Rabu, 06 Oktober 2010

MEMBEDAH KEWENANGAN “BUPATI PLT”
Anis Ibrahim

Topik ‘pelaksana tugas’ (Plt) Bupati - di samping pemberhentian sementara bupati - pada minggu-minggu ini merupakan topik yang cukup menarik dalam lalu lintas perbincangan di tengah-tengah masyarakat lokal. Bagaimana tidak menarik? Di Lumajang misalnya, baru saja Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menetapkan Drs. As’at yang semula Wakil Bupati (Wabup) Lumajang menjadi Plt penyelenggara pemerintahan di Kabupaten Lumajang.
Ditetapkannya Wabup As’at sebagai Plt penyelenggara pemerintahan di Kabupaten Lumajang (Plt Bupati) itu disebabkan Bupati definitif Dr. H. Sjahrazad Masdar,MA diberhentikan sementara sebagai bupati karena berstatus terdakwa dalam kasus dana bantuan hukum ketika menjadi pejabat Bupati Jember beberapa tahun silam. Pemberhentian sementara dan penetapan Plt Bupati Lumajang itu termaktub dalam Keputusan Mendagri No. 131.35-623 Tahun 2010 yang ditetapkan tanggal 27 Agustus 2010.
Pertanyaan yang barang kali masih menggelayut di sebagian masyarakat adalah apakah jumlah dan luasnya wewenang Plt Bupati persis sama dan sebangun dengan wewenang Bupati itu sendiri? Misalnya, apakah setiap Plt Bupati memiliki wewenang legal untuk mengangkat dan memutasi PNS, mengesahkan APBD, Perda, serta tindakan-tindakan hukum publik lain layaknya Bupati? Secara ringkas tulisan ini akan membedah perihal wewenang “Bupati Plt” dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan pisau hukum administrasi negara.
Perdefinisi hukum, wewenang/kewenangan (Inggris: authority/competence; Belanda: gezag/bevoegdheid) adalah kekuasaan dan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Dengan adanya wewenang yang didapatkan secara legal tersebut maka segala tindakan dan hubungan hukum publik yang dimiliki seorang pejabat publik itu berkatagori legal/sah.
Secara teoritis, wewenang seorang pejabat publik dapat dibedakan menjadi dua macam: 1) bersifat atributif (orisinil), yakni wewenang yang diberikan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan; dan 2) bersifat non-atributif (non-orisinil), yakni wewenang yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari pejabat lain. Dalam hal yang ke-2) ini, pelimpahan wewenang dibedakan menjadi dua macam pula yaitu mandat dan delegasi. Pelimpahan wewenang secara mandat bermakna bahwa yang beralih hanya sebagian wewenang saja. Oleh karenanya pertanggungjawaban tetap pada mandans. Sedang dalam pelimpahan wewenang secara delegasi, maka yang beralih adalah seluruh wewenang dari delegans. Oleh karenanya yang bertanggungjawab sepenuhnya adalah delegataris.
Sekarang bagaimana membaca wewenang Wabup sebagai Plt Bupati karena bupatinya diberhentikan sementara? Dalam konteks Lumajang, diktum ke-2 Keputusan Mendagri No. 131.35-623 Tahun 2010 berbunyi “Menunjuk Saudara: Drs. As’at Wakil Bupati Lumajang untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Lumajang”. Ini berarti bahwa Pak As’at tidak sekedar “melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan”, namun lebih luas dari hal itu ia “memikul tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan” di Kabupaten Lumajang.
Rumusan diktum ke-2 Keputusan Mendagri tersebut agak berbeda jika dibanding dengan rumusan Pasal 34 ayat (1) UU No. 32/2004 jo Pasal 130 ayat (1) PP No. 6/2005 yang berbunyi “Apabila kepala daerah diberhentikan sementara …., wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kata kunci UU adalah “melaksanakan tugas dan kewajiban”, sementara Keputusan Mendagri yang merupakan turunan UU No. 32/2004 mengkonstantasi “melaksanakan tugas dan tanggungjawab”. Dari “kewajiban” diubah menjadi “tanggungjawab”. Mengenai hal ini barang tentu perlu diskusi tersendiri.
Berdasarkan UU, PP, dan Keputusan Mendagri tersebut dapatlah diketengahkan bahwa Mendagri telah “mengambil sementara” wewenang Pak Masdar sebagai Bupati kemudian wewenang itu dialihkan kepada Pak As’at. Dikaji dari “teori kewenangan”, maka wewenang yang dimiliki Pak As’at tersebut bukan sekedar bersifat atributif, namun oleh Mendagri dilimpahi wewenang secara delegatif. Ini bermakna bahwa pasca tanggal 27 Agustus 2010 Pak As’at memikul seluruh beban tanggungjawab pemerintahan sekaligus bertanggunggugat jika menyimpang dari batas-batas wewenangnya sebagai Bupati Plt.
Dengan kata kunci “melaksanakan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan”, sejatinya kewenangan Pak As’at adalah akan meng-cover tugas dan wewenang sebagai “Bupati Lumajang”. Berarti cakupan kekuasaan dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya adalah seluas tugas dan wewenang Bupati. Jadi, dilihat dari tugas dan kewenangannya, Pak As’at sekarang adalah “Bupati Lumajang” meski dengan embel-embel “Plt”. Dalam posisi yang demikian, secara normatif tugas dan wewenang Pak As’at sesuai Pasal 25 UU No. 32/2004 adalah:
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b. mengajukan rancangan Perda;
c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tapi patut diingat, bahwa tidak semua wewenang bupati dapat dijalankan Bupati Plt. Beberapa wewenang yang dilarang untuk dijalankan itu adalah:
a. melakukan mutasi pegawai;
b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;
c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan
d. membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Empat larangan itu diatur dalam Pasal 132A ayat (1) PP No. 49/2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Akan tetapi, menurut ayat (2)-nya disebutkan bahwa larangan tersebut dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri selaku delegans.
Nah, cakupan tugas dan wewenang sebagai Bupati Plt (di luar empat larangan tersebut) sangat luas dan berat bukan? Memang sebelum menjadi Wabup Pak As’at berlatarbelakang sebagai ustadz. Namun dengan kiprahnya sebagai Wabup selama dua tahun ini dan kerendahan hatinya untuk bersedia berkonsultasi dengan siapa saja tentu ia akan bisa menjalankan tugas, wewenang, dan tanggungjawab pemerintahan di Kabupaten Lumajang secara baik. Karenanya, harapan terhadap roda pemerintahan Lumajang menggelinding ke depan secara lebih efektif dan akseleratif bukanlah hal yang mustahil dapat digulirkan Pak As’at. (*)

Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Konstitusi, Pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang.


Dimuat di Jawa Pos Radar Jember 5 Oktober 2010.