Jurnal Hukum
“ARGUMENTUM” Vol. 8 No.2, Juni 2009 ISSN: 1412-1751
LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU DI INDONESIA DARI MASA KE MASA
Oleh:
Anis Ibrahim*
ABSTRAK
Sejak pertama kali dibentuk
tahun 1946, lembaga penyelenggara Pemilu di Indonesia mengalami pasang surut.
Dari semula keanggotaannya yang independen kemudian berubah menjadi partisan
dan kembali menjadi independen. Pada dasarnya tingkat independensi/netralitas
lembaga penyelenggara Pemilu ini tergantung pada rezim yang berkuasa dan
aturan hukum yang mendasarinya.
Kata Kunci: Lembaga Penyelenggara Pemilu, Indonesia, Independen.
A.
URGENSITAS
LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU
Negara yang menganut
paham demokrasi tidak langsung perwakilan/elektoral), Pemilihan umum (Pemilu)
adalah suatu keniscayaan. Melalui Pemilu akan dapat dipilih, direkrut, dan
dibentuk sekalian pemimpin negara dan para wakil rakyat yang akan bekerja untuk
mewakili dan atas nama kepentingan rakyat. Untuk sampai pada kondisi ideal yang
demikian itu, Pemilu haruslah diselenggarakan secara demokratis.
Sebuah Pemilu yang
demokratis setidaknya memiliki lima persyaratan. Pertama, Pemilu harus bersifat kompetitif. Kedua, Pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Ketiga, Pemilu haruslah inklusif. Keempat, pemilih harus diberi
keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya
dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi
yang luas. Dan, Kelima, penyelenggara
Pemilu yang tidak memihak dan independen.[1]
Dalam hal yang terakhir
ini, Marwani menulis sebagai berikut:
”Penyelenggaraan pemilu
sebagian besar adalah kerja teknis. ... Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh
sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen,
dan profesional sangat menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis.
Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau
berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak
terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi”.[2]
Dengan demikian,
keberhasilan dan kegagalan atas penyelenggaraan Pemilu sangat tergantung pada
bagaimana lembaga penyelenggara Pemilu bekerja secara objektif dan profesional
pada satu sisi. Pada sisi bersamaan, ’hitam-putihnya’ hasil Pemilu juga sangat
tergantung pada bagaimana lembaga penyelenggara Pemilu ini apakah bekerja
berdasarkan asas ketakberpihakan/netralitas/independen ataukah bekerja secara
tidak netral/berpihak pada satu subjek tertentu.
Muncul pertanyaan,
siapa atau lembaga apa dan yang bagaimana yang sekiranya dapat menyelenggarakan
Pemilu secara objektif/ demokratis sehingga dari proses pemilu dapat
benar-benar menghadirkan orang-orang terpilih yang sesuai dan mencerminkan
sebesar-besar keinginan rakyat. Sungguh sangat membanggakan bahwa ihwal pemilu
dan penyelenggara Pemilu sudah tercantum dalam konstitusi, yaitu Bab VIIB Pasal
22E Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 yang ditetapkan pada 9 November 2001. Pasal
22E antara lain mengandung ketentuan:
(1)
pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali;
(2) pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD,
presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD;
(3)
pemilu diselenggarakan oleh
suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Berdasar ketentuan
Konstitusi tersebut dapat diketengahkan bahwa organisasi penyelenggara Pemilu di
Indonesia adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. Ini bermakna bahwa Konstitusi Indonesia telah menyatakan sangat
pentingnya eksistensi lembaga penyelenggara Pemilu, dan pada akhirnya
mengharuskan dibentuk KPU yang sifatnya nasional, tetap, dan mandiri, yang
kemudian diberi beban tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan Pemilu yang
demokratis. Dengan demikian, UUD Tahun 1945 telah memberi posisi
legal-konstitusional bagi KPU sebagai ”lembaga negara” yang bertugas menyelenggarakan
Pemilu.
B.
LEMBAGA
PENYELENGGARA PEMILU DI INDONESIA DALAM LINTASAN SEJARAH
Sejak merdeka Negara
Indonesia telah beberapa kali memiliki lembaga penyelenggara Pemilu yang
bertugas menyelenggarakan Pemilu dengan segala romantikanya. Bagaimana performance penyelenggara Pemilu,
tampaknya sangat terkait dengan produk hukum yang mendasari lahirnya lembaga
ini. Oleh karenanya, faktor hukum yang melandasi eksistensi lembaga
penyelenggara Pemilu niscaya dilihat secara bersama-sama dalam sejarah peradaban
penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Indonesia pertama kali
membentuk lembaga yang bertugas menyelenggarakan Pemilu adalah pada tahun 1946.
Pemilu yang pertama kali sedianya diadakan untuk mengisi keanggotaan Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah badan perwakilan rakyat yang pertama
kali dimiliki Indonesia sejak kemerdekaannya. KNIP semula dibentuk atas dasar
Maklumat X 16 Oktober 1945. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan mengisi
lembaga itulah melalui maklumat tersebut pemerintah menyatakan rencananya untuk
menyelenggarakan Pemilu. Pada maklumat 3 Nopember 1945, disebutkan bahwa
pemilihan anggota-anggota badan perwakilan tersebut akan dilangsungkan Januari
1946.
Ternyata rencana
tersebut tidak terlaksana. Juli 1946, dengan persetujuan Badan Pekerja (BP)
KNIP disahkan UU No. 12/1946 tentang Pembaharuan Susunan Komite Nasional
Indonesia Pusat. Dalam UU ini disebutkan bahwa badan penyelenggara pemilihan
dari pusat sampai daerah akan dibentuk. Badan ini akan bertugas
menyelenggarakan pemilihan untuk memilih 110 orang anggota KNIP. Di pusat
namanya Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat (disingkat BPS), di
daerah dinamakan Cabang BPS. BPS dibentuk oleh presiden, berkedudukan di
Yogyakarta, dengan tugas pokok melakukan pembaharuan keanggotaan KNIP. Anggota
BPS ada 10 orang (seorang merangkap ketua dan seorang lagi merangkap wakil
ketua) yang merupakan wakil dari partai politik dan wakil dari daerah. Mereka
diangkat presiden, dan presiden pula yang bisa memberhentikan. Mereka dilantik
oleh Wapres Mohammad Hatta pada 16 September 1946.
Untuk menjalankan tugas
tersebut, di tingkat pusat, pemerintah membentuk Kantor Pemilihan melalui
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1946. Tugasnya adalah melaksanakan
administrasi pemilihan, menyeleng-garakan rapat-rapat BPS, menyusun laporan
pelaksanaan pemilihan, mencetak barang-barang keperluan BPS, membuat
pengumuman-pengumuman, dan pengarsipan. Kantor Pemilihan dipimpin oleh seorang
Sekretaris, yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua BPS.
Untuk pelaksanaan
pemilihan di daerah, Cabang BPS didirikan di tiap karesidenan, tempat kedudukan
gubernur (untuk Kalimantan dan Maluku), dan di tempat lain yang ditentukan oleh
BPS (untuk Sunda Kecil dan Sulawesi). Waktu itu Cabang BPS yang dibentuk ada
33. Tugas Cabang BPS adalah memimpin dan mengawasi pemilihan (pendaftaran)
pemilih di wilayahnya dan menyelenggarakan pemilihan anggota KNIP. Jumlah
anggotanya bisa berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, tetapi strukturnya
sama dengan BPS di pusat, yaitu seorang ketua, seorang wakil ketua, dan
beberapa anggota. Ketua dan wakil ketua juga merangkap anggota. Mereka diangkat
dan diberhentikan oleh presiden atau gubernur.
Untuk mendukung tugas
Cabang BPS, dibentuklah Cabang Kantor Pemilihan yang tugasnya mirip dengan
tugas Kantor Pemilihan di pusat, mengadministrasikan penyelenggaraan pemilihan
di daerah masing-masing. Di bawah Cabang BPS adalah Komisi, yang tugasnya
membantu Cabang BPS, khususnya dalam menetapkan pemilih di wilayah
masing-masing. Wilayah kerja Komisi adalah daerah kawedanaan (untuk di Jawa),
karesidenan (untuk Sumatera), atau propinsi (untuk Kalimantan, Maluku,
Sulawesi, dan Sunda Kecil). Anggotanya merupakan wakil-wakil dari perkumpulan
politik, ekonomi, sosial, dan laskar rakyat.
Pada 1948 BPS beserta
semua organ ikutannya, di pusat maupun di daerah, dibubarkan, melalui Penetapan
Presiden No. 28/1948. Pembubaran tersebut merupakan konsekuensi dari tidak
digunakannya lagi UU No. 12/1946 tentang Pembaharuan Susunan KNIP. Dengan
demikian, belum sempat menyelenggarakan Pemilu lembaga penyelenggara Pemilu ini
ternyata dibubarkan lebih dahulu.
Tahun 1948 diundangkan
UU No. 27/1948 tentang Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemilihan
Anggota-anggotanya. Dengan terbitnya UU ini, maka UU No. 12/1946 menjadi tidak
berlaku. UU No 27/1948 menyebutkan bahwa anggota DPR dipilih melalui Pemilu
dari tingkat pusat sampai daerah. Untuk melaksanakan Pemilu itu di pusat dibentuk
Kantor Pemilihan Pusat (KPP), di tingkat propinsi dibentuk Kantor Pemilihan, di
kabupaten diadakan Cabang Kantor Pemilihan, dan di kecamatan didirikan Kantor
Pemungutan Suara. Semuanya untuk menyelenggarakan Pemilu yang memilih anggota
DPR. Sedangkan untuk memilih anggota DPRD diatur tersendiri yang pelaksanaannya
tidak bersamaan dengan pemilihan anggota DPR.
Waktu itu jumlah
anggota KPP ditetapkan sekurang-kurangnya 5 orang anggota dan 3 orang wakil
anggota. Dua di antara mereka menjadi ketua merangkap anggota. Semuanya
diangkat oleh presiden untuk masa kerja 5 tahun. Pada akhir tahun 1950, melalui
Penetapan Presiden No. 19 tanggal 9 Desember 1950 keanggotaan KPP diubah. Pada
susunan yang baru ini ketua tidak merangkap anggota. Tugas KPP adalah memimpin pemilihan
pemilih dan memilih anggota DPR. Untuk menopang tugas KPP dibantu Sekretariat
KPP yang personalianya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman.
Di tingkat provinsi,
tugas yang dijalankan oleh KPP dibebankan kepada Kantor Pemilihan (KP) yang
berkedudukan di ibukota provinsi. Anggota KP diangkat dan diberhentikan oleh
presiden. KP inilah yang bertanggung jawab memimpin pemilihan pemilih dan
pemilihan anggota DPR di daerah kerjanya. Selain di provinsi, untuk -daerah
tertentu seperti DI Yogyakarta dan Karesidenan Surakarta, pemerintah menetapkan
di daerah-daerah tersebut juga dibentuk KP. Tiap KP beranggotakan
sekurang-kurangnya 5 orang dan 3 wakil anggota, dengan masa kerja 5 tahun.
Gubernur atau Residen secara ex officio adalah Ketua KP.
Di bawahnya lagi adalah
kabupaten. Di tingkat ini dibentuk Cabang Kantor Pemilihan (Cabang KP).
Tugasnya, memimpin pemilihan pemilih dan pemilihan anggota DPR di daerahnya
atas perintah KP. Yang membentuk dan memberhentikan gubernur atau residen yang
secara ex officio merupakan Ketua KP. Dengan UU No. 12/1949 tentang Perubahan
UU No. 27/1948 tentang Susunan DPR dan Pemilihan Anggotanya, untuk Pemilu yang
pertama pembentukan Cabang KP tidak dilakukan.
Di bawah kabupaten,
yakni di kecamatan, dibentuk Kantor Pemungutan Suara (KPS), yang tugasnya juga
memimpin pemilihan pemilih dan pemilihan anggota DPR di kecamatan. KPS
bertempat di kedudukan camat. Sama seperti jenjang di atasnya, anggota KPS
sedikitnya 5 orang ditambah 3 wakil anggota, dengan masa kerja 5 tahun, yang
pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan gubernur atau residen.
Seperti yang dialami
badan penyelenggara Pemilu bentukan 1946, KPP dan organ-organ di bawahnya juga
dibubarkan sebelum sempat menjalankan tugasnya menyelenggarakan Pemilu.
Soalnya, setelah RIS kembali menjadi negara kesatuan RI dengan berlakunya UUD
Sementara 1950, sistem ketatanegaraan juga berubah, tak terkecuali tata cara
untuk memilih anggota lembaga wakil rakyat.
Badan-badan atau lembaga
negara yang diamanatkan oleh UUDS 1950 menghendaki prosedur rekrutmen yang
berbeda dengan yang dituntut UUD RIS 1949. Untuk itu pemerintah bersama DPR,
membuat undang-undang yang baru, yaitu UU No. 7/1953 tentang Pemilihan Anggota
Konstituante dan Anggota DPR. Kehadiran
Pasal 138 UU No. 7/1953
menyebutkan, kantor-kantor badan penyelenggara pemilihan yang dibentuk
berdasarkan UU No. 27/1948 masing-masing disesuaikan menjadi kantor badan
penyelenggara yang dibentuk menurut UU ini. Untuk melaksanakan ketentuan ini,
dibuatlah Instruksi Menteri Kehakiman No. JB 2/9/3 tanggal 7 Juli 1953, yang berisi
pertama, Kantor Pemilihan Pusat (KPP), Kantor Pemilihan (KP), dan Kantor
Pemungutan Suara (KPS) yang sudah ada secara berturut-turut akan diganti dengan
Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Panitia Pemilihan (PP), dan Panitia
Pemungutan Suara (PPS).
Ada pengecualian untuk
KP DI Yogyakarta, Karesidenan Surakarta, dan Tapanuli/Sumatera Timur. KP di
ketiga wilayah tersebut tidak diganti. Catatan lainnya, dalam 1 Daerah Pemungutan
Suara tak diadakan lebih dari 1 PPS yang untuk pembentukannya merupakan
kewajiban Mendagri. Kedua, Sekretariat KPP menjadi Sekretariat PPI, Sekretariat
KP menjadi Sekretariat PP, dan Sekretariat KPS menjadi Sekretariat PPS.
Melihat perubahan tersebut
tampak bahwa dari segi kelembagaan perubahan yang dilakukan sekilas hanya
merupakan pergantian nama. Tetapi secara substansial tidak demikian, sebab,
orang-orang yang mengisi lembaga-lembaga tersebut, yakni: ketua, wakil ketua,
para anggota, dan para wakil anggota KPP diberhentikan. Pemberhentian itu
dinyatakan di dalam Keppres No. 189/1953. Sebelumnya, pemberhentian itu
didahului dengan keluarnya Keppres No. 188 tanggal 7 Nopember 1953 yang isinya
menetapkan susunan keanggotaan PPI yang baru.
Anggota PPI
sekurang-kurangnya 5 orang dan sebanyak-banyaknya 9 orang, dua di antaranya
juga menjadi ketua dan wakil ketua. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh
presiden untuk masa kerja 4 tahun. Tapi pada 1955 jumlah tersebut ditambah,
karena pada UU Darurat No. 18/1955 ada ketentuan bahwa jumlah anggota PPI
sekurang-kurangnya 9 orang. Sejak itu jumlahnya ditambah 5 orang.
Selain penambahan, pada
tahun yang sama juga dilakukan penggantian atas beberapa anggota. Perubahan
keanggotaan tidak berhenti di sini. Masa kerja anggota PPI yang dibentuk
berdasarkan Keppres No. 188/1953 harus berakhir pada 7 Nopember 1957.
Selanjutnya, pada 24 Januari 1958 presiden mengeluarkan Keppres No. 4/1958 yang
isinya memberhentikan mereka, sekaligus mengeluarkan Keppres No. 5/1958 yang
menetapkan susunan keanggotaan PPI untuk periode 4 tahun berikutnya, yang
terhitung mulai tanggal 1 Februari 1958. Tetapi kenyataannya keanggotaan mereka
berakhir begitu presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Sedangkan selama 7
Nopember 1957 sampai 24 Januari 1958, anggota PPI periode 1953-1957
bekerja atas dasar Surat Menteri Kehakiman No. JB 2/8/12 tanggal 7 Nopember
1957 yang menyatakan bahwa meskipun masa tugasnya seharusnya sudah berakhir,
mereka diminta tetap meneruskan pekerjaannya sampai ada keputusan lebih lanjut.
Untuk menjalankan
tugasnya, PPI didukung sebuah Sekretariat PPI yang dipimpin seorang sekretaris.
Sedangkan sekretaris dibantu seorang wakil sekretaris. Sekretaris dan wakilnya
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman. Adapun pegawai Sekretariat
PPI diambilkan dari Kementerian Kehakiman.
Di tingkat provinsi,
tugas persiapan dan penyelenggaraan Pemilu untuk anggota Konstituante dan DPR
adalah PP. Meskipun keberadaannya di provinsi, yang membentuk PP adalah
presiden. Pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Menteri Kehakiman
untuk masa kerja 4 tahun. Menurut UU Darurat No. 18/1955 PP beranggoatakan
sekurang-kurangnya 7 orang, dua di antaranya merangkap ketua dan wakil ketua.
PP dibantu Sekretariat PP yang dipimpin seorang sekretaris. Yang mengangkat dan
memberhentikan Sekretaris PP adalah Ketua PPI.
Di tingkat kabupaten, PP
Kabupaten (PP Kab) dibentuk oleh Mendagri. Tugasnya membantu PP. Anggota PP Kab
sekurang-kurangnya adalah 7 orang, dua di antaranya merangkap ketua dan wakil
ketua. Ketua PP Kab adalah bupati setempat. Mereka diangkat dan diberhentikan
oleh gubernur atas nama Mendagri. Masa kerjanya juga ditentukan oleh Mendagri.
Secara administratif dan organisatoris PP Kab termasuk di dalam Kementerian
Dalam Negeri. PPI hanya membawahi mereka dalam hal teknis pelaksanaan Pemilu.
Pada setiap PP Kab diadakan Sekretariat PP Kab yang dipimpin seorang
sekretaris. Yang berhak mengangkat dan memberhentikan PP Kab adalah Ketua PP
Kab.
UU No. 7/1953 membagi
struktur badan penyelenggara Pemilu menjadi dua, yaitu permanen dan
nonpermanen. Ditinjau dari masa kerjanya, PP Kab merupakan struktur yang tidak
permanen. Semua struktur dari PP Kab ke bawah bersifat nonpermanen. Yang
permanen hanyalah PPI dan PP. Untuk pelaksanaan di tingkat bawahnya, yaitu
kecamatan, bupati atas nama Mendagri membentuk PPS. Tugasnya, membantu PP Kab
dalam mempersiapkan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR dan
menyelenggarakan pemungutan suara. Jumlah anggotanya sekurang-kurangnya 5 orang,
termasuk ketua yang dijabat oleh camat yang bersangkutan. Selain ketua ada juga
wakil ketua, yang juga merangkap anggota. Yang mengangkat dan memberhentikan
mereka adalah bupati atas nama Mendagri. Mendagri pula yang menentukan masa
kerja mereka. Secara administratif dan organisatoris PPS merupakan bagian dari
Kementerian Dalam Negeri. PPI hanya membawahi dalam hal teknis pelaksanaan
Pemilu. Untuk menjalankan pekerjaannya PPS dibantu sebuah Sekretariat PPS.
Sekretariat dipimpin seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua PPS.
Di tingkat desa, camat
atas nama Mendagri membentuk Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP). Tugasnya,
melakukan pendaftaran pemilih, menyusun daftar pemilih, dan membantu PPS
mempersiapkan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR. Anggotanya
sekurang-kurangnya 3 orang dengan ketuanya adalah kepala desa. Ia merangkap
anggota. Selain ketua ada seorang wakil ketua yang juga merangkap anggota.
Wakil ketua dan para anggota diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama Mendagri.
Masa kerjanya juga tergantung Mendagri.
Tingkat yang paling
bawah di dalam struktur lembaga penyelenggara Pemilu 1955 adalah PPS
(Penyelenggara Pemungutan Suara). PPS dibentuk oleh camat di tiap tempat
pemungutan suara (TPS). PPS dipimpin seorang ketua (yang merangkap anggota).
Sedangkan anggota lainnya sedapat-dapatnya diambilkan dari bekas anggota PPP.
Yang mengangkat dan memberhentikan anggota PPS adalah camat. Camat pula yang
menentukan masa kerja mereka.
Pada tahun 1959 PPI dan
PP berhenti menjalankan tugasnya tetapi sesungguhnya belum dibubarkan, hanya
saja pemerintah tidak mengangkat anggotanya lagi. Ini merupakan konsekuensi
dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli tahun itu yang menyatakan berlakunya
kembali UUD 1945, UUDS 1950 dengan sendirinya tak berlaku lagi. Meskipun PPI
dan PP sudah tidak ada, Sekretariat PPI masih berjalan sampai tahun 1969.
Sejarah mencatat bahwa
meski keanggotaan PPI diisi oleh orang-orang yang berasal dari berbagai parpol
yang bersaing dalam Pemilu, namun kerja mereka dalam menyelenggarakan Pemilu
dilakukan secara objektif, jujur, dan adil, serta pengambilan keputusan
ditempuh secara egaliter. Terhadap pelaksanaan Pemilu yang demikian itu, Moh.
Mahfud MD menulis: ”Pengambilan keputusan di semua tingkatan panitia dilakukan
secara demokratis, bukan instruktif yang memberi bobot lebih berat kepada
pimpinan”.[6]
Herbert Feith pun
menggambarkan bahwa Pemilu 1955 sebagai pemilu yang anggun. Sekalipun Feith
menceritakan adanya praktik intimidasi di berbagai pelosok, tetapi Pemilu 1955
relatif bersih dari praktik manipulasi dan represi. Maka hingga sekarang,
Pemilu 1955 diingat orang sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah
Indonesia merdeka. Namun, ”Sekalipun begitu, Pemilu 1955 tak steril dari
sejumlah persoalan. Pengawasan dan pemantauan pemilu belum dikenal. Maka,
kesimpulan Feith bahwa Pemilu 1955 relatif bebas kecurangan, sebetulnya sulit
diverifikasi, tak disokong oleh praktik pemantauan yang layak.”[7]
4.
Lembaga
Penyelenggara Pemilu Era Orde Baru (Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997)
Dari paparan di atas
bisa diketahui bahwa setelah Pemilu 1955 selesai praktis PPI dan PP serta
jaringan di bawahnya tidak ada kegiatan. Pemilu berikutnya, yang semula hendak
diadakan tahun 1969, ternyata baru bisa diadakan 1971. Persiapan ke arah itu
dilakukan dengan membuat UU. UU No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum
Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat menyebutkan bahwa untuk
pemilihan tersebut presiden membentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Presiden
melakukan itu lewat Keppres No. 3/1970.
Menurut UU tersebut –
dan perubahannya yaitu UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. l/1985 – LPU
merupakan lembaga yang bersifat permanen, yang terdiri atas 3 unsur, yaitu
dewan pimpinan, dewan/anggota-anggota pertimbangan, dan sekretariat. Dewan
Pimpinan ini diisi oleh beberapa menteri dan sifatnya fungsional. Lembaga
penyelenggara Pemilu berikutnya di era Orde Baru pada dasarnya sama dengan LPU
pada Pemilu 1972, dalam arti bahwa susunan organisasi dan tata kerjanya tidak berubah.
Yang mengalami perubahan adalah orang-orangnya meski tidak semua.
Setiap menjelang
Pemilu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres yang mengatur tentang LPU yang
intinya sama saja, yakni memuat 4 tugas yang dibebankan kepada LPU, yaitu (1)
membuat perencanaan dan persiapan Pemilu, (2) memimpin dan mengawasi
panitia-panitia di pusat dan daerah, (3) mengumpulkan dan mensistematisasi
bahan dan data hasil Pemilu, dan (4) mengerjakan hal-hal lain yang dipandang
perlu untuk melaksanakan Pemilu.
Pada LPU dibentuk
panitia-panitia dari pusat sampai daerah. Untuk tingkat pusat dibentuk Panitia
Pemilihan Indonesia (PPI), untuk provinsi atau Dati I dibentuk Panitia
Pemilihan Daerah (PPD) I, untuk Dati II atau kabupaten/kotamadya dibentuk PPD
II. Sedangkan di tingkat kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS),
untuk desa atau kelurahan diadakan Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP), dan untuk
tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS). Untuk menjalankan Pemilu bagi WNI yang berada di luar negeri,
dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri yang berkedudukan di Deplu, di Kantor
Perwakilan RI di luar negeri didirikan PPS Luar Negeri, dan untuk tiap TPS di
luar negeri diadakan KPPS Luar Negeri. Sampai di sini banyak kemiripannya
dengan struktur badan penyelenggara Pemilu yang ada sebelumnya.
Ketua panitia untuk
semua tingkatan diduduki oleh para pejabat pemerintah, yakni Mendagri untuk
Ketua PPI, gubernur untuk Ketua PPD I, bupati/walikota madya untuk PPD II,
camat untuk PPS, dan kepala desa/lurah untuk PPP. Sementara itu untuk
keanggotaan LPU dan semua tingkat kepanitiaan diatur dengan Peraturan
Pemerintah yang dapat melibatkan parpol dan Golkar di dalamnya. Pada dasarnya
setiap LPU dapat mengambil keputusan terhadap semua masalah yang berkaitan
dengan Pemilu. Namun, andai dalam lembaga tersebut terjadi ketidaksinkronan
mengenai suatu persoalan, maka presiden menetapkan keputusan final (Pasal 8
ayat (8) UU No. 15/1969.[8]
Di samping itu, ada Dewan/Anggota-anggota
Pertimbangan yang diadakan untuk memberikan pertimbangan atau masukan kepada
Dewan Pimpinan, diminta ataupun atas prakarsa sendiri. Mereka terdiri atas
wakil dari organisasi golongan politik yang diakui dan golkar, yang
pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan presiden. Pada awal Pemilu era Orde
baru, penetapan anggota dewan ini dicantumkan dalam Keppres 07/1970.
Setelah aktivitas
pemungutan dan penghitungan suara selesai, semua organ yang dibentuk untuk
menunjang tugas LPU dibubarkan. Sedangkan LPU-nya sendiri dipertahankan.
Pembubarannya dilakukan secara bertahap menurut penyelesaian tugas
masing-masing. Pantarlih adalah yang paling awal pembubarannya melalui
Keputusan Bupati/Walikota/Ketua PPD II, yaitu selambat-lambatnya 30 hari
setelah daftar pemilih disahkan oleh camat/Ketua PPS.
Setelah Pantarlih,
segera menyusul dibubarkan adalah KPPS. Menurut ketentuannya, lembaga ini harus
dibubarkan selambat-lambatnya 20 hari setelah tanggal pemungutan suara.
Pembubarannya dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota/Ketua PPD II. Yang
ketiga terawal pembubarannya adalah PPS melalui Keputusan Ketua PPD II. Lembaga
ini memang menurut ketentuannya harus dibubarkan paling lambat 3 bulan setelah
pelaksanaan pemungutan suara. Selanjutnya secara berturut-turut PPD II, PPD I,
dan PPLN dibubarkan.
Pada praktiknya, banyak
keluhan dari kalangan parpol terkait dengan keterlibatannya dalam LPU yang
hanya parsial yakni tidak bisa melaksanakan kontrol menyeluruh dalam rantai
perhitungan pada semua penyelenggaraan Pemilu Orde Baru. Misalnya Yusuf Syakir,
anggota PPI 1992 dari unsur Partai Persatuan, mengatakan, di LPU tidak ada
keputusan yang dirapatkan bersama. ”Yang ada hanya pelimpahan order, dan fungsi OPP di situ hanya
embel-embel”.[9]
Berdasarkan
penyelenggaraan Pemilu di Era Orde Baru tersebut dapat diketengahkan bahwa
memang benar bahwa ada organ penyelenggara Pemilu, namun:
“... penyelenggara
pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas
ketidakberpihakan penye-lenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian dari partai
berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. ... Sehingga syarat
kompetitif yang adil dan bebas tidak terpenuhi. Partai berkuasa memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik
dari pada partai-partai oposisi. Hasilnya pun bisa diduga. Partai berkuasa
selalu menang dengan mayoritas mutlak, rata-rata memperoleh 80 % suara”.[10]
Wajarlah pada akhirnya,
jika praktek penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru digambarkan oleh seorang
Indonesianis, William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut
Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) sebagai berikut:
"Pemilu-pemilu
Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-pemilu
itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan
birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu,
namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi "partai milik
pemerintah". [11]
Pemilu tahun 1997 yang diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997 merupakan Pemilu
terakhir di era kekuasaan Orba yang diselenggarakan oleh LPU beserta
perangkatnya. Sesuai dengan sirkulasi kekuasaan lima tahunan, Pemilu harusnya
dilaksanakan lima tahun berikutnya, yakni pada tahun 2002. Namun, dengan
tergulingnya penguasa Orba tahun 1998 oleh kekuatan reformasi, maka rencana
penyelenggaraan Pemilu tahun 2002 tidak terlaksana. Yang kemudian terjadi
adalah Indonesia memasuki era reformasi dan Pemilu akhirnya dipercepat dari
agenda semula yakni dilaksanakan pada tahun 1999.
5.
Lembaga
Penyelenggara Pemilu 1999
Pemilu pertama setelah berakhirnya rezim Orba dilaksanakan
setelah sekitar 13 bulan Presiden BJ Habibie menggantikan Presiden Soeharto,
yakni pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu ini dilaksanakan berdasarkan UU No.
3/1999 tentang Pemilihan Umum. Penyelenggaraan Pemilu – penanggungjawabnya
adalah Presiden – di awal era reformasi ini tidak lagi dilakukan oleh LPU dan
PPI, namun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang
terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta Pemilu dan Pemerintah,
yang bertanggung jawab kepada Presiden. KPU tersebut berkedudukan di Ibukota
Negara, dan pembentukannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. Keanggotaan
KPU terdiri dari l orang wakil dari masing-masing parpol peserta Pemilu dan 5
orang wakil Pemerintah.
Sebelum KPU dibentuk, persiapan pelaksanaan
Pemilu dilakukan oleh LPU (Pasal 79
UU No.3/1999) dan untuk itu Ketua Umum LPU
membentuk Tim-11 yang bertugas
membantu LPU terutama dalam verifikasi parpol peserta Pemilu. KPU pertama (1999-2001) di era reformasi ini
dibentuk dengan Keppres No 16/1999 yang berisikan 53
orang – 48 wakil parpol dan 5 orang wakil pemerintah.
Dalam sejarah Pemilu di
Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih
cepat setelah proses alih kekuasaan (kurang dari lima bulan). Jika Burhanuddin
Harahap berhasil menyelenggarakan Pemilu tahun 1955 hanya sebulan setelah
menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, maka BJ Habibie
menyelenggarakan Pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski
persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih
parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan
internasional.[12]
Salah satu tugas
kewenangan KPU adalah membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) dan
mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di
Tempat Pemungutan Suara (TPS). PPI yang dibentuk oleh KPU berkedudukan di
Ibukota Negara dan berfungsi sebagai pelaksana KPU yang dalam menyelenggarakan
Pemilu berbeda dengan PPI Orde Baru. Keanggotaan PPI terdiri dari wakil-wakil
Parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan seorang Ketua, Wakil-wakil
Ketua, Sekretaris, Wakil-wakil Sekretaris, dan Anggota-anggota. Susunan
organisasi PPI tersebut dipilih secara demokratis oleh anggota KPU dari anggota
KPU yang bukan unsur Pimpinan KPU. Susunan dan keanggotaan PPI ditetapkan
dengan keputusan KPU.
Salah satu tugas dan wewenang PPI adalah embentuk serta
mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I) di
seluruh Indonesia. PD I yang dibentuk oleh PPI tersebut berkedudukan di Ibukota Provinsi dan
berfungsi sebagai pelaksana PPI dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPD
l terdiri dari wakil-wakil parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan
Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, Wakil-wakil Sekretaris, dan
Angota-anggota, yang dipilih secara demokratis dari dan oleh anggota PPD I.
Susunan dan keanggotaan PPD I ditetapkan dengan keputusan PPI.
Salah satu tugas dan kewenangan PPD I yaitu membentuk dan
mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II (PPD II) di
setiap daerah pemilihan. PPD II yang dibentuk oleh PPD l tersebut berkedudukan
di Ibukota Kabupaten/Kotamadya dan berfungsi sebagai pelaksana PPD I dalam
menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil parpol peserta
Pemilu dan Pemerintah. Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil-wakil
Sekretaris PPD II dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPD II.
Susunan dan keanggotaan PPD II ditetapkan dengan keputusan PPD I.
Sedangkan salah satu tugas dan kewenangan PPD II adalah membentuk
dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). PPK yang
dibentuk oleh PPD II tersebut berkedudukan di Kecamatan yang bersangkutan dan
berfungsi sebagai pelaksana PPD II dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan
PPK terdiri dari Wakil-wakil Partai Politik Peserta Pemilu dan Pemerintah.
Adapun di antara tugas dan kewenangan PPK adalah membentuk dan
mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemungutan Suara (PPS).
PPS yang dibentuk oleh PPK adalah berkedudukan di Desa/Kelurahan/Unit
Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang bersangkutan, dan berfungsi sebagai pelaksana
PPK dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPS terdiri dari Wakil-wakil
Parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil Ketua,
Sekretaris, dan Anggota- anggota, yang dipilih secara demokratis dari dan oleh
Anggota PPS. Susunan dan keanggotaan PPS ditetapkan dengan keputusan PPK.
Sedangkan salah satu tugas dan kewenangan PPS adalah membentuk Kelompok
Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS) sesuai dengan jumlah TPS.
Keanggotaan KPPS terdiri atas wakil-wakil Parpol peserta
Pemilu dan/atau wakil masyarakat. Susunan keanggotaan KPPS adalah Seorang Ketua
merangkap Anggota, Seorang Wakil Ketua merangkap Anggota, dan Anggota-anggota
yang dipilih dari dan oleh Anggota KPPS. Susunan dan keanggotaan KPPS
ditetapkan dengan keputusan PPS. KPPS dilengkapi dengan dua orang anggota Pertahanan
Sipil sebagai petugas keamanan yang diusulkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan
ditetapkan oleh KPPS.
Meskipun masa
persiapannya tergolong singkat, yakni kurang dari 5 bulan, namun pelaksanaan
pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yaitu
tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak
pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada
kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang
pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun
karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti
pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan
pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap
penghitungan suara, anggota KPU dari wakil 27 partai politik menolak
menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil.
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada
presiden.
Oleh presiden hasil
rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas
Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan
wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan
rekomendasi bahwa Pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan
data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga
menyatakan bahwa hasil Pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui
masyararakat tanggal 26 Juli 1999. Setelah disahkan oleh presiden, PPI langsung
melakukan pembagian kursi.
Atas kinerja KPU
tersebut, Zarkasih Nur memberi catatan:
“Dalam praktek
penyelenggaraan Pemilu 1999 lalu, ternyata keberfungsian KPU sangat rendah. Hal
ini disebabkan oleh kinerja para anggotanya yang kurang disiplin, kurang
berdedikasi dan cenderung mementingkan kelompok dan pribadinya masing-masing.
... Hal yang mustahil terjadi bila para anggota KPU memiliki integritas dan
kedewasaan politik. Narnun demikian, hal ini dapat dimaklumi sebagai sebuah uji
coba bagi demokrasi di Indonesia”.[13]
Miriam Budiardjo juga
memberi catatan bahwa: “KPU telah berkembang menjadi ajang sengketa antara
partai-partai yang hanya memperjuangkan kepentingan partai atau pribadinya.
Citra para politisi telah mencapai titik nol, sehingga timbul opini masyarakat
bahwa dalam pemilu yang akan datang sebaiknya KPU terdiri dari anggota yang
independen, bebas dan partai”.[14]
Kontroversi tidak hanya berhenti di situ. Sebuah
situs internet menulis: ”Pasca-Pemilu banyak anggota terlibat dalam kasus tindak
pidana korupsi, sehingga beberapa orang masuk bui. Tidak tahan dengan situasi,
Rudini mengundurkan diri sebagai Ketua KPU dengan meninggalkan sejumlah konflik
kepemimpinan”.[15]
Dengan demikian dapat
diketengahkan bahwa idealitas pembentukan KPU yang bebas dan mandiri seperti
yang digagas berdasarkan Pasal 8 UU No. 3/1999 menjadi tidak terimplemetasi
dengan baik. KPU menjadi terbelenggu oleh perselisihan dan kepentingan masing-masing
anggotanya yang berasal dari perwakilan parpol. Hal ini bisa jadi dikarenakan
mayortias anggota KPU adalah terdiri dari atas unsur partai-partai politik
peserta Pemilu dan Pemerintah yang barang tentu memiliki agenda
sendiri-sendiri, partisan, dan sarat perjuangan untuk kepentingan
kelompok/parpolnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 83 UU No. 3/1999, masa
kerja KPU untuk Pemilu tahun 1999 berakhir l tahun sebelum Pemilu tahun 2004.
Namun di tengah perjalanan, KPU ini dibubarkan. Hal ini terkait dengan
diterbitkannya UU No. 4/2000 tentang Perubahan Atas UU No. 3/1999 tentang
Pemilu, dan dilantiknya 11 orang anggota KPU yang baru yang ditetapkan dengan
Keppres No 10 Tahun 2001.
6.
Lembaga
Penyelenggara Pemilu 2004
Satu tahun setelah
penyelenggaraan Pemilu tahun 1999, pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.
4/2000 tentang Perubahan Atas UU No. 3/1999 tentang Pemilu. Pokok isi dari UU
No. 4/2000 adalah adanya perubahan penting, yaitu bahwa penyelenggaraan Pemilu
tahun 2004 dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen
dan nonpartisan. Dengan demikian, independen dan nonpartisan inilah label baru
yang disandang oleh KPU saat itu.
Berdasar pada UU No.
4/2000 tersebut, yang kemudian ditegaskan dalam UU No. 12/2003 tentang Pemilu
DPR, DPD dan DPRD, maka KPU baru ini terdiri atas para anggota yang dipilih
dari orang-orang yang independen dan nonpartisan. Syarat menjadi anggota KPU di
antara adalah “tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik; tidak sedang
menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam
jabatan negeri”. Dengan norma yang demikian, maka lembaga penyelenggara Pemilu
akan bebas dari tekanan kepentingan-kepentingan dan bersih dari intervensi
partai politik dan pemerintah
Berbeda dengan Pemilu
sebelumnya, Pemilu tahun 2004 memiliki dua agenda yakni: 1) Pemilu dalam rangka
memilih anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD), dan 2) Pemilu untuk memilih
presiden dan wakil presiden. Pemilu ini didasarkan pada UU No. 12/2003 tentang
Pemilu DPR, DPD dan DPRD dan UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden. UU ini menetapkan bahwa penanggung jawab penyelenggaraan dua agenada
Pemilu tersebut adalah KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Dalam melaksanakan
tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada
Presiden dan DPR. Dengan demikian, KPU adalah lembaga yang mandiri yang secara
langsung menyelenggarakan Pemilu, dalam arti tidak lagi membentuk lembaga lain
(seperti PPI) yang berfungsi sebagai pelaksana KPU dalam penyelenggaraan Pemilu
seperti pada Pemilu tahun 1999.
UU No. 12/2003
metentukan bahwa jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Anggota KPU tersebut
diusulkan oleh presiden (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat) untuk mendapat persetujuan DPR untuk ditetapkan sebagai anggota
KPU. Meski anggota KPU untuk Pemilu Tahun 2004 dibentuk melalui UU No. 4/2000
tentang Perubahan UU No. 3/1999 tentang Pemilu, namun mereka diakui oleh UU No.
12/2003.
Struktur organisasi
penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Masa keanggotaan seluruh KPU tersebut adalah 5 tahun sejak pengucapan sumpah/janji.
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi dan
kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU. Dalam pelaksanaan Pemilu di luar
negeri, KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN membentuk KPPSLN.
Anggota KPU Provinsi
sebanyak 5 orang (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) yang
diusulkan oleh gubernur untuk mendapat persetujuan KPU untuk ditetapkan sebagai
anggota KPU provinsi. Anggota KPU Kabupaten/Kota masing-masing adalah sebanyak
5 orang (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) yang diusulkan
oleh bupati/walikota untuk mendapat persetujuan KPU provinsi untuk ditetapkan
sebagai anggota KPU kabupaten/kota. Di antara tugas dan wewenang KPU
kabupaten/kota adalah membentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia
Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
dalam wilayah kerjanya.
PPK yang berkedudukan
di pusat pemerintahan kecamatan, PPS yang berkedudukan di desa/kelurahan, dan
KPPS di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS) adalah bersifat ad.hoc.
Anggota PPK sebanyak 5 orang yang berasal dari tokoh masyarakat diangkat dan
diberhentikan oleh KPU atas usul camat. Anggota PPS sebanyak 3 orang berasal
dari tokoh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas usul kepala
desa/lurah setempat. PPS kemudian membentuk KPPS yang anggotanya sebanyak 7
orang dengan tugas melakukan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Dengan terbitnya UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota
berwenang menyeleng-garakan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada).
Pasal 57 ayat (1) merumuskan: “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD”. Penjelasan UU
ini menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pilkada tersebut tidak perlu
dibentuk KPUD yang baru. Jadi cukup diselenggarakan oleh KPUD yang telah ada
yang dibentuk melalui UU No. 12/2003.
Di tengah sempitnya
waktu, KPU mampu menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil
Presiden. Setelah Pemilu Legislatif pada tanggal 5 April 2004, KPU
menyelenggarakan Pemilu Presiden /Wakil Presiden dalam dua putaran. Pemilu
Presiden /Wakil Presiden putaran pertama berlangsung 5 Juli 2004. Sedangkan
Pemilu Presiden/Wakil Presiden putaran kedua berlangsung 20 September 2004. KPU
mampu menyelenggarakan 3 (tiga) kali Pemilu yang diikuti 150 juta pemilih
dengan pengadaan logistik yang sangat kompleks karena harus didistribusikan ke
seluruh wilayah Indonesia.
Masa jabatan anggota
KPU akan berakhir pada Maret 2006. Namun pengusulan keanggotaan KPU yang baru
belum dapat dilakukan mengingat DPR pada tahun itu sedang mempersiapkan RUU
Penyelenggara Pemilu yang komprehensif untuk mengganti ketentuan yang ada
terkait dengan penyelenggara Pemilu yang selama ini tercantum dalam berbagai
UU. Oleh karena itulah, masa jabatan KPU harus diperpanjang. Jika tidak, maka
akan terjadi kekosongan anggota KPU.
Kondisi inilah yang
memaksa pemerintah mengeluarkan Perppu No.1/2006 tentang Perubahan Kedua atas
UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Fraksi Partai
Golkar menilai unsur kegentingan yang diperlukan untuk mengesahkan Perppu
menjadi UU sudah tercapai karena terkait dengan kosongnya kursi angota KPU. FPG
juga berharap agar penetapan RUU ini dapat menciptakan KPU yang lebih baik dan
meningkatkan kinerja anggota KPU.[16]
Rapat paripurna DPR menetapkan
secara bulat RUU tentang Perppu No.1/2006 tentang Perubahan Kedua atas UU
No.12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi UU.
Perubahan kedua atas UU No. 12 Tahun 2003 tersebut meliputi pasal 144 yang kini
berbunyi: ”Anggota KPU yang diangkat berdasarkan UU No.4/2000 tentang Perubahan
UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan yang telah disesuaikan dengan UU No. 12
Tahun 2003, tetap menyelesaikan tugas sampai dengan terbentuknya penyelenggara
pemilihan umum berdasarkan UU Tentang Penyelenggara Pemilu yang baru.”
Di akhir masa
jabatannya, di tengah keberhasilan KPU menyelenggarakan Pemilu, muncul ironi.
Situs internet “Wawasandigital” menulis sebagai berikut:
“Pemilu 2004 berjalan
sukses. Puja puji diberikan oleh banyak pihak karena KPU telah melaksanakan
pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan sukses. Tetapi tak lama berselang
masyarakat dikejutkan oleh kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
menangkap basah anggota KPU, mantan aktivis dan seorang kriminolog terkenal
Mulyana W Kusuma yang tengah menyuap pemeriksa dari Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).
Skandal korupsi
terbongkar yang melibatkan orang-orang KPU lainnya, bahkan ketuanya seorang
doktor politik alumnus Monash University Prof Dr Nazaruddin Syamsudin masuk
penjara karena terbukti menerima komisi. Hamid Awaluddin selamat karena
terpilih sebagai menteri, dan Anas Ubaningrum cepat loncat masuk jajaran elit
Partai Demokrat. Di akhir masa tugasnya anggota KPU tinggal 3 orang”.[17]
7.
Penyelenggara
Pemilu 2009
Tepat 3 (tiga) tahun
setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan
pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas Pemilu, yang salah satunya
adalah kualitas penyelenggara Pemilu. Lembaga penyelenggara Pemilu ketiga di
era reformasi ini dituntut independen, non-partisan, jujur, dan adil. Tuntutan
ini wajar mengingat sebagian anggota KPU yang menyelenggarakan Pemilu tahun
2004 terjerat hukum karena skandal korupsi.
Dengan diundangkannya
UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, maka lembaga penyelenggara Pemilu
memasuki era baru. Dalam UU ini diatur mengenai penyelenggara Pemilu yang tetap
dilaksanakan oleh suatu KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat
nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara
Pemilu mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap
menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan
meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU
dalam menyelenggarakan Pemilu bebas dari pengaruh pihak manapun.
Era baru penyelenggara
Pemilu dalam UU No. 22/2007 meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara
Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya
diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian disatukan dalam 1
(satu) undang-undang secara lebih komprehensif. Dengan demikian KPU tidak hanya
menyelenggarakan Pemilu legislatif dan Pemilu presiden/wakil presiden pada
tahun 2009, namun sepanjang 5 tahun masa kerjanya lembaga ini juga
menyelenggarakan Pemilu kepala daerah.
Jumlah anggota KPU adalah 7 orang dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% yang berkedudukan di ibukota
negara, KPU Provinsi (5 orang) berkedudukan di ibukota provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota (5 orang) berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota dengan masa
keanggotaan 5 tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. KPU dalam
menjalankan tugas di bidang keuangan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dan dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan Pemilu dan
tugas lainnya memberikan laporan kepada DPR dan Presiden.
KPU Provinsi dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab
kepada KPU. Untuk itu KPU Provinsi menyampaikan laporan kinerja dan
penyelenggaraan Pemilu secara periodik kepada KPU. Dalam hal Pemilu kepala
daerah, KPU Provinsi menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi kepada
gubernur dan DPRD Provinsi.
Sedang KPU Kabupaten/Kota,
dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada KPU Provinsi. Untuk itu KPU
Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kinerja dan penyelenggaraan Pemilu secara
periodik kepada KPU Provinsi. Dalam hal Pemilu kepala daerah, KPU
Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan penyelenggaraan
Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten/Kota kepada
bupati/walikota dan DPRD Kabupaten/Kota.
KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota merupakan
lembaga penyelenggara Pemilu yang permanen/tetap dan bersifat hierarkis. Dengan
adanya sifat ini, maka UU merumuskan bahwa KPU yang secara hierarkis lebih
tinggi berwenang untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif
kepada anggota KPU maupun anggota KPU di bawahnya yang terbukti melakukan
tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaran Pemilu yang
sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi lembaga pengawas Pemilu di
masing-masing tingkatan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Salah satu contoh bagaimana kewenangan KPU memberhentikan
anggota KPU yang secara hierarkis berada di bawahnya ini terlihat dalam Pilkada
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara (Malut). Bermula dari pemberhentian
sementara oleh KPU terhadap Ketua dan anggota KPU Provinsi Malut, Rahmi Husein
dan Nurbaya Soleman, karena dianggap tidak menjalankan proses perhitungan suara
Pilkada Gubernur secara benar, Pilkada Malut menjadi kemelut yang
berlarut-larut. Antara anggota yang aktif yang difasilitasi KPU dan Ketua KPU
Provinsi dan anggota non-aktif masing-masing kemudian melaksanakan perhitungan
suara yang hasilnya berbeda. Kasus ini dibawa ke MA yang putusanya justru
menjadikan persoalan Pilkada Malut semakin berkepanjangan.[18]
Dalam proses
pelaksanaan pemilihan dan penetapan calon anggota KPU, Presiden membentuk Tim
Seleksi calon anggota KPU yang terdiri dari lima orang yang membantu Presiden
menetapkan calon anggota KPU. Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli
2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota
KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk
mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45
orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan
tanggal 31 Juli 2007.
Anggota masyarakat
kemudian memberikan masukan dan tanggapan terhadap 45 orang bakal calon anggota
KPU secara tertulis disertai dengan identitas yang jelas kepada Tim Seleksi
Calon Anggota KPU. Ke 45 orang tersebut mengikuti seleksi tahap berikutnya dan Tim
Seleksi Calon Anggota KPU memilih 21 (dua puluh satu) nama bakal calon anggota
KPU dan menyampaikannya kepada Presiden RI, selanjutnya Presiden menyampaikan
21 nama bakal calon anggota KPU kepada DPR-RI untuk mengikuti fit and proper
test. Akhirnya Komisi II DPR-RI memilih dan menyusun urutan peringkat 21 (dua
puluh satu) nama calon anggota KPU. DPR melalui voting memilih 7 (tujuh)
peringkat teratas dalam urutan peringkat satu sampai urutan ke 7 (tujuh)
sebagai anggota KPU terpilih.
Nama ke 7 peringkat
teratas anggota KPU terpilih disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal
9 Oktober 2007 dan ditetapkan oleh Presiden berdasarkan Keppres No 101/P/2007
sebagai anggota KPU. Namun hanya 6 orang yang dilantik dan diangkat sumpahnya
oleh Presiden pada tanggal 23 Oktober 2007. Sedangkan Prof. Dr. Ir. Syamsul
Bahri M.S. urung dilantik pada tanggal tersebut karena sedang terlibat
persoalan hukum proyek Pabrik Gula Mini di Kabupaten Malang. Setelah keputusan
Pengadilan Negeri Malang membebaskannya dari dakwaan korupsi,[19] ia kemudian ditetapkan
sebagai anggota KPU berdasarkan Keppres No. 13P/2008 dan dilantik Presiden pada
tanggal 27 Maret 2008.
Masa keanggotaan
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menurut UU No. 12/2003 akan berakhir tahun
2008. Namun dalam hal anggota KPU Provinsi/Kabupatenn/Kota yang berakhir masa tugasnya
pada saat berlangsungnya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah, maka pengisian keanggotaannya yang didasarkan UU tersebut
ditunda. Anggota KPU tersebut tetap menjalankan tugas sampai dengan pengisian
keanggotaan KPU berdasarkan UU No. 22/2007 yang pengisian keanggotaannya paling
lambat 4 (empat) bulan sejak pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah
terpilih.
KPU dalam menjalankan tugas di bidang keuangan
bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundangundangan, dan dalam hal
penyelenggaraan seluruh tahapan Pemilu dan tugas lainnya memberikan laporan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Laporan – yang juga ditembuskan
kepada Bawaslu – tersebut disampaikan secara periodik dalam setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 39).
KPU Provinsi dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab
kepada KPU. Secara periodik KPU Provinsi menyampaikan laporan kinerja dan
penyelenggaraan Pemilu kepada KPU. Dalam hal Pemilu kepala daerah, KPU Provinsi
menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kada dan Wakada
Provinsi kepada gubernur dan DPRD Provinsi. KPU Kabupaten/Kota, dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab
kepada KPU Provinsi. Untuk itu KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kinerja
dan penyelenggaraan Pemilu secara periodik kepada KPU Provinsi. Untuk Pemilu Kada
, KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu Kabupaten/Kota kepada bupati/walikota dan DPRD
Kabupaten/Kota.
UU No. 22/2007 juga mengatur tentang kedudukan panitia
pemilihan yang bersifat ad.hoc yang
meliputi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS),
Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Luar Negeri
(PPLN), serta Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
Luar Negeri (KPPSLN). PPLN yang jumlah anggotanya minimal 3 orang dan
maksimal 7 orang berasal dari wakil masyarakat Indonesia dibentuk oleh KPU, dan
setelah terbentuk kemudian PPLN membentuk KPPLN untuk menyelenggarakan pemungutan suara di TPS luar negeri.
PPK yang anggotanya berjumlah 5 orang dengan memperhatikan
30% keterwakilan perempuan dan PPS yang anggotanya berjumlah 3 orang (semuanya
berasal dari tokoh masyarakat) dibentuk oleh masing-masing KPU kabupaten/kota
untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat kecamatan dan di tingkat
desa/kelurahan. Selanjutnya PPS membentuk KPPS, yang anggotanya sebanyak 7
orang berasal dari anggota masyarakat di sekitar TPS, dalam rangka melaksanakan
pemungutan dan penghitungan suara di TPS. PPK dan PPS tersebut dibentuk oleh
KPU Kabupaten/Kota paling lambat 6 bulan sebelum penyelenggaraan Pemilu dan
dibubarkan paling lambat 2 bulan setelah pemungutan suara.
Berbeda dengan ketentuan UU sebelumnya, UU No. 22/2007
menetapkan bahwa sekretariat KPU yang berwenang dalam pengadaan logistik
Pemilu, yakni pengadaan dan pendistribusian
perlengkapan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kebutuhan yang ditetapkan oleh KPU. Hal ini dimaksudkan agar
tidak terulang kembali pengalaman anggota KPU masa lalu yang terperosok dalam
kubangan korupsi gara-gara terlibat urusan logistik Pemilu.
----
DAFTAR KEPUSTAKAAN
[MTI] [Media Transparansi Edisi 5/Feb 1999] [Media Transparansi Online]
“Antara Pemilu 1955 dan Pemilu-pemilu Orde Baru”. Dalam http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi5/5berita_6.html.
“Komisi Penghamburan Uang”. Rabu, 14 November 2007. Dalam
http://www.wawasandigital. com/index.php?option=com_content
&task=view&id=12793&Itemid=62
“Pemilu Dalam Sejarah, Badan Pemilu Masa Lalu” dalam http://www.kpu.
go.id/Badan_Pemilu_ Lalu/Badan_Pemilu_Lalu_list.php.
Amir Syamsuddin “Kemelut Malut, Kesalahan Bersama”. Kompas, 24 April 2008.
Anton Prijatno,
Universitas Surabaya & Priyatmoko, Universitas Airlangga “Idealisme KPU
sebagai Penyelenggara Pemilu”. Dalam http://www.forum-rektor.org/artikel.php?hal=3&no=22.
DPR Sepakati
Penetapan Perpanjangan Masa Jabatan Anggota KPU. Dalam http://hukumonline.
com/detail.asp?id=15073&cl=Berita
http://www.beranda.net/artikel/panduan13.htm
Kompas, 28 Maret
2008.
Marwani
“Menjelang Pemilu 2009: Qou Vadis Suara Perempuan?” Dalam http://www.imm.or.id/content/view/249/191/Feb,Thursday
Miriam
Budiardjo “Pemilu 1999 Dan Pelajaran Untuk Pemilu 2004”. Dalam http:/ cetro.or.id/
pustaka/mariam.html.
Moh. Mahfud MD (1998) Politik Hukum
Di Indonesia. LP3ES, Jakarta.
Zarkasih Nur ”Evaluasi Pemilu 1999”.
Dalam http://cetro.or.id/pustaka/
mariam.html
*
Dr. Anis Ibrahim,SH.,M.Hum. adalah dosen PNS dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
Jenderal Sudirman Lumajang
[1] Marwani “Menjelang
Pemilu 2009: Qou Vadis Suara Perempuan?” Dalam http://www.imm.or.id/content/view/249/191/Feb,Thursday
[3] Paparan sub ini
diadaptasi dari risalah “Pemilu Dalam Sejarah, Badan Pemilu Masa Lalu” dalam http://www.kpu.go.id/Badan_Pemilu_Lalu/Badan_
Pemilu_Lalu_list.php.
[6] Moh. Mahfud MD (1998) Politik Hukum Di Indonesia. LP3ES,
Jakarta, hal. 82.
[7]
http://www.beranda.net/artikel/panduan13.htm
[8] Ibid. Hal. 256.
[9] Ibid.
[10]
Marwani Loc.Cit.
[11] [MTI] [Media Transparansi
Edisi 5/Feb 1999] [Media Transparansi Online] “Antara Pemilu 1955 dan
Pemilu-pemilu Orde Baru”. Dalam http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi5/5berita_6.html.
[14] Miriam Budiardjo “Pemilu 1999 Dan Pelajaran
Untuk Pemilu 2004”. Dalam http:/ cetro.or.id/
pustaka/mariam.html.
[15] “Komisi Penghamburan Uang” Rabu, 14 November 2007. Dalam http://www.wawasandigital. com/index.php?option=com_content&task=view&id=12793&Itemid=62
[16] DPR Sepakati Penetapan
Perpanjangan Masa Jabatan Anggota KPU. Dalam http://hukumonline.
com/detail.asp?id=15073&cl=Berita
[17] “Komisi Penghamburan Uang”. Rabu,
14 November 2007. Dalam http://www.wawasandigital.
com/index.php?option=com_content&task=view&id=12793&Itemid=62
[18] Persoalan hukum Pilkada Malut ini
dapat dibaca lebih lanjut salah satunya dari tulisan Amir Syamsuddin “Kemelut
Malut, Kesalahan Bersama”. Kompas, 24
April 2008, hal. 6.
https://gagalpahampisan.wordpress.com/2015/08/31/pemilu-masih-luberahasi-gagalfaham-com/
BalasHapusMenarik tulisannya pak anis, ...Salam kenal bapak.
BalasHapus