Sabtu, 27 Februari 2010

FENOMENAL, PENETAPAN CALEG TERPILIH DI LAPAS

Oleh: Anis Ibrahim

[Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang]

Penetapan perolehan kursi dan calon anggota legislatif (caleg) terpilih yang akan duduk di kursi dan menjadi anggota DPRD Kabupaten Lumajang periode 2009-2014 merupakan peristiwa yang cukup fenomenal. Bagaimana tidak fenomenal, proses penetapan tersebut dilakukan di ruang pertemuan yang ada dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) Lumajang.

Muasal peristiwa ini terjadi karena Ketua KPU Kabupaten Lumajang telah dieksekusi dan dimasukkan ke dalam Lapas karena kasasinya ditolak MA. Dan tampaknya pihak Lapas tidak memperkenankan Ketua KPU Lumajang untuk “dipinjam” ke luar agar rapat pleno bisa digelar di luar Lapas.

Akhirnya rapat pleno yang dilakukan dua hari berturut-turut di dalam Lapas tersebut berhasil menetapkan caleg terpilih tanpa protes yang berarti dari para saksi parpol, kecuali anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Lumajang yang tidak hadir yang tampaknya merasa “tidak nyaman” dengan digelarnya rapat pleno perolehan kursi dan penetapan caleg terpilih di Lapas tersebut.

Bagaimana kita membaca peristiwa ini?

Dalam perspektif hukum administrasi, pejabat publik akan kehilangan kewenangannya jika telah diberhentikan secara formal oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian argumentasi yang dilontarkan Mas Munir bahwa hingga saat penetapan caleg ia masih legal sebagai Ketua KPU Lumajang cukup logis mengingat belum turun keputusan pemberhentiannya sebagai anggota KPU Lumajang meski sudah dieksekusi. Oleh karena itulah, ia masih berhak dan memiliki wewenang untuk memimpin dan menetapkan seluruh proses penetapan hasil Pemilu.

Sejajar dengan itu, protes beberapa perwakilan saksi parpol dan anggota Panwaslu terhadap rapat pleno yang dilakukan di Lapas juga patut diapresiasi. Apakah cukup elok, penetapan caleg yang akan duduk di kursi terhormat sekelas Dewan (DPRD) ditetapkan di dalam lingkungan Lapas? Pertanyaan ini tentu saja tidak bisa dijawab hanya dengan menggunakan argumentasi yang bersifat yuridis-formal semata. Barangkali yang tepat untuk mengelaborasi masalah tersebut adalah dikembalikan kepada nurani masing-masing pihak. Dan tentu jawabannya bisa sangat beragam

Jika berargumentasi bahwa rapat pleno mengharuskan hadirnya secara fisik Ketua dan para anggota KPU karena mereka yang akan menandatangani berita acara penetapan hasil pemilu, perolehan kursi parpol dan caleg terpilih, maka hal ini masih bisa diperdebatkan.

Memang Pasal 80 ayat (1) Peraturan KPU No. 15/2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu .. (jo Peraturan KPU No. 26/2009) merumuskan bahwa “Hasil penetapan calon terpilih Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dituangkan dalam Berita Acara Penetapan Hasil Pemilihan Umum, Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Penetapan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 (Model EB DPRD Kabupaten/Kota) yang ditandatangani oleh Ketua dan Anggota KPU Kabupaten/Kota serta saksi partai politik peserta Pemilu dan dibubuhi cap”

Coba teliti secara seksama bunyi Pasal tersebut. Nomenklaturnya hanya “yang ditandatangani” dan bukan “harus/wajib ditandatangani” oleh Ketua KPU dst. Karena tidak ada kata “harus/wajib”, maka rumusan Pasal itu tak bersifat imperatif yang “mengharuskan/mewajibkan” Ketua dan anggota KPU menandatangani penetapan hasil pemilu legislatif. Berdasar rumusan Pasal 80 ayat (1) dapat ditarik simpulan bahwa sebenarnya berita acara penetapan seluruh rangkaian hasil pemilu tidak mengharuskan ditandatangani oleh Ketua KPU Kabupaten.

Lebih-lebih jika dikaitkan dengan ketentuan UU induknya, UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. UU ini sangat longgar mengatur masalah mekanisme pengambilan keputusan. Hasil telaah terhadap Pasal 32 hingga Pasal 38 UU tersbut dapat dielaborasi sebagai berikut.

Pertama, pada dasarnya kuorum dalam rapat pleno tidak terlalu mengikat. Memang kuorum rapat pleno sah jika dihadiri sekurang-kurangnya 4 (empat) anggota KPU Kabupaten/kota. Jika tidak tercapai kuorum, Pasal 36 ayat (1) menentukan bahwa ’khusus rapat pleno KPU kabupaten/kota untuk menetapkan hasil Pemilu ditunda selama 3 (tiga) jam’. Ayat (2)-nya menyatakan ”Dalam hal rapat pleno telah ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tetap tidak tercapai kuorum, rapat pleno dilanjutkan tanpa memperhatikan kuorum”.

Kedua, rangkaian dan hasil rapat pleno yang tidak kuorum dan tidak dihadiri Ketua KPU kabupaten/kota tetap sah. Hal ini bisa disimak Pasal 37 ayat (3) yang berbunyi bahwa ”Apabila Ketua berhalangan, rapat pleno KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dipimpin oleh salah satu anggota yang dipilih secara aklamasi”.

Ketiga, penetapan hasil pemilu yang tidak ditandatangai Ketua KPU adalah sah. Memang Pasal 38 ayat (1) menentukan ”Ketua wajib menandatangani penetapan hasil Pemilu yang diputuskan dalam rapat pleno dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari”. Tetapi ayat (2)nya merumuskan ”Dalam hal penetapan hasil Pemilu tidak ditandatangani ketua dalam waktu 3 (tiga) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) salah satu anggota menandatangani penetapan hasil Pemilu”. Bahkan yang paling ekstrim Pasal 38 ayat (3) yang berbunyi ”Dalam hal tidak ada anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota menandatangani penetapan hasil Pemilu, dengan sendirinya hasil Pemilu dinyatakan sah dan berlaku”.

Berdasarkan nukilan semua Pasal penetapan hasil Pemilu tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya rapat pleno KPU Lumajang dapat dilakukan di luar Lapas tanpa hadirnya Ketua KPU. UU No. 22/2007 telah memberi kelonggaran yang amat ekstrim terkait rapat pleno yang tidak perlu kuorum dan tidak perlu ditandatanganinya penetapan hasil Pemilu oleh Ketua maupun anggota KPU kabupaten/kota.

Yang pasti, fakta empirik penetapan perolehan kursi dan penetapan caleg terpilih sudah dilaksanakan dan disahkan di dalam Lapas dan nyaris semua kalangan dapat menerimanya. Barangkali ini merupakan ”catatan sejarah yang luar biasa dan sumbangan terpenting dari masyarakat Lumajang untuk praktik ketatanegaraan Indonesia”. Jadi, masyarakat Lumajang telah menoreh sejarah baru dalam ketatanegaraan Indonesia lho. *)