Jurnal Konstitusi Vol. III No. 2, November
2010 ISSN: 1829-7706
PERSPEKTIF FUTURISTIK PANCASILA SEBAGAI ASAS/IDEOLOGI DALAM UU KEORMASAN
Oleh: Dr. Anis Ibrahim,SH.,M.Hum.*
ABSTRAK
UU Keormasaan Tahun 1985 yang di dalamnya
memuat ketentuan bahwa setiap ormas wajib mencantumkan Pancasila sebagai
satu-satu asas organisasi, kini sudah tidak efektif lagi. Ketidakefektifan ini
dikarenakan munculnya kesenyapan dalam memperbincangkan Pancasila dalam
perspektif pencarian solusi atas permasalahan bangsa serta ada keengganan
pemerintah untuk menegakkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ormas. Oleh
karena itu, UU tersebut sudah pada waktunya untuk diamandemen dengan mengadopsi
UU Parpol Tahun 2008 khususnya yang berkaitan dengan posisi Pancasila sebagai
asas yang memungkinkan ormas menggunakan asas selain Pancasila dengan ketentuan
bahwa asas yang digunakan tidak boleh bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Kata
kunci: UU Keormasan, Amandemen, Ideologi Pancasila.
A.
Gema Yang Mengendur
Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru (Orba), sungguh
popularitas Pancasila mengalami kemerosotan yang luar biasa. Kecuali sekedar
dilafalkan pada upacara hari senin di sekolah, peringatan hari besar RI, dan
setahun sekali di awal bulan Juni, selebihnya Pancasila nyaris dilupakan orang.
Maka tidak berlebihan jika Ketua Mahkamah Konsitusi, Moh. Mahfud MD menyatakan
bahwa “gema Pancasila sudah sangat mengendur” di era reformasi ini.[1]
Padahal, Pancasila di era Orba memiliki kedigdayaan yang
luar biasa. Hampir setiap nafas bangsa ini tidak luput dari hembusan Pancasila.
Mulai dari dijadikan bahan pidato para pejabat, alat sanjungan, hingga
dijadikan sarana dan tameng untuk menjatuhkan lawan politik. Orang Indonesia
belum dianggap sebagai Pancasilais sejati jika belum mengikuti Penataran P4.
Tempat strategis selalu ada tetenger Pancasila ini, dan masih banyak contoh
lainnya.
Coba sekarang diamati, siapa kira-kira yang saat ini masih
getol membicarakan, mengelaborasi, dan
mengekplorasi bahkan mungkin “berjibaku mengekploitasi” Pancasila dalam
berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan di Indonesia. Nyaris
banyak yang alergi dengan Pancasila. Bisa jadi banyak yang merasa malu dan
risih jika membicarakan Pancasila, karena khawatir akan muncul anggapan bahwa
orang demikian ini termasuk ahli waris Orba yang selalu meneriakkan Pancasila
namun perilakunya sarat dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).[2]
Kesenyapan mendialogkan Pancasila dalam pentas keseharian
semakin terasakan pada akhir-akhir ini ketika organisasi kemasyarakatan (ormas)
mau pun partai politik (Parpol) kehilangan gairah untuk mengkaitkan Pancasila dalam
berbagai hal aspek kehidupan. Dalam situasi yang demikian ini, bahkan ada beberapa
organisasi yang tidak lagi mendasarkan dirinya pada Pancasila sebagai asas dan
ideologi institusinya. Sebut misalnya, Front Pembela Islam (FPI) adalah salah
satu Ormas yang tidak berasaskan Pancasila.[3]
Bagaimana dengan ormas lainnya? Apakah masih konsisten menjadikan Pancasila
sebagai satu-satunya asas?
Padahal, UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan hingga kini belum dicabut. Dalam Konsideran d, Pasal 2 dan
Penjelasannya, secara tegas dirumuskan bahwa Ormas harus memegang teguh
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Jika tidak menggunakan asas Pancasila,
Pemerintah melalui Pasal 15 dapat membubarkan ormas yang
bersangkutan.
Meskipun UU produk Orba itu belum dicabut, tampaknya di era
demokrasi dan otonomi daerah saat ini pemerintah enggan untuk kembali
menerapkannya. Statemen pemerintah beberapa saat lalu yang akan membubarkan
ormas yang anarkis dan tidak berasaskan Pancasila ternyata hanya berhenti pada
statemen. Bolehlah hal ini dikatakan bahwa negara dan hukum yang mengatur
tentang keormasan telah mandul ataukah ada kesengajaan untuk dimandulkan.
UU Keormasan Tahun 1985 yang sudah tidak efektif lagi dalam
mengatur dan menertibkan ormas yang tidak menggunakan Pancasila sebagai
satu-satunya asas tampaknya mendesak untuk diamandemen. Argumentasinya adalah bahwa sebagai negara hukum, pemerintah Indonesia
tidak bisa membiarkan ormas berjalan sendiri-sendiri tanpa ada ketentuan baku
yang pasti dan berkeadilan bagi semuanya.
B.
Pancasila
sebagai Dasar Negara
Bernard Arief Sidharta menyimpulkan bahwa Negara Indonesia
yang akan diwujudkan oleh bangsa Indonesia adalah Negara Pancasila dengan ciri-ciri
sebagai berikut: (1) Negara Pancasila adalah negara hukum, (2) Negara Pancasila
itu adalah negara demokrasi yang dalam keseluruhan kegiatan kenegaraannya
selalu terbuka bagi partisipasi seluruh rakyat, (3) Negara Pancasila adalah
organisasi seluruh rakyat yang menata diri secara rasional dan dalam
kebersamaan berikhtiar dalam kerangka dan melalui tatanan kaidah hukum yang
berlaku, mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat dengan selalu
mengacu pada nilai-nilai martabat manusia dan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]
Secara konstitusional, Pancasila tersebut terumus dalam alinea
keempat Pembukaan UUD Tahun 1945, yakni: “… maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Keberadaan Pancasila yang telah terumus secara pasti
dalam UUD Tahun 1945 dengan iringan berbagai rumusan gagasan/konsepsi tentang
fungsi Pancasila tersebut pada kenyataannya masih terus mengalami pematangan
melalui berbagai “gugatan” dari warga negara Indonesia sendiri. Internalisasi
Pancasila oleh Orde Baru melalui model penataran - yang ternyata
tidak lebih sebagai bentuk indoktrinasi - Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) (dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) yang dilakukan
selama lebih kurang duapuluh tahun dianggap
tidak mampu menanamkan nilai-nilai Pancasila secara mendalam apalagi menjadi
bagian dari budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di
Indonesia.
Akhirnya, pada tahun 1998 di tengah kegandrungan reformasi
yang sedang begulir, bangsa Indonesia melalui MPR melakukan evaluasi dan menyimpulkan bahwa Penataran
P4 telah gagal. Kemudian Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 tersebut
dicabut melalui Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketatapan
MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai
Dasar Negara.
Setelah terbitnya Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998
tersebut, untuk saat ini kedudukan Pancasila adalah sebagai asas/dasar
negara. Hal ini jelas dan tegas termaktub dalam Pasal 1 Ketetapan MPR tersebut yang
berbunyi sebagai berikut: “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang dasar 1945 adalah dasar
negara (huruf tebal, penulis) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan
secara konsisten dalam kehidupan bernegara”. Masalahnya adalah bagaimana kini
bangsa Indonesia harus melaksanakan Pancasila secara konsisten tersebut,
ternyata tidak ada penjelasan konsepsional maupun yuridis konstitusionalnya.
Ketiadaan konsep yang dapat dijadikan pedoman dalam memahami
dan melaksanakan Pancasila baik sebagai dasar negara mau
pun sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bermasyarakat Indonesia bisa
menimbulkan kerumitan-kerumitan tersendiri. Apakah hanya dengan menegaskan
Pancasila sebagai dasar negara melalui sebuah Ketetapan MPR berarti Pancasila
akan mampu menjadi pedoman menyelesaikan berbagai persoalan negara, bangsa, dan
kemasyarakatan? Barang tentu tidak demikian. Sebuah tantangan bagi bangsa saat
ini untuk mampu memberikan rumusan konsepsional dan bahkan operasional yang
sesuai dengan nilai dan semangat Pancasila sebagai dasar negara tersebut.
C.
Pancasila
sebagai Rechtsidee
Dengan mengunakan perspektif Hans Nawiasky, Pancasila
merupakan Staatsfundamentalnorm – yang diterjemahkan A. Hamid S. Attamimi
sebagai “Norma Fundamental Negara” – adalah norma hukum tertinggi dan merupakan
kelompok pertama dalam hierarki norma hukum. Staatsfundamentalnorm sebagai norma tertinggi suatu negara
merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,
namun bersifat pre-supposed oleh
masyarakat dalam suatu negara, dan merupakan norma hukum bagi bergantungnya
norma-norma hukum di bawahnya.[5]
Staatsfundamentalnorm suatu negara merupakan dasar filosofis yang mengandung kaidah dasar
bagi pengaturan negara lebih lanjut.[6]
Bagi Negara Republik Indonesia,
Pancasila adalah staatsfundamentalnorm, dengan argumentasi karena Pancasila
merupakan rechtsidee (cita hukum -
Attamimi menerjemahkan “cita-cita hukum”)
rakyat Indonesia.[7]
Hasil Seminar “Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan
Asas-Asas Hukum Nasional” menyebutkan bahwa “Cita-hukum (rechtsidee) mengandung arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai
aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan
fikiran dari masyarakat itu sendiri”. Dalam dinamika kehidupan masyarakat, cita
hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding
principle), norma kritik (kaidah
evaluasi), dan faktor yang memotivasi dalam
penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, dan penerapan hukum) dan perilaku
hukum. Cita-hukum (rechtsidee)
Pancasila berintikan:
(1)
Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2)
Penghormatan atas martabat
manusia;
(3)
Wawasan Kebangsaan dan Wawasan
Nusantara;
(4)
Persamaan dan kelayakan;
(5)
Keadilan sosial;
(6)
Moral dan budi pekerti yang luhur;
dan
A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa kelima sila dari
Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita
hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
secara positif merupakan “bintang pemandu” yang memberikan pedoman dan
bimbingan dalam semua kegiatan yang memberi isi pada tiap-tiap peraturan perundang-undangan,
dan secara negatif merupakan kerangka
untuk membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut. Terhadap
isi peraturan perundang-undangan, sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan merupakan asas hukum umum.[9]
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa
Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara
sekaligus sebagai cita hukum merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi
peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Jika demikian halnya,
maka Pancasila dalam tatanan hukum di Indonesia memiliki 2 (dua) dimensi,
yaitu (1) sebagai norma kritik, yakni menjadi batu uji bagi norma-norma di
bawahnya, dan (2) sebagai bintang pemandu, yang menjadi pedoman dalam
pembentukan hukum di bawahnya. Atau yang secara padat dinyatakan Muladi bahwa
Pancasila merupakan instrumen dari “Margin
of Appreciation doctrine”, yang dalam hal ini Pancasila menjadi acuan
parameter bagi penerapan “Margin of
Appreciation Doctrine”.[10]
D.
Kehandalan
Pancasila sebagai Ideologi
Selama ini telah terwacanakan bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia tidak
sekedar sebagai dasar negara saja, namun Pancasila juga sebagai rechtsidee, filosofi dasar dan ideologi
bangsa/negara. Sebagai dasar negara, filosofi dasar, dan ideologi bangsa
Pancasila sudah “tidak bisa ditawar” lagi. Muladi menyatakan bahwa Pancasila harus dilihat secara utuh
sebagai “national guidelines, atau
sebagai national standart, norms and
principles”[11] bagi
seluruh perjalanan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat di Indonesia.
Moh. Mahfud MD menegaskan bahwa Pancasila yang rumusannya
terdapat dalam Alinea IV Pembukaan UUD Tahun 1945 adalah modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia. Pancasila
sangat cocok dengan realitas bangsa Indonesia yang plural. Dengan Pancasila
akan menjadi “ruang” bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang semula
mungkin saling bertentangan secara diametral.[12]
Kesejarahan bangsa Indonesia selama ini tampak selalu gagal untuk menemukan
ideologi baru selain Pancasila dalam kerangka untuk menyatukan relitas bangsa
yang pluralistik.
Jadi, kata kuncinya utamanya adalah Pancasila bagi bangsa
dan negara Indonesia adalah sebagai dasar sekaligus sebagai ideologi. Sebelum
menguraikan lebih lanjut tentang Pancasila sebagai ideologi, pada kesempatan
ini layak kiranya jika dibuka-buka kembali ingatan tentang apa itu yang
dinamakan ideologi. Uraian secara singkat tentang makna ideologi itu diperlukan
agar terdapat kesamaan pandangan tentang apa yang dimaksud dengan ideologi itu.
Sejak diperkenalkan Destutt de Tarcy tahun 1796, istilah
ideologi mengalami perkembangan dalam makna semantisnya. Semula ideologi
mengandung arti sebagai science of ideas,
yang merupakan makna etimologis. Dalam perkembangannya, ideologi berarti cara
berpikir tertentu, yang berbeda dengan cara berpikir ilmiah maupun filosofis.[13]
Pada perkembngannya, ideologi tumbuh menjadi sistem
keyakinan (belief system) yang sangat
berbeda dengan arti semula sebagai science
ideas. Ideologi sebagai sistem keyakinan dengan segala kepentingannya
tersebut akhirnya menjadi sistem normatif, yang karenanya sering disebut dengan
doktrin, ajaran perjuangan yang berdasar pada pandangan hidup atau flsafah
hidup.[14]
Franz Magnis-Suseno secara padat mengartikan ideologi sebagai “kepercayaan
mengenai bagaimana manusia harus hidup dan bagaimana masyarakat seharusnya
diatur”.[15]
Menurut M. Sastrapratedja, ideologi adalah seperangkat
gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisasi
menjadi suatu sistem yang teratur. Dengan demikian, ideologi memuat suatu interpretasi, etika, dan retorika. Dalam hal ideologi memuat
retorika dikarenakan ia merupakan pernyataan tentang sesuatu kepada seseorang,
sehingga ia tidak hanya berdiri dan diam saja, namun “berbuat” sesuatu.[16]
Soerjanto Poespowardojo menyatakan pada hakikatnya ideologi
adalah hasil refleksi manusia yang berkat kemampuannnya mengadakan distingsi
terhadap kehidupannya. Berdasarkan hal ini tampak bahwa antara ideologi dan
kenyataan hidup masyarakat terjadi hubungan dialektis, yakni hubungan yang
timbal balik antara keduanya, yang terwujud dalam suatu interaksi, yang pada
satu sisi memacu ideologi makin realistis dan di sisi lain mendorong masyarakat
makin mendekati bentuk yang ideal. Dengan demikian, ideologi mencerminkan cara
berpikir masyarakat sekaligus membentuk masyarakat menuju cita-cita. Ideologi
adalah masalah keyakinan pilihan yang jelas, yang membawa komitmen untuk
mewujudkannya.[17]
Dari pengertian yang demikian ini, meski kelihatannya ada
perbedaan penekanan dalam merumuskan pengertian ideologi, namun pada dasarnya
semua pendapat tersebut terdapat segi-segi yang sama. Kesamaannya terletak pada
(1) ideologi adalah merupakan sebuah gagasan yang berorientasi futuristik, dan
(2) berisi keyakinan yang jelas yang membawa komitmen untuk diwujudkan atau
berorientasi pada tindakan. Dengan demikian, ideologi berbeda dengan “pandangan
hidup” maupun “filsafat”.
Perbedaan antara ideologi dengan pandangan hidup ialah jika
pandangan hidup memberikan orientasi secara global dan tidak bersifat ekplisit,
maka ideologi memberikan orientasi yang lebih ekplisit, lebih terarah kepada
seluruh sistem masyarakat dalam berbagai aspeknya yang dilakukan dengan cara
dan penjelasan yang lebih logis dan sistematis. Oleh karenanya, ideologi lebih
siap dalam menghadapi perubahan-perubahan zaman. Meski begitu, pandangan hidup
dapat saja menjadi ideologi. Ini berarti pandangan hidup perlu dieksplitisasi
lebih lanjut dari prinsip-prinsip dasarnya ke dalam kondisi kekinian dan
membersihkannya dari unsur magis agar mampu memberikan orientasi yang jelas
dalam mencapai tujuan dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.[18]
Ideologi juga berbeda dengan filsafat. Ideologi memang
mengandung nilai-nilai dan pengetahuan filosofis, namun berlaku sebagai sebagai
keyakinan yang normatif. Sebaliknya filsafat adalah rangkaian pengetahuan
ilmiah yang disusun secara sistematis tentang kenyataannya-kenyataan hidup,
termasuk kenyataan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dalam filsafat terungkap
pemikiran-pemikiran reflektif yang harus ditanggapi bukan dengan dogmatis,
melainkan dengan sikap yang kritis rasional. Dengan demikian, filsafat selalu
terbuka terhadap kritikan dan tidak bersifat eksklusif.
Berdasarkan hal demikian, filsafat sangat berguna bagi
ideologi dan proses penjabaran ideologis. Melalui pendekatan filosofis dikaji
secara mendasar hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat, bangsa, dan negara.
Refleksi filosofis membuat ideologi tetap terbuka, tidak eksklusif, dan tidak
totaliter, bahkan sebaliknya menjadi dinamis dan tanggap terhadap perubahan dan
kemajuan melalui interpretasinya yang objektif, rasional, dan ilmiah. Dengan
demikian, ideologi menjadi tetap relevan.[19]
Secara padat Moerdiono menyatakan bahwa ideologi adalah
suatu “wawasan yang hendak diwujudkan”. Dengan pengertian demikian, ideologi
berkonotasi politik. Ideologi hampir selalu bersumber dari nilai falsafah yang
mendahuluinya dan menghubungkannya dengan politik yang menangani dunia nyata
yang hendak diubah. Dalam konteks demikian, menurut Moerdiono, politik bisa
dikatakan sebagai kebijakan, yang menyangkut asas serta dasar bagaimana
mewujudkan ideologi itu dalam alam empiri, khususnya dengan membangun kekuatan
yang diperlukan, serta untuk mempergunakan kekuatan itu untuk mencapai tujuan.[20]
Dengan demikian sistem politik dari suatu masyarakat bangsa
menjadi penting eksistensinya dalam rangka mewujudkan ideologi. Idealnya,
ideologi akan mempengaruhi gerak langkah sistem politik dalam mewujudkan
ideologi. Sebab, ia adalah kerangka wawasan yang hendak diwujudkan di alam
kenyataan.
Bagi bangsa dan negara Indonesia, ideologi yang paling
tepat adalah Pancasila. Kerangka argumentasinya – mengikuti Nurcholish Madjid – adalah bahwa
setiap bangsa mempunyai “etos”
atau “suasana kejiwaan”
yang menjadi kerakteristik utama bangsa itu, termasuk juga Bangsa Indonesia. Etos
itu kemudian dinyatakan
dalam berbagai bentuk perwujudkan
seperti jati diri, kepribadian, ideologi dan seterusnya. Perwujudannya di zaman
modern ini adalah dalam bentuk perumusan
formal yang sistematik
yang kemudian menghasilkan ideologi. Berkenaan dengan
bangsa Indonesia, Pancasila
dapat dipandang sebagai
perwujudan etos nasional dalam bentuk perumusan formal itu, sehingga
sudah sangat lazim dan
semestinya bahwa Pancasila disebut sebagai ideologi nasional.[21]
Berdasarkan paparan Nurcholish Madjid tersebut dapat
dikemukakan bahwa ideologi bangsa Indonesia
adalah sila-sila Pancasila, sebagi hasil rumusan para pendiri bangsa (founding fathers) tentang etos atau suasa kejiwaan bangsa Indonesia.
Dalam pernyataan Slamet Sutrisno, Pancasila sebagai ideologi adalah bersendikan
nilai-nilai Filsafat Pancasila dalam artian sistem kognitif di satu pihak, dan
di pihak lain bersendikan Weltanschauung
Pancasila dalam artian sistem normatif.
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menguraikan sebagai berikut:
“Tetapi Pancasila adalah sebuah ideologi modern.
Hal itu tidak saja karena ia diwujudkan
dalam zaman modern,
tapi juga lebih-lebih lagi
karena ia ditampilkan
oleh seorang atau sekelompok
orang dengan wawasan
modern, yaitu para
bapak pendiri Republik Indonesia, dan
dimaksudkan untuk memberi
landasan filosofis bersama
(common philosophycal ground) sebuah masyarakat
plural yang modern,
yaitu Masyarakat Indonesia.
Sebagai produk
pikiran modern, Pancasila adalah sebuah ideologi yang dinamis,
tidak statis, dan
memang harus dipandang demikian.
Watak dinamis Pancasila
itu membuatnya sebagai ideologi terbuka …”[22]
Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki
fungsi sebagai “nilai-nilai dasar bersama” di mana segenap tingkah laku rakyat
dan negara harus mengacu kepadanya. Dalam fungsinya sebagai nilai-nilai dasar
bersama inilah Pancasila menetapkan tujuan hidup bersama dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang hendak dicapai serta
menentukan apa yang baik dan apa yang buruk bagi tatanan kehidupan bangsa dan
negara dalam rangka mencapai tujuan bersama tersebut.[23]
Sebagai sebuah ideologi, Pancasila adalah sebuah gagasan
yang berorientasi futuristik yang berisi keyakinan yang jelas yang membawa
komitmen untuk diwujudkan atau berorientasi pada tindakan.[24]
Namun demikian, ada berbagai kalangan yang mempersoalkan kehandalan Pancasila
sebagai ideologi dalam memecahkan persoalan bangsa Indonesia. Misalnya, dalam
seminar “Pemahaman Ideologi Pancasila dan Problematika Bangsa serta Solusinya”
yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 5 September 2007, ditegaskan bahwa
Pancasila sebagai ideologi tidak mampu menyelesaikan berbagai problem
kebangsaan. Seminar kemudian mengusulkan agar nilai substansial Pancasila
digali kembali agar membumi dengan kondisi bangsa Indonesia.[25]
Adanya Seminar tersebut, dan tentu seminar-seminar lainnya
yang tidak sempat diekspos melalui media massa, peringatan Hari Kelahiran
Pancasila setiap 1 Juni, tidak dihapuskannya Pancasila dan Pembukaan UUD
Tahun 1945, dalam berbagai upacara kenegaraan dan upacara hari senin di
sekolah-sekolah maupun di lembaga-lembaga pemerintahan, menunjukkan bahwa
Pancasila masih milik bangsa Indonesia. Ia masih merupakan dasar negara dan
ideologi yang selalu mengikuti perjalanan bangsa Indonesia, meski sejak era
reformasi tahun 1998 “gema Pancasila sudah mengendur”.
Di tengah mengendurnya gema Pancasila ini, tantangan yang
harus dijawab adalah berupa penafsiran kembali dan merumuskannya dalam sebuah
kesepakatan tentang posisi Pancasila baik sebagai asas (dasar, landasan,
pedoman pokok, vide Penjelasan Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1985) sekaligus sebagai
ideologi bangsa. Dalam konteks ini adalah bagaimana meletakkan Pancasila sebagai
asas dan ideologi keormasan Indonesia. Hal ini mendesak untuk diketengahkan
mengingat pertumbuhan ormas di Indonesia pascatumbangnya Orde berkembang dengan
pesat, sementara ditengarai ormas-ormas baru tersebut sudah kurang peduli
dengan norma-norma dalam UU No. 8 Tahun 1985 pada satu sisi dan pada sisi
bersamaan tampak keengganan negara untuk menerapkan UU tersebut dalam menata
kehidupan ormas.
E.
Perspektif Futuristik Pancasila dalam UU Kormasan
Di tengah
mengendurnya gema Pancasila dalam berbagai dialog kebangsaan dan aktifitas
keormasan, justru terjadi “kemajuan” dan liberalisasi asas dan ideologi bagi
partai politik (Parpol) di Indonesia produk reformasi. Hal ini terlihat dari UU
No. 2/2008 tentang Parpol yang tidak mewajibkan setiap Parpol untu menggunakan dan
mencantumkan secara formal Pancasila sebagai satu-satunya asas. Yang penting adalah asas Parpol tidak
boleh bertentangan dengan Pancasila.
Perihal tidak perlu dicantumkannya Pancasila secara formal sebagai asas Parpol ini dapat dibaca pada bunyi Pasal 9 sebagai berikut:
a. Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan
kehendak dan cita-cita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c. Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Model perumusan
Pancasila dalam tatanan kehidupan Parpol demikian itu barangkali bisa dibaca
sebagai jalan tengah dalam menafsirkan posisi ideologis hubungan antara Parpol
dengan Pancasila. Meski tidak ada keharusan Parpol untuk mencantumkan Pancasila
sebagai asas Parpol, namun asas dan ciri tertentu yang menjadi dasar perjuangan
Parpol niscaya merupakan derivasi Pancasila dan UUD Tahun 1945 yang tentu saja
tidak boleh bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Melihat perlakukan
Parpol yang diberi ruang untuk menentukan asasnya sendiri, barangtentu tidak
adil jika Ormas juga tidak diberi ruang yang sama seperti Parpol. Seperti yang
sudah dicontohkan di depan, ada ormas yang tidak mencantumkan Pancasila sebagai
asasnya ternyata tidak mendapatkan sanksi dari Pemerintah. Padahal menurut UU
Keormasan Tahun 1985, ormas yang demikian itu niscaya dibubarkan oleh
pemerintah. Namun faktanya pemerintah tidak mengambil tindakan untuk
membubarkannya, padahal UU Keormasan hingga kini masih berlaku.
Dengan kondisi
seperti ini, patut jika dikatakan bahwa UU Keormasan sudah tidak efektif lagi.
Menurut Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya hukum itu tergantung pada lima
faktor, yaitu: 1) faktor hukumnya itu sendiri, dalam hal ini berupa
undang-undang; 2) faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
yang menerapkan hukum; 3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum; 4) faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan; dan 5) faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta, dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[26]
Memperhatikan
fakta-fakta tentang UU Keormasan yang seharusnya tetap berlaku karena belum
dicabut tapi tidak efektif tersebut bisa jadi dikarenakan oleh 3 faktor dari 5
faktor sebagaimana yang dikonstantasi Soekanto tadi. Ketiga faktor tersebut
meliputi faktor hukumnya sendiri (yaitu UU Keormasan yang boleh jadi sudah
kurang selaras dengan perkembangan nilai dan kesadaran hukum masyarakat),
faktor penegak hukum yang tampak enggan menerapkan UU Keormasan, dan faktor
masyarakat yang juga tampak enggan menggunakan hukum tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta yakni fakta konstitusi, fakta yuridis, dan fakta empirik dalam dinamika
keormasan, maka UU No. 8/1985 sudah pada tempatnya jika diamandemen. Perumusan
posisi Pancasila seperti dalam UU No. 2/2008 tersebut tampak cukup menarik
untuk diadopsi dalam menata hubungan Pancasila dengan kehidupan ormas Indonesia
ke depan. Dasar pertimbangannya adalah:
(1) Pancasila merupakan modus vivendi dan “ruang” bersama bangsa
Indonesia sebagai tempat yang paling niscaya bagi bertemunya kompromi berbagai
kepentingan yang mungkin saling bertentangan;
(2) Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa adalah berisi gagasan yang
berorientasi futuristik yang berisi keyakinan yang jelas yang membawa komitmen
untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata;
(3) Pancasila dengan lima silanya adalah sebagai bintang pemandu
sekaligus sebagai norma kritik bagi setiap pokok-pokok perumusan
kebijakan dan segala tindakan negara, bangsa, dan masyarakat.
Jadi, daripada UU Keormasan Tahun 1985 seperti macan
ompong, maka apakah tidak lebih baik jika diamandemen saja dengan
menggunakan model perumusan seperti yang ada dalam UU Parpol Tahun 2008. Ke
depan boleh saja Ormas secara formal tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas
dan ideologi perjuangannya. Namun, harus ditegaskan bahwa Parpol yang
mencantumkan asas, ideologi, dan garis perjuangannya yang bertentangan dengan
dan bukan merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD Tahun 1945 harus dibubarkan
alias tidak boleh hidup di Indonesia.
*****
DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid S. Attamimi (1981) UUD
1945, TAP MPR, Undang-Undang (kaitan norma hukum ketiganya). Jakarta, 31
Desember 1981.
A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara (Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I – PELITA IV)”. Disertasi. Universitas
Indonesia, Jakarta.
Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi
tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan
Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional
Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Franz Magnis-Suseno (1999) Etika
Politik, Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kompas. 6 September 2007.
M. Sastrapratedja (1992) “Pancasila sebagai
Ideologi dalam Kehidupan Budaya”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta.
Moerdiono (1992) “Pancasila sebagai
Ideologi, Sebuah Renungan Awal”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat,
Jakarta.
Moh. Mahfud MD (2007) Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. LP3ES, Jakarta.
Muchyar Yara (2006)
“Mencari Model Demokrasi ala Indonesia”. Makalah
disampaikan pada Simposium “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi
dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan dan Komisi Ilmu-Ilmu
Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Jakarta, 8 Agustus 2006.
Muladi (2004) “Menggali Kembali Pancasila sebagai
Dasar Pengambangan Ilmu Hukum di Indonesia”. Makalah dalam Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia” yang diselenggarakan IAIN
Walisongo dan IKA PDIH Undip, Semarang, 8 Desember 2004.
------- (2005) “Mengali Kembali Pancasila sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum
Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, Volume
1/nomor 1/April 2005.
Nurcholish Madjid. “Islam Di Indonesia dan Potensinya sebagai Sumber
Substansiasi Ideologi dan Etos Nasional” Dalam http://media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/potensiislamn1.html
Slamet Sutrisno (2006) Filsafat dan Ideologi Pancasila. Andi, Yogyakarta.
Soerjanto Poespowardojo (1992) “Pancasila sebagai Ideologi Ditinjau
dari Segi Pandangan Hidup Bersama”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP-7 Pusat,
Jakarta.
Soerjono Soekanto (2005) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. RajaGrafindo Persada, Jakarta
www.kapanlagi.com/h/0000121044.html
* Dr, Anis Ibrahim,SH.,MHum. adalah
dosen PNS Dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang,
[1] Moh. Mahfud MD (2007) Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. LP3ES, Jakarta, hal. 5.
[2] Ibid.
[3] www.kapanlagi.com/h/0000121044.html
[4] Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi
tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan
Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional
Indonesia. Mandar Maju, Bandung, hal. 48.
[5] A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I – PELITA IV)”. Disertasi. Universitas Indonesia,
Jakarta, hal.
359 dan seterusnya. Lihat dalam Ibid.
hal. 43.
[6] A. Hamid S. Attamimi (1981) UUD
1945, TAP MPR, Undang-Undang (kaitan norma hukum ketiganya). Jakarta, 31 Desember 1981,
hal. 4. Lihat dalam Ibid. hal. 4.
[7] Ibid. hal. 310.
[8] Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi
tentang …. Op.Cit. hal 185.
[9] A. Hamid S. Attamimi (1990) “Peranan …”. Op.Cit. hal. 308.
[10] Muladi (2005) “Mengali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP,
Semarang, Volume 1/nomor 1/April 2005, hal 35.
[11] Muladi (2004) “Menggali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengambangan Ilmu
Hukum di Indonesia”. Makalah dalam
Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia” yang diselenggarakan IAIN Walisongo dan IKA PDIH Undip,
Semarang, 8 Desember 2004, hal, 4.
[12] Moh. Mahfud MD (2007) Op.Cit.
hal. 3-5.
[14] Ibid.
[15] Franz Magnis-Suseno (1999) Etika
Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 283.
[16] M. Sastrapratedja (1992) “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan
Budaya”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegra. BP-7 Pusat, Jakarta, hal. 142.
[17] Soerjanto Poespowardojo (1992) “Pancasila sebagai Ideologi Ditinjau
dari Segi Pandangan Hidup Bersama”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Edt.) Op.Cit. hal. 47-48.
[18] Ibid. hal. 49.
[19] Ibid. hal. 50-51.
[20] Moerdiono (1992) “Pancasila sebagai Ideologi, Sebuah
Renungan Awal”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian. Op.Cit. hal. 382.
[21] Nurcholish Madjid. “Islam Di Indonesia dan Potensinya sebagai Sumber
Substansiasi Ideologi dan Etos Nasional” Dalam http://media.isnet.org/islam/paramadina/konteks/potensiislamn1.html
[22] Ibid.
[23] Muchyar
Yara (2006) “Mencari Model Demokrasi ala Indonesia”. Makalah disampaikan pada Simposium “Membangun Negara dan
Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan dan Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Jakarta, 8 Agustus 2006, hal. 10.
[24] Bandingkan dengan Franz Magnis-Suseno (1999) Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 283; dan M.
Sastrapratedja (1992) “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan
Budaya”. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (1992) Pancasila Sebagai
Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
BP-7 Pusat, Jakarta, hal. 142..
[25] Kompas. 6 September 2007.
[26] Soerjono Soekanto
(2005) Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hal. 8.