Rabu, 09 Mei 2012

LAMPIRAN II UU NO. 12 TAHUN 2011 (TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN)

LAMPIRAN II
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SISTEMATIKA

BAB I      KERANGKA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
A.     JUDUL
B.    PEMBUKAAN
1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C.    BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D.    PENUTUP
E.    PENJELASAN (jika diperlukan)
F.     LAMPIRAN (jika diperlukan)
BAB II     HAL–HAL KHUSUS
A.     PENDELEGASIAN KEWENANGAN
B.    PENYIDIKAN
C.    PENCABUTAN
D.    PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
E.    PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG
F.     PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
BAB III    RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
A.     BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
B.    PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
C.    TEKNIK PENGACUAN
BAB IV    BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
    1. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA
    2. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG
    3. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
    4. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PERUBAHAN UNDANG–UNDANG
    5. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG–UNDANG
    6. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG
    7. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
    8. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
    9. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
    10. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI
    11. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
    12. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
    

BAB I
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1.     Kerangka Peraturan Perundang–undangan terdiri atas:
A. Judul;
B. Pembukaan;
C. Batang Tubuh;
D. Penutup;
E. Penjelasan (jika diperlukan);
F. Lampiran (jika diperlukan).
A. JUDUL
2.     Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan.
3.     Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang–undangan.
Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan 1 (satu) kata:
- Paten;
- Yayasan;
- Ketenagalistrikan.
Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan frasa:
- Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
- Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
- Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
4.     Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh:
a.                      UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2011
TENTANG
    KEIMIGRASIAN
b.                              PERATURAN DAERAH PROVINSI
    DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
     NOMOR 8 TAHUN 2007
      TENTANG
       KETERTIBAN UMUM
c.                               QANUN KABUPATEN ACEH JAYA
NOMOR 2 TAHUN 2010
TENTANG
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
d.                       PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA
    NOMOR 5 TAHUN 2010
    TENTANG
KEDUDUKAN PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA
MAJELIS RAKYAT PAPUA
e.            PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA
NOMOR 23 TAHUN 2008
  TENTANG
       HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK
      PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH
5.     Judul Peraturan Perundang-undangan tidak boleh ditambah dengan singkatan atau akronim.
Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan:
a.                     UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
    ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
b.                     PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU
 NOMOR 9 TAHUN 2005
TENTANG
LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK)
Contoh yang tidak tepat dengan menggunakan akronim:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN ...
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH (PROLEGDA)
6.     Pada nama Peraturan Perundang–undangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
Contoh:
a.                     UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 2 TAHUN 2011
      TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN
2008 TENTANG PARTAI POLITIK
b.                     PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA
     NOMOR 14 TAHUN 2009
                 TENTANG
      PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH
      NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK
      PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
7.     Jika Peraturan Perundang–undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya.
Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
24 TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN
KEUANGAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Contoh Peraturan Daerah:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
NOMOR 3 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH
NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA
KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
8.     Jika Peraturan Perundang–undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang–undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang–undangan yang diubah.
9.     Pada nama Peraturan Perundang–undangan pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang dicabut.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2010
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG
NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Contoh Peraturan Daerah:
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
NOMOR 4 TAHUN 2010
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN
SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI IZIN
TRAYEK DAN IZIN ANGKUTAN KHUSUS DI PERAIRAN
DARATAN LINTAS KABUPATEN ATAU KOTA
10.       Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang.
Contoh:
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG–UNDANG
11.       Pada nama Peraturan Perundang–undangan pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan.
Contoh:
UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN
(AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR SECURITY COOPERATION)
12.       Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional bahasa Indonesia digunakan sebagai salah satu teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Indonesia, yang diikuti oleh bahasa asing dari teks resmi yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2010
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT
WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA, 2009
(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE
REPUBLIC OF SINGAPORE RELATING DELIMITATION OF THE
TERRITORIAL SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN PART
OF THE STRAIT OF SINGAPORE, 2009)
13.       Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2009
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA–BANGSA MENENTANG TINDAK
PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)
B. PEMBUKAAN
14.       Pembukaan Peraturan Perundang–undangan terdiri atas:
a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
b. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
c. Konsiderans;
d. Dasar Hukum; dan
e. Diktum.
B.1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
15.       Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang–undangan sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan dicantumkan Frasa Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.
B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
16.       Jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.
Contoh jabatan pembentuk Undang-Undang:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Provinsi:
GUBERNUR JAWA BARAT,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kabupaten:
BUPATI GUNUNG KIDUL,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kota:
WALIKOTA DUMAI,
B.3. Konsiderans
17.       Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.
18.       Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan.
19.       Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
- Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Menimbang :    a.     bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
                      b.  bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif;
                      c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
                      d. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
                      e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
Contoh:
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah
Menimbang:   a. bahwa derajat kesehatan masyarakat yang semakin tinggi merupakan investasi strategis pada sumber daya manusia supaya semakin produktif dari waktu ke waktu;
                      b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu diselenggarakan pembangunan kesehatan dengan batas-batas peran, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan yang jelas, akuntabel, berkeadilan, merata, bermutu, berhasil guna dan berdaya guna;
                      c. bahwa untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam pembangunan kesehatan, maka diperlukan pengaturan tentang tatanan penyelenggaraan pembangunan kesehatan;
20.       Pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya Peraturan Perundang–undangan tersebut. Lihat juga Nomor 24.
21.       Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, setiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
22.       Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh:
Menimbang:    a. bahwa …;
b. bahwa ...;
c. bahwa ...;
d. bahwa …;
23.       Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut:
Contoh 1: Konsiderans Undang-Undang
Menimbang:   a. bahwa…;
          b. bahwa ...;
c. bahwa …;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang ...;
Contoh 2: Konsiderans Peraturan Daerah Provinsi
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa ...;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang ...;
24.       Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang yang memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang yang memerintahkan pembentukannya. Lihat juga Nomor 19.
Contoh:
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.
Menimbang:   bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 93, Pasal 101, Pasal 102 ayat (3), Pasal 133 ayat (5) dan Pasal 136 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas;
25.       Konsiderans Peraturan Presiden cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya.
Contoh:
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah.
Menimbang:   bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah;
26.       Konsiderans Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Presiden.
27.       Konsiderans Peraturan Daerah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya.
Contoh:
Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor 8 Tahun 2010 tentang Hutan Kota
Menimbang  : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Hutan Kota;
B.4. Dasar Hukum
28.       Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
Dasar hukum memuat:
a.     Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
b.     Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
29.       Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR adalah Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
30.       Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari Presiden adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
31.       Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR atas usul DPD adalah Pasal 20 dan Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
32.       Jika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memerintahkan langsung untuk membentuk Undang-Undang, pasal yang memerintahkan dicantumkan dalam dasar hukum.
Contoh:
Mengingat: Pasal 15, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
33.       Jika materi yang diatur dalam Undang-Undang yang akan dibentuk merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal tersebut dicantumkan sebagai dasar hukum.
Contoh 1 (RUU yang berasal dari DPR):
Mengingat:   Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Contoh 2 (RUU yang berasal dari Presiden):
Mengingat:   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
34.       Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
35.       Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
36.       Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
37.       Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38.       Dasar hukum pembentukan Peraturan Presiden adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
39.       Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
40.       Jika terdapat Peraturan Perundang–undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan secara langsung pembentukan Peraturan Perundang–undangan, Peraturan Perundang–undangan tersebut dimuat di dalam dasar hukum.
Contoh:
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
                 2.  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
Contoh ini terdapat Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
41.       Peraturan Perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
42.       Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, Peraturan Perundang–undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan dalam dasar hukum.
43.       Jika jumlah Peraturan Perundang–undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang–undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
44.       Dasar hukum yang diambil dari pasal atau beberapa pasal dalam Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal. Frasa Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
45.       Dasar hukum yang bukan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan jenis dan nama Peraturan Perundang–undangan tanpa mencantumkan frasa Republik Indonesia.
46.       Penulisan jenis Peraturan Perundang–undangan dan rancangan Peraturan Perundang–undangan, diawali dengan huruf kapital.
Contoh : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
47.       Penulisan Undang–Undang dan Peraturan Pemerintah, dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh :
Mengingat:   1. …;
2.  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216);
48.       Penulisan Peraturan Presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dan Peraturan Presiden tentang pernyataan keadaan bahaya dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
49.       Penulisan Peraturan Daerah dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Tambahan Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 3 Tahun 2010 tentang Susunan dan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Aceh Jaya (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2010 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2)
50.       Dasar hukum yang berasal dari Peraturan Perundang–undangan zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul asli bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung.

Contoh :
Mengingat:   1. ...;
2.         Kitab Undang–Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847: 23 );
51.       Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam nomor berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang–undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
52.       Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang–undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh :
Mengingat:   1. …;
2. …;
3. …;
B.5. Diktum
53.       Diktum terdiri atas:
a. kata Memutuskan;
b. kata Menetapkan; dan
c. jenis dan nama Peraturan Perundang-undangan.
54.       Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin.
55.       Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin.
Contoh Undang-Undang:
          Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
        dan
          PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
56.       Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH … (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA … (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.
Contoh:
Peraturan Daerah


Dengan Persetujuan Bersama
         DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT
      dan
GUBERNUR JAWA BARAT
        MEMUTUSKAN:
57.       Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
58.       Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:  UNDANG–UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
59.       Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Provinsi, Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:  PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN.
60.       Pembukaan Peraturan Perundang–undangan tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, antara lain Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Dewan Perwakilan Daerah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang-Undang.
C. BATANG TUBUH
61.       Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal.
62.       Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
a. ketentuan umum;
b. materi pokok yang diatur;
c. ketentuan pidana (jika diperlukan);
d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan
e. ketentuan penutup.
63.       Pengelompokan materi muatan dirumuskan secara lengkap sesuai dengan kesamaan materi yang bersangkutan dan jika terdapat materi muatan yang diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam ruang lingkup pengaturan yang sudah ada, materi tersebut dimuat dalam bab ketentuan lain-lain.
64.       Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
65.       Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.
66.       Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian.
67.       Pengelompokkan materi muatan Peraturan Perundang-undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
68.       Jika Peraturan Perundangan-undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal atau beberapa pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf.
69.       Pengelompokkan materi muatan dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi.
70.       Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut:
a.     bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf;
b.     bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf; atau
c.      bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa pasal.
71.       Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BUKU KETIGA
 PERIKATAN
72.       Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
 BAB I
KETENTUAN UMUM
73.       Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.
74.       Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak terletak pada awal frasa.
Contoh:
      Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan
75.       Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.
76.       Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak terletak pada awal frasa.
Contoh:
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
77.       Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas.
78.       Materi muatan Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi muatan yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
79.       Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal 3
80.       Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal 34
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
81.       Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
82.       Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda baca titik.
83.       Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
84.       Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.
Contoh:
Pasal 8
(1)   Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.
(2)   Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.
85.       Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, selain dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, juga dapat dirumuskan dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut:
Contoh rumusan tabulasi:
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi:
a. Presiden;
b. Wakil Presiden; dan
c. pejabat negara yang lain,
yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
86.       Penulisan bilangan dalam pasal atau ayat selain menggunakan angka Arab diikuti dengan kata atau frasa yang ditulis diantara tanda baca kurung.
87.       Jika merumuskan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi, memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a.     setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frasa pembuka;
b.     setiap rincian menggunakan huruf abjad kecil dan diberi tanda baca titik;
c.      setiap frasa dalam rincian diawali dengan huruf kecil;
d.     setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma;
e.      jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam;
f.   di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua;
g.      pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan huruf abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; dan
h.     pembagian rincian tidak melebihi 4 (empat) tingkat. Jika rincian melebihi 4 (empat) tingkat, pasal yang bersangkutan dibagi ke dalam pasal atau ayat lain.
88.       Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
89.       Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang di letakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
90.       Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
91.       Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
92.       Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) ... .
(2) ...:
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. … .
93.       Jika suatu rincian memerlukan rincian lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) … .
(2) …:
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. …:
1. ...;
2. …; (dan, atau, dan/atau)
3. … .
94.       Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) … .
(2) … .
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. …:
1. …;
2. …; (dan, atau, dan/atau)
3. …:
a) …;
b) …; (dan, atau, dan/atau)
c) … .
95.       Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
… .
(1) … .
(2) …:
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. …:
1. …;
2. …; (dan, atau, dan/atau)
3. …:
a) …;
b) …; (dan, atau, dan/atau)
c) … .
1) …;
2) …; (dan, atau, dan/atau)
3) … .
C.1. Ketentuan Umum
96.       Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal.
Contoh:
BAB I
        KETENTUAN UMUM
97.       Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
98.       Ketentuan umum berisi:
a.     batasan pengertian atau definisi;
b.     singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau
c.      hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Contoh batasan pengertian:
1.     Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
2.     Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika.
Contoh definisi:
1.     Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya.
2.     Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh singkatan:
1.     Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.     Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di lingkungan Pemerintah Kota Dumai.
Contoh akronim:
1.     Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disebut Askes adalah…
2.     Orang dengan HIV/AIDS yang selanjutnya disebut ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap belum ada gejala maupun yang sudah ada gejala.
99.       Frasa pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi:
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
100.        Frasa pembuka dalam ketentuan umum peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.
101.        Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
102.        Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya.
103.        Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut.
104.        Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang-undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundang-undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.
Contoh 1:
a.     Hari adalah hari kalender (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
b.     Hari adalah hari kerja (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Contoh 2:
a.     Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
b.     Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman).
105.        Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.
106.        Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
107.        Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
108.        Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran.
109.        Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a.     pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b.     pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c.      pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
C.2. Materi Pokok yang Diatur
110.        Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum.
111.        Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
Contoh:
a.     pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
1. kejahatan terhadap keamanan negara;
2. kejahatan terhadap martabat Presiden;
3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;
4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
5. kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b.     pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
c.      pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
112.        Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah.
113.        Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
114.        Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
115.        Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.
116.        Jika di dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan penutup.
117.        Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
118.        Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari:
a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perundang-undangan lain. Lihat juga Nomor 98;
Contoh:
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan
Pasal 73
Tindak pidana di bidang Adminstrasi Kependudukan yang dilakukan oleh penduduk, petugas, dan Badan Hukum diancam dengan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
b.  pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau
c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di dalam norma-norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal sebelumnya, kecuali untuk undang-undang mengenai tindak pidana khusus.
119.        Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang.
Contoh:
Pasal 81
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
120.        Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 143
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Contoh 2:
Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pajak Hiburan
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang.
121.        Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai pelanggaran atau kejahatan.
Contoh:
BAB V
         KETENTUAN PIDANA
       Pasal 33
(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal …, dipidana dengan pidana kurungan paling lama … atau pidana denda paling banyak Rp…,00
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
122.        Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif.
a. Sifat kumulatif:
Contoh:
Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
b. Sifat alternatif:
Contoh:
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
c. Sifat kumulatif alternatif:
Contoh:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
123.        Perumusan dalam ketentuan pidana harus menunjukkan dengan jelas unsur-unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif.
124.        Jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1976, kecuali untuk ketentuan pidananya.
125.        Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
126.        Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
a. badan hukum antara lain perseroan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi; dan/atau
b. pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.
C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
127.        Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a.     menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b.     menjamin kepastian hukum;
c.      memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d.     mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pasal 35
Perjanjian Internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar
Pasal 18
Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin.
Contoh 3:
Peraturan Daerah Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemeliharaan Kesehatan Hewan
Pasal 38
Orang atau Badan yang telah memiliki izin usaha pemeliharaan kesehatan hewan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini.
128.        Ketentuan Peralihan dimuat dalam Bab Ketentuan Peralihan dan ditempatkan di antara Bab Ketentuan Pidana dan Bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab, pasal atau beberapa pasal yang memuat Ketentuan Peralihan ditempatkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang memuat ketentuan penutup.
129.        Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru, dapat dimuat ketentuan mengenai penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
Pasal 27
Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya Kementerian berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan serta Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah
Pasal 44
(1)   … .
(2)   Sebelum RPJMD ditetapkan, penyusunan RKPD berpedoman kepada RPJMD periode sebelumnya.
130.        Penyimpangan sementara terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan.
131.        Jika suatu Peraturan Perundang-undangan diberlakukan surut, Peraturan Perundang-undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya.
Contoh:
Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
132.        Mengingat berlakunya asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut tidak diberlakukan bagi Ketentuan Pidana.
133.        Penentuan daya laku surut tidak dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat, misalnya penarikan pajak atau retribusi.
134.        Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan ditunda sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan Perundang-undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum atau hubungan hukum yang dimaksud, serta jangka waktu atau persyaratan berakhirnya penundaan sementara tersebut.
Contoh:
Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor … Tahun ... tentang… masih tetap berlaku untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
135.        Rumusan dalam Ketentuan Peralihan tidak memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Peraturan Perundang-undangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan perubahan.
Contoh rumusan yang memuat perubahan terselubung:
Pasal 35
(1)   Desa atau yang disebut nama lainnya yang setingkat dengan desa yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan sebagai desa menurut Pasal 1 huruf a.
C.5. Ketentuan Penutup
136.        Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam pasal atau beberapa pasal terakhir.
137.        Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
a.     penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
b.     nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
c.      status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
d.     saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
138.        Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan bersifat menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, dan mengangkat pegawai.
139.        Bagi nama Peraturan Perundang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.     nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan;
b.     nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
140.        Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan.
Contoh nama singkat yang tidak tepat:
(Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan) Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina Hewan
141.        Nama Peraturan Perundang-undangan yang sudah singkat tidak perlu diberikan nama singkat.
Contoh nama singkat yang tidak tepat:
(Undang-Undang tentang Bank Sentral)
Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Bank Indonesia.
142.        Sinonim tidak dapat digunakan untuk nama singkat.
Contoh nama singkat yang tidak tepat:
(Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
Undang-Undang ini dapat disebut dengan Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi Negara.
143.        Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang lama.
144.        Rumusan pencabutan Peraturan Perundang-undangan diawali dengan frasa Pada saat …(jenis Peraturan Perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri.
145.        Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
146.        Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
147.        Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), cara penulisan dilakukan dengan rincian dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.     Ordonansi Perburuan (Jachtsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 133);
b.     Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 134);
c.      Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtsordonantie Java en Madoera 1940, Staatsblad 1939: 733); dan
d.     Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonantie 1941, Staatsblad 1941: 167), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
148.        Pencabutan Peraturan Perundang-undangan disertai dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
149.        Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frasa ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor ... Tahun... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
150.        Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku pada saat Peraturan Perundang-undangan tersebut diundangkan.
Contoh:
a. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
b. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
c. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
151.        Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tersebut pada saat diundangkan, hal ini dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut dengan:
a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku;
Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 2011.
b.  menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang lebih rendah jika yang diberlakukan itu bukan kodifikasi;
Contoh:
Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frasa setelah ... (tenggang waktu) terhitung sejak tanggal diundangkan.
Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
152.        Tidak menggunakan frasa ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frasa ini menimbulkan ketidakpastian mengenai saat berlakunya suatu Peraturan Perundang-undangan yaitu saat diundangkan atau saat berlaku efektif.
153.        Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau seluruh wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
154.        Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan dinyatakan secara tegas dengan:
a.     menetapkan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan itu yang berbeda saat mulai berlakunya;
Contoh:


Pasal 45
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal… .
b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah negara tertentu.
Contoh:
Pasal 40
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal….
155.        Pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya.
156.        Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut), diperhatikan hal sebagai berikut:
a.     ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
b.     rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan;
c.      awal dari saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
157.        Saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya.
158.        Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
159.        Pencabutan Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu.
D. PENUTUP
160.        Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan yang memuat:
a.     rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota;
b.     penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan;
c.      pengundangan atau Penetapan Peraturan Perundang-undangan; dan
d.     akhir bagian penutup.
161.        Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … (jenis Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
162.        Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … (jenis Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
163.        Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh Peraturan Daerah Provinsi:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat.
164.        Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan memuat:
a.     tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
b.     nama jabatan;
c.      tanda tangan pejabat; dan
d.     nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai.
165.        Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan.
166.        Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
a. untuk pengesahan:
Contoh:
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
b. untuk penetapan:
Contoh:
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

167.        Pengundangan Peraturan Perundang-undangan memuat:
a.     tempat dan tanggal Pengundangan;
b.     nama jabatan yang berwenang mengundangkan;
c.      tanda tangan; dan
d.     nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai.
168.        Tempat tanggal pengundangan Peraturan Perundang-undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan atau penetapan).
169.        Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh:
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
      REPUBLIK INDONESIA,
    tanda tangan
PATRIALIS AKBAR
170.        Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak menandatangani Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
171.        Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Gubernur atau Bupati/Walikota tidak menandatangani Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama antara DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
172.        Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota.
173.        Penulisan frasa Lembaran Negara Republik Indonesia atau Lembaran Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR...
Contoh:
LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ...NOMOR ...
E. PENJELASAN
174.        Setiap Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diberi penjelasan.
175.        Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang (selain Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat diberi penjelasan jika diperlukan.
176.        Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
177.        Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
178.        Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
179.        Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan Peraturan Perundang-undangan.
180.        Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan yang diawali dengan frasa penjelasan atas yang ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2011
TENTANG
TRANSFER DANA
181.        Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
182.        Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
I. UMUM
II. PASAL DEMI PASAL
183.        Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas, tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan.
184.        Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan.
Contoh:
I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
...
2. Pembagian Wilayah
3. Asas-asas Penyelenggara Pemerintahan
4. Daerah Otonom
5. Wilayah Administratif
6. Pengawasan
185.        Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.
186.        Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
a.     tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b.     tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh;
c.      tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
d.     tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
e.      tidak memuat rumusan pendelegasian
187.        Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan.
188.        Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frasa cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.) dan huruf c ditulis dengan huruf kapital. Penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan.
Contoh yang tidak tepat:
Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9)
Cukup jelas.
Seharusnya:
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
189.        Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir.
190.        Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai.
Contoh:
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan para pengguna hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
191.        Jika suatu istilah/kata/frasa dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…“) pada istilah/kata/frasa tersebut.
Contoh:
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
F. LAMPIRAN
192.        Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan.
193.        Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa.
194.        Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dengan menggunakan angka romawi.
Contoh: LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
195.        Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata kiri.
Contoh:
LAMPIRAN I
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN…
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
196.        Nama lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh:
         TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
197.        Pada halaman akhir tiap lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang-undangan ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan bawah dan diakhiri dengan tanda baca koma setelah nama pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang-undangan.
Contoh:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
     tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO




BAB II
HAL-HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
198.        Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah.
199.        Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang-Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 48
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Undang-Undang.
200.        Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas:
a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan
b. jenis Peraturan Perundang-undangan.
201.        Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokokpokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan … .
Contoh 1:
Pasal…
(1) ... .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Utara Nomor 87 Tahun 2010 tentang Pajak Reklame
Pasal 18
(1) ... .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Contoh 3:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah Regional Jawa Timur
Pasal 23
(1) … .
(2) … .
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
202.        Jika pengaturan materi muatan tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … .
Contoh:
Pasal…
(1) … .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
203.        Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan … .
Contoh:
Pasal…
(1) … .
(2) Ketentuan mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah.
204.        Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan… .


Contoh:
Pasal ...
(1) ... .
(2) Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
205.        Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan, gunakan kalimat “Ketentuan mengenai … diatur dalam ….”
Contoh:
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan
Pasal 57
(1) … .
(2) … .
(3) … .
(4) … .
(5) … .
(6) … .
(7) Ketentuan mengenai pedoman persyaratan dan tata cara untuk mendapatkan KIPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
206.        Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, gunakan kalimat “(jenis Peraturan Perundang-undangan)… tentang Peraturan Pelaksanaan ...”
Contoh:  Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
207.        Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksanaan yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut.
Contoh:
Diambil dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Pasal 76
(1) ... .
(2) ... .
(3) ... .
(4) ... .
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
208.        Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan.
209.        Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
210.        Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya delegasi blangko.
Contoh 1:
Pasal…
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh 2:
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Pasal 24
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang pengaturan pelaksanaannya, diatur dengan Peraturan Bupati.
211.        Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
212.        Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu.
213.        Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan Perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat.
214.        Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang.
215.        Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari.
216.        Di dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip kembali rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal atau beberapa pasal atau ayat atau beberapa ayat selanjutnya.
B. PENYIDIKAN
217.        Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
218.        Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
219.        Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik pegawai negeri sipil diusahakan agar tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan.
Contoh:
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama kementerian atau instansi) dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang (Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) ini.
220.        Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal atau beberapa pasal sebelum ketentuan pidana.
C. PENCABUTAN
221.        Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang-undangan baru, Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut Peraturan Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu.
222.        Jika materi dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru menyebabkan perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, di dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan sebagian atau seluruh Peraturan Perundang-undangan yang lama.
223.        Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi.
224.        Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu.
225.        Jika Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
226.        Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
227.        Jika pencabutan Peraturan Perundangan-undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan tersebut pada dasarnya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a.     Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan.
b.     Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal 1
Undang-Undang Nomor … Tahun ... tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
228.        Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang menimbulkan perubahan dalam Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait, tidak mengubah Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas.
229.        Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, tetap tidak berlaku, meskipun Peraturan Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
230.        Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan:
a.     menyisip atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang-undangan; atau
b.     menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-undangan.
231.        Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap:
a.     seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau
b.     kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
232.        Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
233.        Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut:
a.     Pasal I memuat judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
Contoh 1:
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah sebagai berikut:
1.     Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: …
2.     Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: …
3.     dan seterusnya …
Contoh 2:
Pasal I
Ketentuan Pasal ... dalam Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: …
b.     Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, Pasal I memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang-undangan perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci dengan huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya).
Contoh:
Pasal I
Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … ) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a.      Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …);
b.      Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …);
c.      Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …);
diubah sebagai berikut:
1. Bab V dihapus.
2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
3. dan seterusnya ...
c.      Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
234.        Jika dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan.
a.  Penyisipan Bab
Contoh:
Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu ) bab, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA
INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL
b.  Penyisipan Pasal:
Contoh:
Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128A
Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan hasil-hasil pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan.
235.        Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung( ).
Contoh:
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) … .
(1a)… .
(1b)… .
(2) … .
236.        Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus.
Contoh 1:
1.     Pasal 16 dihapus.
2.     Pasal 18 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) … .
(2) Dihapus . . .
(3) … .
Contoh 2:
Peraturan Daerah tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi
5. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1)   Dihapus.
(2)   Dihapus.
(3)   Lokasi Pengujian dan Penguji ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Perhubungan.
237.        Jika suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan:
a.     sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah;
b.     materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c.      esensinya berubah,
Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.
238.        Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundang-undangan, sebaiknya Peraturan Perundang-undangan tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada:
a.     urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir;
b.     penyebutan-penyebutan; dan
c.      ejaan, jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama.
E.  PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG
239.        Batang tubuh Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi Undang-Undang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a.     Pasal 1 memuat Penetapan Perpu menjadi Undang-Undang yang diikuti dengan pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Undang-Undang penetapan tersebut.
b.     Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232) ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
240.        Batang tubuh Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a.     Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah asli dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
b.     Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
Contoh untuk perjanjian multilateral:
Pasal 1
Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Contoh untuk perjanjian bilateral yang hanya menggunakan dua bahasa:
Pasal 1
Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang–Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa:
Pasal 1
Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of the Republik of Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1977 di Hongkong yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
241.        Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Undang-Undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden.




BAB III
RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN

A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
242.        Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.
243.        Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan antara lain:
a.     lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
b.     bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
c.      objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud);
d.     membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten;
e.      memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;
f.       penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan
Contoh:
buku-buku ditulis buku
murid-murid ditulis murid
g.      penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
- Pemerintah
- Wajib Pajak
- Rancangan Peraturan Pemerintah
244.        Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang–undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
Contoh:
Pasal 5
(1)   Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik:
(1)   Permohonan beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
245.        Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas.
Contoh:
Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol.
246.        Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Contoh kalimat yang tidak baku:
Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut.
Contoh kalimat yang baku:
Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya.
247.        Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi.
Contoh:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 58
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a.     nama dan alamat percetakan perusahaan yang melakukan pencetakan blanko;
b.     jumlah blanko yang dicetak; dan
c.      jumlah dokumen yang diterbitkan.
248.        Untuk mempersempit pengertian kata atau isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.
Contoh:
Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.
249.        Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Contoh:
Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Rumusan yang baik:
Pertanian meliputi perkebunan.
250.        Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang sama, tidak menggunakan:
a.     beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian yang sama.
Contoh:
Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan.
b.     satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda.
Contoh:
Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan.
251.        Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, tidak boleh menggunakan frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari.
252.        Untuk menghindari perubahan nama kementerian, penyebutan menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada urusan pemerintahan dimaksud.
Contoh:
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
253.        Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan jika:
a.     mempunyai konotasi yang cocok;
b.     lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia;
c.      mempunyai corak internasional;
d.     lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau
e.      lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
Contoh:
1. devaluasi (penurunan nilai uang)
2. devisa (alat pembayaran luar negeri)
254.        Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan di dalam penjelasan Peraturan Perundang–undangan. Kata, frasa, atau istilah bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda baca kurung ( ).
Contoh:
1. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)
2. penggabungan (merger)
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
255.        Gunakan kata paling, untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu.
Contoh:
… dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Contoh untuk Perda:
… dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
256.        Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
a.     waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk menyatakan jangka waktu;
Contoh 1:
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Contoh 2:
Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan undang-undang bersama DPR dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak surat Pimpinan DPR diterima.
b.     waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk menyatakan batas waktu.
Contoh:
Surat permohonan izin usaha disampaikan kepada dinas perindustrian paling lambat tanggal 22 Juli 2011.
c.      jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak;
d.     jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi.
257.        Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 29
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini.
258.        Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 1
....
38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak alat angkut.
259.        Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 77
(1)   Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan  mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
260.        Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frasa dalam hal.
a.     Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka).
Contoh:
Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 41
(3) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera  menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden.
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang mengandung waktu.
Contoh:
Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.
c.  Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka).
Contoh:
Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
Pasal 33
(2) Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi atau tidak tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri.
261.        Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pasal 59
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan atau ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun.
262.        Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos
Pasal 30
Penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan kiriman.
263.        Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara



Pasal 19
(1) Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan
Pasal 22
(2) Dalam hal tidak ada korps musik atau genderang dan/atau sangkakala pengibaran atau penurunan bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan oleh seluruh peserta upacara.
264.        Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Pasal 69
(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat jasa kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan
Pasal 31
(2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.     penghormatan dengan bendera negara;
b.     penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau
c.      bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
265.        Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 72
(1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
266.        Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Pasal 313
(1) Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan.
267.        Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasal 90
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 28
(2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain.
268.        Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib.
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi sanksi.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 8
(1) Setiap orang yang masuk atau ke luar Wilayah Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 17
(1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK.
269.        Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik
Pasal 6
(1) Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.     memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik yang sah;
b.     berpengalaman praktik memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
c.      berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.     memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
e.      tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin Akuntan Publik;
f.       tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g.      menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri; dan
h.     tidak berada dalam pengampuan.
270.        Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pasal 135
Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 2 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Perikanan dan Tanda Pencatatan Kegiatan Perikanan
Pasal 11
(1) Setiap pemegang IUP atau TPKP dilarang:
a.  melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat terlarang seperti bahan kimia, bahan peledak, obat bius, arus listrik, dan menggunakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring kurang 2,5 cm atau alat tangkap dengan ukuran mata bilah kurang dari 1 cm.
C. TEKNIK PENGACUAN
271.        Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk menghindari pengulangan rumusan digunakan teknik pengacuan.
272.        Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Perundang–undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang–undangan yang lain dengan menggunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal … atau sebagaimana dimaksud pada ayat… .
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 72
(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, penyelenggara mengadakan koordinasi dengan instansi vertikal dan lembaga pemerintah nonkementerian.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan administrasi kependudukan.
273.        Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal, ayat, atau huruf yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi ayat, atau huruf demi huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frasa sampai dengan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
Pasal 57
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Pasal 37
(3) ...
f.   perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
274.        Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh:
a.     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1).
b.     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a.
275.        Kata pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh:
Rumusan yang tidak tepat:
Pasal 8
(1)  … .
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam puluh) hari.
276.        Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil.
Contoh:
Pasal 15
(1)   … .
(2)   … .
(3)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan.
277.        Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok yang diacu.
Contoh:
Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan oleh … .
278.        Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
279.        Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 15
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
280.        Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas.
281.        Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan Peraturan Perundang–undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang–undangan.
282.        Untuk menyatakan peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Perundang–undangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang–undangan, gunakan frasa dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam … (jenis Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan) ini.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
283.        Jika Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian dari ketentuan Peraturan Perundang–undangan tersebut, gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali … .
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor … , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dinyatakan tetap berlaku, kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
284.        Naskah Peraturan Perundang-undangan diketik dengan jenis huruf Bookman Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4.












BAB IV
BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
A. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(Nama Undang–Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   a. bahwa …;
  b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG … (nama Undang–Undang).
BAB I
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB … (dan seterusnya)
Pasal…
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara  Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
 NAMA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
    NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…

B.  RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …TAHUN…
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN …
TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. ...;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:  UNDANG–UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN ... TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG.
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ... , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) ditetapkan menjadi Undang–Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidanghukum),
tanda tangan
    NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…

C.  RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGESAHAN KONVENSI…
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan
bahasa Indonesia sebagai terjemahannya)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI …
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya).
Pasal 1
(1)   Mengesahkan Konvensi … (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) … dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang… .
(2)   Salinan naskah asli Konvensi … (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) … dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang … dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
    NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum),
tanda tangan
     NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR ..




D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG – UNDANG
NOMOR … TAHUN … TENTANG …
(untuk perubahan pertama )
atau
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ...
( untuk perubahan kedua, dan seterusnya )
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:  UNDANG–UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... .
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor ... Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … ) diubah sebagai berikut:
1.  Ketentuan Pasal ... ( bunyi rumusan tergantung keperluan ), dan seterusnya.
Pasal II
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
    NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…


E.  BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG– UNDANG
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN …
TENTANG … (Nama Undang–Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:  UNDANG–UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... .
Pasal 1
Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang–Undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang–Undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal…
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
    NAMA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum),
tanda tangan
     NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…


F. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN… TENTANG …
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:  UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN … TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG …
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor … Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun …. Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
   NAMA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
    NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…


G. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN …..
TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:  PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG … (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang).
BAB I
Pasal 1
BAB II
...
Pasal…
BAB
(dan seterusnya)
Pasal 2
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
     NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
    NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…


H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …. (nama Peraturan Pemerintah).
BAB I
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Pasal…
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
   NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…



I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(Nama Peraturan Presiden)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:  PERATURAN PRESIDEN TENTANG …. (nama Peraturan Presiden).
BAB I
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Pasal…
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
  NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
    NAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…



J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI
PERATURAN MENTERI … REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(Nama Peraturan Menteri)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI …REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:  PERATURAN MENTERI … TENTANG …. (nama Peraturan Menteri).
BAB I
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Pasal…
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI ... REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
    NAMA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
   NAMA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…




K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
PERATURAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi)
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(nama Peraturan Daerah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR (Nama Provinsi),
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI…
(Nama Provinsi)
dan
GUBERNUR … (Nama Provinsi)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan Daerah)
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Pasal ...
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi … (Nama Provinsi).

Ditetapkan di…
pada tanggal …
GUBERNUR … (Nama Provinsi)
tanda tangan
NAMA

Diundangkan di …
pada tanggal …
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI… (Nama Provinsi),
tanda tangan
    NAMA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) TAHUN… NOMOR …





L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA… (nama kabupaten/kota)
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(nama Peraturan Daerah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota),
Menimbang:   a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat:     1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA …
(nama kabupaten/kota)
dan
BUPATI/WALIKOTA … (nama kabupaten/kota)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan Daerah).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Pasal…
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten/Kota … (nama kabupaten/kota).

Ditetapkan di…
pada tanggal …
BUPATI/WALIKOTA … (nama
kabupaten/kota),
tanda tangan
    NAMA

Diundangkan di …
pada tanggal …
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota),
tanda tangan
   NAMA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota) TAHUN … NOMOR …



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


www.djpp.kemenkumham.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar