Kamis, 30 Desember 2010

PERSPEKTIF FUTURISTIK PANCASILA SEBAGAI ASAS/IDEOLOGI DALAM UU KEORMASAN

Jurnal Konstitusi Vol. III No. 2, November 2010      ISSN: 1829-7706


PERSPEKTIF FUTURISTIK PANCASILA SEBAGAI ASAS/IDEOLOGI DALAM UU KEORMASAN
Oleh: Dr. Anis Ibrahim,SH.,M.Hum.*

ABSTRAK
UU Keormasaan Tahun 1985 yang di dalamnya memuat ketentuan bahwa setiap ormas wajib mencantumkan Pancasila sebagai satu-satu asas organisasi, kini sudah tidak efektif lagi. Ketidakefektifan ini dikarenakan munculnya kesenyapan dalam memperbincangkan Pancasila dalam perspektif pencarian solusi atas permasalahan bangsa serta ada keengganan pemerintah untuk menegakkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ormas. Oleh karena itu, UU tersebut sudah pada waktunya untuk diamandemen dengan mengadopsi UU Parpol Tahun 2008 khususnya yang berkaitan dengan posisi Pancasila sebagai asas yang memungkinkan ormas menggunakan asas selain Pancasila dengan ketentuan bahwa asas yang digunakan tidak boleh bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Kata kunci: UU Keormasan, Amandemen, Ideologi Pancasila.
A.     Gema Yang Mengendur
Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru (Orba), sungguh popularitas Pancasila mengalami kemerosotan yang luar biasa. Kecuali sekedar dilafalkan pada upacara hari senin di sekolah, peringatan hari besar RI, dan setahun sekali di awal bulan Juni, selebihnya Pancasila nyaris dilupakan orang. Maka tidak berlebihan jika Ketua Mahkamah Konsitusi, Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa “gema Pancasila sudah sangat mengendur” di era reformasi ini.[1]
Padahal, Pancasila di era Orba memiliki kedigdayaan yang luar biasa. Hampir setiap nafas bangsa ini tidak luput dari hembusan Pancasila. Mulai dari dijadikan bahan pidato para pejabat, alat sanjungan, hingga dijadikan sarana dan tameng untuk menjatuhkan lawan politik. Orang Indonesia belum dianggap sebagai Pancasilais sejati jika belum mengikuti Penataran P4. Tempat strategis selalu ada tetenger Pancasila ini, dan masih banyak contoh lainnya.
Coba sekarang diamati, siapa kira-kira yang saat ini masih getol membicarakan,  mengelaborasi, dan mengekplorasi bahkan mungkin “berjibaku mengekploitasi” Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan di Indonesia. Nyaris banyak yang alergi dengan Pancasila. Bisa jadi banyak yang merasa malu dan risih jika membicarakan Pancasila, karena khawatir akan muncul anggapan bahwa orang demikian ini termasuk ahli waris Orba yang selalu meneriakkan Pancasila namun perilakunya sarat dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).[2]
Kesenyapan mendialogkan Pancasila dalam pentas keseharian semakin terasakan pada akhir-akhir ini ketika organisasi kemasyarakatan (ormas) mau pun partai politik (Parpol) kehilangan gairah untuk mengkaitkan Pancasila dalam berbagai hal aspek kehidupan. Dalam situasi yang demikian ini, bahkan ada beberapa organisasi yang tidak lagi mendasarkan dirinya pada Pancasila sebagai asas dan ideologi institusinya. Sebut misalnya, Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu Ormas yang tidak berasaskan Pancasila.[3] Bagaimana dengan ormas lainnya? Apakah masih konsisten menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas?
Padahal, UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan hingga kini belum dicabut. Dalam Konsideran d, Pasal 2 dan Penjelasannya, secara tegas dirumuskan bahwa Ormas harus memegang teguh Pancasila sebagai satu-satunya asas. Jika tidak menggunakan asas Pancasila, Pemerintah melalui Pasal 15 dapat membubarkan ormas yang bersangkutan.
Meskipun UU produk Orba itu belum dicabut, tampaknya di era demokrasi dan otonomi daerah saat ini pemerintah enggan untuk kembali menerapkannya. Statemen pemerintah beberapa saat lalu yang akan membubarkan ormas yang anarkis dan tidak berasaskan Pancasila ternyata hanya berhenti pada statemen. Bolehlah hal ini dikatakan bahwa negara dan hukum yang mengatur tentang keormasan telah mandul ataukah ada kesengajaan untuk dimandulkan.
UU Keormasan Tahun 1985 yang sudah tidak efektif lagi dalam mengatur dan menertibkan ormas yang tidak menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas tampaknya mendesak untuk diamandemen. Argumentasinya adalah  bahwa sebagai negara hukum, pemerintah Indonesia tidak bisa membiarkan ormas berjalan sendiri-sendiri tanpa ada ketentuan baku yang pasti dan berkeadilan bagi semuanya.

B.     Pancasila sebagai Dasar Negara
Bernard Arief Sidharta menyimpulkan bahwa Negara Indonesia yang akan diwujudkan oleh bangsa Indonesia adalah Negara Pancasila dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Negara Pancasila adalah negara hukum, (2) Negara Pancasila itu adalah negara demokrasi yang dalam keseluruhan kegiatan kenegaraannya selalu terbuka bagi partisipasi seluruh rakyat, (3) Negara Pancasila adalah organisasi seluruh rakyat yang menata diri secara rasional dan dalam kebersamaan berikhtiar dalam kerangka dan melalui tatanan kaidah hukum yang berlaku, mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat dengan selalu mengacu pada nilai-nilai martabat manusia dan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]
Secara konstitusional, Pancasila tersebut terumus dalam alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945, yakni: “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Keberadaan Pancasila yang telah terumus secara pasti dalam UUD Tahun 1945 dengan iringan berbagai rumusan gagasan/konsepsi tentang fungsi Pancasila tersebut pada kenyataannya masih terus mengalami pematangan melalui berbagai “gugatan” dari warga negara Indonesia sendiri. Internalisasi Pancasila oleh Orde Baru melalui model penataran - yang ternyata tidak lebih sebagai bentuk indoktrinasi - Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) (dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) yang dilakukan selama lebih kurang duapuluh tahun  dianggap tidak mampu menanamkan nilai-nilai Pancasila secara mendalam apalagi menjadi bagian dari budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.
Akhirnya, pada tahun 1998 di tengah kegandrungan reformasi yang sedang begulir, bangsa Indonesia melalui MPR melakukan evaluasi dan menyimpulkan bahwa Penataran P4 telah gagal. Kemudian Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 tersebut dicabut melalui Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketatapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara.
Setelah terbitnya Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tersebut, untuk saat ini kedudukan Pancasila adalah sebagai asas/dasar negara. Hal ini jelas dan tegas termaktub dalam Pasal 1 Ketetapan MPR tersebut yang berbunyi sebagai berikut: “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 adalah dasar negara (huruf tebal, penulis) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara”. Masalahnya adalah bagaimana kini bangsa Indonesia harus melaksanakan Pancasila secara konsisten tersebut, ternyata tidak ada penjelasan konsepsional maupun yuridis konstitusionalnya.
Ketiadaan konsep yang dapat dijadikan pedoman dalam memahami dan melaksanakan Pancasila baik sebagai dasar negara mau pun sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bermasyarakat Indonesia bisa menimbulkan kerumitan-kerumitan tersendiri. Apakah hanya dengan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara melalui sebuah Ketetapan MPR berarti Pancasila akan mampu menjadi pedoman menyelesaikan berbagai persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan? Barang tentu tidak demikian. Sebuah tantangan bagi bangsa saat ini untuk mampu memberikan rumusan konsepsional dan bahkan operasional yang sesuai dengan nilai dan semangat Pancasila sebagai dasar negara tersebut.  

C.    Pancasila sebagai Rechtsidee
Dengan mengunakan perspektif Hans Nawiasky, Pancasila merupakan  Staatsfundamentalnorm – yang diterjemahkan A. Hamid S. Attamimi sebagai “Norma Fundamental Negara” – adalah norma hukum tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum. Staatsfundamentalnorm sebagai norma tertinggi suatu negara merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, namun bersifat pre-supposed oleh masyarakat dalam suatu negara, dan merupakan norma hukum bagi bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.[5]
Staatsfundamentalnorm suatu negara merupakan dasar filosofis yang mengandung kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut.[6] Bagi Negara Republik Indonesia, Pancasila adalah staatsfundamentalnorm, dengan argumentasi karena Pancasila merupakan rechtsidee (cita hukum - Attamimi menerjemahkan “cita-cita hukum”)  rakyat Indonesia.[7]
Hasil Seminar “Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional” menyebutkan bahwa “Cita-hukum (rechtsidee) mengandung arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan fikiran dari masyarakat itu sendiri”. Dalam dinamika kehidupan masyarakat, cita hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi), dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, dan penerapan hukum) dan perilaku hukum. Cita-hukum (rechtsidee) Pancasila berintikan:
(1)   Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2)   Penghormatan atas martabat manusia;
(3)   Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara;
(4)   Persamaan dan kelayakan;
(5)   Keadilan sosial;
(6)   Moral dan budi pekerti yang luhur; dan
(7)   Partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan putusan publik.[8] 
A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan “bintang pemandu” yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan yang memberi isi pada tiap-tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif merupakan  kerangka untuk membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut. Terhadap isi peraturan perundang-undangan, sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan merupakan asas hukum umum.[9]
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara sekaligus sebagai cita hukum merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Jika demikian halnya, maka Pancasila dalam tatanan hukum di Indonesia memiliki 2 (dua) dimensi, yaitu (1) sebagai norma kritik, yakni menjadi batu uji bagi norma-norma di bawahnya, dan (2) sebagai bintang pemandu, yang menjadi pedoman dalam pembentukan hukum di bawahnya. Atau yang secara padat dinyatakan Muladi bahwa Pancasila merupakan instrumen dari “Margin of Appreciation doctrine”, yang dalam hal ini Pancasila menjadi acuan parameter bagi penerapan “Margin of Appreciation Doctrine”.[10]

D.    Kehandalan Pancasila sebagai Ideologi
Selama ini telah terwacanakan bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia tidak sekedar sebagai dasar negara saja, namun Pancasila juga sebagai rechtsidee, filosofi dasar dan ideologi bangsa/negara. Sebagai dasar negara, filosofi dasar, dan ideologi bangsa Pancasila sudah “tidak bisa ditawar” lagi. Muladi menyatakan bahwa Pancasila harus dilihat secara utuh sebagai “national guidelines, atau sebagai national standart, norms and principles[11] bagi seluruh perjalanan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat di Indonesia.
Moh. Mahfud MD menegaskan bahwa Pancasila yang rumusannya terdapat dalam Alinea IV Pembukaan UUD Tahun 1945 adalah modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia. Pancasila sangat cocok dengan realitas bangsa Indonesia yang plural. Dengan Pancasila akan menjadi “ruang” bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang semula mungkin saling bertentangan secara diametral.[12] Kesejarahan bangsa Indonesia selama ini tampak selalu gagal untuk menemukan ideologi baru selain Pancasila dalam kerangka untuk menyatukan relitas bangsa yang pluralistik.
Jadi, kata kuncinya utamanya adalah Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia adalah sebagai dasar sekaligus sebagai ideologi. Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang Pancasila sebagai ideologi, pada kesempatan ini layak kiranya jika dibuka-buka kembali ingatan tentang apa itu yang dinamakan ideologi. Uraian secara singkat tentang makna ideologi itu diperlukan agar terdapat kesamaan pandangan tentang apa yang dimaksud dengan ideologi itu.
Sejak diperkenalkan Destutt de Tarcy tahun 1796, istilah ideologi mengalami perkembangan dalam makna semantisnya. Semula ideologi mengandung arti sebagai science of ideas, yang merupakan makna etimologis. Dalam perkembangannya, ideologi berarti cara berpikir tertentu, yang berbeda dengan cara berpikir ilmiah maupun filosofis.[13]
Pada perkembngannya, ideologi tumbuh menjadi sistem keyakinan (belief system) yang sangat berbeda dengan arti semula sebagai science ideas. Ideologi sebagai sistem keyakinan dengan segala kepentingannya tersebut akhirnya menjadi sistem normatif, yang karenanya sering disebut dengan doktrin, ajaran perjuangan yang berdasar pada pandangan hidup atau flsafah hidup.[14] Franz Magnis-Suseno secara padat mengartikan ideologi sebagai “kepercayaan mengenai bagaimana manusia harus hidup dan bagaimana masyarakat seharusnya diatur”.[15]
Menurut M. Sastrapratedja, ideologi adalah seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur. Dengan demikian, ideologi memuat suatu interpretasi, etika, dan retorika. Dalam hal ideologi memuat retorika dikarenakan ia merupakan pernyataan tentang sesuatu kepada seseorang, sehingga ia tidak hanya berdiri dan diam saja, namun “berbuat” sesuatu.[16]
Soerjanto Poespowardojo menyatakan pada hakikatnya ideologi adalah hasil refleksi manusia yang berkat kemampuannnya mengadakan distingsi terhadap kehidupannya. Berdasarkan hal ini tampak bahwa antara ideologi dan kenyataan hidup masyarakat terjadi hubungan dialektis, yakni hubungan yang timbal balik antara keduanya, yang terwujud dalam suatu interaksi, yang pada satu sisi memacu ideologi makin realistis dan di sisi lain mendorong masyarakat makin mendekati bentuk yang ideal. Dengan demikian, ideologi mencerminkan cara berpikir masyarakat sekaligus membentuk masyarakat menuju cita-cita. Ideologi adalah masalah keyakinan pilihan yang jelas, yang membawa komitmen untuk mewujudkannya.[17]
Dari pengertian yang demikian ini, meski kelihatannya ada perbedaan penekanan dalam merumuskan pengertian ideologi, namun pada dasarnya semua pendapat tersebut terdapat segi-segi yang sama. Kesamaannya terletak pada (1) ideologi adalah merupakan sebuah gagasan yang berorientasi futuristik, dan (2) berisi keyakinan yang jelas yang membawa komitmen untuk diwujudkan atau berorientasi pada tindakan. Dengan demikian, ideologi berbeda dengan “pandangan hidup” maupun “filsafat”.
Perbedaan antara ideologi dengan pandangan hidup ialah jika pandangan hidup memberikan orientasi secara global dan tidak bersifat ekplisit, maka ideologi memberikan orientasi yang lebih ekplisit, lebih terarah kepada seluruh sistem masyarakat dalam berbagai aspeknya yang dilakukan dengan cara dan penjelasan yang lebih logis dan sistematis. Oleh karenanya, ideologi lebih siap dalam menghadapi perubahan-perubahan zaman. Meski begitu, pandangan hidup dapat saja menjadi ideologi. Ini berarti pandangan hidup perlu dieksplitisasi lebih lanjut dari prinsip-prinsip dasarnya ke dalam kondisi kekinian dan membersihkannya dari unsur magis agar mampu memberikan orientasi yang jelas dalam mencapai tujuan dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.[18]
Ideologi juga berbeda dengan filsafat. Ideologi memang mengandung nilai-nilai dan pengetahuan filosofis, namun berlaku sebagai sebagai keyakinan yang normatif. Sebaliknya filsafat adalah rangkaian pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematis tentang kenyataannya-kenyataan hidup, termasuk kenyataan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dalam filsafat terungkap pemikiran-pemikiran reflektif yang harus ditanggapi bukan dengan dogmatis, melainkan dengan sikap yang kritis rasional. Dengan demikian, filsafat selalu terbuka terhadap kritikan dan tidak bersifat eksklusif.
Berdasarkan hal demikian, filsafat sangat berguna bagi ideologi dan proses penjabaran ideologis. Melalui pendekatan filosofis dikaji secara mendasar hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat, bangsa, dan negara. Refleksi filosofis membuat ideologi tetap terbuka, tidak eksklusif, dan tidak totaliter, bahkan sebaliknya menjadi dinamis dan tanggap terhadap perubahan dan kemajuan melalui interpretasinya yang objektif, rasional, dan ilmiah. Dengan demikian, ideologi menjadi tetap relevan.[19]
Secara padat Moerdiono menyatakan bahwa ideologi adalah suatu “wawasan yang hendak diwujudkan”. Dengan pengertian demikian, ideologi berkonotasi politik. Ideologi hampir selalu bersumber dari nilai falsafah yang mendahuluinya dan menghubungkannya dengan politik yang menangani dunia nyata yang hendak diubah. Dalam konteks demikian, menurut Moerdiono, politik bisa dikatakan sebagai kebijakan, yang menyangkut asas serta dasar bagaimana mewujudkan ideologi itu dalam alam empiri, khususnya dengan membangun kekuatan yang diperlukan, serta untuk mempergunakan kekuatan itu untuk mencapai tujuan.[20]
Dengan demikian sistem politik dari suatu masyarakat bangsa menjadi penting eksistensinya dalam rangka mewujudkan ideologi. Idealnya, ideologi akan mempengaruhi gerak langkah sistem politik dalam mewujudkan ideologi. Sebab, ia adalah kerangka wawasan yang hendak diwujudkan di alam kenyataan.
Bagi bangsa dan negara Indonesia, ideologi yang paling tepat adalah Pancasila. Kerangka argumentasinya – mengikuti Nurcholish Madjid – adalah bahwa setiap bangsa  mempunyai  “etos”  atau  “suasana  kejiwaan”  yang menjadi kerakteristik utama bangsa itu, termasuk juga Bangsa Indonesia.  Etos  itu  kemudian  dinyatakan  dalam berbagai  bentuk perwujudkan seperti jati diri, kepribadian, ideologi dan seterusnya. Perwujudannya di zaman modern ini adalah dalam bentuk  perumusan formal  yang  sistematik  yang kemudian menghasilkan ideologi. Berkenaan  dengan  bangsa Indonesia,  Pancasila dapat  dipandang  sebagai  perwujudan etos nasional dalam bentuk perumusan formal itu, sehingga sudah sangat  lazim  dan  semestinya bahwa Pancasila disebut sebagai ideologi nasional.[21]
Berdasarkan paparan Nurcholish Madjid tersebut dapat dikemukakan bahwa ideologi bangsa Indonesia adalah sila-sila Pancasila, sebagi hasil rumusan para pendiri bangsa (founding fathers) tentang etos atau suasa kejiwaan bangsa Indonesia. Dalam pernyataan Slamet Sutrisno, Pancasila sebagai ideologi adalah bersendikan nilai-nilai Filsafat Pancasila dalam artian sistem kognitif di satu pihak, dan di pihak lain bersendikan Weltanschauung Pancasila dalam artian sistem normatif.
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menguraikan sebagai berikut:
“Tetapi  Pancasila adalah sebuah ideologi modern. Hal itu tidak saja karena  ia  diwujudkan  dalam  zaman  modern,  tapi  juga lebih-lebih  lagi  karena  ia  ditampilkan  oleh  seorang atau sekelompok orang  dengan  wawasan  modern,  yaitu  para  bapak pendiri  Republik  Indonesia,  dan  dimaksudkan  untuk memberi landasan  filosofis  bersama  (common  philosophycal   ground) sebuah   masyarakat   plural  yang  modern,  yaitu  Masyarakat Indonesia.
Sebagai  produk  pikiran  modern, Pancasila adalah sebuah ideologi yang   dinamis,  tidak  statis,  dan  memang  harus dipandang demikian. Watak  dinamis  Pancasila  itu  membuatnya sebagai  ideologi terbuka …”[22]
Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki fungsi sebagai “nilai-nilai dasar bersama” di mana segenap tingkah laku rakyat dan negara harus mengacu kepadanya. Dalam fungsinya sebagai nilai-nilai dasar bersama inilah Pancasila menetapkan tujuan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang hendak dicapai serta menentukan apa yang baik dan apa yang buruk bagi tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam rangka mencapai tujuan bersama tersebut.[23]
Sebagai sebuah ideologi, Pancasila adalah sebuah gagasan yang berorientasi futuristik yang berisi keyakinan yang jelas yang membawa komitmen untuk diwujudkan atau berorientasi pada tindakan.[24] Namun demikian, ada berbagai kalangan yang mempersoalkan kehandalan Pancasila sebagai ideologi dalam memecahkan persoalan bangsa Indonesia. Misalnya, dalam seminar “Pemahaman Ideologi Pancasila dan Problematika Bangsa serta Solusinya” yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 5 September 2007, ditegaskan bahwa Pancasila sebagai ideologi tidak mampu menyelesaikan berbagai problem kebangsaan. Seminar kemudian mengusulkan agar nilai substansial Pancasila digali kembali agar membumi dengan kondisi bangsa Indonesia.[25]
Adanya Seminar tersebut, dan tentu seminar-seminar lainnya yang tidak sempat diekspos melalui media massa, peringatan Hari Kelahiran Pancasila setiap 1 Juni, tidak  dihapuskannya Pancasila dan Pembukaan UUD Tahun 1945, dalam berbagai upacara kenegaraan dan upacara hari senin di sekolah-sekolah maupun di lembaga-lembaga pemerintahan, menunjukkan bahwa Pancasila masih milik bangsa Indonesia. Ia masih merupakan dasar negara dan ideologi yang selalu mengikuti perjalanan bangsa Indonesia, meski sejak era reformasi tahun 1998 “gema Pancasila sudah mengendur”.
Di tengah mengendurnya gema Pancasila ini, tantangan yang harus dijawab adalah berupa penafsiran kembali dan merumuskannya dalam sebuah kesepakatan tentang posisi Pancasila baik sebagai asas (dasar, landasan, pedoman pokok, vide Penjelasan Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1985) sekaligus sebagai ideologi bangsa. Dalam konteks ini adalah bagaimana meletakkan Pancasila sebagai asas dan ideologi keormasan Indonesia. Hal ini mendesak untuk diketengahkan mengingat pertumbuhan ormas di Indonesia pascatumbangnya Orde berkembang dengan pesat, sementara ditengarai ormas-ormas baru tersebut sudah kurang peduli dengan norma-norma dalam UU No. 8 Tahun 1985 pada satu sisi dan pada sisi bersamaan tampak keengganan negara untuk menerapkan UU tersebut dalam menata kehidupan ormas.

E.     Perspektif Futuristik Pancasila dalam UU Kormasan
Di tengah mengendurnya gema Pancasila dalam berbagai dialog kebangsaan dan aktifitas keormasan, justru terjadi “kemajuan” dan liberalisasi asas dan ideologi bagi partai politik (Parpol) di Indonesia produk reformasi. Hal ini terlihat dari UU No. 2/2008 tentang Parpol yang tidak mewajibkan setiap Parpol untu menggunakan dan mencantumkan secara formal Pancasila sebagai satu-satunya asas. Yang penting adalah asas Parpol tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Perihal tidak perlu dicantumkannya Pancasila secara formal  sebagai asas Parpol  ini dapat dibaca pada bunyi Pasal 9 sebagai berikut:
a.  Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b.   Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c.  Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Model perumusan Pancasila dalam tatanan kehidupan Parpol demikian itu barangkali bisa dibaca sebagai jalan tengah dalam menafsirkan posisi ideologis hubungan antara Parpol dengan Pancasila. Meski tidak ada keharusan Parpol untuk mencantumkan Pancasila sebagai asas Parpol, namun asas dan ciri tertentu yang menjadi dasar perjuangan Parpol niscaya merupakan derivasi Pancasila dan UUD Tahun 1945 yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Melihat perlakukan Parpol yang diberi ruang untuk menentukan asasnya sendiri, barangtentu tidak adil jika Ormas juga tidak diberi ruang yang sama seperti Parpol. Seperti yang sudah dicontohkan di depan, ada ormas yang tidak mencantumkan Pancasila sebagai asasnya ternyata tidak mendapatkan sanksi dari Pemerintah. Padahal menurut UU Keormasan Tahun 1985, ormas yang demikian itu niscaya dibubarkan oleh pemerintah. Namun faktanya pemerintah tidak mengambil tindakan untuk membubarkannya, padahal UU Keormasan hingga kini masih berlaku.
Dengan kondisi seperti ini, patut jika dikatakan bahwa UU Keormasan sudah tidak efektif lagi. Menurut Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya hukum itu tergantung pada lima faktor, yaitu: 1) faktor hukumnya itu sendiri, dalam hal ini berupa undang-undang; 2) faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan 5) faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[26]
Memperhatikan fakta-fakta tentang UU Keormasan yang seharusnya tetap berlaku karena belum dicabut tapi tidak efektif tersebut bisa jadi dikarenakan oleh 3 faktor dari 5 faktor sebagaimana yang dikonstantasi Soekanto tadi. Ketiga faktor tersebut meliputi faktor hukumnya sendiri (yaitu UU Keormasan yang boleh jadi sudah kurang selaras dengan perkembangan nilai dan kesadaran hukum masyarakat), faktor penegak hukum yang tampak enggan menerapkan UU Keormasan, dan faktor masyarakat yang juga tampak enggan menggunakan hukum tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta yakni fakta konstitusi, fakta yuridis, dan fakta empirik dalam dinamika keormasan, maka UU No. 8/1985 sudah pada tempatnya jika diamandemen. Perumusan posisi Pancasila seperti dalam UU No. 2/2008 tersebut tampak cukup menarik untuk diadopsi dalam menata hubungan Pancasila dengan kehidupan ormas Indonesia ke depan. Dasar pertimbangannya adalah:
(1)   Pancasila merupakan modus vivendi dan “ruang” bersama bangsa Indonesia sebagai tempat yang paling niscaya bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang mungkin saling bertentangan;
(2)   Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa adalah berisi gagasan yang berorientasi futuristik yang berisi keyakinan yang jelas yang membawa komitmen untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata;
(3)   Pancasila dengan lima silanya adalah sebagai bintang pemandu sekaligus sebagai norma kritik bagi setiap pokok-pokok perumusan kebijakan dan segala tindakan negara, bangsa, dan masyarakat.
Jadi, daripada UU Keormasan Tahun 1985 seperti macan ompong, maka apakah tidak lebih baik jika diamandemen saja dengan menggunakan model perumusan seperti yang ada dalam UU Parpol Tahun 2008. Ke depan boleh saja Ormas secara formal tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas dan ideologi perjuangannya. Namun, harus ditegaskan bahwa Parpol yang mencantumkan asas, ideologi, dan garis perjuangannya yang bertentangan dengan dan bukan merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD Tahun 1945 harus dibubarkan alias tidak boleh hidup di Indonesia.
*****

DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid S. Attamimi (1981) UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang (kaitan norma hukum ketiganya). Jakarta, 31 Desember 1981.
A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I – PELITA IV)”. Disertasi. Universitas Indonesia, Jakarta.
Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Franz Magnis-Suseno (1999) Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kompas. 6 September 2007.
M. Sastrapratedja (1992) “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai  Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta.
Moerdiono (1992) “Pancasila sebagai Ideologi, Sebuah Renungan Awal”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta.
Moh. Mahfud MD (2007) Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. LP3ES, Jakarta.
Muchyar Yara (2006) “Mencari Model Demokrasi ala Indonesia”. Makalah disampaikan pada Simposium “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan dan Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Jakarta, 8 Agustus 2006.
Muladi (2004) “Menggali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengambangan Ilmu Hukum di Indonesia”. Makalah dalam Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia” yang diselenggarakan IAIN Walisongo dan IKA PDIH Undip, Semarang, 8 Desember 2004.
------- (2005) “Mengali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, Volume 1/nomor 1/April 2005.
Nurcholish Madjid. “Islam Di Indonesia dan Potensinya sebagai Sumber Substansiasi Ideologi dan Etos Nasional” Dalam http://media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/potensiislamn1.html
Slamet Sutrisno (2006) Filsafat dan Ideologi Pancasila. Andi, Yogyakarta.
Soerjanto Poespowardojo (1992) “Pancasila sebagai Ideologi Ditinjau dari Segi Pandangan Hidup Bersama”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta.
Soerjono Soekanto (2005) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. RajaGrafindo Persada, Jakarta

www.kapanlagi.com/h/0000121044.html



* Dr, Anis Ibrahim,SH.,MHum. adalah dosen PNS Dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang,
[1] Moh. Mahfud MD (2007) Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. LP3ES, Jakarta, hal. 5.
[2] Ibid.

[3] www.kapanlagi.com/h/0000121044.html

[4] Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung, hal. 48.
[5] A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I – PELITA IV)”. Disertasi. Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 359 dan seterusnya. Lihat dalam Ibid. hal. 43.
[6] A. Hamid S. Attamimi (1981) UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang (kaitan norma hukum ketiganya). Jakarta, 31 Desember 1981, hal. 4. Lihat dalam Ibid. hal. 4.
[7] Ibid. hal. 310.
[8] Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi tentang …. Op.Cit. hal 185.
[9] A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan …”. Op.Cit. hal. 308.
[10] Muladi (2005) “Mengali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, Volume 1/nomor 1/April 2005, hal 35.
[11] Muladi (2004) “Menggali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengambangan Ilmu Hukum di Indonesia”. Makalah dalam Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia” yang diselenggarakan IAIN Walisongo dan IKA PDIH Undip, Semarang, 8 Desember 2004, hal, 4.
[12] Moh. Mahfud MD (2007) Op.Cit. hal. 3-5.
[13] Slamet Sutrisno (2006) Filsafat dan Ideologi Pancasila. Andi, Yogyakarta, hal. 41.
[14] Ibid.
[15] Franz Magnis-Suseno (1999) Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 283.
[16] M. Sastrapratedja (1992) “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai  Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegra. BP-7 Pusat, Jakarta, hal. 142.
[17] Soerjanto Poespowardojo (1992) “Pancasila sebagai Ideologi Ditinjau dari Segi Pandangan Hidup Bersama”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Op.Cit. hal. 47-48.
[18] Ibid. hal. 49.
[19] Ibid. hal. 50-51.
[20] Moerdiono (1992) “Pancasila sebagai Ideologi, Sebuah Renungan Awal”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian. Op.Cit. hal. 382.
[21] Nurcholish Madjid. “Islam Di Indonesia dan Potensinya sebagai Sumber Substansiasi Ideologi dan Etos Nasional” Dalam http://media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/potensiislamn1.html
[22] Ibid.
[23]  Muchyar Yara (2006) “Mencari Model Demokrasi ala Indonesia”. Makalah disampaikan pada Simposium “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan dan Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Jakarta, 8 Agustus 2006, hal. 10.
[24] Bandingkan dengan Franz Magnis-Suseno (1999) Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 283; dan M. Sastrapratedja (1992) “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (1992) Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta, hal. 142..
[25] Kompas. 6 September 2007.
[26] Soerjono Soekanto (2005) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 8.