Selasa, 23 Maret 2010

LEGAL OPINI VS FATWA HUKUM

Oleh: ANIS IBRAHIM

Legal opinion dan fatwa hukum pengadilan menjadi topik yang cukup hangat di masyarakat pada minggu-minggu ini. Musabab dari hangatnya peristiwa itu adalah munculnya hasil yang berbeda antara legal opinion yang dikeluarkan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej) dengan fatwa hukum pengadilan atas posisi hukum salah seorang politisi Partai Golkar Jember.
“Kehangatan” ini sebaiknya tidak terus memanas, mengingat saat ini pas berada di bulan suci Ramadhan yang mengajarkan umat untuk saling meredam diri dari gejolaknya hati dan panasnya bara emosi. Oleh karena itu sangat elok jika melakukan perenungan atas posisi legal opinion dan fatwa hukum tersebut dalam konteks kehidupan berhukum dan bermasyarakat yang cerdas.
Dalam konteks demikian, tulisan singkat ini lebih merupakan suatu upaya untuk melihat secara jernih apa dan bagaimana posisi legal opinion dan fatwa hukum (termasuk fatwa pengadilan) dalam kehidupan hukum dan masyarakat Indonesia. Artinya, tulisan ini tidak ingin mencampuri lebih lanjut substansi dari legal opinion dan fatwa pengadilan yang bersangkutan. Namun, dari uraian singkat ini diseyogyakan masyarakat menjadi lebih jernih memahami persoalan tersebut.
*****
Secara leterlijk, legal opinion adalah sama dengan “pendapat hukum”. secara umum, legal opinium tidak lebih dari “opini” pada umumnya, namun kekhasannya ialah ia dikeluarkan oleh persoon yang berkecimpung di bidang hukum. Dengan demikian, legal opinion tidak lain merupakan pendapat ilmiah hukum, sebab ia lazim dikeluarkan oleh komunitas//lembaga yang memiliki wibawa keilmuan hukum tertentu. Hasil akhirnya adalah berupa “pendapat yang niscaya” atas suatu peristiwa atau perbuatan hukum tertentu.
“Hasil pemikiran/pendapat yang niscaya” ini tentu tidak dilakukan secara asal-asalan. Sebagai pendapat yang berkarakter ilmiah, legal opinion tentu telah diawali dengan serangkaian kajian dan telaah pustaka yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di kalangan perguruan tinggi hukum sekitar tahun 90-an, legal opinion ini telah diakrabi oleh para mahasiswanya, karena ada kewajiban untuk menyusun legal opinion sebagai pengganti skripsi. Artikel yang tersebar di berbagai media massa cetak yang menyoroti suatu peristiwa/perbuatan hukum juga merupakan legal opinion dari seseorang ahli/berwibawa yang dikemas secara populer.
Sementara itu, fatwa pengadilan – demikian juga dengan fatwa-fatwa lain, semisal fatwa MUI dari salah satu kabupaten di Pulau Madura yang melarang pengemisan – juga tidak lain merupakan “pendapat yang niscaya” atas suatu peristiwa/perbuatan tertentu. Sebelum mengeluarkan fatwa, komunitas/lembaga yang bersangkutan tentu telah mengawalinya dengan serangkaian kajian dan telaah ilmiah mau pun telaah normatif yang dijadikan landasan dan argumentasi yang “paling niscaya” dalam mengeluarkan fatwanya. Pada titik ini, fatwa pengadilan dapat saja dimasukkan dalam katagori “pendapat ilmiah” sebagaimana legal opinion tersebut.
*****
Dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, legal opinion dan fatwa hukum bukanlah termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan Indonesia. Jadi secara yuridis-normatif, kedua pendapat hukum itu tidak memiliki daya mengikat yang imperatif. Keterikatan masyarakat atau siapapun hanyalah bersifat fakultatif alias sukarela – boleh terikat boleh tidak.
Sementara menurut ilmu hukum pun, kedua jenis pendapat tersebut bukan merupakan sumber hukum utama yang mengikat. Keduanya dapatlah dimasukkan dalam katagori second opinion yang posisinya dapat digunakan dan sekedar sebagai penjelas/penafsir terhadap suatu peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi di masyarakat yang masih kabur agar posisi hukumnya menjadi terang.
Dengan adanya pendapat yang keluar dari legal opinon mau pun fatwa hukum tersebut, maka semua pihak yang membutuhkan akan memperoleh pemahaman yang relatif memadai. Keduanya dapat menjadi sarana pembantu dalam rangka mengambil keputusan maupun menentukan sikap terbaik dengan berdasar pada legal opinion mau pun fatwa hukum yang ada.
Dalam dunia keilmuan berkembang adagium bahwa “ilmuwan dan intelektual boleh salah, namun tidak boleh bohong”. Di komunitas hukum juga ada humor: “jika ada 4 ahli hukum berdiskusi maka akan muncul 5 pendapat”. Bagaimana pun, legal opinion dan fatwa hukum berada dalam ruang keilmuan. Dengan karakter ilmiah yang dimiliki oleh legal opinion dan fatwa hukum, tidak pada tempatnya jika dilakuikan somasi mau pun gugatan hukum atasnya.
Yang paling cantik adalah melakukan uji kebenaran secara ilmiah terhadap dua pendapat tersebut. Dengan demikian dapat diadu dan ditelusuri pendapat mana yang paling mendekatai kebenaran sejati dan mana yang tidak. Apakah legal opinion atukah fatwa hukum? Jadi, merupakan pembelajaran yang luar biasa manakala ada pihak yang mau dan mampu menyelenggarakan forum ilmiah dengan kegiatan utama untuk menjernihkan dan menguji kesahihan substansi dari legal opinion FH Unej versus fatwa hukum pengadilan tersebut. Kita tunggu. (*)

Dr. Anis Ibrahim,SH.M.Hum.
Staf pengajar Sekolah Tingg Ilmu Hukum
(STIH) Jenderal Sudirman Lumajang.