UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara
hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang
dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum
nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan
perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang
pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk
peraturan perundang-undangan;
c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat
menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan
peraturan perundangundangan yang baik sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
Mengingat : Pasal 20,
Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.
2. Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.
3. Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden.
4. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
5. Peraturan Pemerintah
adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
6. Peraturan Presiden adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
7. Peraturan Daerah Provinsi
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
8. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
9. Program Legislasi
Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan
program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan
sistematis.
10. Program Legislasi Daerah
yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang
disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
11. Naskah Akademik adalah
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya
terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat.
12. Pengundangan adalah
penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan
Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
13. Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan
sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
14. Dewan Perwakilan Rakyat
yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Dewan Perwakilan Daerah
yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16. Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 2
Pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum negara.
Pasal 3
(1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
(3) Penempatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.
Pasal 4
Peraturan
Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang
dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.
BAB II
ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 5
Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a.
kejelasan tujuan;
b.
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.
dapat dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g.
keterbukaan.
Pasal 6
(1) Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain mencerminkan asas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.
BAB III
JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1) Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.
(2) Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Pasal 9
(1) Dalam hal suatu
Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal suatu Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan
Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pasal 10
(1) Materi muatan yang harus
diatur dengan Undang- Undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut
mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c.
pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas
putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
(2) Tindak lanjut atas
putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Pasal 11
Materi
muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan
Undang-Undang.
Pasal 12
Materi
muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.
Pasal 13
Materi
muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi
untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Pasal 14
Materi
muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi
materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
Pasal 15
(1) Materi muatan mengenai
ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Peraturan Daerah Provinsi
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau
pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang
diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.
BAB IV
PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagian Kesatu
Perencanaan Undang-Undang
Pasal 16
Perencanaan
penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas.
Pasal 17
Prolegnas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program
pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.
Pasal 18
Dalam
penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar
Rancangan Undang-Undang didasarkan atas:
a. perintah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
perintah Undang-Undang lainnya;
d. sistem perencanaan
pembangunan nasional;
e.
rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f.
rencana pembangunan jangka menengah;
g.
rencana kerja pemerintah dan rencana
strategis DPR; dan
h. aspirasi dan kebutuhan
hukum masyarakat.
Pasal 19
(1) Prolegnas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul
Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
Peraturan Perundang-undangan lainnya.
(2) Materi yang diatur dan
keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang
yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
c. jangkauan dan arah pengaturan.
(3) Materi yang diatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan
penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
Pasal 20
(1) Penyusunan Prolegnas
dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.
(2) Prolegnas ditetapkan
untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan
Rancangan Undang-Undang.
(3) Penyusunan dan penetapan
Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai
Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(4) Prolegnas jangka menengah
dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan
Prolegnas prioritas tahunan.
(5) Penyusunan dan penetapan
Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah
dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 21
(1) Penyusunan Prolegnas
antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyusunan Prolegnas di
lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani
bidang legislasi.
(3) Penyusunan Prolegnas di
lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau
masyarakat.
(4) Penyusunan Prolegnas di
lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
(5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR.
(6) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 22
(1) Hasil penyusunan Prolegnas
antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.
(2) Prolegnas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPR.
Pasal 23
(1) Dalam Prolegnas dimuat
daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
- pengesahan perjanjian internasional tertentu;
- akibat putusan Mahkamah Konstitusi;
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
- pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan
- penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(2) Dalam keadaan tertentu,
DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas
mencakup:
- untuk mengat asi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
- keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Bagian Kedua
Perencanaan Peraturan Pemerintah
Pasal 24
Perencanaan
penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
(1) Perencanaan penyusunan
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat daftar judul
dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.
(2) Perencanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Pasal 26
(1)
Perencanaan penyusunan
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(2)
Perencanaan penyusunan
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 27
Rancangan Peraturan
Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian
sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 28
(1)
Dalam keadaan tertentu,
kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengajukan Rancangan
Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah.
(2)
Rancangan Peraturan
Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan
Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Perencanaan Peraturan
Presiden
Pasal 30
Perencanaan penyusunan
Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden.
Pasal 31
Ketentuan mengenai
perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan
penyusunan Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Perencanaan Peraturan
Daerah Provinsi
Pasal 32
Perencanaan penyusunan
Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi.
Pasal 33
(1) Prolegda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi
dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan
keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
(2) Materi yang diatur serta
keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur;
dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.
(3) Materi yang diatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan
penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
Pasal 34
(1) Penyusunan Prolegda
Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi
ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi.
(3) Penyusunan dan penetapan
Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
Pasal 35
Dalam
penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1),
penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas:
a.
perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;
b.
rencana pembangunan daerah;
c.
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d.
aspirasi masyarakat daerah.
Pasal 36
(1) Penyusunan Prolegda
Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan
oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani
bidang legislasi.
(2) Penyusunan Prolegda
Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD
Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(3) Penyusunan Prolegda
Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro
hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 37
(1) Hasil penyusunan Prolegda
Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan
ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.
Pasal 38
(1) Dalam Prolegda Provinsi
dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
(2) Dalam keadaan tertentu,
DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar
Prolegda Provinsi:
a. untuk mengatasi keadaan
luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
b. akibat kerja sama dengan
pihak lain; dan
c.
keadaan tertentu lainnya yang memastikan
adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat
disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani
bidang legislasi dan biro hukum.
Bagian Kelima
Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 39
Perencanaan
penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda
Kabupaten/Kota.
Pasal 40
Ketentuan
mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap
perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 41
Dalam
Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya.
Bagian Keenam
Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya
Pasal 42
(1) Perencanaan penyusunan
Peraturan Perundangundangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau
instansi masing-masing.
(2) Perencanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi
masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
BAB V
PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagian Kesatu
Penyusunan Undang-Undang
Pasal 43
(1) Rancangan Undang-Undang
dapat berasal dari DPR atau Presiden.
(2) Rancangan Undang-Undang
yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari
DPD.
(3) Rancangan Undang-Undang
yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.
(4) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai:
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
- penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau
- pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(5) Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan keterangan yang memuat pokok
pikiran dan materi muatan yang diatur.
Pasal 44
(1) Penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan
Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik
penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 45
(1) Rancangan Undang-Undang,
baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang-Undang yang
diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.
(2) Rancangan Undang-Undang
yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan:
- otonomi daerah;
- hubungan pusat dan daerah;
- pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
- pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan
- perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pasal 46
(1) Rancangan Undang-Undang
dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD.
(2) Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari
DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPR.
Pasal 47
(1) Rancangan Undang-Undang
yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.
(2) Dalam penyusunan
Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
(3) Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari
Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 48
(1) Rancangan Undang-Undang
dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan
harus disertai Naskah Akademik.
(2) Usul Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR
kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk
dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang.
(3) Alat kelengkapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang
pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan
Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang.
(4) Alat kelengkapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil
pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pimpinan DPR untuk
selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.
Pasal 49
(1) Rancangan Undang-Undang
dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.
(2) Presiden menugasi menteri
yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR
diterima.
(3) Menteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 50
(1) Rancangan Undang-Undang
dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.
(2) Surat Presiden
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi
mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR.
(3) DPR mulai membahas
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.
(4) Untuk keperluan
pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga
pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah
yang diperlukan.
Pasal 51
Apabila
dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang
mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang
disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden
digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Bagian Kedua
Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
Pasal 52
(1) Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
(3) DPR hanya memberikan
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
(4) Dalam hal Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi
Undang-Undang.
(5) Dalam hal Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat
paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut
dan harus dinyatakan tidak berlaku.
(6) Dalam hal Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak
berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
(7) Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(8) Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 53
Ketentuan
mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Penyusunan Peraturan Pemerintah
Pasal 54
(1) Dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau
lembaga pemerintah nonkementerian.
(2) Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/atau
antarnonkementerian, pengharmonisasi-an, penyusunan, dan penyampaian Rancangan
Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Penyusunan Peraturan Presiden
Pasal 55
(1) Dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian
dan/atau antarnonkemen-terian.
(2) Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/atau
antarnonkementerian, pengharmonisasi-an, penyusunan, dan penyampaian Rancangan
Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kelima
Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 56
(1) Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur.
(2) Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan
atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
(3) Dalam hal Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi mengenai:
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi;
- pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau
- perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
Pasal 57
(1) Penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik
penyusunan Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik
penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 58
(1) Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang
berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi
yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang
berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat
mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 59
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 60
(1) Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi.
Pasal 61
(1) Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan
surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur.
(2) Rancangan Peraturan
Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar
Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi.
Pasal 62
Apabila
dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan
sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Bagian Keenam
Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 63
Ketentuan
mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
BAB VI
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 64
(1) Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik
penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai
perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VII
PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Bagian Kesatu
Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pasal 65
(1) Pembahasan Rancangan
Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.
(2) Pembahasan Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan:
a. otonomi daerah;
b. hubungan pusat dan
daerah;
c.
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah;
d. pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan
e.
perimbangan keuangan pusat dan daerah,
dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
(3) Keikutsertaan DPD dalam
pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
hanya pada pembicaraan tingkat I.
(4) Keikutsertaan DPD dalam
pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan
Undang-Undang yang dibahas.
(5) DPD memberikan
pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama.
Pasal 66
Pembahasan
Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.
Pasal 67
Dua
tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 terdiri atas:
a. pembicaraan tingkat I
dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan
Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan
b. pembicaraan tingkat II
dalam rapat paripurna.
Pasal 68
(1) Pembicaraan tingkat I
dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. pengantar musyawarah;
b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
c. penyampaian pendapat mini.
(2) Dalam pengantar
musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
- DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR;
- DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR;
- Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; atau
- Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden.
(3) Daftar inventarisasi
masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
- Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; atau
- DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2).
(4) Penyampaian pendapat mini
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan
tingkat I oleh:
- fraksi;
- DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan
- Presiden.
(5) Dalam hal DPD tidak
menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d
dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.
(6) Dalam pembicaraan tingkat
I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi
Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.
Pasal 69
(1) Pembicaraan tingkat II
merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:
- penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
- pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
- penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
(2) Dalam hal persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara
musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak.
(3) Dalam hal Rancangan
Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden,
Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
DPR masa itu.
Pasal 70
(1) Rancangan Undang-Undang
dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden.
(2) Rancangan Undang-Undang
yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama
DPR dan Presiden.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR.
Pasal 71
(1) Pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan
Undang-Undang.
(2) Pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme
pembahasan Rancangan Undang-Undang.
(3) Ketentuan mengenai
mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata
cara sebagai berikut:
- Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
- Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan
- Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.
Bagian Kedua
Pengesahan Rancangan Undang-Undang
Pasal 72
(1) Rancangan Undang-Undang
yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan
DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
(2) Penyampaian Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Pasal 73
(1) Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan
tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
(2) Dalam hal Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh
Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan
Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah
menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya
Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat
pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Kalimat pengesahan yang
berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman
terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 74
(1) Dalam setiap
Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan
peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang- Undang tersebut.
(2) Penetapan Peraturan
Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan
pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang-Undang dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VIII
PEMBAHASAN DAN PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
Bagian Kesatu
Pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 75
(1)
Pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur.
(2)
Pembahasan bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat
pembicaraan.
(3)
Tingkat-tingkat
pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat
komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani
bidang legislasi dan rapat paripurna.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Pasal 76
(1) Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD
Provinsi dan Gubernur.
(2) Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur
dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Bagian Kedua
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 77
Ketentuan
mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan
Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
Bagian Ketiga
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 78
(5) Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur
disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan
menjadi Peraturan Daerah Provinsi.
(6) Penyampaian Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
bersama.
Pasal 79
(1) Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur
dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh
DPRD Provinsi dan Gubernur.
(2) Dalam hal Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan
wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat
pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
(4) Kalimat pengesahan yang
berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman
terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah
Provinsi dalam Lembaran Daerah.
Bagian Keempat
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
Pasal 80
Ketentuan
mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan
Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
BAB IX
PENGUNDANGAN
Pasal 81
Agar
setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundangundangan harus diundangkan
dengan menempatkannya dalam:
a.
Lembaran Negara Republik Indonesia;
b.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
c.
Berita Negara Republik Indonesia;
d.
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
e.
Lembaran Daerah;
f.
Tambahan Lembaran Daerah; atau
g.
Berita Daerah.
Pasal 82
Peraturan
Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
meliputi:
a. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
b. Peraturan Pemerintah;
c.
Peraturan Presiden; dan
d. Peraturan
Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 83
Peraturan
Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
meliputi Peraturan Perundang-undangan yang menurut Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 84
(1) Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 85
Pengundangan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal
83 dilaksanakan oleh menteri yang
menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 86
(1) Peraturan
Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Peraturan Gubernur dan
Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah.
(3) Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Pasal 87
Peraturan
Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.
BAB X
PENYEBARLUASAN
Bagian Kesatu
Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang-Undang, dan
Undang-Undang
Pasal 88
(1) Penyebarluasan dilakukan
oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan
Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan
Undang-Undang.
(2) Penyebarluasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh
masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.
Pasal 89
(1) Penyebarluasan Prolegnas
dilakukan bersama oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyebarluasan Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(3) Penyebarluasan Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.
Pasal 90
(1) Penyebarluasan
Undang-Undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah.
(2) Penyebarluasan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD
sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Pasal 91
(1) Dalam hal Peraturan
Perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing, penerjemahannya
dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum.
(2) Terjemahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan terjemahan resmi.
Bagian Kedua
Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi
atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 92
(1) Penyebarluasan Prolegda
dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga
Pengundangan Peraturan Daerah.
(2) Penyebarluasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi
dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.
Pasal 93
(1) Penyebarluasan Prolegda
dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota
yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang
legislasi.
(2) Penyebarluasan Rancangan
Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan
DPRD.
(3) Penyebarluasan Rancangan
Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan
oleh Sekretaris Daerah.
Pasal 94
Penyebarluasan
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah
diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah
Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Bagian Ketiga
Naskah yang Disebarluaskan
Pasal 95
Naskah
Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah
yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah,
dan Berita Daerah.
BAB XI
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 96
(1) Masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan
dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan
masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus
dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 97
Teknik
penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara
mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden,
Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR,
Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua
Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan
Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri,
Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi
yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa
atau yang setingkat.
Pasal 98
(1)
Setiap tahapan Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan.
(2)
Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan
Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 99
Selain
Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
(1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 100
Semua
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
Pasal 101
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 102
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 103
Peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 104
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 12 Agustus 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 82
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
I.
UMUM
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.” Namun, ruang lingkup materi muatan Undang-Undang ini
diperluas tidak saja Undang-Undang tetapi mencakup pula Peraturan
Perundang-undangan lainnya, selain Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai
negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan,
dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai
dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang
berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan
yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap
kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:
a. materi dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga
tidak memberikan suatu kepastian hukum;
b.
teknik penulisan rumusan banyak yang tidak
konsisten;
c. terdapat materi baru yang
perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan; dan
d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur
dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya,
terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini, yaitu
antara lain:
a. penambahan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan
Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perluasan cakupan
perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan
Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. pengaturan Naskah
Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota;
e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang
Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
f. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik
dalam Lampiran I Undang-Undang ini.
Secara umum Undang-Undang ini memuat materi-materi pokok
yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan
Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan
Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan; penyusunan Peraturan
Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan
dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
pengundangan Peraturan Perundang-undangan; penyebarluasan; partisipasi
masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan
lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga
negara serta pemerintah lainnya.
Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya
harus ditempuh dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, tahapan
tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak
diatur dengan Undang-Undang ini, seperti pembahasan Rancangan Peraturan
Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan Rancangan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan
teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan beserta contohnya yang
ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan
memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi
penyusunan Peraturan Perundangundangan, termasuk Peraturan Perundang-undangan
di daerah.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup jelas.
Pasal
2
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara
serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila.
Pasal
3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar
bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
“asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
“asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
“asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
“asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan
“asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
“asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
“asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
“asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
“asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Huruf g
Yang dimaksud dengan
“asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan
“asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
Huruf i
Yang dimaksud dengan
“asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian
hukum.
Huruf j
Yang dimaksud dengan
“asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana,
misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan
narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata,
misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan
berkontrak, dan itikad baik.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang
berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat.
Huruf g
Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah
Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki”
adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan
pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal
8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan
yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam
pemerintahan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah
penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu”
adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang
dengan persetujuan DPR.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian
Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian
Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.
Pasal
11
Cukup jelas.
Pasal
12
Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan
perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang
diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang
yang bersangkutan.
Pasal
13
Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara
tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan
“sistem hukum nasional” adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia
dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam
rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal
19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pengkajian dan penyelarasan” adalah
proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan
Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal sehingga dapat mencegah
tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
“menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum” adalah Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan
perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal
24
Cukup jelas.
Pasal
25
Cukup jelas.
Pasal
26
Cukup jelas.
Pasal
27
Cukup jelas.
Pasal
28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk menjaga agar produk Peraturan Daerah Provinsi tetap berada dalam kesatuan
sistem hukum nasional.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
“pengkajian dan penyelarasan” adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi
yang akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau
horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
“instansi vertikal terkait” antara lain instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penugasan menteri
disertai penyampaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah disusun
dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam jangka waktu 60
(enam puluh) hari tersebut, DPR telah
menyelesaikan penyusunan
DIM.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan mekanisme
penarikan kembali Rancangan Undang-Undang.
Pasal
71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tenggang waktu 7 (tujuh)
hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis
penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan
penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan penandatanganan
sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Dalam pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di DPRD Provinsi, Gubernur dapat
diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Dengan diundangkannya
Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Berlakunya Peraturan
Perundang-undangan yang tidak sama dengan tanggal Pengundangan dimungkinkan
untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana
Peraturan Perundangundangan tersebut.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat
mengenai Prolegnas, Rancangan Undang-Undang yang sedang disusun, dibahas, dan
yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan
terhadap Undang- Undang tersebut atau memahami Undang-Undang yang telah
diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan,
misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat
mengenai Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah
diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap
Peraturan Daerah tersebut atau memahami Peraturan Daerah Provinsi atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan
Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik
dan/atau media cetak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam kelompok
orang antara lain, kelompok/ organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga
swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“Perancang Peraturan Perundang-undangan” adalah pegawai negeri sipil yang
diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan
Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5234