (1) UU No. 32/2004 jo Pasal 130 ayat (1) PP No. 6/2005 yang berbunyi “Apabila kepala daerah diberhentikan sementara …., wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kata kunci UU adalah “melaksanakan tugas dan kewajiban”, sementara Keputusan Mendagri yang merupakan turunan UU No. 32/2004 mengkonstantasi “melaksanakan tugas dan tanggungjawab”. Dari “kewajiban” diubah menjadi “tanggungjawab”. Mengenai hal ini barang tentu perlu diskusi tersendiri.
Berdasarkan UU, PP, dan Keputusan Mendagri tersebut dapatlah diketengahkan bahwa Mendagri telah “mengambil sementara” wewenang Pak Masdar sebagai Bupati kemudian wewenang itu dialihkan kepada Pak As’at. Dikaji dari “teori kewenangan”, maka wewenang yang dimiliki Pak As’at tersebut bukan sekedar bersifat atributif, namun oleh Mendagri dilimpahi wewenang secara delegatif. Ini bermakna bahwa pasca tanggal 27 Agustus 2010 Pak As’at memikul seluruh beban tanggungjawab pemerintahan sekaligus bertanggunggugat jika menyimpang dari batas-batas wewenangnya sebagai Bupati Plt.
Dengan kata kunci “melaksanakan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan”, sejatinya kewenangan Pak As’at adalah akan meng-cover tugas dan wewenang sebagai “Bupati Lumajang”. Berarti cakupan kekuasaan dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya adalah seluas tugas dan wewenang Bupati. Jadi, dilihat dari tugas dan kewenangannya, Pak As’at sekarang adalah “Bupati Lumajang” meski dengan embel-embel “Plt”. Dalam posisi yang demikian, secara normatif tugas dan wewenang Pak As’at sesuai Pasal 25 UU No. 32/2004 adalah:
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b. mengajukan rancangan Perda;
c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tapi patut diingat, bahwa tidak semua wewenang bupati dapat dijalankan Bupati Plt. Beberapa wewenang yang dilarang untuk dijalankan itu adalah:
a. melakukan mutasi pegawai;
b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;
c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan
d. membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Empat larangan itu diatur dalam Pasal 132A ayat (1) PP No. 49/2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Akan tetapi, menurut ayat (2)-nya disebutkan bahwa larangan tersebut dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri selaku delegans.
Nah, cakupan tugas dan wewenang sebagai Bupati Plt (di luar empat larangan tersebut) sangat luas dan berat bukan? Memang sebelum menjadi Wabup Pak As’at berlatarbelakang sebagai ustadz. Namun dengan kiprahnya sebagai Wabup selama dua tahun ini dan kerendahan hatinya untuk bersedia berkonsultasi dengan siapa saja tentu ia akan bisa menjalankan tugas, wewenang, dan tanggungjawab pemerintahan di Kabupaten Lumajang secara baik. Karenanya, harapan terhadap roda pemerintahan Lumajang menggelinding ke depan secara lebih efektif dan akseleratif bukanlah hal yang mustahil dapat digulirkan Pak As’at. (*)

Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Konstitusi, Pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang.


Dimuat di Jawa Pos Radar Jember 5 Oktober 2010.

Rabu, 28 Juli 2010

TELAAH YURIDIS PERKEMBANGAN HUKUM POSITIF TENTANG HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA

 
Jurnal Hukum “ARGUMENTUM”, Vol. 9 No. 2, Juni 2010     
ISSN: 1412-1751

 
TELAAH YURIDIS PERKEMBANGAN HUKUM POSITIF TENTANG HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA
Oleh: Anis Ibrahim*

ABSTRAK
Berbagai instrumen internasional HAM telah diratifikasi oleh Indonesia. Ini menunjukkan bahwa secara legal formal – lewat hukum positif – Indonesia telah mengakui dan mempromosikan HAM di Negara ini secara menggembirakan. Namun, legislasi HAM di tingkat daerah perlu mendapat catatan sendiri karena ditengarai terdapat berbagai Perda yang melanggara HAM.
Kata Kunci:   Instrumen Internasional HAM, Hukum Positif HAM Indonesia.

A.     PENDAHULUAN
Pasca Perang Dunia II hingga kini, perbincangan tentang hak asasi manusia (HAM/human rights) terus mengemuka. HAM yang secara konsepsional berangkat dari alam pemikiran Eropa Barat dan Amerika itu terus menembus dan berinteraksi dengan berbagai lapisan bangsa dan sosial beserta segala pergualatan pemikiran penerimaannya.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta mendefinisikan HAM sebagai hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.[1] Pasal 1 angka 1 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
HAM adalah landasan dari kebebasan, keadilan, dan kedamaian. Oleh karenanya HAM mencakup semua yang dibutuhkan manusia untuk tetap menjadi manusia baik dari segi kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.[2] Jadi, HAM merupakan suatu fundamen yang di atasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun dan merupakan asas-asas yang menjadi bangunan seluruh hukum perundang-undangan.[3]
Menurut Universal Declaration of Human Rights 1948 (DUHAM), HAM itu terdiri atas: 1) hak untuk hidup; 2) hak atas kebebasan dan keamanan pribadi; 3) hak untuk bebas dari penyiksaan; 4) hak partisipasi politik; 5) hak atas harta benda; 6) hak atas perkawinan dan membentuk keluarga; 7) hak untuk bebas mengemukakan pendapat dan pikiran; 8) hak untuk memeluk agama; 9) kebebasan untuk berkumpul dan berapat; 10) hak atas pekerjaan; 11) hak atas kehidupan yang layak; 12) hak atas pendidikan; dan 13) hak untuk menikmati kebudayaan.
Apakah HAM itu bersifat universal sehingga harus diterima dan diserap apa adanya, ataukah disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat sehingga bersifat partikular? Jika bersifat universal, apakah HAM yang berangkat dari alam pemikiran dan budaya Barat yang individual-liberal itu, misalnya, kira-kira cocok dengan masyarakat Timur yang bercorak kekeluargaan? Masalah seperti ini hanya sebagian saja dari banyaknya diskurus yang muncul di sekitar perbincangan HAM.
Partikulasi dari HAM yang versifat universal dan global tersebut tampak dari penormaan HAM dalam konteks Negara Indonesia. Bangsa Indonesia yang bercorak kekeluargaan mengkonstantasi bahwa setiap HAM seseorang akan menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati HAM orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya (Pasal 69 ayat (2) UUHAM Tahun 1999). Di samping merupakan tugas, pemerintah juga wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM (Pasal 71).
Ketika para pendiri negara (founding fathers) merumuskan Konstitusi Negara RI tahun 1945 juga tidak lepas dari diskursus tersebut. Prof. Soepomo memandang HAM sangat identik dengan ideologi individual-liberal yang karenanya tidak cocok dengan sifat kekeluargaan bangsa Indonesia. Sementara M. Yamin berpendapat bahwa tidak ada dasar apa pun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang sedang dirancang.[4]
Walhasil, dari pertentangan pemikiran tersebut akhirnya tercapai kompromi untuk memasukkan beberapa prinsip HAM dalam UUD yang sedang dirancang. Wujudnya adalah tampak pada pasal 27, 28, 29, 31, dan 34 UUD 1945. Dibanding dengan UUDS Tahun 1950 yang memuat 36 pasal (pasal 7 – pasal 43) terkait HAM, tentu saja pemuatan HAM dalam UUD 1945 relatif lebih sedikit.
Ada yang berpendapat bahwa minimnya pengaturan HAM dalam UUD 1945 dikarenakan UUD 1945 disusun lebih dahulu dibanding DUHAM 1948. Namun Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim tidak sependapat. Menurutnya, pada waktu itu telah ada Declaration of Independence dan Declaration des droits de l’homme et du citoyen yang dapat dijadikan bahan penyusunan pasal-pasal HAM yang lengkap. Lewat sejarah reformasi, akhirnya MPR mengamandemen UUD 1945 dengan memasukkan prinsip-prinsip HAM di dalamnya sebagaimana yang terumus dalam Pasal 28 yang terdiri atas 24 ayat dari ayat 24A – 24J.
Agar memiliki tingkat prediktibiltas yang pasti yang sekaligus di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dipertaruhkan, maka prinsip-prinsip HAM sangat perlu untuk dibingkai ke dalam hukum tertulis. Positivisasi prinsip-prinsip HAM yang universal dalam konteks lokalitas negara kebangsaan Indonesia pada dasarnya tidak lepas dari upaya maksimal dari bangsa ini untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain dalam upayanya mempromosikan HAM  di Indonesia tanpa harus kehilangan nilai dan filosofi dasar yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Bagaimana penghormatan, pengakuan, pemajuan, perlindungan, dan perwadahan HAM di Indonesia melalui instrumentasi hukum, berikut ini akan diuraikan secara padat tentang perkembangan hukum positif yang mengatur HAM di Indonesia. Perlu dicatat bahwa perkembangan hukum positif tentang HAM di Indonesia senyatanya tidak bisa menghindar dari instrumen-instrumen hukum internasional.

B.     TIGA GENERASI HAM DALAM INSTRUMEN INTERNASIONAL
Kalau ditelusuri lebih mendalam substansi nilai HAM adalah terkait dan mendasari seluruh gerak perjuangan kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat perumusan DUHAM PBB tahun 1948, primus interpares HAM adalah dignity of man - kemuliaan manusia. Padanan kata Inggris “dignity” dalam bahasa Indonesia adalah derajat atau yang lebih tepat adalah martabat. Martabat adalah sesuatu yang melekat dalam diri manusia. Oleh sebab itu kalau diperhatikan seluruh konvensi dan atau kovenan internasional berikut protokolnya tampak bahwa seluruh hak-hak yang masuk dalam HAM terkait dan dirumuskan dalam kerangka (melindungi, menghormati atau meninggikan) martabat manusia.  Masalah martabat dan inti kemuliaan manusia itu sudah dipikirkan sejak abad ke 12, bahkan lebih subur lagi muli abad ke 15 dan 16 dalam sejarah Eropa. Tumbuh suburnya pemikiran ini terkait dengan absolutisme kekuasaan raja-raja yang menindas dan seweng-wenang.[5]
Secara kronologis dan historis,[6] perkembangan konsep HAM tersebut adalah bermula dari dunia Barat yang dimulai dari abad XVII sampai dengan abad XX.. Pada abad XVII, HAM berasal dari hak kodrat (natural rights) yang mengalir dari hukum kodrat (natural law). Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah kebebasan politik (political freedom) dan hak untuk ada (rights to be). Hal ini dipengaruhi keadaan masa sebelumnya dalam kehidupan bernegara yang  absolut.
Pada abad XVIII, hak kodrat dirasionalkan melalui konsep kontrak sosial dan mebuat hak tersebut menjadi sekular, rational, universal, individual demokratik dan radikal. Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah kebebasan sipil (civil libertis) dan hak untuk memiliki (rights to have). Pada abad XIX masuk pemikiran sosialisme yang lebih memberikan penekanan pada masyarakat (society). Pada masa ini lahir fungsi sosial dan hak-hak individu. Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah hak untuk berpartisipasi (participation rights) dan hak untuk berbuat (rights to do).
Pada abad XX ditandai dengan usaha untuk mengkonversikan hak-hak individu yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (form natural human rights into positive legal rights). Saat itu lahirlah The Universal Declaration of Human Rights. Hak yang menonjol pada abad ini adalah hak-hak sosial ekonomi (sosial economic rights) dan hak untuk mendapatkan sesuatu (rights to receive).
Dengan demikian dapat dilihat bahwa dalam rentang waktu yang tidak singkat tersebut, konsepsi tentang HAM mengalami perkembangan. Ide dasar pengakuan, penghormatan, pemenuhan, dan promosi HAM tidak bisa dilepaskan dari proses panjang demokratisasi di berbagai belahan dunia. Konsep HAM dalam iklim demokrasi lebih berfokus pada hak (rights-based) ketimbang pada kebebasan (liberty-based). Konsep HAM yang demikian ini terjadi sejak adanya pergeseran paradigma dari paham hak kodrat tradisional yang lebih menekankan ide kebebasan kepada paham hak kodrat modern yang lebih menekankan ide hak itu sendiri.[7]
Jika konsep tradisional yang terutama diwakili Aristoteles, manusia dilihat sebagai makhluk sosial, maka konsep modern yang terutama diwakili Hobbes melihat manusia sebagai makhluk yang mencari kepentingan diri sendiri dan kebebasan hanya bermakna sejauh itu untuk memuaskan kepentingan diri sendiri itu. Para pemikir hak kodrat tradisional melihat keutamaan, atau kehidupan yang baik, sebagai tujuan baik individu maupun bersama (komunitas). Sementara, para pemikir modern mengajukan teori hak yang mengutamakan kepemilikan dan pemuasan hasrat untuk kepentingan sendiri.[8]
Pemikiran yang demikian ini berimplikasi pada konsep dan praktik demokrasi. Konsep dan praktik demokrasi yang diajukan oleh paham tradisional lebih melihat hak manusia pada jalin berkelindan kebebasan satu sama lain. Sementara paham modern lebih melihat hak manusia sebagai tuntutan individual tanpa memperhatikan kepentingan yang lain apalagi bersama. Selain itu, secara geneologis, HAM sekarang memasuki fase ketiga yang diwarnai sekaligus merupakan respons terhadap ideologi politik neoliberalisme di satu sisi dan globalisme di sisi lain.[9]
Dengan demikian HAM terkepung di tengah dua ideologi besar kontemporer ini, yang meski tampak mirip, namun tetap distingtif. Sementara itu, konsep HAM konvensional sangat menekankan peran negara dalam penegakannya. Inilah sebuah dilema besar. Di satu sisi ada pandangan yang berpusat pada negara (state-centred), di sisi lain ada upaya penyelesaian alternatif di luar peran negara yang sangat sentral. Pendekatan state-centred di satu sisi menuntut penguatan posisi negara di tengah kepungan ideologi fundamentalisme pasar dan globalisme, di sisi lain berekses pada bahaya kembalinya otoritarianisme yang, secara genealogis, merupakan ciri khas HAM generasi kedua.[10]
Dengan demikian, konsep HAM dalam instrumentasi internasional relative dinamis. Secara konseptual, perkembangan HAM dalam instrument internasional dibagi dalam 3 (tiga) generasi. Generasi I HAM dimulai dari peristiwa penandatanganan naskah DUHAM oleh PBB tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan HAM itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti:
o     Magna Charta dan Bill Of Rights di Inggris (1215) .
o     Declaration of Independence di Amerika Serikat (1776)
o     Declaration of Rights of Man And of The Citizens di Perancis (1789).
o  Buku Franklin D Roosevelt (1882-1945) ‘The Four Freedoms’ yang mengkonstasi empat kebebasan dasar manusia, yaitu: Freedom of Speech, Freedom of Religion, Freedom from Want, Freedom from Fear.
Elemen dasar konsepsi HAM Generasi I meliputi: prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Dengan demikian, konsepsi HAM pada Generasi I ini barang tentu bercorak hak-hak dasar manusia yang bersifat alamiah. Ciri yang menonjol dari HAM pada Generasi I ini adalah meliputi: 1. Hak untuk menentukan nasib sendiri, 2. Hak untuk hidup, 3. Hak untuk tidak dihukum mati, 4. Hak untuk tidak disiksa, 5. Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang, 6. Hak atas peradilan yang adil, 7. Hak-hak bidang politik: a. Hak untuk menyampai-kan pendapat, b. Hak untuk berkumpul dan berserikat, c. Hak untuk mendapat persamaan perlakuan di depan hukum, dan d. Hak untuk memilih dan dipilih.
HAM dalam katagori Generasi II muncul pada tahun 60-an yaitu dimulai dari persitiwa penandatanganan International Couvenant on Civil and Political Rights dan  International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights (ditetapkan Mmlalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966). Konsep HAM tampaknya tidak lagi berkutat pada persoalan integritas pribadi kehidupan manusia, namun melangkah pada persoalan ekonomi dan budaya. Hal ini dapat dilihat pada konsep HAM Generasi II dalam instrumen internasional yang meliputi: 1. Hak untuk bekerja, 2. Hak untuk mendapat upah yang sama, 3. Hak untuk tidak dipaksa bekerja, 4. Hak untuk cuti, 5. Hak atas makanan, 6. Hak atas perumahan, 7. Hak atas kesehatan, 8. Hak atas pendidikan, dan 9. Hak-hak bidang budaya yang terdiri atas: a. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan, b. Hak untuk menikmati kemajuan iptek, dan c. Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta).
Dalam tahap berikutnya, yaitu dimulai tahun 1986 hingga kini, muncul konsepsi baru tentang HAM yang lebih luas dibanding dengan konsep HAM sebelumnya, yaitu mencakup juga pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Munculnya konsep baru tentang HAM di pertengahan tahun 80-an merupakan tanda dimulainya perjalanan konsep HAM Generasi III. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut.
Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Secara ringkas cirri HAM Generasi III ini adalah meliputi: 1. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat, 2. Hak untuk memperoleh perumahan yang layak, dan 3. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.
Jika menyimak perkembangan HAM dari Generasi I hingga Generasi III tersebut akan tampak perbedaan karakteristik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari Semula mempunyai karakteristik dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara (setiap pelanggaran selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government). Pada tahap selanjutnya berkembang dengan karakteristik hubungan kekuasaan dalam konsepsi yang bersifat horizontal.
Perkembangan karakteristik HAM dari yang bercorak vertikal kea rah horisontal disebabkan oleh fenomena-fenomena sebagai berikut:[11] 
   Fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi multi national corporations (mnc’s) atau disebut juga trans-national corporations (tnc’s) di dunia. Hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah antara produsen dan konsumen.
       Munculnya fenomena nations without state seperti bangsa kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia. 
       Fenomena berkembangnya suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens di kalangan diplomat dan pekerja atau pengusaha asing. Contoh, di setiap negara terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbelanja.
   Fenomena berkembangnya corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk.

C.     PERKEMBANGAN HUKUM POSITIF TENTANG HAM DI NDONESIA
Perkembangan legislasi HAM Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan demokratisasi dan pengaruh instrumen HAM internasional. Berbagai instrumen hukum internasional di bidang HAM barang tentu berpengaruh secara signifikan terhadap legislasi HAM di Indonesia. Di samping itu, perkembangan positivisasi HAM di Indonesia juga tidak lepas dari sistem politik/konfigurasi politik yang dianut oleh Negara ini. [12] Untuk memudahkan identifikasi dan uraian instrument HAM Indonesia, maka uraiannya dibagi dalam beberapa era yakni dimulai dari era Orde Lama hingga era Orde Reformsi. Sementara itu, pergulatan pemikiran tentang HAM oleh founding fathers tidak diuraikan di sini.
1.       Era Orde Lama
Melalui UUDS Tahun 1950, di dalamnya dimasukkan sebanyak 36 pasal tentang HAM. Salah satu keistimewaan UUDS ini adalah dalam salah satu pasalnya (pasal 21) dicantumkan tentang hak untuk melakukan demonstrasi dan mogok kerja oleh para buruh sebagai alat memperjuangkan hak-haknya terhadap majikannya. Namun, UUDS ini tidak berumur panjang, sebab pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno kembali memberlakukan UUD 1945.
Di era ini, pelanggaran HAM secara signifikan banyak sekali terjadi. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Penpres No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Penpres tersebut telah membatasi gerak dan kreasi seseorang dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pada era ini ada satu Konvensi HAM yang diratifikasi, yaitu Konvensi Hak Politik Wanita (Convention on the Political Rights of Women), melalui UU No. 68/1958.[13]
2.       Era Orde Baru
Di era Orde Baru (Orba), kondisi penghormatan dan pemajuan HAM boleh dikatakan berjalan di tempat. Bahkan banyak yang menengarai perkembangan HAM di era ini sangat suram. Sebut saja peristiwa petrus (penembakan misterius), penculikan dan penghilangan orang yang “membahayakan” kekuasaan, pembatasan berserikat, pemberangusan pers, dsb. menjadi catatan atas suramnya perkembangan HAM saat itu.
Di tengah suramnya perjalanan HAM, pada waktu itu ada tiga konvensi HAM yang disahkan, yaitu:
a.       Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dengan UU No. 7/1984.
b.       Konvensi Hak Anak dengan Keppres No. 36/1990.
c.       Konvensi Internasional Menentang Apartheid dalam Olahraga dengan Keppres No. 48/1993.
Kuatnya pemerintahan Presiden Soeharto, menyebabkan kritikan dan kecaman terhadap pelanggaran HAM di Indonesia tidak memberikan pengaruh yang besar bagi dirinya. Namun, tahun 1993 rezim ini mulai menunjukkan perubahan sikap terhadap HAM, yaitu dengan membentuk Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM) melalui Keppres No. 50/1993. Perubahan sikap itu disebabkan oleh: 1) pengaruh perubahan konstelasi politik dunia yang ditandai melemahnya komunisme dan semakin kuatnya dominasi Barat, dan 2) isu pelanggaran HAM di Irian Jaya dan Timor Timur yang pada saat itu telah menjadi isu internasional.[14]

3. Era Reformasi
Menjelang berakhirnya abad 20, perbincangan HAM dan demokrasi semakin menguat. Perlindungan dan penegakan HAM di suatu negara menjadi penilaian yang cukup signifikan dalam pergaulan internasional. Sebagai salah satu bagian dari masyarakat Internasional, Indonesia juga tidak bisa terhindar darinya. Positivisasi HAM di Indonesia berseiring dengan perubahan politik dalam negeri dan pengaruh tekanan internasional akibat peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat.
Dengan berakhirnya rezim Orba oleh kekuatan reformasi, maka cukup banyak instrumen hukum dalam penghormatan dan pemajuan HAM yang dibuat. Bukan hanya meratifikasi berbagai konvensi internasioal, namun UUD 1945 juga diamandemen dengan memasukkan prinsip-prinsip HAM yang sifatnya universal. Berbeda dengan pergulatan pemikiran para founding fathers, MPR di era ini mulus-mulus saja memasukkan prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945. Prinsip-prinsip HAM tersebut terumus pada pasal 28A hingga pasal 28J UUD Tahun 1945 (amandemen).
Pada era ini, banyak instrumen HAM internasional yang diratifikasi, seperti:
a.       Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU No. 5/1999.
b.       Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial dengan UU No. 29/1999.
c.     Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan Keppres No. 83/1998.
d.       Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU No. 19/1999.
e.       Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan UU No. 21/1999.
f.        Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan UU No. 20/1999.
g.       Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan UU No. 11/2005.
h.       Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dengan UU No. 12/2005.
Sebagai cermin dari kesungguhan negara Indonesia dalam menghormati, melindungi, dan memajukan HAM bagi warganegaranya, kemudian disahkan sejumlah UU seperti:
a.       UU No. 8/1999 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat;
b.       UU No. 39/1999 tentang HAM;
c.       UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM;
d.   Amandemen berbagai UU untuk diselaraskan dengan prinsip-prinsip HAM, seperti UU Parpol, UU Kekuasaan Kehakiman, pencabutan Penpres No. 11/1963, dsb.
e.   Diluncurkan Rencana Aksi Nasional HAM (RAN-HAM) dalam rangka memberikan jaminan bagi peningkatan pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Secara normatif, hal yang cukup menggembirakan dalam perlindungan HAM di Indonesia adalah diterbitkannya UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Penjelasan Umum UU No. 39/1999, posisi hukum UU tersebut “adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang HAM. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas HAM dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
UU No. 39/1999 secara rinci mengatur tentang: hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Semua hak itu terumus dalam Bab III di bawah judul HAM dan Kebebasan Dasar Manusia (Pasal 9 - Pasal 66).
UU No. 39/1999 juga mengatur tentang Kewajiban Dasar Manusia. Dalam Pasal 69 ayat (2) dirumuskan bahwa: “Setiap HAM seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati HAM orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya”. Bahkan dalam Pasal 71 disebutkan bahwa masalah itu bukan hanya tugas pemerintah saja, namun pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM.
Di samping perkembangan HAM dalam instrumen hukum nasional yang menggembirakan tersebut, dalam catatan ELSAM ada ironi terkait dengan legislasi HAM di tingkat daerah. ELSAM mencatat, otonomi daerah berdasarkan UU No 22/1999 yang telah diganti dengan UU No 32 /2004 ternyata berdampak banyaknya produk hukum daerah, terutama Peraturan Daerah (Perda) dianggap bermasalah.[15] Oleh karena itu, Perda-Perda yang demikian itu perlu ada perhatian tersendiri mengingat Perda merupakan satu kesatuan yang tidak bias dilepaskan dari sistem peraturan perundang-undang Indonesia.
                                                          
D.     PENUTUP
Berdasarkan uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang HAM saat ini telah menunjukkan perkembangan yang relatif baik dan memadai jika dibandingkan dengan masa lalu. Ini berarti penghormatan dan pengakuan HAM secara normatif oleh negara telah memperoleh tempat yang cukup menggembirakan dalam hukum positif di Indonesia. Meski demikian perlu ada perhatian khusus terkait dengan legislasi Perda yang ditengarai ada yang melanggar HAM.
Agar pengaturan HAM dalam hukum positif tersebut tidak sekedar menjadi deretan kalimat indah yang menjanjikan tapi tidak membuktikan, maka menjadi tugas seluruh komponen bangsa dan kewajiban seluruh aparat negara untuk selalu melakukan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM untuk seluruh masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya pada masyarakat di sekitar lingkungannya.
-----

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution (2003) “Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Dan Supremasi Hukum”. Makalah disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003. Lihat http://www.docstoc.com/docs/17584105/Implementasi-Perlindungan-Hak-Asasi-Manusia
Anis Ibrahim (2008) Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum dalam Pembentukan Hukum di Daerah. In-Trans Publishing, Malang.
Arthur J. Dyck (1994) Rethinking Rights and Responsibilities, The Moral Bonds of Community. The Pilgrim Press, Cleveland, Ohio, hlm. 4-5. Sebagaimana dikutip Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik, Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”. Dalam http://www.docstoc.com/ docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
Artidjo Alkostar (2004) Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban. PUSHM-UII, Yogyakarta.
Asri Wijayanti “Sejarah Perkembangan  Hak Asasi Manusia”. Dalam http://www.docstoc.com/docs/17537142/Sejarah-Perkembangan-Hak-Asasi-Manusia.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta (1995) Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Eddie Riyadi (2006) “Hak Asasi Manusia: Sebuah Telusuran Genealogis dan Paradigmatik” Makalah dipresentasikan pada Training Hak Sipol dan Politik Berperspektif Jender dengan materi “Hak Asasi Manusia: Sejarah, Prinsip dan Isinya”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Damar, Lampung, 18 September 2006.
Firdaus (2005) “Implikasi Pengaturan HAM dalam UUD terhadap Ius Constitutum”. Dalam Muladi (Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. Refika Aditama, Bandung.
I Gede Arya B. Wiranata (2005) “Hak Asasi (Anak) dalam Realitas: Quo Vadis?”. Dalam Muladi (Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. Refika Aditama, Bandung.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik, Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”. http://www.docstoc.com/ docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
Moh. Mahfud MD (1998) Politik Hukum Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
Muh. Budairi Idjehar (2003) HAM versus Kapitalisme. Insist Press, Yogyakarta.







* Dr. Anis Ibrahim,SH.,MHum. adalah dosen PNS Dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Lumajang.
[1] Darji Darmodiharjo dan Shidarta (1995) Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[2] Muh. Budairi Idjehar (2003) HAM versus Kapitalisme. Insist Press, Yogyakarta.
[3] I Gede Arya B. Wiranata (2005) “Hak Asasi (Anak) dalam Realitas: Quo Vadis?”. Dalam Muladi (Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. Refika Aditama, Bandung.
[4] Firdaus (2005) “Implikasi Pengaturan HAM dalam UUD terhadap Ius Constitutum”. Dalam Muladi (Edt) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. Refika Aditama, Bandung.
[5] Adnan Buyung Nasution (2003) “Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Dan Supremasi Hukum”. Makalah disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003. Lihat http://www.docstoc.com/docs/17584105/Implementasi-Perlindungan-Hak-Asasi-Manusia
[6] Asri Wijayanti Sejarah Perkembangan  Hak Asasi Manusia”. Lihat http://www.docstoc.com/docs/17537142/Sejarah-Perkembangan-Hak-Asasi-Manusia.
[7] Arthur J. Dyck (1994) Rethinking Rights and Responsibilities, The Moral Bonds of Community. The Pilgrim Press, Cleveland, Ohio, hlm. 4-5. Sebagaimana dikutip Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik, Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”. http://www.docstoc.com/ docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
[8] Ibid.
[9] Eddie Riyadi (2006) “Hak Asasi Manusia: Sebuah Telusuran Genealogis dan Paradigmatik” Makalah dipresentasikan pada Training Hak Sipol dan Politik Berperspektif Jender dengan materi “Hak Asasi Manusia: Sejarah, Prinsip dan Isinya”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Damar, Lampung, 18 September 2006.
[10] Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik, Catatan HAM Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)”. Dalam http://www.docstoc.com/ docs/ 36648848/Hak-Asasi-Manusia-Tanpa-Dukungan-Politik.
[11] Asri Wijayanti. Loc.Cit.
[12] Uraian tentang hubungan antara konfigurasi politik dan legislasi serta produk hukum lihat pada Moh. Mahfud MD (1998) Politik Hukum Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, dan Anis Ibrahim (2008) Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum dalam Pembentukan Hukum di Daerah. In-Trans Publishing, Malang.
[13] Muh. Budairi Idjehar Loc.Cit.
[14] Artidjo Alkostar (2004) Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban. PUSHM-UII, Yogyakarta.
[15] Menurut catatan ELSAM, hingga tahun 2007, setidaknya ada 46 Perda berbasis Syariah yang berlaku, dan belum ada satupun yang ditinjau atau dibatalkan oleh Pemerintah pusat meskipun Perda tersebut melanggar prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi, khususnya prinsip-prinsip kebebasan beragama dan hak-hak perempuan. Misalnya saja, 18 dari 22 kabupaten/kota di propinsi Sulawesi Selatan mengadopsi aspek-aspek Syariah dalam Perda-nya. Kabupaten Bulukumba bahkan punya empat Perda yang menerapkan aspek-aspek Syariah. Kabupaten Bulukumba dan Bone mewajibkan kepala desa, calon-calon PNS, siswa SMP ke atas, dan mereka yang akan menikah untuk dapat membaca tulisan Al-Qur’an. Di kantor Pemda Padang, Sumatera Barat menerapkan aturan berjilbab bagi PNS perempuan. Perda di Kabupaten Pamekasan mewajibkan pemakaian jilbab bagi PNS perempuan serta mengatur penundaan semua kegiatan publik pada saat adzan dikumandangkan.  Kota Tangerang sampai saat ini masih menerapkan Perda kota Tangerang No 8/2005 tentang pelarangan pelacuran dimana sering terjadi salah penangkapan pelanggarnya; Perda Provinsi Sumbar No 11/2001 tentang pemberantasan dan pencegahan maksiat; Perda.Kab Solok No 10/2001 tentang kewajiban membaca Alquran bagi siswa dan pengantin; Perda Kab Solok No 6/2002 tentang pakaian Muslimah; Perda Kab Padang Pariaman No 2/2004 tentang pencegahan, penindakan, dan pemberantasan maksiat; Perda No 6/2005 Enrekang (Sulawesi Selatan) tentang busana Muslimah dan baca tulis Alquran, Perda Gresik No 7/2002 tentang larangan praktik prostitusi; Perda No 6/2000 Kab Garut tentang kesusilaan dan belum lagi Perda-perda yang mengatur tentang pajak/restribusi daerah, yang terkadang bertabrakan dengan peraturan pemerintah pusat mengenai hal itu. Lihat (ELSAM). Loc.Cit.