Minggu, 25 Juli 2010

AGAR KEBIJAKAN TAK BERUJUNG DI PENGADILAN

Oleh: ANIS IBRAHIM

- Direktur Pusat Kajian Konstitusi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang, Lulusan S3 Univ. Diponegoro -

Banyak yang mengira bahwa menjadi pejabat negara/pemerintah itu enak dan terhormat. Oleh karenanya banyak yang berjibaku habis-habisan untuk meraihnya. Padahal, pejabat negara – baik di pusat maupun di daerah – dengan kekuasan yang dimilikinya di samping enak dan terhormat juga sangat rentan terlilit kasus hukum. Lord Acton telah mengingatkan bahwa power tend to corrupt. Korupsi adalah lilitan hukum yang sangat populer saat ini. Menurut hukum Indonesia, manakala perbuatan demikian itu terkuak dan terbukti di pengadilan akan diganjar dengan penestapaan baik berupa pengembalian kerugian uang negara, denda, dan pidana badan..

Biasanya mereka terlilit masalah hukum terkait dengan kebijakan yang diambil pada saat menjabat. Pertanyaan hukumnya adalah: apakah pejabat pembuat kebijakan dapat dipidana? Analog dengan pertanyaan ini adalah kebijakan yang dibuat oleh Bupati dan mantan Bupati Lumajang yang saat ini gencar diberitakan di media massa. Apakah Bupati Lumajang Pak Masdar saat menjadi pjs Bupati Jember yang membuat kebijakan dana bantuan hukum (bankum) dan Pak Fauzi mantan Bupati Lumajang yang membuat kebijakan Kerja Sama Operasional (KSO) pengelolaan pasir dapat dipidanakan?

Terjadi perdebatan hukum untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tergantung perspektif yang digunakan, apakah perspektif hukum administrasi ataukah hukum pidana. Jika ditinjau dari perspektif hukum administrasi, pendapat yang kuat menyatakan bahwa kesalahan dalam pengambilan kebijakan tidak dapat dipidana. Kebijakan masuk dalam ranah administrasi. Oleh karena itulah jika terjadi kesalahan dalam pengambilan kebijakan, maka hukuman terhadap pejabat pembuat kebijakan tidak lebih hanya berupa hukuman administrasi.

Dalam hukum administrasi, pejabat pemerintah tidak sekedar menjalankan undang-undang namun dalam dirinya juga melekat berbagai wewenang. Salah satunya adalah wewenang diskresional (kebebasan dalam menentukan kebijakan) yang diberikan oleh hukum perundang-undangan untuk mengambil tindakan atau keputusan berdasarkan pertimbangan sendiri. Meski ada wewenang yang demikian itu, namun penggunaan “pertimbangan sendiri” secara cermat dan hati-hati dalam setiap diskresi yang akan dilakukan oleh pejabat pemerintah adalah suatu keniscayaan.

Menyitir pendapat Eko Prasojo, esensi wewenang diskresi bagi pejabat pemerintah adalah untuk menghindari kekosongan pemerintahan, menyelamatkan kepentingan negara dan kepentingan umum yang mendesak, serta berbagai pilihan tindakan yang disediakan peraturan perundang-undangan untuk dilakukan. Walaupun ada kebebasan untuk melakukan berbagai keputusan dan tindakan, namun prinsip dasar penggunaan wewenang diskresi oleh pejabat pemerintah adalah tidak sekedar tidak boleh bertentangan dengan berbagai hukum formal yang ada, namun juga tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dengan demikian, para pihak yang menangani kasus kebijakan pemerintah daerah tersebut – baik pengacara, jaksa penuntut umum, dan majelis hakim – patut secara hati-hati dan cermat untuk menelaah kebijakan dana bankum maupun KSO tersebut. Selayaknya kasus tersebut tidak sekedar disisir dari aspek pelanggaran peraturan hukum pidana formal, namun juga dari sisi asas kepatutan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Namun, bercermin dari banyak kasus yang telah diputuskan pengadilan, pertimbangan dari sisi legal formal menjadi hal yang lebih mengedepan di banding aspek non-legal-formal dalam kasus kebijakan yang dianggap terindikasi pidana.

Bagaimana dilihat dalam konteks hukum pidana? Secara yuridis, kebijakan pejabat yang terindikasi pidana itu disebabkan oleh dua hal: pertama dilakukan dengan kesengajaan (dolus/by design) dan kedua mungkin dilakukan tidak dengan sengaja atau ketidakhati-hatian (culpa) yang bisa jadi karena ketidaktahuan atau ada kesalahan informasi yang diperolehnya. Dalam terori hukum pidana, baik perbuatan itu dilakukan sengaja ataupun tidak sengaja, kedua-duanya merupakan perbuatan yang dapat pidana.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini disitir pendapat Eddy OS Hiariej. Menurut ahli hukum pidana dari UGM tersebut, paling tidak ada tiga parameter yang secara kumulatif untuk menjustifikasi suatu kebijakan pejabat pemerintah memasuki ranah hukum pidana. Ketiga parameter tersebut meliputi: (1) pembuatan kebijakan sebagai sarana untuk kejahatan, (2) adanya aji mumpung, dan (3) kebijakan itu melanggar peraturan. Jika ketiga parameter itu ada dalam suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, maka pembuat kebijakan dapat dipidana, dan sebaliknya.

Pertama, jika suatu kebijakan dijadikan sarana untuk melakukan suatu kejahatan. Untuk membuktikan hal ini tentunya harus dibuktikan dengan ajaran kausalitas dalam hukum pidana yakni kejahatan yang terjadi dan disangkakan itu memang merupakan rangkaian dari kebijakan yang dibuat sebelumnya. Barang tentu jika perbuatan kebijakan adalah by design/dolus tentu lebih gampang pembuktiannya. Namun, jika itu culpa harus ditunjukkan secara jelas hubungan kausalitasnya yang tentu lebih sulit pembuktiannya.

Kedua, dalam membuat kebijakan ada aji mumpung (moral hazard). Yang dipersoalkan dalam hukum pidana tidak sekedar kesalahan yuridis, namun juga adanya aji mumpung dalam melakukan suatu perbuatan. Aji mumpung ini terkait dengan sikap batin seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. Oleh karena aji mumpung ini merupakan sikap batin barang tentu tidak mudah untuk dibuktikan. Tidak mudah dibuktikan bukan berarti tidak dapat dibuktikan. Hanya saja pembuktiannya relatif sulit sebab ia tidak tersurat tapi tersirat dan amat samar antara ada dan tiada.

Ketiga, kebijakan itu melanggar peraturan. Pengertian peraturan di sini cukup luas tidak sekedar melanggar undang-undang namun juga meliputi berbagai jenis peraturan perundang-undangan lain termasuk peraturan yang dibuat oleh pejabat publik maupun lembaga negara, misal peraturan pemerintah, peraturan menteri, dsb.. Acapkali pelanggaran peraturan inilah yang menjadi aspek yang paling disorot dalam masalah kebijakan yang berdimensi pidana.

Dari paparan singkat tersebut, barang tentu jawaban atas kebijakan dana bankum Pak Masdar maupun kebijakan KSO Pak Fauzi tidaklah tunggal. Tergantung sudat pandang mana yang dipakai. Ujungnya, sangat sulit menduga bagaimana isi putusan hukum atas kasus tersebut. Masyarakat hanya bisa menganalisis dan menebak-nebak saja. Sementara pengacara harus bisa membuktikan bahwa perbuatan yang dituduhkan pada kliennya bukan merupakan delik karena tidak terpenuhinya tiga parameter di atas, dan Jaksa Penuntut Umum tentu berusaha sebaliknya. Namun akhirnya, pengadilanlah yang nantinya akan memutuskan.

Terlepas dari hal itu, pelajaran terpenting bagi pejabat publik di daerah ke depan adalah untuk selalu berhati-hati dan cermat dalam menentukan langkah pengambilan kebijakan. Rujukan legal formal yang jelas dan pasti haruslah pertama kali dijadikan sandaran dalam setiap kebijakan. Jika tidak ada peraturannya, jangalah sampai membuat kebijakan, sebab hal itu rawan tersandung masalah pidana Sebab, pada dasarnya praktek hukum di Indonesia masih belum juga beranjak.dari arus utama yang normatif-legalistik. (*)

Dimuat di Jawa Pos Radar Jember, tanggal 23 Juli 2010.

1 komentar: