Jumat, 27 Januari 2006

HUKUM PROGRESIF: SOLUSI ATAS KETERPURUKAN HUKUM DI INDONESIA

Jurnal HUKUM Vol. XV, No. 3, Desember 2005        TERAKREDITASI   
SK Akreditasi Dirjen Dikti No.: 26/DIKTI/KEP/2005                      ISSN 1412-2723

HUKUM PROGRESIF: SOLUSI ATAS KETERPURUKAN HUKUM DI INDONESIA
Oleh: Anis Ibrahim
Dosen STIH Jenderal Sudirman Lumajang

Abstraksi
Keterprukan hukum di Indonesia di samping karena terlilit korupsi dan manipulasi, juga disebabkan oleh cara kerja hukum yang konvensional yang diwariskan oleh Aliran Hukum Positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal-prosedural. Untuk mengatasi keterpurukan itu diperlukan upaya “pembebasan” darinya, dan itu hanya dapat ditempuh melalui paradigma Hukum Progresif yang sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah hukum hadir di tengah masyarakat tidak hanya untuk mencapai kepastian yang serba formla-prosedural, tetapi jauh lebih besar dan itu adalah untuk mencapai kebenaran dan keadilan sejati.
Kata Kunci: Keterpurukan Hukum, Hukum Positif, Pembebasan, Hukum Progresif.

A.    ARGUMENTASI PERSOALAN
Lebih kurang tujuh tahun sejak berakhirnya tigapuluh dua tahun rezim Soeharto berkuasa, senyatanya kita masih belum dapat mengatasi masalah bangsa yang sangat luar biasa (extra-ordinary problem) dan belum dapat keluar dari deraan krisis di segala bidang kehidupan. Krisis multi dimensi yang tak kunjung bisa diselesaikan secara menyeluruh, barang tentu akan memerosokkan bangsa Indonesia ke jurang nestapa yang semakin dalam dan gelap.
Di tengah situasi yang serba extra-ordinary tersebut, hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena tidak mampu memberikan solusi yang berpengharapan (hopeless). Hampir setiap saat di negeri ini terbit peraturan dan perudang-undangan yang semuanya adalah untuk mengatur manusia dan menjawab problem kemanusiaan. Peraturan perundang-undangan itu semakin hari semakin bertaburan, sehingga tidaklah salah jika dikatakan bangsa Indonesia berada dalam kondisi hiperregulated society. Tetapi mengapa setelah dihadapkan dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu, order tidak kunjung hadir. Justru hukum tampak hopeless dan kedodoran, sehingga penyelesaian hukum pun justru menciptakan persoalan baru daripada menuntaskannya.[1]
Bersamaan dengan itu, komunitas hukum dianggap komunitas yang amat lamban dan paling lambat dalam menangkap momentum.[2] Momen-momen penting yang luar biasa bagusnya dari kehidupan sosial dan hukum di era reformasi ini tampak sama sekali tidak mampu menggerakkannya untuk mengambil pelajaran penting dan berharga dalam memperbaiki diri. Komunitas hukum yang diharapkan dapat menjadi pencerah, justru menjadi salah satu aktor yang langsung mau pun tidak langsung menjadi trouble maker bangsa. Akibatnya, kehidupan hukum di Indonesia kian hari kian terpuruk saja. Dalam situasi keterpurukan hukum yang demikian ini, maka apa pun upaya pembenahan dan perbaikan di bidang ekonomi dan moneter yang dilakukan para pakar ekonomi niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible).[3]
Jika dicermati, setidak-tidaknya ada dua faktor utama mengapa kehidupan hukum di Indonesia terpuruk. Pertama, disebabkan oleh perilaku sebagian di antara masyarakat dan beberapa oknum aparat penegak hukum (professional jurist) yang koruptif; dan kedua, cara bekerja dan berpikir para jurist Indonesia yang masih terkungkung oleh arus utama pikiran yang legalistik-positivistik.

B.     PERILAKU KORUPTIF
Orang boleh memiliki argumentasi sendiri-sendiri tentang penyebab terjadinya krisis. Namun, jika ditelusuri lebih jauh awal pemicu munculnya krisis moneter dan ekonomi senyatanya karena perilaku koruptif di antara warga bangsa ini. Kondisi ini semakin diperparah dengan kegagalan aparat hukum dalam menegakkan hukum di Indonesia. Frans Hendra Winarta, salah seorang Anggota Komisi Hukum Nasional, secara lantang mengatakan bahwa kegagalan dalam penegakan hukum di Indonesia, karena di antara oknum profesional hukum (professional jurist) ada yang bekerja dalam suasana yang koruptif, mental dan integritas yang merosot serta profesionalisme yang rendah.[4]
Orang yang bertaqwa, berintegritas dan memiliki moralitas yang tinggi pastilah tidak akan korupsi. Oleh karenanya, perilaku koruptif ini jelas hanya dilakukan oleh orang-orang yang kurang dalam menjaga integritas-moralitasnya. Celakanya, menurut Kompas, perilaku koruptif demikian ini telah membudaya di Indonesia.[5] Korupsi yang telah membudaya dan mengakar dalam waktu yang lama di Indonesia ini secara jujur juga dinyatakan oleh Presiden SBY ketika membuka Muktamar X Jami’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyah di Kabupaten Pekalongan, Tanggal 27 Maret 2005. Karena sudah membudaya, Presiden akhirnya mengakui bahwa betapa tidak mudahnya memberantas korupsi di Indonesia, meski pemerintahnya saat ini tengah mencanangkan gerakan anti korupsi.[6]
Masyarakat barang kali sudah terlampau lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Banyak kritikan ditujukan dalam praksis penegakan hukum di Indonesia atas paradoksal tersebut. Tidak hanya ahli dan pemerhati saja tetapi juga masyarakat awam acapkali menyatakan bahwa hukum ketika ditegakkan dibumi ini ibarat pisau yang tumpul manakala dipakai untuk menebas ke atas namun  menjadi sangat tajam jika dipakai untuk menebas ke bawah.
Atas sekalian praksis hukum yang demikian itu, maka hukum di negeri ini nyaris runtuh wibawanya. Hukum menjadi impoten untuk dapat menegakkan keadilan. Akhirnya muncul sinisme terhadap penegakan hukum dan keadilan di negeri ini bahwa ‘keadilan hanyalah memihak kepada orang yang berduit saja’. Sementara yang papa akan terbelah  tercabik-cabik danoleh ketajaman pisau keadilan yang acap kali tidak memihak kepada mereka.
Paradoks-paradoks dalam kehidupan hukum di Indonesia tersebut jelas disebabkan oleh penampilan dan perilaku sebagian oknum profesional hukum di Indonesia. Rubrik “Fokus” di Kompas Tahun 2002  menulis: ‘Panggung peradilan Indonesia, …, dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN … dan hedonisme… Uang yang bersliweran pun bukan alang-kepalang jumlahnya”.[7] Memang tidak semua para profesional hukum melakukan hal demikian. Sebagian profesional hukum yang berusaha menjaga integritas pribadinya pada akhirnya terbenam dan terkoyak kemulyaannya oleh perilaku dari sebagian koleganya. Peribahasa menyatakan “karena nila setitik maka rusak susu sebelangga”.
Sebenarnya, persoalan dan situasi yang demikian itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Dick the Butcher – tokoh rekaan William Shakespeare dalam drama Henry IV, Part II – yang kecewa dengan kinerja aparat hukum yang korup sering mengumandangkan teriakan penuh emosional: “The first thing we do, let’s kill all the lawyers” (hal pertama yang kita lakukan, mari kita bunuh semua lawyers).[8]
Di Kamboja, teriakan Dick tersebut dimaknai dan dipraktikkan secara literal. Para praktisi hukum nyaris semuanya dibinasakan. Dari sekitar 400 sampai 600 praktisi hukum yang ada sebelum berkuasanya Khmer Merah, pada Januari 1979 tinggal 12 orang yang hidup. Dari sedikit jurists itulah Kamboja memulai kewibawaan hukumnya, sehingga institusi hukum menjadi suatu yang dihormati dan dipatuhi oleh bangsa Kamboja.[9]
Apakah pengalaman Kamboja tersebut akan diadopsi untuk mengembalikan wibawa hukum di Indonesia? Barang tentu Indonesia tidak akan meniru Kamboja. Sebab jika Negera ini berupaya untuk mengembalikan wibawa hukum dengan jalan menghabisi para lawyers, tentu saja hal ini bertentangan dengan nilai kemanusian yang dibela oleh hukum itu sendiri. Akan tetapi masalahnya nyaris praksis hukum Indonesia acapkali jauh dari pergulatan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Inilah paradoks yang luar biasa yang dinampakkan oleh kehidupan hukum di Indonesia.
Jika sedikit menengok ke belakang, perjalanan sejarah hukum Indonesia pernah mencatat fenomena petrus (penembakan misterius) terhadap para penjahat kambuhan. Kabarnya petrus terpaksa dilakukan karena (aparat) hukum telah menjadi banci, tidak adil, serta putusannya tidak membikin jera penjahat yang meresahkan masyarakat. Meski banyak mendapat kritikan karena dianggap melanggar hukum formal dan HAM (hak asasi manusia, tetapi kerja petrus tersebut untuk waktu yang relatif lama mampu membikin keder para penjahat.
Fenomena ini sungguh merupakan pelajaran yang luar biasa bagusnya untuk mendongkrak kembali kewibawaan hukum di Indonesia. Dalam keadaan yang luar biasa daruratnya kriminalitas di Indonesia, sementara hukum beserta komunitasnya tidak mampu berbuat secara maksimal, maka sekali tempo diperlukan tindakan yang luar biasa pula, sebagai shock therapy-nya. Tindakan tersebut harus disertai dengan syarat-syarat yang luar biasa pula, semisal harus ada pernyataan keadaan darurat  kriminal, sehingga tindakan yang akan ditempuh bisa dicarikan landasan justifikasinya. Sebaliknya, dalam keadaan yang normal, jelas bangsa ini akan mengecam tindakan yang demikian itu.

C.    BERPIKIR SECARA LEGALISTIK-POSITIVISTIK
Rasanya sudah lebih dari cukup kita memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi orang-orang yang sedang berurusan dengan hukum. Tapi faktanya, garansi hukum tersebut acapkali menemui jalan terjal dan menukik dalam di alam kenyataan. Keadilan yang diharapkan muncul acapkali hanya sayup-sayup menampakkan diri.
Misalnya, Indonesia sudah menyatakan bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime, dan karenanya dinyatakan bahwa negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Berdasarkan situasi yang demikian itu kemudian diterbitkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20/2001 yang merubah UU No. 31/1999). Karena kejaksaan dan kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi (terutama yang kelas kakap) maka dimunculkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat ad hoc yang diberi kewenangan yang luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Tetapi faktanya pemberantasan korupsi berjalan sangat lamban. Bahkan beberapa putusan hukum sering tidak sesuai dengan harapan publik.
Mantan Hakim Agung Amerika Serikat, Benjamin Cardozo, pernah menyatakan bahwa andaikata beberapa orang awam mau pun yang terpelajar sekali pun meminta para hakim untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya proses terbentuknya putusan sang hakim itu, niscaya akan muncul jawaban klise, “Semua itu kan sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku”, atau “Semua itu sudah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku”.
Barangkali fenomena komunitas hukum yang menjawab dengan ‘sudah sesuai hukum’, ‘sudah sesuai prosedur’ di AS tersebut bisa jadi tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia. Dengan dalih tidak sesuai dengan hukum dan prosedur hukum, seorang itu harus dibebaskan, meski menurut pengetahuan dan dugaan kuat masyarakat umum, yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Dalilnya adalah “lebih baik membebaskan seratus penjahat daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Oleh karena itu tidaklah salah jika ada orang yang didakwa korupsi kemudian di pengadilan dibebaskan itu lebih kepada masalah karena secara legal-formal ia tidak bisa dibuktikan telah melakukan korupsi.
Selama ini ada suatu pemikiran yang mapan dan dominan di tengah-tengah masyarakat yang dipelopori oleh para profesional hukum, yaitu ‘legalistik-positivistik’. Hukum yang mereka konsepkan disebut lawyer’s law, dalam arti hukum itu identik dengan undang-undang, proses hukum harus berjalan menurut prinsip ‘aturan dan logika’ (rules and logic), dan undang-undanglah yang dianggap paling mampu menertibkan masyarakat.[10]
Pandangan ini melihat hukum sebagai suatu institusi pengaturan yang sederhana, linier, mekanistik dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Kebiasaan yang dominan adalah melihat dan memahami hukum sebagai sesuatu yang rasional logis, yang penuh kerapian dan keteraturan rasional. Tegasnya, hukum adalah sebuah order – sebuah perintah, sebuah ketaraturan – yang diterapkan terhadap dan karenanya manusia harus tunduk kepadanya.
Pemikiran yang berbasiskan Teori Hukum Positif dengan eksponennya Austin berpendapat bahwa hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Dengan demikian, ia mempertahankan pendapat bahwa “Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif, atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekannya”.[11] Menurut Austin tugas dari ilmu hukum hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern.[12]
Hans Kelsen yang mengetengahkan Teori Hukum Murni, yakni suatu pengembangan yang amat seksama dari Aliran Hukum Positif, dengan tegas berpendapat bahwa ilmu hukum adalah ‘ilmu normatif’. Hukum semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Hukum lahir bukan karena proses alami,  melainkan karena kemauan dan akal manusia yang dibingkai dalam format-format tertentu.
Hukum yang demikian ini kemudian disebut sebagai HUKUM MODERN yang berbeda dengan hukum tradisional yang lahir secara alami di dalam dan dari masyarakat. Lebih lanjut Kelsen merumuskan teorinya sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau politik mengenai nilai”.[13] Oleh karenanya, ciri yang sistematis dari hukum modern merupakan suatu hal yang amat sentral.
Sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan prosedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum di satu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan substansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan.[14]
Karakter teknikalitas tersebut menggiring hukum pada posisi yang senantiasa ‘siap direkayasa’. Keadaan ini menjadikan setiap hal yang berkaitan dengan hukum seakan-akan dapat dicarikan pembenarannya, meski pun untuk hal-hal yang sesungguhnya kurang masuk akal sekali pun. Tindakan para aparat hukum, termasuk putusan-putusan hakim yang aneh-aneh, selalu ada pembenarannya dari segi hukum. Dengan cara ini, kebenaran disingkirkan dan kepastian hukum terpelihara meski pun semu. Dikatakan semu, karena yang disebut kepastian hukum dalam hal ini tidak lain adalah tafsir-tafsir subyektif petugas hukum atas aturan hukum, yang tak jarang hal itu secara substansial justru menimbulkan ketidakpastian.
Bagi orang yang menguasai hukum dan teknik hukum yang tinggi tetapi rendah moralitasnya akan dapat memanfaatkan hukum dengan sebaik-baiknya untuk memenangkan kasus yang sedang ditanganinya. Bahkan jika memiliki kecenderung senang berkolaborasi dengan pihak yang melakukan kejahatan, maka baginya hukum sewaktu-waktu dapat diubah sebagai alat kejahatan (law as a tool of crime). Perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya merupakan kejahatan yang sempurna, sulit dilacak, karena diselubungi hukum dan berada di dalam hukum.[15]
Sistem hukum Indonesia yang masuk dalam katagori hukum modern yang liberal dan positivistik tersebut pada dasarnya tidak diadakan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat, melainkan sekedar melindungan kemerdekaan individu. Kemerdekaan individu itu senjata utamanya adalah kepastian hukum. Demi kepastian, maka keadilan dan dan kemanfaatan bolehlah dikorbankan. Konsepsi yang demikian ini merupakan sisi yang sejajar dari ketegangan antara keadilan hukum formal dengan keadilan substansial.
Akibat sistem hukum yang lebih menonjalkan kemerdekaan individu daripada pencarian kebenaran dan keadilan itu rupanya telah banyak ‘memakan’ korban, baik di negara asalnya di Barat mau pun negara-negara yang menganut positivime belakangan. Di Amerika Serikat, fenomena proses peradilan pidana positivistik yang telah ‘memakan’ korban tersebut acap kali dijuluki sebagai ‘peradilan/putusan yang sesat’.[16] Dengan getir Alan M. Dershowitz menyatakan bahwa dalam proses peradilan pidana, kebenaran bukanlah satu-satunya tujuan.[17]
O.J. Simpson (1994-1995), seorang triliuner berkulit hitam yang juga salah seorang pemain bola basket terkenal di The Dream Team, yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap mantan istri dan pacarnya, dalam konteks pembicaraan kita, dapat diangkat sebagai contoh dari diabaikannya tujuan kebenaran tersebut. Para juri menyatakan not guilty, meski sebagian besar rakyat AS percaya bahwa O.J. Simpson-lah pembunuh sebenarnya. Mengapa? Para juri dalam pengadilan Simpson itu tidak diminta untuk melakukan pemungutan suara mengenai “apakah mereka yakin bahwa Simpson melakukan pembunuhan”, melainkan “apakah bukti-bukti dari jaksa penuntut membuktikan tanpa keraguan (beyond reasonable doubt) bahwa Simpson pelakunya”.[18] Putusan “not guilty” demikian itu adalah lambang dari keadilan formal yang hakikatnya tidak menjawab persoalan apakah yang bersangkutan benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan atau tidak. Putusan O.J. Simpson ini oleh Gerry Spence dikatakan sebagai ‘matinya keadilan’ (The Death of Justice) di AS.[19]
Pengadilan pidana di AS memang dituntut untuk melayani lebih dari satu tujuan, sehingga bukan hanya kebenaran (keadilan sejati) yang dicari, tetapi juga keadilan formal atau prosedural. Di samping itu, pengadilan harus berorientasi  untuk menjunjung tinggi asas dan seperangkat nilai seperti “freedom from unreasonable governmental intrusion” dan “the integrity of mind and body”. Orientasi kepada nilai-nilai lain di luar kebenaran itu menyebabkan sebagian orang mengajukan asas “exclusionary rule” dalam sistem peradilan pidana AS, yakni yang memungkinkan pengadilan mengesampingkan kebenaran demi menjunjung nilai-nilai tersebut. Mereka yang mengajukan asas tersebut beranggapan bahwa asas lebih penting daripada kebenaran. Tanpa disadari, hal ini berefek kepada situasi dimana pengadilan tidak menjadi tempat kebenaran, melainkan tempat berburu kemenangan.[20]
Apa yang sedang berlangsung di AS tersebut tampaknya memiliki kemiripan dengan sistem hukum di Indonesia. Cara berpikir linier, mekanistik deterministik,  dan yang lebih mengedepankan formalitas dan prosedur undang-undang dari para jurists kita pada akhirnya banyak digunakan untuk ‘menyelamatkan’ orang-orang yang menurut rasa keadilan masyarakat sejatinya telah melakukan penjarahan kekayaan negara. Lolosnya tersangka koruptor bisa jadi salah satunya banyak didukung oleh proses yang serba formal-prosedural tersebut. Dan apa boleh buat, masyarakat Indonesia dipaksa untuk mau menerimanya karena menurut hukum formal yang positivistik memang jalannya proses hukum itu demikian adanya.
Muncul pertanyaan, apakah situasi bernegara hukum yang serba sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik yang mengedepankan logic and rules tersebut masih bisa digunakan untuk menyelamatkan krisis di Indonesia? Dengan tegas dikatakan: tidak! Mengapa? Karena saat ini Indonesia sedang menghadapi extra ordinary problem, masalah yang luar biasa dahsyatnya.
Problem yang demikian besarnya itu sungguh tidaklah memadai jika hanya diselesaikan melalui proses hukum yang sederhana dan berjalan ‘biasa-biasa saja’ tersebut. Berpikir dan bekerja dalam formalitas dan prosedur hukum (undang-undang) yang serba teknikalitas tidaklah cukup menjanjikan dalam mengangkat keterpurukan bangsa Indonesia termasuk keterpurukan hukum formal tersebut.
Pada akhirnya, dirasa sudah sangat mendesak untuk mencari agenda alternatif agar bangsa Indonesia bisa keluar dari situasi yang serba tidak pasti dari praktik kepastian dan keadilan prosedural hukum tersebut. Sebenarnya bangsa Indonesia sudah cukup lama memberi peran kepada aliran pemikiran yang posistivistik tersebut untuk mengangkat derajat hukum di Indonesia. Toh nyatanya hingga kini tidak mampu berbuat banyak. Oleh karenanya bukan hal yang tabu jika para pendukung aliran positivis ini diminta untuk mundur dan digantikan oleh ilmu hukum yang lebih menjanjikan dan memiliki karakter progresif.

D. HUKUM PROGRESIF: JALAN KELUAR DARI KETERPURUKAN
Dramaturgi hukum dengan segala akrobat yang dilakukan oleh sebagian praktisi hukum yang memainkan skenario yang tragis tersebut tentu saja tidak bisa dibiarkan terus menerus. Patutkah jika mereka yang melakukan action demikian diminta mundur dari panggung depan hukum di Indonesia? Permintaan itu tentu saja tidak cukup. Rasanya tidak adil jika yang membikin skenario dan mencetak para aktor tersebut tidak ikut diadili.
Tentunya para aktor dan operator hukum tidaklah dapat sepenuhnya dipersalahkan dan didudukkan sebagai satu-satunya pembuat atas ‘rusaknya’ kewibawaan hukum di Indonesia. Dalam kaitan ini ingin disampaikan bahwa rasanya kurang fair jika institusi yang mencetak mereka tidak diikutsertakan sebagai pelaku yang menyumbang paradoks hukum di Indonesia. Sebagai otokritik, maka sekalian perguruan tinggi hukum di seluruh Indonesia beserta para dosennya harus ikut ditunjukkan hidungnya sebagai dader yang merencanakan, membuat dan ikut serta mencetak ahli hukum-ahli hukum yang membikin keruh kebenaran dan kesejatian hukum di Indonesia.
Sungguh sangat merisaukan hati melihat kondisi hukum dengan segala bentuk praksisnya di negara ini. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal tersebut, pada dasarnya banyak melupakan sisi kebenaran, keadilan dan kemanusian. Praksis-praksis hukum di Indonesia hingga kini belum mampu memberi garansi untuk mencapai kemanusian, kebenaran dan keadilan substanstif.
Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan itu baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawanan undang-undang[21]  yang serba formal-prosedural tersebut. Manakala kita menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa, maka kita harus mencari agenda alternatif yang sifatnya progresif. Tegasnya, Indonesia memerlukan cara-cara yang progresif dalam menggunakan hukum. Ini berarti kita harus mau meninggakan cara berpikir tradisional dari hukum modern warisan abad XIX.
Berpikir secara progresif dalam hukum berarti harus berani ke luar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum dalam posisi yang relatif. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang perlu. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak harus dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern (yang sudah usang itu) akan mencederai posisi kemanusiaan dan kebenaran.
Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi hukum. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusia itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum positivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berpikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mendukung proses eksistensialitas kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.[22]
Jadi agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor manusia di pusat pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk memedulikan faktor perilaku (behavior, experience) manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi ‘manusia adalah untuk hukum dan logika hukum’, sehingga manusia harus dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka sebaliknya, filosofi dalam paradigma hukum progresif adalah HUKUM UNTUK MANUSIA.
Ketika faktor kemanusiaan, yang di dalamnya termasuk juga kebenaran dan keadilan, telah menjadi pusat dari perbincangan hukum, maka faktor etika dan moralitas dengan sendirinya akan ikut terseret masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari memperbincangkan etika dan moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak pendapat yang memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Di sinilah letak pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.
Agenda paradigma hukum progresif ini juga tidak bisa melepaskan diri dari ‘pabrik jurists’. Lembaga pendidikan hukum sebagai pencetak ahli hukum menjadi institusi yang strategis dalam paradigma hukum progresif. Agenda yang cukup mendesak di ranah perguruan tinggi hukum (PTH) adalah dengan melakukan reformasi kurikulum di bidang hukum. Harus dipahami bahwa kemanusiaan adalah sebagai primus pada saat orang memberi kedudukan hukum dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan bingkai pemahaman yang demikian ini, maka sesungguhnya kurikulum PTH niscaya memperbincangkan manusia dan kemanusian sebagai wacana awal dalam hukum. Jadi urutannya, manusia dulu baru kemudian disusul dengan hukum dengan segala atribut dan permasalahannya.[23]
Di sini bukan berati bahwa setelah menuntaskan pembicaraan manusia kemudian hal itu ditutup untuk berpindah kepada pembicaraan tentang hukum. Tidak demikian. Perbincangan hukum di tahap berikutnya tidak akan menutup pintu bagi issue manusia dan kemanusiaan. Hukum Progresif tidak membuat batas seperti itu. Oleh karenanya, masalah manusia dan kemanusiaan akan terus ikut mengalir memasuki hukum. Maka, menjadilah hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan tentang kebenaran dan keadilan di dalamnya.[24] Dengan kurikulum yang demikian ini, maka PTH niscaya akan berani menawarkan lulusan yang siap untuk menegakkan martabat manusia, menolong yang susah, bersemangat menyayangi, dan memberi garansi alumninya sekali-kali tidak akan pernah berkolaborasi dengan pelaku kejahatan untuk merekayasa hukum sebagai alat kejahatan.
Muncul pertanyaan, adakah kegunaan paradigma hukum progresif dalam dataran praktis? Tentu saja ada dan sangat berguna. Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist untuk menjadi sosok ‘manusia sebenar-benar manusia’, bukan ‘manusia sebagai robot/komputer yang berisi software hukum’. Apa bedanya dengan komputer jika dalam praktiknya para jurist sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Kenapa bertahun-tahun susah payah mencetak ahli hukum jika kerjanya tidak lebih dari komputer yang tinggal mencet-mencet pasal? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana, yang memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya.
Dengan demikian, paradigma hukum progresif akan dapat menjinakkan kekakuan dan ketegaran hukum undang-undang yang demikian itu. Bukankah UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat 1)?. Mengapa bangsa ini tidak berani membebaskan diri dari perangkap aturan hukum yang menyesakkan dengan tuntutan formalitas tersebut, dan mengalir mengikuti kearifan masyarakat di luar komunitas hukum untuk menjadi pencerah bangsa di Republik ini?


E. PENUTUP

Untuk dapat keluar dari situasi keterpurukan hukum di Indonesia, maka harus ada usaha ‘pembebasan’ dari cara kerja konvensional yang diwariskan oleh aliran hukum positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal-prosedural. ‘Pembebasan’ itu barang tentu hanya dapat ditempuh melalu paradigma Hukum Progresif yang sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah hukum hadir di tengah masyarakat tidak hanya untuk mencapai kepastian, tetapi jauh lebih besar dari itu adalah untuk mencapai keadilan sejati. Dan ini hanya bisa didapatkan melalui penegakan hukum secara progresif.
-----

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali (2002) Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia, Jakarta.
Achmad Gunaryo dalam Seminar Nasional “Menggugat Pemikiran Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli 2000.
Alan M. Dershowitz (1996) Reasonable Doubts, The O.J. Simpson Case and The Criminal Justice System, Simon & Schuster, New York.
C.K. Allen (1958) Law in the Making. Oxford University Press, New York.
Denny Indrayana, Let’s Kill All the Lawyers (Catatan Kasus Elza Syarief). Kompas, 13 Mei 2002.
Edgar Bodenheimer (1974)  Jurisprudence, the Philosophy and Method of the Law. Harvard University Press, Cambridge.
Gerry Spence (1997), O.J. The Last Word, The Death of Justice. ST. Martin’s Press, New York.
Katryn E Neilson (1996) They Killed All the Lawyers: Rebuilding the Judicial System in Cambodia.
Kompas, 28 Maret 2005.
Kompas, 31 Maret 2002.
Kompas, 5 September 2000.
Lihat pendapat Frans Hendra Winarta tersebut pada Kompas, 2 Nopember 2002.
Satjipto Rahardjo (1991) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Satjipto Rahardjo (2002) Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Penyunting Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Satjipto Rahardjo (2004) Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia”, Kerja sama IAIN Walisongo dengan Ikatan Alumni Program Doktor Hukum Undip, Semarang, 8 Desember 2004.
Satjipto Rahardjo (2004) Kemanusian, Hukum dan Teknokrasi. Bacaan untuk mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Undip semester Ganjil Tahun 2004/2005.
Satjipto Rahardjo (a), Tsunami Memicu Akselerasi Hukum. Kompas, 5 Pebruari 2005.
Satjipto Rahardjo (c), Konstitusional, dari Dua Sudut Pandang. Kompas, 7 September 1998.
Satjipto Rahardjo (d), Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang. Kompas, 24 Mei 2001.
Tb Ronny R Nitibaskara Hukum sebagai Alat Kejahatan. Kompas, 16 Oktober 2000.


[1]  Achmad Ali (2002) Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 51-52, mengutip pendapat Achmad Gunaryo dalam Seminar Nasional “Menggugat Pemikiran Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli 2000.
[2] Satjipto Rahardjo (a), Tsunami Memicu Akselerasi Hukum. Kompas, 5 Pebruari 2005, hal. 4.
[3] Achmad Ali Loc.Cit, hal. 7.
[4] Lihat pendapat Frans Hendra Winarta tersebut pada Kompas, 2 Nopember 2002, hal. 7.
[5] Kompas, 5 September 2000, hal. 6.
[6] Kompas, 28 Maret 2005, hal. 6.
[7] Kompas, 31 Maret 2002, hal. 27.
[8] Denny Indrayana, Let’s Kill All the Lawyers (Catatan Kasus Elza Syarief). Kompas, 13 Mei 2002, hal. 4.
[9] Dikutip oleh Ibid dari Katryn E Neilson (1996) They Killed All the Lawyers: Rebuilding the Judicial System in Cambodia.
[10] Satjipto Rahardjo (c), Konstitusional, dari Dua Sudut Pandang. Kompas, 7 September 1998, hal. 4.
[11] Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, the Philosophy and Method of the Law. Harvard University Press, Cambridge, 1974, hal. 94.
[12] Satjipto Rahardjo (1991) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 268.
[13] C.K. Allen (1958) Law in the Making. Oxford University Press, New York, hal. 51-52
[14] Satjipto Rahardjo (2002) Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Penyunting Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 181.
[15] Tb Ronny R Nitibaskara Hukum sebagai Alat Kejahatan. Kompas, 16 Oktober 2000, hal. 7.
[16] Achmad Ali, Op.cit. hal 41.
[17] Alan M. Dershowitz (1996) Reasonable Doubts, The O.J. Simpson Case and The Criminal Justice System, Simon & Schuster, New York, hal. 37.
[18] Ibid. hal. 38.
[19] Lebih lanjut dapat dibaca buku Gerry Spence (1997), O.J. The Last Word, The Death of Justice. ST. Martin’s Press, New York.
[20] Alan M. Dershowitz, Op.cit. hal 41-43.
[21] Satjipto Rahardjo (d), Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang. Kompas, 24 Mei 2001, hal. 4.
[22] Satjipto Rahardjo (2004) Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia”, Kerja sama IAIN Walisongo dengan Ikatan Alumni Program Doktor Hukum Undip, Semarang, 8 Desember 2004, hal. 5.
[23] Satjipto Rahardjo (2004) Kemanusian, Hukum dan Teknokrasi. Bacaan untuk mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Undip semester Ganjil Tahun 2004/2005, hal. 1.
[24] Ibid, hal. 1-2.