Kamis, 21 Januari 2010

PANCASILA SEBAGAI BINGKAI LEGISLASI HUKUM DAERAH


PANCASILA SEBAGAI BINGKAI LEGISLASI HUKUM DAERAH
Oleh: Anis Ibrahim*
ABSTRAK
Dalam sistem hukum perundang-undangan Indonesia – Perda ada di dalamnya– Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Pancasila merupakan bintang pemandu sekaligus norma kritik sekalian jenis peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam implementasinya, para penguasa legislasi, termasuk pembetuk Perda, tampak “melalaikan” Pancasila yang seharusnya jadi bintang pemandu dan norma kritik tersebut. Banyak Perda yang dibatalkan pemerintah pusat menjadi bukti bagaimana tidak taat asasnya para penguasa legislasi terhadap Pancasila ketika melakukan pembentukan Perda. Agar Pancasila tetap jadi bintang pemandu dan norma kritik yang efektif, maka kedudukan “Pancasila” niscaya direformulasi agar lebih imperatif dalam setiap proses dan prodyk legislasi nasional maupun daerah.
Kata kunci: Pancasila, Bintang Pemandu, Norma Kritik, Perda.

A. PERSOALAN DALAM LEGISLASI DAERAH
Secara konseptual, suatu produk peraturan perundang-undangan, termasuk juga produk hukum daerah (dalam hal ini adalah Peraturan Daerah/Perda), dikatagorikan baik (good law) sehingga dapat berlaku dengan baik, maka peraturan perundang-undangan tersebut paling tidak harus memiliki tiga landasan pokok keberlakuan, yaitu: (a) landasan yuridis, (b) landasan sosiologis, dan (c) landasan filosofis. Adalah suatu keniscayaan ketiga landasan keberlakuan tersebut berjalin-berkelindan seiring dan seimbang dalam formulasi sebuah peraturan perundang-undangan.[1]
Namun, acapkali ketiga aspek tersebut tidak menjiwai secara berimbang dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sudut pandang legislator menjadi suatu yang wajar dalam menerapkan kelebihan salah satu di antara ketiga landasan tersebut. Jika kecenderungan demikian ini terterapkan dalam praktik legislasi, maka sejak awal sudah dapat diprediksi bahwa akan terproduk hukum perundang-undangan yang cacat karena telah meninggalkan salah satu landasan keberlakuan tersebut.
Kecenderungan ini nyata terjadi selama era reformasi ini. Banyak produk legislasi nasional (Undang-Undang) yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi dan produk legislasi daerah (Perda) yang dibatalkan oleh pemerintah pusat menjadi bukti emprik bagaimana penguasa legislasi tidak bekerja secara komprehensif dalam merumuskan hukum. Pengabaian di antara ketiga landasan tersebut bisa jadi karena sangat kuatnya pengaruh politik kepentingan antar faksi di parlemen. Akhirnya, proses legislasi maupun hasil produknya banyak menuai kontroversi yang hingga kini belum juga berakhir.
Terkait dengan produk legislasi daerah (Perda) yang kontroversial tersebut, Koalisi Anti-Perda Diskriminatif melaporkan ada sekitar 40 Perda yang ditengarai diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu dan melanggar hak asasi manusia (HAM).[2] Sejak tahun 1999 hingga 2 Maret 2006, Depdagri telah menerima 5.054 Perda[3] tentang pajak daerah, retribusi daerah dan sumbangan pihak ketiga. Sebanyak 158 Perda harus direvisi dan 930 Perda layak dibatalkan. Dari Perda yang layak dibatalkan tersebut, Depdagri telah membatalkan 506 Perda, 24 Perda dibatalkan daerah yang bersangkutan, dan 7 Perda lainnya sedang menunggu sikap daerah.[4] Hingga Juli 2009, terdapat 1.063 Perda yang dibatalkan dan direvisi pemerintah.[5]
Hasil penelitian PP Otoda Universitas Brawijaya tahun 2003 menyimpulkan bahwa hampir seluruh daerah pascaotonomi daerah membentuk Perda yang bersifat elitis. Ciri utamanya adalah: (1) tidak adanya transkrip akademik yang berisi alasan sosiologis, politis, dan yuridis mengenai pentingnya Perda dibuat; (2) tidak terdapat komplain publik terhadap proses pembentukan Perda; dan (3) aspirasi bisa saja disampaikan, namun tidak ada jaminan yang bisa mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan.[6]
Rikardo Simamarta mengkritik bahwa pembentukan hukum di daerah acapkali hanya dipahami sebagai perkara teknis belaka tanpa memperdulikan proses sosial dan politiknya. Akibat dari hal yang demikian itu, maka substansinya menjadi carut marut. Dan yang memprihatinkan substansi Perda lebih banyak hasil contekan dari daerah lain[7] dibanding dengan hasil kreativitas intelektual para aktor dalam memotret nilai-nilai dan kebutuhan sosial-daerahnya. Legislasi yang elitis tersebut menjadi salah satu pemicu terbitnya “Perda bermasalah” yang akhirnya dibatalkan pemerintah pusat atau direvisi.
Pada umumnya, argumentasi yang menjadi landasan pembatalan Perda yang dianggap “bermasalah” tersebut lebih menekankan pada aspek yuridis dan aspek sosiologisnya. Hal ini bisa dibaca dari konsideran sebuah Perda dibatalkan yakni karena: (a) bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, (b) bertentangan dengan kepentingan umum, dan (c) menimbulkan ekonomi biaya tinggi (membebani iklim investasi/anti-investasi).
Namun, alasan pembatalan dari sisi filosofis atas suatu Perda tampaknya belum pernah disentuh. Padahal aspek filosofis ini sangat penting, mengingat aspek ini merupakan pergulatan pemikiran tentang nilai-nilai dasar yang harusnya diperbincangkan paling awal sebelum dua aspek lainnya. Dengan tidak pernah memperbincangkan aspek filosofi, maka pertimbangan pembentukan mau pun pembatalan Perda menjadi “kering” terhadap nilai-nilai luhur yang niscaya mengalir dan menjadi sumber paling dasar dalam suatu produk legislasi.
Barangkali tidak tersentuhnya aspek filosofis dikarenakan sejak awal legislator daerah tidak pernah menggayutkan formulai Perda dengan landasan filosofi yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang sarat dengan nilai dasar luar biasa. Dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia (vide Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan/UUP3). Dan ini tampaknya telah banyak dilupakan orang, karena sejak era reformasi tahun 1998 – meminjam pernyataan Moh. Mahfud MD – “gema Pancasila sudah mengendur”. [8]
B. PANCASILA DALAM SISTEM HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Secara konstitusional, Pancasila terumus dalam alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945, yakni: “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Berdasarkan rumusan yang demikian, Budiono Kusumohamidjojo berpendapat bahwa “Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dijiwai Pancasila”.[9] Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 disebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara”.
Sebagai dasar sekaligus ideologi negara, maka Pancasila bagi bangsa Indonesia sudah “tidak bisa ditawar” lagi. Moh. Mahfud MD menegaskan bahwa Pancasila yang terumus dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 adalah modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia. Pancasila sangat cocok dengan realitas bangsa Indonesia yang plural. Dengan Pancasila akan menjadi “ruang” bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang semula mungkin saling bertentangan secara diametral.[10]
Namun, sejak reformasi bergulir hingga kini, gema Pancasila telah mengendur. Mengendurnya gema Pancasila disebabkan banyak yang merasa malu karena pada masa Orde Baru mempunyai pemerintah yang selalu mengkampanyekan Pancasila namun pada kenyataannya menunjukkan cara hidup yang penuh KKN. Karenanya, saat ini orang agak risih menyebut Pancasila atau merasa tidak reformis karena para pendukung Pancasila di era Orde Baru ternyata banyak melakukan KKN yang menyengsarakan rakyat. Padahal, Pancasila adalah dasar dan ideologi negara yang merupakan modus vivendi bangsa Indonesia yang sulit atau (mungkin) tak bisa digantikan.[11]
Di samping berkedudukan sebagai ideologi dan dasar negara, Pancasila dalam sistem hukum perundang-undangan Indonesia adalah sumber dari segala sumber hukum. Pasal 2 UUP3 merumuskan “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Apa yang dimaksud dengan istilah “sumber dari segala sumber hukum” itu?
Dalam berbagai literatur hukum Indonesia acapkali dijumpai istilah “sumber hukum” di samping “sumber tertib hukum” dan “sumber dari segala sumber hukum”, yang kadang-kadang istilah ketiganya menimbulkan kerancuan antara satu dengan lainnya. Dalam istilah sumber hukum sendiri, misalnya, terdapat berbagai pengertian tentang apa yang disebut dengan sumber hukum itu, seperti tempat asal pengambilan hukum, landasan segala hukum, segala apa yang menimbulkan hukum, dan sebagainya.[12] Namun secara umum, sumber hukum itu diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu “sumber hukum materiil” dan “sumber hukum formil”.[13]
Secara singkat dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum material adalah sumber dari mana materi hukum itu diambil/berasal. Sumber hukum material ini merupakan faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum, yang berupa faktor sosiologis dan faktor filosofis. Sedangkan yang disebut dengan sumber hukum formal adalah tempat di mana aturan hukum itu dapat diketahui. Hal ini berkaitan dengan bentuk hukum yang menyebabkan hukum itu berlaku sebagai hukum positif, seperti undang-undang, yurisprudensi, dan sebagainya.[14]
Menurut Pasal 1 ayat (1) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dengan sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. Jika dikaitkan dengan ayat (2) maka sumber hukum tersebut terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Dengan rumusan yang demikian ini, maka pengertian sumber hukum dalam terminologi Ketetapan MPR adalah termasuk golongan sumber hukum formal.
Pengertian demikian itu adalah rancu. Dalam perspektif ilmu hukum, sumber hukum tidak sekedar dalam maknanya yang formal, namun juga dalam maknanya yang material. Jika sumber hukum dimaknakan sebagai sumber bahan untuk menyusun hukum, maka sumber hukum tersebut juga melingkupi bahan-bahan material di samping sumber hukum formal. Dengan demikian, Tap MPR tersebut mempersempit pengertian sumber hukum dalam maknanya hanya yang formal.
Ke dalam istilah “sumber tertib hukum” mengandung pengertian yang menekankan pada susunan dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam suatu sistem hukum positif. Dalam sumber tertib hukum ini harus dipenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: (1) adanya kesatuan asas subjek, (2) asas kerohanian, (3) waktu, dan (4) daerah di mana hukum itu berlaku. Dengan demikian, susunan dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah termasuk dalam lingkup pengertian sumber hukum formal.[15]
Acapkali ditemukan adanya suatu produk hukum yang berlaku, misal berupa UU maupun Perda, yang dirasakan tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Dalam konteks demikian, maka diperlukan suatu “sumber hukum lain” yang berfungsi sebagai kaidah penilai, ukuran, atau batu penguji (norma kritik) terhadap hukum yang berlaku, dengan maksud agar hukum yang berlaku itu benar-benar sesuai dengan rasa keadilan, memberi manfaat yang luas, dan memiliki kepastian.
Norma kritik tidak lain adalah apa yang disebut dengan “sumber dari segala sumber hukum”. Sumber dari segala sumber hukum tersebut dapat dijadikan kaidah penilai/ukuran/batu uji (norma kritik) yang bersifat etis-filosofis. Mengapa demikian? Sebab secara substantif nilai-nilai yang terkadung dalam sumber dari segala sumber hukum itu sangat kental dengan karakter nilai-nilai filosofis.[16]
Berdasarkan uraian yang demikian ini, maka menyamakan pengertian antara “sumber tertib hukum” dengan “sumber dari segala sumber hukum” sebagaimana yang dikemukakan oleh Darji Darmodiharjo dan Shidarta maupun Ketetapan MPRS No XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan adalah kurang tepat.[17] Sebab sumber tertib hukum itu mengacu pada susunan/hierarki hukum, sedangkan sumber dari segala sumber hukum mengacu pada norma kritik.
Barang tentu yang relatif tepat adalah menyamakan istilah sumber dari segala sumber hukum itu dengan “maha-sumber hukum” sebagai sumber hukum yang terakhir dan tertinggi.[18] Dengan demikian, sumber-sumber hukum yang ada dalam suatu negara (sumber hukum formal) pada akhirnya berpuncak dan berakhir pada apa yang disebut dengan sumber dari segala sumber hukum tersebut.
Terdapat perbedaan setiap negara dalam memaknai sumber dari segala sumber hukum ini. Negara yang berpaham teokrasi, misalnya, yang menjadi sumber dari segala sumber hukum adalah ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa dengan itu. Untuk negara yang mengikuti paham negara kekuasaan, maka sumber dari segala sumber hukum itu adalah kekuasaan atau kekuatan.
Sedangkan bagi negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber dari segala sumber hukum adalah kedaulatan rakyat itu sendiri. Negara Indonesia yang menganut paham kedaulatan rakyat tentu tidak sama dengan kedaulatan rakyat Rousseau dengan teori kontrak sosial, atau kedaulatan rakyat Hobbes yang mengarah ke absolutisme, dan kedaulatan rakyat Locke yang cenderung ke demokrasi parlementer.[19]
Bagaimana konteks Indonesia dalam memahami sumber dari segala sumber hukum tersebut? Secara jelas negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Hal ini terlihat pada Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 (amandemen ketiga) yang merumuskan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang dasar”. Dari rumusan ini menginformasikan bahwa rakyatlah sebagai pemilik kedaulatan. Oleh karena rakyat adalah pemilik kedaulatan, maka semua kekuasaan yang ada adalah berasal/bersumber dari rakyat.
Menurut pendapat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, kedaulatan rakyat dilihat dari sejarah pembentukan Negara Indonesia adalah semula diwakilkan kepada suatu badan istimewa yang disebut dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Terhadap pendapat tersebut ada pertanyaan yang tersisa, yaitu apa dasar hukumnya dan bagaimana mekanisme rakyat mewakilkan kedaulatannnya kepada PPKI tersebut?
Pandangan positivisme hukum yang formal-legalistik akan kesulitan untuk memberikan jawaban yang memuaskan berdasarkan logika yang dimiliki. Sebab pada saat itu tidak ada satu aturan hukum pun yang secara legal-formal dapat dirujuk sebagai dasar hukum kedaulatan rakyat diwakilkan kepada PPKI dan mekanisme yuridis untuk menentukan bagaimana dan siapa yang dianggap legal dan legitimet mewakili rakyat.
Barang tentu jawaban yang relatif memuaskan adalah berdasarkan pandangan yang sosiologis. Pandangan sosiologis akan berpendapat bahwa bagaimanapun, secara secara empiris dan secara sosiologis, PPKI adalah sebuah badan yang mewakili rakyat. Anggota PPKI yang berasal dari berbagai latar belakang sosial merupakan fakta empiris sebagai wakil rakyat. Jadi hanya dengan menanggalkan cara berpikir positivistik, maka legalitas PPKI yang mewakili kedaulatan rakyat dapat dibenarkan.[20] Dengan demikian, fakta sejarah dengan pendekatan sosiologis demikian dapat menjadi titik tolak dalam merekonstruksi gagasan bahwa PPKI adalah badan yang mewakili kedaulatan rakyat.
Selanjutnya Darji Darmodiharjo dan Shidarta mengatakan bahwa paling tidak ada 3 (tiga) keistimewaan yang dimiliki PPKI ini, yaitu: (1) karena Badan ini mewakili seluruh bangsa Indonesia sekaligus sebagai pembentuk negara Republik Indonesia; (2) karena menurut sejarah perjuangan kemerdekaan, Badan tersebut adalah Badan yang melahirkan atau membentuk negara Republik Indonesia; dan (3) menurut teori hukum, Badan seperti itu mempunyai wewenang untuk menetapkan dasar negara yang paling fundamental yang disebut dasar falsafah negara atau norma hukum dasar negara.
Dasar negara yang paling fundamental yang ditetapkan oleh Badan tersebut tidak lain adalah Pancasila. Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa Pancasila yang dirumuskan dan disepakati PPKI sebagai badan yang mewakili kedaulatan rakyat pada tanggal 18 Agustus 1945 – yang kemudian dituangkan dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 – itulah yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia.[21]
Dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan digunakan terminologi Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 sebagai “sumber hukum dasar nasional”. Menurut Jazim Hamidi, penggunaan terminologi Pancasila sebagai “hukum dasar” jelas-jelas merupakan langkah yang salah, sebab Pancasila itu bukan hukum dasar, karena Pancasila itu bukan termasuk dalam golongan norma hukum. Apalagi jika dikaitkan dengan “norma dasar” (Grundnorm) dalam pengertian Kelsen yang positivistik menjadi lebih salah lagi.[22]
Sekilas perlu diketengahkan tentang Grundnorm berdasarkan teori jenjang hukum (Stufentheorie) gagasan Hans Kelsen. Kelsen menyatakan bahwa Grundnorm (Norma Dasar) adalah norma tertinggi dalam suatu sistem norma yang tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi. Grundnorm adalah norma terakhir yang bersifat hopotetis dan fiktif yang menurut Indrati “ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat”, sebagai gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed (ditetapkan terlebih dahulu).[23]
Hans Nawiasky tidak sependapat dengan Kelsen dalam penggunaan istilah Grundnorm sebagai norma tertinggi. Menurut Nawiasky, norma hukum tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum negara adalah Staatsfundamentalnorm, yang diterjemahkan A. Hamid S. Attamimi sebagai “Norma Fundamental Negara”. Staatsfundamentalnorm sebagai norma tertinggi suatu negara merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, namun bersifat pre-supposed oleh masyarakat dalam suatu negara, dan merupakan norma hukum bagi bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.[24]
Staatsfundamental-norm suatu negara merupakan dasar filosofis yang mengandung kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut.[25] Bagi Negara Republik Indonesia, Pancasila adalah staatsfundamentalnorm, dengan argumentasi karena Pancasila merupakan rechtsidee (cita hukum - Attamimi menerjemahkan “cita-cita hukum”) rakyat Indonesia.[26] Dengan mengadopsi pendapat Hans Nawiasky tersebut, maka akan dapat digambarkan posisi Pancasila dari sekalian hierarki hukum (peraturan perundang-undangan) di Indonesia sebagaimana tampak pada Ragaan berikut ini.
RAGAAN: HIERARKI PERATURAN HUKUM INDONESIA
(Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004)
PANCASILA
Hasil Seminar “Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional” menyebutkan bahwa “Cita-hukum (rechtsidee) mengandung arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan fikiran dari masyarakat itu sendiri”. Dalam dinamika kehidupan masyarakat, cita hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi), dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, dan penerapan hukum) dan perilaku hukum. Cita-hukum (rechtsidee) Pancasila berintikan:
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2) Penghormatan atas martabat manusia;
(3) Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara;
(4) Persamaan dan kelayakan;
(5) Keadilan sosial;
(6) Moral dan budi pekerti yang luhur; dan
(7) Partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan putusan publik.[27]
A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan “bintang pemandu” yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan yang memberi isi pada tiap-tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif merupakan kerangka untuk membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut. Terhadap isi peraturan perundang-undangan, sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan merupakan asas hukum umum.[28]
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara sekaligus sebagai cita hukum merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Jika demikian halnya, maka Pancasila dalam tatanan hukum di Indonesia memiliki 2 (dua) dimensi, yaitu (1) sebagai norma kritik, yakni menjadi batu uji bagi norma-norma di bawahnya, dan (2) sebagai bintang pemandu, yang menjadi pedoman dalam pembentukan hukum di bawahnya. Atau yang secara padat dinyatakan Muladi bahwa Pancasila merupakan instrumen dari “Margin of Appreciation doctrine”, yang dalam hal ini Pancasila menjadi acuan parameter bagi penerapan “Margin of Appreciation Doctrine”.[29]
Dengan dimensi yang dimiliki oleh Pancasila dalam sekalian hierarki hukum perundang-undangan yang ada di Indonesia terbut, maka kedudukan Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara. Dalam hal ini juga telah dipertegas dalam UUP3 melalui Pasal 2. Untuk mengetahui maksud dari penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara tersebut, Penjelasan Pasal 2 UUP3 merumuskan sebagai berikut:
“Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara tersebut bukannya tanpa kritik. Setelah menguraikan panjang lebar, Jazim Hamidi berpendapat bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara itu di samping berlebihan juga hal itu tidak tepat. Dikatakan berlebihan, karena seharusnya cukup disebut dengan Pancasila sebagai sumber hukum materiil. Sedangkan tidak tepat, karena sumber hukum materiil dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak hanya berupa Pancasila, tetapi juga Naskah Proklamasi, dan sumber hukum materiil lainnya (baik hukum yang tertulis maupun tidak tertulis).[30]
Jazim Hamidi tidak sependapat dengan penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Namun jika dipahami bahwa kedudukan Pancasila dalam ketatanegaraan Indonesia menempati posisi yang paling mendasar, yakni sebagai dasar negara, ideologi negara, dan sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara, maka sudah pada tempatnya jika Pancasila ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Konteks yuridis dan psikologis demikian menjadi berbeda jika Pancasila hanya ditempat sebagai sumber hukum materiil, yang menjadikan kedudukannya tidak lebih sama dengan faktor-faktor sosiologis lainnya.
Berdasarkan uraian demikian itu dapat dikemukakan bahwa menempatkan Pancasila dalam posisinya sebagai sumber dari segala sumber hukum negara karena Pancasila mengandung cita hukum (rechtsidee), nilai-nilai dasar, sekaligus filosofi dasar bagi penyelenggaraan kenegaraan Indonesia. Dengan posisi yang demikian, Pancasila adalah sebagai “bintang pemandu” sekaligus sebagai norma kritik (kaidah penilai/ukuran/batu uji) yang bersifat etis-filosofis, dan menjadi margin of appreciation doctrine dari sekalian hukum perundang-undangan yang ada.
C. MEMBINGKAI HUKUM DAERAH (PERDA) DENGAN PANCASILA
Semua uraian di atas membawa implikasi dalam pembentukan hukum, bahwa siapapun dan lembaga apapun yang berwenang dan terlibat dalam proses pembentukan hukum niscaya tidak boleh melupakan Pancasila yang kedudukannya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Artinya, para pembentuk hukum perundang-undangan ketika melakukan aktivitas pembentukan hukum (legislasi) harus selalu berpedoman, dibatasi, diukur, dinilai, dan dipandu oleh nilai-nilai dasar dari Pancasila, yang nilai-nilai dasar tersebut secara cerdas terangkum ke dalam sila-sila Pancasila.[31]
Demikian halnya dengan legislasi Perda. Pasal 12 UUP3 menyebutkan bahwa Perda dibentuk dalam rangka (1) penyelenggaraan otonomi daerah, (2) tugas pembantuan, (3) menampung kondisi khusus daerah, dan (4) penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apapun latar belakang pembentukan Perda – apakah karena berdasarkan perintah perundang-undangan di atasnya, ataukah dilatarbelakangi oleh kondisi khusus daerahnya – setiap pembentuk Perda harus selalu berpedoman pada Pancasila. Perdebatan tentang apakah suatu daerah dapat membentuk Perda bernuansa syariat Islam, misalnya, harusnya diukur, dinilai, dibatasi, dan berpedoman pada nilai-nilai dasar (A Hamid S. Attamimi menyebut “asas hukum umum”) dari Pancasila tersebut.
Karakter cita-hukum dan nilai-nilai dasar Pancasila dalam pembentukan hukum tersebut masih sangat abstrak. Agar lebih bisa dijangkau, maka cita-hukum dan nilai-nilai dasar tersebut kemudian dijabarkan dalam asas-asas hukum. Setelah menguraikan dan membandingkan pendapat dari Bellefroid, van Eikema Hommes, van der Velde, dan Scholten, Sudikno Mertokusumo menyimpulkan asas hukum sebagai berikut:
“Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut”. [32]
Satjipto Rahardjo dengan menunjuk pendapat Paton mengungkapkan bahwa asas hukum merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum, yang karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Dikatakan demikian karena dua hal, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas tersebut. Kedua, asas hukum juga merupakan ratio legis (alasan) bagi lahirnya peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dan akan tetap saja ada dalam melahirkan berbagai peraturan hukum. Dari asas hukum dapat diturunkan peraturan-peraturan hukum. [33]
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa asas-asas hukum yang dapat ditarik dari Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Asas kesatuan dan persatuan atau kebangsaan mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Hukum nasional berfungsi mempersatukan bangsa Indonesia.
2. Asas ke-Tuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentang dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama.
3. Asas demokrasi mengamanatkan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan. Kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Pada analisis terakhir kekuasaan ada pada rakyat dan wakil-wakilnya.
4. Asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa semua warganegara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama dihadapan hukum.[34]
UUP3 melalui Pasal 6 ayat (1) telah mengkonstatasi asas-asas muatan materi yang harus dipedomani oleh pembentuk hukum ketika merumuskan materi muatan peraturan perundang-undangan. Asas-asas yang harus dimasukkan oleh pembentuk hukum dalam materi muatan peraturan perundang-undangan adalah meliputi sebagai berikut: (a) asas pengayoman; (b) asas kemanusian; (c) asas kebangsaan; (d) asas kekeluargaan; (e) asas kenusantaraan; (f) asas bhineka tunggal ika; (g) asas keadilan; (h) asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; (i) asas ketertiban dan kepastian hukum; dan (j) asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Bagaimana agar lawmakers dapat merangkai asas-asas hukum tersebut ke dalam materi muatan perundang-undangan sehingga produk hukum yang dibentuk merupakan derivasi dari asas-asas Pancasila dan asas-asas materi muatan pada satu sisi, dan pada sisi bersamaan, memberikan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian bagi subjek yang dituju? Kiranya patut diperhatikan salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu asas “dapat dilaksanakan”.
Sesuai dengan Penjelasan Pasal 5 huruf d UUP3 bahwa yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Agar bisa mencapai hal tersebut, maka para pembentuk hukum niscaya harus melakukan suatu pengkajian dan penelitian terlebih dahulu dengan fokus pada kelayakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk baik dari sisi filosofis, yuridis, maupun sosiologinya. Tanpa adanya usaha seperti itu, dapat dikatakan bahwa pembentuk hukum tidak berpedoman pada asas pembentukan hukum yang baik, yang pada dasarnya telah melepaskan diri dari Pancasila.
D. PENUTUP
Dalam sistem hukum perundang-undangan Indonesia, posisi Pancasila Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara. Dengan demikian Pancasila yang di dalamnya mengandung seangkaian asas dan nilai niscaya mengalir dalam setiap jenis produk hukum perundang-undangan di Indonesia. Dalam kedudukan yang demikian itu, Pancasila adalah sebagai bintang pemandu sekaligus norma kritik terhadap sekalian jenis produk hukum perundang-undangan Indonesia. Agar kedudukan yang demikian itu efektif, maka perlu ada reformulasi sedemikian rupa agar rumusan “Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara” menjadi norma yang imperatif dan ditaati oleh para penguasa legislasi di pusat mau pun di daerah.
------
DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid S. Attamimi (1981) UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang (kaitan norma hukum ketiganya). Jakarta, 31 Desember 1981.
A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I – PELITA IV)”. Disertasi. Universitas Indonesia, Jakarta.
Ahmad Ali (2000) “Dari Formal-Legalistik Ke Delegalisasi”. Dalam I.S. Susanto dan Bernard L. Tanya (Eds.) Wajah Hukum Di Era Reformasi (Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,S.H. Citra Aditya Bakti, Bandung.
B. Hestu Cipto Handoyo (2008) Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Bernard Arief Sidharta (2000) Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Budiono Kusumohamidjojo (2004) Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban yang Adil. Grasindo, Jakarta.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta (1995) Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dedi Muhtadi (2006) Ketika Semangat Desentralisasi Tidak Kompak. Dalam http://www.kompas.com/kompas-etak/0604/01/Fokus/2546275. htm.
George Whitecross Paton (1951) Textbook of Jurisprudence. Oxford at the Calrendom Press, Oxford.
Haryono (1994) Tata dan Sumber Hukum. Usaha Nasional, Surabaya.
Herman Bakir (2005) Kastil Teori Hukum. PT. INDEKS, Jakarta.
http://www.jpip.or.id/articles/view/12, “Sisi Lai Perda-Perda Bermasalah, Perspektif Pemodal Lebih Dominan”.
Jazim Hamidi (2006) Revolusi Hukum Indonesia, Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Konstitusi Press, Jakarta & Citra Media, Yogyakarta.
Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at (2006) Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Konpress kerja sama dengan PT. Syamil Cipta Media, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo (1996) Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangandigunakan
Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.
Kompas Jawa Timur. 13 Maret 2006.
Kompas, 13 Agustus 2009.
Maria Farida Indrati S. (2007) Ilmu Perundang-undangan (1) (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Kanisius, Yogyakarta
Moch. Tolchah Mansoer (1979) SumberHukum dan Urutan Tertib Hukum Menurut Undang-Undang dasar RI ‘45”. Binacipta, Bandung.
Mochtar Kusumaatmadja (1995) “Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang. Makalah.
Moh. Mahfud MD (2007) Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
Muladi (2005) “Mengali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, Volume 1/nomor 1/April 2005.
Musthafa Kamal Pasha et.al. (2003) Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis. Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta.
Rikardo Simamarta (2003) Pembaharuan Hukum Daerah Menuju Pengembalian Hukum Kepada Rakyat. YBH Bantaya (Palu), Yayasan Kemala, HuMA (Jakarta).
Satjipto Rahardjo (1991) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Surya Prakash Sinha (1993) Jurisprudence, Legal Philosophy. West Publishing, St. Paul Minn.
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


* Dr. Anis Ibrahim, SH.,MHum. adalah dosen PNS Dpk pada STIH Jenderal Sudirman Lumajang.
[1] B. Hestu Cipto Handoyo (2008) Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal. 62- 71. Di samping tiga landasan pokok tersebut masih ada yang menambahkan landasan lagi yaitu “landasan teknik perancangan” dan “landasan politis”.
[2] http://www.jpip.or.id/articles/view/12, “Sisi Lai Perda-Perda Bermasalah, Perspektif Pemodal Lebih Dominan”.
[3] Seharusnya Perda yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan dikirim ke Depdagri lebih besar dari 5.054 Perda, yakni seharusnya mencapai 13.520 Perda (Lihat: Dedi Muhtadi (2006) Ketika Semangat Desentralisasi Tidak Kompak. Dalam http://www.kompas.com/kompas-etak/0604/01/Fokus/2546275. htm. Dengan demikian bisa diperkirakan jumlah yang dibatalkan atau direvisi bisa lebih dari jumlah tersebut.
[5] Kompas, 13 Agustus 2009.
[6] Kompas Jawa Timur. 13 Maret 2006.
[7] Rikardo Simamarta (2003) Pembaharuan Hukum Daerah Menuju Pengembalian Hukum Kepada Rakyat. YBH Bantaya (Palu), Yayasan Kemala (Jakarta), HuMA (Jakarta), hal. 35-36.
[8] Moh. Mahfud MD (2007) Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hal. 3-5.
[9] Budiono Kusumohamidjojo (2004) Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban yang Adil. Grasindo, Jakarta, hal. 220.
[10] Moh. Mahfud MD (2007) Loc.Cit.
[11] Ibid. hal. 5.
[12] Keberagaman pengertian sumber hukum tersebut dapat dibaca dengan membandingkan tulisan Moch. Tolchah Mansoer (1979) SumberHukum dan Urutan Tertib Hukum Menurut Undang-Undang dasar RI ‘45”. Binacipta, Bandung, dengan tulisan Haryono (1994) Tata dan Sumber Hukum. Usaha Nasional, Surabaya.
[13] George Whitecross Paton (1951) Textbook of Jurisprudence. Oxford at the Calrendom Press, Oxford, p. 140.
[14] Darji Darmodiharjo dan Shidarta (1995) Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 189-190.
[15] Jazim Hamidi (2006) Revolusi Hukum Indonesia, Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Konstitusi Press, Jakarta & Citra Media, Yogyakarta, hal. 87 dan hal. 190.
[16] Menurut Jazim Hamidi. Ibid. hal. 204, norma kritik ini tidak hanya dimiliki Pancasila, namun juga Naskah Proklamasi dan Pembukaan UUD Tahun 1945.
[17] Berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002” dinyatakan bahwa Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tergolong Ketetapan MPRS dinyatakan “tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut”. Jadi Tap MPRS tersebut sudah dicabut.
[18] Darji Darmodiharjo dan Shidarta. Op.Cit. hal. 191.
[19] Ibid. hal. 191-192.
[20] Bandingkan dengan tulisan Ahmad Ali (2000) “Dari Formal-Legalistik Ke Delegalisasi”. Dalam I.S. Susanto dan Bernard L. Tanya (Eds.) Wajah Hukum Di Era Reformasi (Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,S.H. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 27-39
[21] Darji Darmodiharjo dan Shidarta. Op.Cit. hal. 192-193. Lihat pula Musthafa Kamal Pasha et.al. (2003) Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis. Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta, hal. 25-31.
[22] Jazim Hamidi. Op.Cit. hal. 233.
[23] Maria Farida Indrati S. (2007) Ilmu Perundang-undangan (1) (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Kanisius, Yogyakarta, hal. 41. Mengenai pendapat Indrati bahwa Grundnorm ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat ini tidak sejalan dengan pendapat Jazim Hamidi yang menyatakan bahwa Grundnorm dalam pengertian Hans Kelsen merupakan suatu yang abstrak, diasumsikan adanya, tidak tertulis dan memiliki keberlakuan universal. Grundnorm ini “tidak ditetapkan” tetapi “diasumsikan” adanya oleh akal budi manusia dan ia berada di luar sistem norma. Lihat Jazim Hamidi. Op.Cit. hal. 173. Ihwal validitas grundnorm ini dikritik Surya Prakash Sinha sebagai suatu usaha yang sulit untuk diinvestigasi di alam empirik. Surya Prakash Sinha (1993) Jurisprudence, Legal Philosophy. West Publishing, St. Paul Minn, p. 199. Lihat pula Herman Bakir (2005) Kastil Teori Hukum. PT. INDEKS, Jakarta, hal. 127-128.
[24] A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I – PELITA IV)”. Disertasi. Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 359 dan seterusnya. Lihat dalam Ibid. hal. 43.
[25] A. Hamid S. Attamimi (1981) UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang (kaitan norma hukum ketiganya). Jakarta, 31 Desember 1981, hal. 4. Lihat dalam Ibid. hal. 4.
[26] A. Hamid S. Attamimi. Ibid. hal. 310.
[27] Bernard Arief Sidharta (2000) Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung, hal 185.
[28] A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan …”. Op.Cit. hal. 308.
[29] Muladi (2005) “Mengali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, Volume 1/nomor 1/April 2005, hal 35.
[30] Jazim Hamidi. Op.Cit. hal. 235.
[31] Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at (2006) Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Konpress kerja sama dengan PT. Syamil Cipta Media, Jakarta, hal. 171.
[32] Sudikno Mertokusumo (1996) Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 5-6.
[33] Satjipto Rahardjo (1991) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 45.
[34] Mochtar Kusumaatmadja (1995) “Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang. Makalah. Hal. .97.