LAMPIRAN II
UNDANG–UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG–UNDANGAN
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SISTEMATIKA
BAB I KERANGKA
PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
A.
JUDUL
B.
PEMBUKAAN
1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C.
BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D.
PENUTUP
E.
PENJELASAN (jika diperlukan)
F.
LAMPIRAN (jika diperlukan)
BAB II HAL–HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
B. PENYIDIKAN
C. PENCABUTAN
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
E. PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG
F. PENGESAHAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
A. BAHASA PERATURAN
PERUNDANG–UNDANGAN
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
C. TEKNIK PENGACUAN
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
- BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA
- BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG
- BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
- BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PERUBAHAN UNDANG–UNDANG
- BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG–UNDANG
- BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG
- BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
- BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
- BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
- BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI
- BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
- BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
BAB I
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Kerangka Peraturan
Perundang–undangan terdiri atas:
A. Judul;
B. Pembukaan;
C. Batang Tubuh;
D. Penutup;
E. Penjelasan (jika diperlukan);
F. Lampiran (jika diperlukan).
A.
JUDUL
2. Judul Peraturan
Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan
atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan.
3. Nama Peraturan
Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata
atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan
Perundang–undangan.
Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan
1 (satu) kata:
- Paten;
- Yayasan;
- Ketenagalistrikan.
Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan
frasa:
- Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum;
- Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah;
- Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
4. Judul Peraturan
Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di
tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh:
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2011
TENTANG
KEIMIGRASIAN
b. PERATURAN DAERAH PROVINSI
DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA
NOMOR 8 TAHUN 2007
TENTANG
KETERTIBAN UMUM
c. QANUN KABUPATEN
ACEH JAYA
NOMOR 2 TAHUN 2010
TENTANG
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
d. PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA
NOMOR 5 TAHUN 2010
TENTANG
KEDUDUKAN PROTOKOLER
PIMPINAN DAN ANGGOTA
MAJELIS RAKYAT PAPUA
e. PERATURAN
DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA
NOMOR 23 TAHUN 2008
TENTANG
HAK ULAYAT
MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK
PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT
ATAS TANAH
5.
Judul Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh ditambah dengan singkatan atau akronim.
Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan:
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
b. PERATURAN
DAERAH KOTA PEKANBARU
NOMOR 9 TAHUN 2005
TENTANG
LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK)
Contoh
yang tidak tepat dengan menggunakan akronim:
PERATURAN DAERAH
KABUPATEN ...
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH (PROLEGDA)
6.
Pada nama Peraturan Perundang–undangan
perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan
Perundang-undangan yang diubah.
Contoh:
a. UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN
2008 TENTANG PARTAI
POLITIK
b. PERATURAN
DAERAH KABUPATEN JAYAPURA
NOMOR 14 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH
NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
7. Jika Peraturan Perundang–undangan
telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas
disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah
dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya.
Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
24 TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN
KEUANGAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Contoh Peraturan Daerah:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
NOMOR 3 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH
NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA
KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
8.
Jika Peraturan Perundang–undangan yang diubah
mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang–undangan perubahan dapat
menggunakan nama singkat Peraturan Perundang–undangan yang diubah.
9.
Pada nama Peraturan Perundang–undangan
pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan judul Peraturan
Perundang–undangan yang dicabut.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2010
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG
NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Contoh Peraturan Daerah:
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
NOMOR 4 TAHUN 2010
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN
SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI IZIN
TRAYEK DAN IZIN ANGKUTAN KHUSUS DI PERAIRAN
DARATAN LINTAS KABUPATEN ATAU KOTA
10.
Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata
penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan
diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang.
Contoh:
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG–UNDANG
11.
Pada nama Peraturan Perundang–undangan
pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional, ditambahkan kata
pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan
disahkan.
Contoh:
UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN
(AGREEMENT BETWEEN THE
REPUBLIC OF INDONESIA AND
AUSTRALIA ON THE
FRAMEWORK FOR SECURITY COOPERATION)
12.
Jika dalam perjanjian
atau persetujuan internasional bahasa Indonesia digunakan sebagai salah satu
teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Indonesia,
yang diikuti oleh bahasa asing dari teks resmi yang ditulis dengan huruf cetak
miring dan diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2010
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN
ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
REPUBLIK SINGAPURA
TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT
WILAYAH KEDUA NEGARA DI
BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA, 2009
(TREATY BETWEEN THE
REPUBLIC OF INDONESIA AND THE
REPUBLIC OF SINGAPORE
RELATING DELIMITATION OF THE
TERRITORIAL SEAS OF THE
TWO COUNTRIES IN THE WESTERN PART
OF THE STRAIT OF
SINGAPORE, 2009)
13.
Jika dalam perjanjian
atau persetujuan internasional, bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks
resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Inggris dengan
huruf cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang
diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
UNDANG–UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2009
TENTANG
PENGESAHAN UNITED
NATIONS CONVENTION AGAINST
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA–BANGSA MENENTANG TINDAK
PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)
B.
PEMBUKAAN
14.
Pembukaan Peraturan Perundang–undangan
terdiri atas:
a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
b. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
c. Konsiderans;
d. Dasar Hukum; dan
e. Diktum.
B.1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
15.
Pada pembukaan tiap jenis Peraturan
Perundang–undangan sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan
dicantumkan Frasa Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.
B.2.
Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
16.
Jabatan pembentuk Peraturan
Perundang–undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di
tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.
Contoh jabatan pembentuk Undang-Undang:
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Provinsi:
GUBERNUR JAWA BARAT,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kabupaten:
BUPATI GUNUNG KIDUL,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kota:
WALIKOTA DUMAI,
B.3. Konsiderans
17.
Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.
18.
Konsiderans memuat uraian singkat mengenai
pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan
Perundang–undangan.
19.
Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang,
Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur
filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis,
sosiologis, dan yuridis.
- Unsur filosofis
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa
Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Unsur sosiologis menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek.
- Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
Menimbang
:
a. bahwa perekonomian nasional
yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian
nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam
menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu
undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin
terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif;
c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan
perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu
pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan
masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas;
Contoh:
Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 Tahun 2009 tentang Sistem
Kesehatan Daerah
Menimbang: a. bahwa
derajat kesehatan masyarakat yang semakin tinggi merupakan investasi strategis
pada sumber daya manusia supaya semakin produktif dari waktu ke waktu;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu diselenggarakan
pembangunan kesehatan dengan batas-batas peran, fungsi, tanggung jawab, dan
kewenangan yang jelas, akuntabel, berkeadilan, merata, bermutu, berhasil guna
dan berdaya guna;
c. bahwa untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada
semua pihak yang terlibat dalam pembangunan kesehatan, maka diperlukan
pengaturan tentang tatanan penyelenggaraan pembangunan kesehatan;
20.
Pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa
Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat
karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya Peraturan
Perundang–undangan tersebut. Lihat juga Nomor 24.
21.
Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok
pikiran, setiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan
kesatuan pengertian.
22.
Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf
abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan
diakhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh:
Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa ...;
c. bahwa ...;
d. bahwa …;
23.
Jika konsiderans memuat lebih dari satu
pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut:
Contoh 1: Konsiderans Undang-Undang
Menimbang: a.
bahwa…;
b.
bahwa ...;
c. bahwa …;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang ...;
Contoh 2: Konsiderans Peraturan Daerah
Provinsi
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. bahwa ...;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang ...;
24.
Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat
satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan
ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang yang memerintahkan pembentukan
Peraturan Pemerintah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari
Undang–Undang yang memerintahkan pembentukannya. Lihat juga Nomor 19.
Contoh:
Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.
Menimbang: bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan
jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 93, Pasal 101, Pasal 102 ayat (3), Pasal 133 ayat
(5) dan Pasal 136 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas;
25.
Konsiderans Peraturan Presiden cukup memuat
satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan
ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan
Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden tersebut dengan
menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah
yang memerintahkan pembentukannya.
Contoh:
Peraturan Presiden Nomor
28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah
Tanah.
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Kawasan Hutan
Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah;
26.
Konsiderans Peraturan Presiden untuk
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan memuat unsur filosofis, sosiologis, dan
yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Presiden.
27.
Konsiderans Peraturan Daerah cukup memuat satu
pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan
ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan
Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah tersebut dengan
menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah
yang memerintahkan pembentukannya.
Contoh:
Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor 8 Tahun
2010 tentang Hutan Kota
Menimbang : bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002
tentang Hutan Kota perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Hutan Kota;
B.4.
Dasar Hukum
28.
Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
Dasar hukum memuat:
a. Dasar kewenangan
pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
b. Peraturan
Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
29.
Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang
berasal dari DPR adalah Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
30.
Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang
berasal dari Presiden adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
31.
Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang
berasal dari DPR atas usul DPD adalah Pasal 20 dan Pasal 22D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
32.
Jika Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 memerintahkan langsung untuk membentuk Undang-Undang,
pasal yang memerintahkan dicantumkan dalam dasar hukum.
Contoh:
Mengingat: Pasal 15,
Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
33.
Jika materi yang diatur dalam Undang-Undang
yang akan dibentuk merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal tersebut
dicantumkan sebagai dasar hukum.
Contoh 1 (RUU yang berasal dari DPR):
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal
28H ayat (1), ayat (2), ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Contoh 2 (RUU yang berasal dari Presiden):
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat
(2), dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
34.
Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
35.
Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang adalah
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
36.
Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 5 ayat
(1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
37.
Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah
adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
38.
Dasar hukum pembentukan Peraturan Presiden
adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
39.
Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah
adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah.
40.
Jika terdapat Peraturan Perundang–undangan di
bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
memerintahkan secara langsung pembentukan Peraturan Perundang–undangan,
Peraturan Perundang–undangan tersebut dimuat di dalam dasar hukum.
Contoh:
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
Contoh ini terdapat Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik.
41.
Peraturan Perundang–undangan yang digunakan
sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya sama
atau lebih tinggi.
42.
Peraturan Perundang-undangan yang akan
dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, Peraturan
Perundang–undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak
dicantumkan dalam dasar hukum.
43.
Jika jumlah Peraturan Perundang–undangan yang
dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan
tata urutan Peraturan Perundang–undangan dan jika tingkatannya sama disusun
secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
44.
Dasar hukum yang diambil dari pasal atau
beberapa pasal dalam Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal. Frasa Undang–Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir
dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Mengingat: Pasal 5 ayat
(1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
45.
Dasar hukum yang bukan Undang–Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi
cukup mencantumkan jenis dan nama Peraturan Perundang–undangan tanpa
mencantumkan frasa Republik Indonesia.
46.
Penulisan jenis Peraturan Perundang–undangan
dan rancangan Peraturan Perundang–undangan, diawali dengan huruf kapital.
Contoh : Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,
Rancangan Peraturan Presiden, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
47.
Penulisan Undang–Undang dan Peraturan
Pemerintah, dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang
diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh :
Mengingat: 1. …;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5216);
48.
Penulisan Peraturan Presiden tentang
pengesahan perjanjian internasional dan Peraturan Presiden tentang pernyataan
keadaan bahaya dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang
diletakkan di antara tanda baca kurung.
49.
Penulisan Peraturan Daerah dalam dasar hukum
dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota yang diletakkan di antara
tanda baca kurung.
Contoh:
Qanun Kabupaten Aceh Jaya
Nomor 3 Tahun 2010 tentang Susunan dan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat
Daerah Kabupaten Aceh Jaya (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2010
Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2)
50.
Dasar hukum yang berasal dari Peraturan
Perundang–undangan zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu
terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul asli bahasa Belanda dan
dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatsblad yang dicetak miring di
antara tanda baca kurung.
Contoh :
Mengingat: 1. ...;
2. Kitab Undang–Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel,
Staatsblad 1847: 23 );
51.
Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam
nomor berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang–undangan yang berasal
dari zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
52.
Jika dasar hukum memuat lebih dari satu
Peraturan Perundang–undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2,
3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh :
Mengingat: 1. …;
2. …;
3. …;
B.5.
Diktum
53.
Diktum terdiri atas:
a. kata Memutuskan;
b. kata Menetapkan; dan
c. jenis dan nama Peraturan Perundang-undangan.
54.
Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan
huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca
titik dua serta diletakkan di tengah marjin.
55.
Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan
dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin.
Contoh Undang-Undang:
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
56.
Pada Peraturan Daerah,
sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH … (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA … (nama
daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah
marjin.
Contoh:
Peraturan Daerah
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT
dan
GUBERNUR JAWA BARAT
MEMUTUSKAN:
57.
Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata
Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat.
Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda baca titik dua.
58.
Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan
Perundang-undangan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa
Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda baca titik.
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
59.
Jenis dan nama yang tercantum dalam judul
Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Provinsi,
Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda baca titik.
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN.
60.
Pembukaan Peraturan Perundang–undangan
tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, antara
lain Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat, Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Dewan Perwakilan
Daerah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang
setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang-Undang.
C.
BATANG TUBUH
61.
Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan
memuat semua materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam
pasal atau beberapa pasal.
62.
Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh
dikelompokkan ke dalam:
a. ketentuan umum;
b. materi pokok yang diatur;
c. ketentuan pidana (jika diperlukan);
d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan
e. ketentuan penutup.
63.
Pengelompokan materi muatan dirumuskan secara
lengkap sesuai dengan kesamaan materi yang bersangkutan dan jika terdapat
materi muatan yang diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam ruang
lingkup pengaturan yang sudah ada, materi tersebut dimuat dalam bab ketentuan
lain-lain.
64.
Substansi yang berupa sanksi administratif
atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu
bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi
keperdataan.
65.
Jika norma yang memberikan sanksi
administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi
administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari
bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan
sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi
administratif dalam satu bab.
66.
Sanksi administratif dapat berupa, antara
lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda
administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat
berupa, antara lain, ganti kerugian.
67.
Pengelompokkan materi muatan Peraturan
Perundang-undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan
paragraf.
68.
Jika Peraturan Perundangan-undangan mempunyai
materi muatan yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal,
pasal atau beberapa pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika
merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf.
69.
Pengelompokkan materi muatan dalam buku, bab,
bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi.
70.
Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut:
a. bab dengan pasal atau
beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf;
b. bab dengan bagian dan
pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf; atau
c.
bab dengan bagian dan paragraf yang berisi
pasal atau beberapa pasal.
71.
Buku diberi nomor urut dengan bilangan
tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BUKU KETIGA
PERIKATAN
72.
Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan
judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BAB I
KETENTUAN UMUM
73.
Bagian diberi nomor urut dengan bilangan
tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.
74.
Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan
setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal
partikel yang tidak terletak pada awal frasa.
Contoh:
Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan
75.
Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab
dan diberi judul.
76.
Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata
pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel
yang tidak terletak pada awal frasa.
Contoh:
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
77.
Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan
Perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat
yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas.
78.
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan
lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke
dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika
materi muatan yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak
dapat dipisahkan.
79.
Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan
huruf awal kata pasal ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal 3
80.
Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai
acuan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal 34
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal
26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33.
81.
Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
82.
Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab
diantara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda baca titik.
83.
Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma
yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
84.
Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai
acuan ditulis dengan huruf kecil.
Contoh:
Pasal 8
(1) Satu permintaan
pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.
(2) Permintaan pendaftaran
merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa
yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.
85.
Jika satu pasal atau ayat memuat rincian
unsur, selain dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, juga dapat
dirumuskan dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi
Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di
dalam atau di luar negeri.
Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika
dirumuskan sebagai berikut:
Contoh rumusan tabulasi:
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi:
a. Presiden;
b. Wakil Presiden; dan
c. pejabat negara yang lain,
yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
86.
Penulisan bilangan dalam pasal atau ayat
selain menggunakan angka Arab diikuti dengan kata atau frasa yang ditulis
diantara tanda baca kurung.
87.
Jika merumuskan pasal atau ayat dengan bentuk
tabulasi, memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a. setiap rincian harus
dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frasa pembuka;
b. setiap rincian menggunakan
huruf abjad kecil dan diberi tanda baca titik;
c.
setiap frasa dalam rincian diawali dengan
huruf kecil;
d. setiap rincian diakhiri
dengan tanda baca titik koma;
e.
jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur
yang lebih kecil, unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam;
f. di
belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik
dua;
g.
pembagian rincian (dengan urutan makin kecil)
ditulis dengan huruf abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka
Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung
tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; dan
h. pembagian rincian tidak
melebihi 4 (empat) tingkat. Jika rincian melebihi 4 (empat) tingkat, pasal yang
bersangkutan dibagi ke dalam pasal atau ayat lain.
88.
Jika unsur atau rincian dalam tabulasi
dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di
belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
89.
Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan
sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang di letakkan di belakang
rincian kedua dari rincian terakhir.
90.
Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan
sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang
diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
91.
Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi
pada akhir setiap unsur atau rincian.
92.
Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf
b, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) ... .
(2) ...:
a. …;
b. …; (dan, atau,
dan/atau)
c. … .
93.
Jika suatu rincian memerlukan rincian lebih
lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) … .
(2) …:
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. …:
1. ...;
2. …; (dan, atau, dan/atau)
3. … .
94.
Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan
rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan
seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) … .
(2) … .
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. …:
1. …;
2. …; (dan, atau, dan/atau)
3. …:
a) …;
b) …; (dan, atau, dan/atau)
c) … .
95.
Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan
rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan
seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
… .
(1) … .
(2) …:
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. …:
1. …;
2. …; (dan, atau, dan/atau)
3. …:
a) …;
b) …; (dan, atau, dan/atau)
c) … .
1) …;
2) …; (dan, atau, dan/atau)
3) … .
C.1.
Ketentuan Umum
96.
Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu.
Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab,
ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal.
Contoh:
BAB I
KETENTUAN UMUM
97.
Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu
pasal.
98.
Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau
definisi;
b. singkatan atau akronim
yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau
c.
hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku
bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal
atau bab.
Contoh batasan pengertian:
1. Menteri adalah menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
2. Pemerintah Daerah adalah
Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
Kabupaten Mimika.
Contoh definisi:
1.
Spasial adalah aspek
keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya.
2.
Pajak Daerah yang
selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh singkatan:
1. Badan Pemeriksa Keuangan
yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP adalah sistem pengendalian
intern yang diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan dan
pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di
lingkungan Pemerintah Kota Dumai.
Contoh akronim:
1. Asuransi Kesehatan yang
selanjutnya disebut Askes adalah…
2. Orang dengan HIV/AIDS
yang selanjutnya disebut ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada
tahap belum ada gejala maupun yang sudah ada gejala.
99.
Frasa pembuka dalam ketentuan umum
undang-undang berbunyi:
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
100.
Frasa pembuka dalam ketentuan umum peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis
peraturannya.
101.
Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian
atau definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing
uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital
serta diakhiri dengan tanda baca titik.
102.
Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan
umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal
atau beberapa pasal selanjutnya.
103.
Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan
Perundang-undangan dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang
akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi
dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut.
104.
Rumusan batasan pengertian dari suatu
Peraturan Perundang-undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan
Perundang-undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan
materi muatan yang akan diatur.
Contoh 1:
a. Hari adalah hari kalender
(rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas).
b. Hari adalah hari kerja
(rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Contoh 2:
a. Setiap orang adalah orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
b. Setiap orang adalah orang
perseorangan atau badan hukum (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Pemukiman).
105.
Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan
satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu
bab, bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.
106.
Jika suatu batasan pengertian atau definisi
perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka
rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus
sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam
peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
107.
Karena batasan pengertian atau definisi,
singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau
istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak
perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan
jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
108.
Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah
yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum
ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan
maupun dalam lampiran.
109.
Urutan penempatan kata atau istilah dalam
ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur
tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat
lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang
lebih dahulu; dan
c.
pengertian yang mempunyai kaitan dengan
pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
C.2. Materi Pokok yang Diatur
110.
Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung
setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok
yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum.
111.
Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang
lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
Contoh:
a. pembagian berdasarkan hak
atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana:
1. kejahatan terhadap keamanan negara;
2. kejahatan terhadap martabat Presiden;
3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;
4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
5. kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b. pembagian berdasarkan
urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
c.
pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan,
seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
112.
Ketentuan pidana memuat rumusan yang
menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi
norma larangan atau norma perintah.
113.
Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu
diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku
juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan
lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
114.
Dalam menentukan lamanya pidana atau
banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh
tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
115.
Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab
tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang
diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak
ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.
116.
Jika di dalam Peraturan Perundang-undangan
tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam
pasal yang terletak langsung sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi
ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan,
ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi
ketentuan penutup.
117.
Ketentuan pidana hanya dimuat dalam
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
118.
Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan
secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan
pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu
dihindari:
a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan
Perundang-undangan lain. Lihat juga Nomor 98;
Contoh:
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan
Pasal 73
Tindak pidana di bidang Adminstrasi Kependudukan yang dilakukan oleh penduduk,
petugas, dan Badan Hukum diancam dengan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
b. pengacuan
kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari
norma yang diacu tidak sama; atau
c. penyusunan rumusan
sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di dalam norma-norma yang diatur dalam
pasal atau beberapa pasal sebelumnya, kecuali untuk undang-undang mengenai
tindak pidana khusus.
119.
Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun,
subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang.
Contoh:
Pasal 81
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik
orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi
dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
120.
Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi
subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing,
pegawai negeri, saksi.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 143
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam
pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka
sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
Contoh 2:
Peraturan Daerah Kota
Sawahlunto Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pajak Hiburan
Wajib Pajak yang dengan
sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak 4 (empat) kali
jumlah pajak yang terutang.
121.
Sehubungan adanya
pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan
secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai
pelanggaran atau kejahatan.
Contoh:
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 33
(1) Setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal …, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama … atau pidana denda paling banyak Rp…,00
(2) Tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
122.
Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan
secara tegas kualifikasi pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif,
atau kumulatif alternatif.
a. Sifat kumulatif:
Contoh:
Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang
bersifat sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
b. Sifat alternatif:
Contoh:
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan
penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
c. Sifat kumulatif alternatif:
Contoh:
Dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.
123.
Perumusan dalam ketentuan
pidana harus menunjukkan dengan jelas unsur-unsur perbuatan pidana bersifat
kumulatif atau alternatif.
124.
Jika suatu Peraturan
Perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan,
ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal
1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan
pidana tidak boleh berlaku surut.
Contoh:
Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari
1976, kecuali untuk ketentuan pidananya.
125.
Ketentuan pidana bagi
tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat
tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi cukup
mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi,
misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
126.
Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan
atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi dijatuhkan kepada:
a. badan hukum antara
lain perseroan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi; dan/atau
b. pemberi perintah untuk
melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan
tindak pidana.
C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
127.
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian
pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya
kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c.
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang
terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang
bersifat transisional atau bersifat sementara.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
Pasal 35
Perjanjian Internasional, baik bilateral, regional,
maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh
Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya perjanjian tersebut.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar
Pasal 18
Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan
Daerah ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin.
Contoh 3:
Peraturan Daerah Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 10
Tahun 2009 tentang Pemeliharaan Kesehatan Hewan
Pasal 38
Orang atau Badan yang telah memiliki izin usaha
pemeliharaan kesehatan hewan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah
ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun harus
menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini.
128.
Ketentuan Peralihan dimuat dalam Bab
Ketentuan Peralihan dan ditempatkan di antara Bab Ketentuan Pidana dan Bab
Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan
pengelompokan bab, pasal atau beberapa pasal yang memuat Ketentuan Peralihan
ditempatkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang memuat ketentuan penutup.
129.
Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
baru, dapat dimuat ketentuan mengenai penyimpangan sementara atau penundaan
sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara
Pasal 27
Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya
Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya
Kementerian berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2008 tentang
Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan serta Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah
Pasal 44
(1)
… .
(2)
Sebelum RPJMD ditetapkan,
penyusunan RKPD berpedoman kepada RPJMD periode sebelumnya.
130.
Penyimpangan sementara
terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan berlaku juga bagi ketentuan
yang diberlakusurutkan.
131.
Jika suatu Peraturan
Perundang-undangan diberlakukan surut, Peraturan Perundang-undangan tersebut hendaknya
memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau
hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku
surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya.
Contoh:
Selisih tunjangan
perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling lambat
3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
132.
Mengingat berlakunya asas
umum hukum pidana, penentuan daya laku surut tidak diberlakukan bagi Ketentuan
Pidana.
133.
Penentuan daya laku surut
tidak dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan yang
memberi beban konkret kepada masyarakat, misalnya penarikan pajak atau
retribusi.
134.
Jika penerapan suatu
ketentuan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan ditunda sementara bagi
tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan
Perundang-undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum
atau hubungan hukum yang dimaksud, serta jangka waktu atau persyaratan
berakhirnya penundaan sementara tersebut.
Contoh:
Izin ekspor rotan
setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor … Tahun ... tentang… masih tetap berlaku untuk jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengundangan Peraturan
Pemerintah ini.
135.
Rumusan dalam Ketentuan Peralihan tidak
memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain.
Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di
dalam Ketentuan Umum Peraturan Perundang-undangan atau dilakukan dengan membuat
Peraturan Perundang-undangan perubahan.
Contoh rumusan yang memuat perubahan terselubung:
Pasal 35
(1) Desa atau yang disebut
nama lainnya yang setingkat dengan desa yang sudah ada pada saat mulai
berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan sebagai desa menurut Pasal 1 huruf a.
C.5. Ketentuan Penutup
136.
Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab
terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan
dalam pasal atau beberapa pasal terakhir.
137.
Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat
ketentuan mengenai:
a. penunjukan organ atau
alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
b. nama singkat Peraturan
Perundang-undangan;
c.
status Peraturan Perundang-undangan yang
sudah ada; dan
d. saat mulai berlaku Peraturan
Perundang-undangan.
138.
Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang
melaksanakan Peraturan Perundang-undangan bersifat menjalankan (eksekutif),
misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan
izin, dan mengangkat pegawai.
139.
Bagi nama Peraturan Perundang-undangan yang
panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. nomor dan tahun
pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan;
b. nama singkat bukan berupa
singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat
dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
140.
Nama singkat tidak memuat pengertian yang
menyimpang dari isi dan nama peraturan.
Contoh nama singkat yang tidak tepat:
(Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan
Tumbuhan) Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina Hewan
141.
Nama Peraturan Perundang-undangan yang sudah
singkat tidak perlu diberikan nama singkat.
Contoh nama singkat yang tidak tepat:
(Undang-Undang tentang Bank Sentral)
Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang
Bank Indonesia.
142.
Sinonim tidak dapat digunakan untuk nama
singkat.
Contoh nama singkat yang tidak tepat:
(Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
Undang-Undang ini dapat disebut dengan Undang-Undang
tentang Peradilan Administrasi Negara.
143.
Jika materi muatan dalam Peraturan
Perundang-undangan yang baru menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh
atau sebagian materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, dalam
Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai
pencabutan seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan Perundang-undangan
yang lama.
144.
Rumusan pencabutan Peraturan
Perundang-undangan diawali dengan frasa Pada saat …(jenis Peraturan Perundang-undangan)
ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan
Perundang-undangan pencabutan tersendiri.
145.
Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan
Perundang-undangan tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas
Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
146.
Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan
yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
147.
Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang
dicabut lebih dari 1 (satu), cara penulisan dilakukan dengan rincian dalam
bentuk tabulasi.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Ordonansi Perburuan (Jachtsordonantie
1931, Staatsblad 1931: 133);
b.
Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar
(Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 134);
c.
Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtsordonantie
Java en Madoera 1940, Staatsblad 1939: 733); dan
d. Ordonansi Perlindungan
Alam (Natuurbeschermingsordonantie 1941, Staatsblad 1941: 167), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
148.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan
disertai dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan
atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
yang dicabut.
149.
Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan
yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frasa ditarik
kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor ... Tahun... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ...
Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) ditarik
kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
150.
Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan
mulai berlaku pada saat Peraturan Perundang-undangan tersebut diundangkan.
Contoh:
a. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
b. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
c. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
151.
Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai
berlakunya Peraturan Perundang-undangan tersebut pada saat diundangkan, hal ini
dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut dengan:
a. menentukan
tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku;
Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus
2011.
b. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan
Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu
kodifikasi, atau kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang lebih rendah
jika yang diberlakukan itu bukan kodifikasi;
Contoh:
Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan
dengan Peraturan Presiden.
c. dengan
menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau
penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frasa setelah
... (tenggang waktu) terhitung sejak tanggal diundangkan.
Contoh:
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal diundangkan.
152.
Tidak menggunakan frasa ... mulai
berlaku efektif pada tanggal ...
atau yang sejenisnya, karena frasa ini menimbulkan ketidakpastian
mengenai saat berlakunya suatu Peraturan Perundang-undangan yaitu saat
diundangkan atau saat berlaku efektif.
153.
Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan
Perundang-undangan adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan
dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau seluruh wilayah Provinsi,
Kabupaten/Kota untuk Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
154.
Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku
Peraturan Perundang-undangan dinyatakan secara tegas dengan:
a. menetapkan ketentuan
dalam Peraturan Perundang-undangan itu yang berbeda saat mulai berlakunya;
Contoh:
Pasal 45
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal… .
b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi
wilayah negara tertentu.
Contoh:
Pasal 40
(1) Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura
pada tanggal….
155.
Pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan
Perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat
pengundangannya.
156.
Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan
Peraturan Perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku
surut), diperhatikan hal sebagai berikut:
a. ketentuan baru yang
berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun
klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
b. rincian mengenai pengaruh
ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat
hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan;
c.
awal dari saat mulai berlaku Peraturan
Perundang-undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan
Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya,
saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas,
Prolegda, dan perencanaan rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
157.
Saat mulai berlaku Peraturan
Perundang-undangan, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada
saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya.
158.
Peraturan Perundang-undangan hanya dapat
dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih
tinggi.
159.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu
dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan
untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan
Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu.
D. PENUTUP
160.
Penutup merupakan bagian akhir Peraturan
Perundang-undangan yang memuat:
a.
rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah
Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota;
b.
penandatanganan pengesahan atau penetapan
Peraturan Perundang-undangan;
c.
pengundangan atau Penetapan Peraturan
Perundang-undangan; dan
d.
akhir bagian penutup.
161.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang
berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan … (jenis Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
162.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang
berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan … (jenis Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
163.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang
berbunyi sebagai berikut:
Contoh Peraturan Daerah Provinsi:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Provinsi Sumatera Barat.
164.
Penandatanganan pengesahan atau penetapan
Peraturan Perundang-undangan memuat:
a. tempat dan tanggal
pengesahan atau penetapan;
b. nama jabatan;
c.
tanda tangan pejabat; dan
d. nama lengkap pejabat yang
menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai.
165.
Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau
penetapan diletakkan di sebelah kanan.
166.
Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan
huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
a. untuk pengesahan:
Contoh:
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
b. untuk penetapan:
Contoh:
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
167.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
memuat:
a. tempat dan tanggal
Pengundangan;
b. nama jabatan yang
berwenang mengundangkan;
c.
tanda tangan; dan
d. nama lengkap pejabat yang
menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai.
168.
Tempat tanggal pengundangan Peraturan
Perundang-undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan
pengesahan atau penetapan).
169.
Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan
huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh:
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
PATRIALIS AKBAR
170.
Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari Presiden tidak menandatangani Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui
bersama antara DPR dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah
nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
171.
Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari Gubernur atau Bupati/Walikota tidak menandatangani Rancangan Peraturan
Daerah yang telah disetujui bersama antara DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang
mengundangkan yang berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
172.
Pada akhir bagian penutup dicantumkan
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau
Berita Daerah Kabupaten/Kota beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi,
Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah
Kabupaten/Kota.
173.
Penulisan frasa Lembaran Negara Republik
Indonesia atau Lembaran Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR...
Contoh:
LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ...NOMOR ...
E. PENJELASAN
174.
Setiap Undang-Undang, Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diberi penjelasan.
175.
Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-Undang (selain Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat
diberi penjelasan jika diperlukan.
176.
Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi
pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh.
Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat
atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.
Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak
boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
177.
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai
dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan
rumusan yang berisi norma.
178.
Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang
isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
179.
Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan
penyusunan rancangan Peraturan Perundang-undangan.
180.
Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan
Perundang-undangan yang diawali dengan frasa penjelasan atas yang ditulis
dengan huruf kapital.
Contoh:
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2011
TENTANG
TRANSFER DANA
181.
Penjelasan Peraturan Perundang-undangan
memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
182.
Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal
demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
I. UMUM
II. PASAL DEMI PASAL
183.
Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis
mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan
Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans,
serta asas, tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang tubuh
Peraturan Perundang-undangan.
184.
Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat
diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan.
Contoh:
I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
...
2. Pembagian Wilayah
…
3. Asas-asas Penyelenggara Pemerintahan
…
4. Daerah Otonom
…
5. Wilayah Administratif
…
6. Pengawasan
…
185.
Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan
ke Peraturan Perundang-undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu
dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.
186.
Rumusan penjelasan pasal demi pasal
memperhatikan hal sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan
materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b. tidak memperluas,
mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh;
c.
tidak melakukan pengulangan atas materi pokok
yang diatur dalam batang tubuh;
d. tidak mengulangi uraian
kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan
umum; dan/atau
e.
tidak memuat rumusan pendelegasian
187.
Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian
atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan.
188.
Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan
penjelasan ditulis frasa cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.)
dan huruf c ditulis dengan huruf kapital. Penjelasan pasal demi pasal tidak
digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan
penjelasan.
Contoh yang tidak tepat:
Pasal 7, Pasal 8 dan
Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9)
Cukup jelas.
Seharusnya:
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
189.
Jika suatu pasal terdiri
dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal yang
bersangkutan cukup diberi penjelasan cukup jelas., tanpa merinci masing-masing
ayat atau butir.
190.
Jika suatu pasal terdiri
dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir tersebut
memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi
dengan penjelasan yang sesuai.
Contoh:
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada
hakim dan para pengguna hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
191.
Jika suatu istilah/kata/frasa dalam suatu
pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…“) pada
istilah/kata/frasa tersebut.
Contoh:
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah
masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
F. LAMPIRAN
192.
Dalam hal Peraturan Perundang-undangan
memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran
dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Perundang-undangan.
193.
Lampiran dapat memuat antara lain uraian,
daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa.
194.
Dalam hal Peraturan Perundang-undangan
memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut
dengan menggunakan angka romawi.
Contoh: LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
195.
Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan
huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca
dengan rata kiri.
Contoh:
LAMPIRAN I
UNDANG–UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR ... TAHUN…
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG–UNDANGAN
196.
Nama lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital yang diletakkan di tengah tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh:
TEKNIK
PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
197.
Pada halaman akhir tiap lampiran harus
dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menetapkan
Peraturan Perundang-undangan ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan di
sudut kanan bawah dan diakhiri dengan tanda baca koma setelah nama pejabat yang
mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang-undangan.
Contoh:
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
BAB II
HAL-HAL KHUSUS
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
198.
Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah.
199.
Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari
suatu Undang-Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah
Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 48
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap
kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
diatur dengan Undang-Undang.
200.
Pendelegasian kewenangan mengatur harus
menyebut dengan tegas:
a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan
b. jenis Peraturan Perundang-undangan.
201.
Jika materi muatan yang didelegasikan
sebagian sudah diatur pokokpokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan
Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih
lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan
kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan … .
Contoh 1:
Pasal…
(1) ... .
(2) Ketentuan lebih
lanjut mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Utara Nomor 87 Tahun
2010 tentang Pajak Reklame
Pasal 18
(1) ... .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan diatur
dengan Peraturan Kepala Daerah.
Contoh 3:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
Sampah Regional Jawa Timur
Pasal 23
(1) … .
(2) … .
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata
cara peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Gubernur.
202.
Jika pengaturan materi muatan tersebut
dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan
lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … .
Contoh:
Pasal…
(1) … .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
203.
Jika materi muatan yang didelegasikan sama
sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan
yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan
mengenai … diatur dengan … .
Contoh:
Pasal…
(1) … .
(2) Ketentuan mengenai …
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
204.
Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan
didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai …
diatur dengan atau berdasarkan… .
Contoh:
Pasal ...
(1) ... .
(2) Ketentuan mengenai … diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
205.
Jika terdapat beberapa materi muatan yang
didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau
ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan,
gunakan kalimat “Ketentuan mengenai … diatur dalam ….”
Contoh:
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan
Pasal 57
(1) … .
(2) … .
(3) … .
(4) … .
(5) … .
(6) … .
(7) Ketentuan mengenai pedoman persyaratan dan tata
cara untuk mendapatkan KIPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Bupati.
206.
Jika terdapat beberapa materi muatan yang
didelegasikan maka materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1
(satu) peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang
mendelegasikan, gunakan kalimat “(jenis Peraturan Perundang-undangan)… tentang
Peraturan Pelaksanaan ...”
Contoh: Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung.
207.
Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari
peraturan pelaksanaan yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu
mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih
lanjut.
Contoh:
Diambil dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan
Pasal 76
(1) ... .
(2) ... .
(3) ... .
(4) ... .
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
208.
Jika pasal terdiri dari beberapa ayat,
pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang
bersangkutan.
209.
Jika pasal terdiri dari beberapa ayat,
pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal
tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa
yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
210.
Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak
boleh adanya delegasi blangko.
Contoh 1:
Pasal…
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini,
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh 2:
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana
Daerah
Pasal 24
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang
pengaturan pelaksanaannya, diatur dengan Peraturan Bupati.
211.
Pendelegasian kewenangan mengatur dari
Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau
pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat
teknis administratif.
212.
Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu
alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat
penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan
kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu.
213.
Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur
jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat.
214.
Pendelegasian langsung kepada direktur
jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang.
215.
Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya
hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan
Perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak
dapat dihindari.
216.
Di dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip
kembali rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam Peraturan
Perundang-undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat
dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai
pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut
di dalam pasal atau beberapa pasal atau ayat atau beberapa ayat selanjutnya.
B. PENYIDIKAN
217.
Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di
dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
218.
Ketentuan penyidikan memuat pemberian
kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil kementerian, lembaga pemerintah
nonkementerian, atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap
ketentuan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
219.
Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk
pejabat tertentu sebagai penyidik pegawai negeri sipil diusahakan agar tidak
mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan.
Contoh:
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ...
(nama kementerian atau instansi) dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan
penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang (Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota)
ini.
220.
Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum
ketentuan pidana atau jika dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada
pasal atau beberapa pasal sebelum ketentuan pidana.
C. PENCABUTAN
221.
Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama
yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang-undangan
baru, Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut
Peraturan Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu.
222.
Jika materi dalam Peraturan
Perundang-undangan yang baru menyebabkan perlu penggantian sebagian atau
seluruh materi dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, di dalam Peraturan
Perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan
sebagian atau seluruh Peraturan Perundang-undangan yang lama.
223.
Peraturan Perundang-undangan hanya dapat
dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi.
224.
Pencabutan melalui Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung
kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang
lebih rendah yang dicabut itu.
225.
Jika Peraturan Perundang-undangan baru
mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan,
pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal
dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru, dengan
menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
226.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang
sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan
tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak
berlaku.
227.
Jika pencabutan Peraturan
Perundangan-undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri,
peraturan pencabutan tersebut pada dasarnya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis
dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 1 memuat ketentuan
yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang sudah
diundangkan.
b. Pasal 2 memuat ketentuan
tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang
bersangkutan.
Contoh:
Pasal 1
Undang-Undang Nomor … Tahun ... tentang … (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
228.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang
menimbulkan perubahan dalam Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait,
tidak mengubah Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuali
ditentukan lain secara tegas.
229.
Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan
yang telah dicabut, tetap tidak berlaku, meskipun Peraturan Perundang-undangan
yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
230.
Perubahan Peraturan Perundang-undangan
dilakukan dengan:
a. menyisip atau menambah
materi ke dalam Peraturan Perundang-undangan; atau
b. menghapus atau mengganti
sebagian materi Peraturan Perundang-undangan.
231.
Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat
dilakukan terhadap:
a. seluruh atau sebagian
buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau
b. kata, frasa, istilah,
kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
232.
Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah
mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat
menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
233.
Pada dasarnya batang tubuh Peraturan
Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan
angka Romawi yaitu sebagai berikut:
a. Pasal I memuat judul
Peraturan Perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang
diletakkan di antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang
diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap materi perubahan dirinci
dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
Contoh 1:
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang …
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 6 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut: …
2. Ketentuan ayat (2) dan
ayat (3) Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: …
3. dan seterusnya …
Contoh 2:
Pasal I
Ketentuan Pasal ... dalam Undang-Undang Nomor … Tahun …
tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut: …
b.
Jika Peraturan Perundang-undangan telah
diubah lebih dari satu kali, Pasal I memuat, selain mengikuti ketentuan pada
Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang-undangan
perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung
dan dirinci dengan huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya).
Contoh:
Pasal I
Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor … ) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a.
Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
…);
b.
Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …);
c.
Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor …);
diubah sebagai berikut:
1. Bab V dihapus.
2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
3. dan seterusnya ...
c.
Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai
berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan
dari Peraturan Perundang-undangan perubahan, yang maksudnya berbeda dengan
ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
234.
Jika dalam Peraturan Perundang-undangan
ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab,
bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai
dengan materi yang bersangkutan.
a.
Penyisipan Bab
Contoh:
Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu ) bab,
yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA
INDIKASI GEOGRAFI DAN
INDIKASI ASAL
b. Penyisipan
Pasal:
Contoh:
Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128A
Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat
memerintahkan hasil-hasil pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara
untuk dimusnahkan.
235.
Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari
beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan
angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf
kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung( ).
Contoh:
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua)
ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) … .
(1a)… .
(1b)… .
(2) … .
236.
Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan
dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka
urutan bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan
dengan diberi keterangan dihapus.
Contoh 1:
1. Pasal 16 dihapus.
2. Pasal 18 ayat (2) dihapus
sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) … .
(2) Dihapus . . .
(3) … .
Contoh 2:
Peraturan Daerah tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi
5. Ketentuan Pasal 4 ayat
(1) dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Dihapus.
(2) Dihapus.
(3) Lokasi Pengujian dan
Penguji ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Perhubungan.
237.
Jika suatu perubahan Peraturan
Perundang-undangan mengakibatkan:
a. sistematika Peraturan
Perundang-undangan berubah;
b. materi Peraturan
Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c.
esensinya berubah,
Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih
baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru
mengenai masalah tersebut.
238.
Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah
sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan
Perundang-undangan, sebaiknya Peraturan Perundang-undangan tersebut disusun
kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan, dengan
mengadakan penyesuaian pada:
a. urutan bab, bagian, paragraf,
pasal, ayat, angka, atau butir;
b. penyebutan-penyebutan;
dan
c.
ejaan, jika Peraturan Perundang-undangan yang
diubah masih tertulis dalam ejaan lama.
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI
UNDANG-UNDANG
239.
Batang tubuh Undang-Undang tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi Undang-Undang pada
dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu
sebagai berikut:
a. Pasal 1 memuat Penetapan
Perpu menjadi Undang-Undang yang diikuti dengan pernyataan melampirkan Perpu
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Undang-Undang penetapan tersebut.
b. Pasal 2 memuat ketentuan
mengenai saat mulai berlaku.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4232) ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan melampirkannya
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
240.
Batang tubuh Undang-Undang tentang Pengesahan
Perjanjian Internasional pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis
dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 1 memuat pengesahan
perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah
asli dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
b. Pasal 2 memuat ketentuan
mengenai saat mulai berlaku.
Contoh untuk perjanjian multilateral:
Pasal 1
Mengesahkan Convention on the Prohibition of the
Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their
Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi,
Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya) yang naskah
aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia
sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Contoh untuk perjanjian bilateral yang hanya menggunakan
dua bahasa:
Pasal 1
Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik
Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty
between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in
Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di
Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang–Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih
dari dua bahasa:
Pasal 1
Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang
Melarikan Diri (Agreement between the Government of the Republik of
Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive
Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1977 di Hongkong
yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa
Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
241.
Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi
pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan
Undang-Undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan
internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden.
BAB III
RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
A.
BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
242.
Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada
dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata,
penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa
Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan
kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan
ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara
penulisan.
243.
Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan
antara lain:
a. lugas dan pasti untuk
menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
b. bercorak hemat hanya kata
yang diperlukan yang dipakai;
c.
objektif dan menekan rasa subjektif (tidak
emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud);
d. membakukan makna kata,
ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten;
e.
memberikan definisi atau batasan pengertian
secara cermat;
f.
penulisan kata yang bermakna tunggal atau
jamak selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan
Contoh:
buku-buku ditulis buku
murid-murid ditulis murid
g.
penulisan huruf awal dari kata, frasa atau
istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama
jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ ketatanegaraan, dan
jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan
dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
- Pemerintah
- Wajib Pajak
- Rancangan Peraturan
Pemerintah
244.
Dalam merumuskan ketentuan Peraturan
Perundang–undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah
dimengerti.
Contoh:
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik:
(1) Permohonan beristri lebih
dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
245.
Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya
tidak menentu atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas.
Contoh:
Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas
dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol.
246.
Dalam merumuskan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Contoh kalimat yang tidak baku:
Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut.
Contoh kalimat yang baku:
Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya.
247.
Untuk memberikan perluasan pengertian kata
atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan
kata meliputi.
Contoh:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 58
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. nama dan alamat
percetakan perusahaan yang melakukan pencetakan blanko;
b. jumlah blanko yang
dicetak; dan
c.
jumlah dokumen yang diterbitkan.
248.
Untuk mempersempit pengertian kata atau
isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata
tidak meliputi.
Contoh:
Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.
249.
Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa
yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam
penggunaan bahasa sehari-hari.
Contoh:
Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan
perikanan.
Rumusan yang baik:
Pertanian meliputi perkebunan.
250.
Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang sama,
tidak menggunakan:
a.
beberapa istilah yang berbeda untuk
menyatakan satu pengertian yang sama.
Contoh:
Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan
pengertian penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal
telah digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan menggunakan
kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan.
b.
satu istilah untuk beberapa pengertian yang
berbeda.
Contoh:
Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi
pengertian penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama
dengan pengertian pengamanan.
251.
Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat
lain, tidak boleh menggunakan frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi,
atau tanpa menyimpang dari.
252.
Untuk menghindari perubahan nama kementerian,
penyebutan menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada urusan
pemerintahan dimaksud.
Contoh:
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
253.
Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa
asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa
Indonesia dapat digunakan jika:
a. mempunyai konotasi yang
cocok;
b. lebih singkat bila
dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia;
c.
mempunyai corak internasional;
d. lebih mempermudah
tercapainya kesepakatan; atau
e.
lebih mudah dipahami daripada terjemahannya
dalam Bahasa Indonesia.
Contoh:
1. devaluasi (penurunan nilai uang)
2. devisa (alat pembayaran luar negeri)
254.
Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa
asing hanya digunakan di dalam penjelasan Peraturan Perundang–undangan. Kata,
frasa, atau istilah bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa
Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda baca kurung ( ).
Contoh:
1. penghinaan terhadap
peradilan (contempt of court)
2. penggabungan (merger)
B. PILIHAN KATA ATAU
ISTILAH
255.
Gunakan kata paling,
untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman
pidana atau batasan waktu.
Contoh:
… dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Contoh untuk Perda:
… dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
256.
Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi
satuan:
a. waktu, gunakan frasa
paling singkat atau paling lama untuk menyatakan jangka waktu;
Contoh 1:
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan
paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Contoh 2:
Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas
rancangan undang-undang bersama DPR dalam waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak surat Pimpinan DPR diterima.
b.
waktu, gunakan frasa paling lambat atau
paling cepat untuk menyatakan batas waktu.
Contoh:
Surat permohonan izin usaha disampaikan kepada dinas
perindustrian paling lambat tanggal 22 Juli 2011.
c.
jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit
atau paling banyak;
d. jumlah non-uang, gunakan
frasa paling rendah dan paling tinggi.
257.
Untuk menyatakan makna tidak termasuk,
gunakan kata kecuali. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang
dikecualikan adalah seluruh kalimat.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 29
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak
Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata
maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini.
258.
Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang
suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 1
....
38. Penumpang adalah
setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak alat angkut.
259.
Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata
selain.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
Pasal 77
(1) Selain penyelenggaraan
RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui
media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya
yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi
dalam rapat.
260.
Untuk menyatakan makna pengandaian atau
kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frasa dalam hal.
a. Kata jika digunakan untuk
menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka).
Contoh:
Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 41
(3) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR
segera menyelenggarakan sidang paripurna
MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden.
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan
hubungan kausal yang mengandung waktu.
Contoh:
Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti
dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa
jabatannya.
c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan,
keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola
kemungkinan-maka).
Contoh:
Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh
Wakil Ketua.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
Pasal 33
(2) Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri
tidak mencukupi atau tidak tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang
berasal dari luar negeri.
261.
Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan
suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik
Pasal 59
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan atau ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib
disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua)
tahun.
262.
Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan
kata dan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos
Pasal 30
Penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan,
dan keselamatan kiriman.
263.
Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan
kata atau.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara
Pasal 19
(1) Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau
penggabungan kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang
Keprotokolan
Pasal 22
(2) Dalam hal tidak ada korps musik atau genderang
dan/atau sangkakala pengibaran atau penurunan bendera negara diiringi dengan
lagu kebangsaan oleh seluruh peserta upacara.
264.
Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus
alternatif, gunakan frasa dan/atau.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan
Pasal 69
(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan
jasa laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan
pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di
pusat jasa kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan
Pasal 31
(2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.
penghormatan dengan bendera negara;
b.
penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau
c.
bentuk penghormatan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
265.
Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan
kata berhak.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 72
(1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani
demi kepentingan bangsa dan negara.
266.
Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada
seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Pasal 313
(1) Menteri berwenang menetapkan program penegakan
hukum dan mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan.
267.
Untuk menyatakan sifat diskresioner dari
suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata
dapat.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara
Pasal 90
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau
seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan
operasi produksi.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 28
(2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan
pelaporan sendiri terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya
sendiri dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang
lain.
268.
Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang
telah ditetapkan, gunakan kata wajib.
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan
dijatuhi sanksi.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 8
(1) Setiap orang yang masuk atau ke luar Wilayah
Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 17
(1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK.
269.
Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau
persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak
dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan
didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik
Pasal 6
(1) Untuk mendapatkan
izin menjadi Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat tanda
lulus ujian profesi akuntan publik yang sah;
b. berpengalaman praktik
memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
c.
berdomisili di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
d. memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak;
e.
tidak pernah dikenai sanksi administratif
berupa pencabutan izin Akuntan Publik;
f.
tidak pernah dipidana yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g.
menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan
Publik yang ditetapkan oleh Menteri; dan
h. tidak berada dalam
pengampuan.
270.
Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan
kata dilarang.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman
Pasal 135
Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya
atas rumah umum kepada pihak lain.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 2
Tahun 2010 tentang Izin Usaha Perikanan dan Tanda Pencatatan Kegiatan Perikanan
Pasal 11
(1) Setiap pemegang IUP atau TPKP dilarang:
a. melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat
terlarang seperti bahan kimia, bahan peledak, obat bius, arus listrik, dan
menggunakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring kurang 2,5 cm atau alat
tangkap dengan ukuran mata bilah kurang dari 1 cm.
C.
TEKNIK PENGACUAN
271.
Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu
kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk
menghindari pengulangan rumusan digunakan teknik pengacuan.
272.
Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk
pasal atau ayat dari Peraturan Perundang–undangan yang bersangkutan atau
Peraturan Perundang–undangan yang lain dengan menggunakan frasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal … atau sebagaimana dimaksud pada ayat… .
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 72
(1) Kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, penyelenggara
mengadakan koordinasi dengan instansi vertikal dan lembaga pemerintah
nonkementerian.
(2) Koordinasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan aspek perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan
administrasi kependudukan.
273.
Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal,
ayat, atau huruf yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat
demi ayat, atau huruf demi huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan
frasa sampai dengan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan
hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial
Pasal 57
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah
Pasal 37
(3) ...
f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
274.
Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau
ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan,
pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh:
a. Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim,
kecuali Pasal 7 ayat (1).
b. Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi tahanan,
kecuali ayat (4) huruf a.
275.
Kata pasal ini tidak perlu digunakan jika
ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh:
Rumusan yang tidak tepat:
Pasal 8
(1) … .
(2) Izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam puluh) hari.
276.
Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan
dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada),
kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil.
Contoh:
Pasal 15
(1)
… .
(2)
… .
(3)
Izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3)
diajukan kepada Menteri Pertambangan.
277.
Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan
secara singkat materi pokok yang diacu.
Contoh:
Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 diberikan oleh … .
278.
Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan
Perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
279.
Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang
terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang
Pasal 15
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
280.
Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara
tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal
yang terdahulu atau pasal tersebut di atas.
281.
Pengacuan untuk menyatakan berlakunya
berbagai ketentuan Peraturan Perundang–undangan yang tidak disebutkan secara
rinci, menggunakan frasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang–undangan.
282.
Untuk menyatakan peraturan pelaksanaan dari
suatu Peraturan Perundang–undangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang–undangan, gunakan frasa
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam … (jenis Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan) ini.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
283.
Jika Peraturan Perundang-undangan yang
dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian dari ketentuan Peraturan
Perundang–undangan tersebut, gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali …
.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun … Nomor … , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dinyatakan
tetap berlaku, kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
284.
Naskah Peraturan Perundang-undangan diketik
dengan jenis huruf Bookman Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas
F4.
BAB IV
BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN
A. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
…
(Nama Undang–Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG … (nama Undang–Undang).
BAB I
…
Pasal 1
…
BAB II
…
Pasal…
BAB … (dan seterusnya)
Pasal…
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal …
MENTERI
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…
B. RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG–UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …TAHUN…
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN …
TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1.
...;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN ... TENTANG … MENJADI
UNDANG–UNDANG.
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang …
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ... , Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor …) ditetapkan menjadi Undang–Undang dan
melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal …
MENTERI
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidanghukum),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…
C. RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG
TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGESAHAN KONVENSI…
(bahasa asli perjanjian
internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan
bahasa Indonesia sebagai
terjemahannya)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI …
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi
dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya).
Pasal 1
(1) Mengesahkan Konvensi …
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan
bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) … dengan Reservation (Pensyaratan)
terhadap Pasal ... tentang… .
(2)
Salinan naskah asli Konvensi … (bahasa asli
perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa
Indonesia sebagai terjemahannya) … dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap
Pasal ... tentang … dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang–Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal …
MENTERI
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR ..
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG – UNDANG
NOMOR … TAHUN … TENTANG …
(untuk perubahan pertama )
atau
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ...
( untuk perubahan kedua, dan seterusnya )
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... .
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor ... Tahun … tentang …
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … ) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal ... ( bunyi rumusan tergantung keperluan ), dan
seterusnya.
Pasal II
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal …
MENTERI
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG– UNDANG
UNDANG–UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN …
TENTANG … (Nama Undang–Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1.
…;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG
NOMOR … TAHUN … TENTANG ... .
Pasal 1
Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang–Undang
yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi
Undang–Undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal…
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan di Jakarta
pada
tanggal …
MENTERI
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…
F. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN… TENTANG …
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1.
…;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN … TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG
…
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor …
Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun …. Nomor ...,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah
berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai
berlaku).
Pasal 2
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan di Jakarta
pada
tanggal …
MENTERI
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…
G. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN …..
TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1.
…;
2. …;
3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
TENTANG … (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang).
BAB I
…
Pasal 1
BAB II
...
Pasal…
BAB
(dan seterusnya)
Pasal 2
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal …
MENTERI
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…
H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(Nama Peraturan Pemerintah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1.
…;
2. …;
3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …. (nama Peraturan
Pemerintah).
BAB I
…
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Pasal…
Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan di Jakarta
pada
tanggal …
MENTERI
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…
I. BENTUK RANCANGAN
PERATURAN PRESIDEN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(Nama Peraturan Presiden)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1.
…;
2. …;
3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG …. (nama Peraturan
Presiden).
BAB I
…
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Pasal…
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal …
MENTERI
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…
J.
BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI
PERATURAN MENTERI … REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(Nama Peraturan Menteri)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI …REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1.
…;
2. …;
3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI … TENTANG …. (nama Peraturan
Menteri).
BAB I
…
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Pasal…
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI ... REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal …
MENTERI
(yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum),
tanda tangan
NAMA
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR…
K.
BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
PERATURAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi)
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(nama Peraturan Daerah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR (Nama Provinsi),
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1.
…;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI…
(Nama Provinsi)
dan
GUBERNUR … (Nama Provinsi)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan Daerah)
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
…
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Pasal ...
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Provinsi … (Nama Provinsi).
Ditetapkan di…
pada tanggal …
GUBERNUR … (Nama Provinsi)
tanda tangan
NAMA
Diundangkan
di …
pada
tanggal …
SEKRETARIS
DAERAH PROVINSI… (Nama Provinsi),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN
DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) TAHUN… NOMOR …
L.
BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA… (nama
kabupaten/kota)
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
(nama Peraturan Daerah)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota),
Menimbang: a.
bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1.
…;
2. …;
3. dan seterusnya …;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA …
(nama kabupaten/kota)
dan
BUPATI/WALIKOTA … (nama kabupaten/kota)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan Daerah).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
…
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Pasal…
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten/Kota … (nama kabupaten/kota).
Ditetapkan di…
pada tanggal …
BUPATI/WALIKOTA … (nama
kabupaten/kota),
tanda tangan
NAMA
Diundangkan
di …
pada
tanggal …
SEKRETARIS
DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota),
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN
DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota) TAHUN … NOMOR …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
www.djpp.kemenkumham.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar