Jurnal HUKUM Vol. XV, No. 3, Desember 2005 TERAKREDITASI
SK Akreditasi Dirjen Dikti No.: 26/DIKTI/KEP/2005 ISSN 1412-2723
HUKUM
PROGRESIF: SOLUSI ATAS KETERPURUKAN HUKUM DI INDONESIA
Oleh: Anis Ibrahim
Dosen STIH
Jenderal Sudirman Lumajang
Abstraksi
Keterprukan
hukum di Indonesia di samping karena terlilit korupsi dan manipulasi, juga
disebabkan oleh cara kerja hukum yang konvensional yang diwariskan oleh Aliran
Hukum Positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang serba
formal-prosedural. Untuk mengatasi keterpurukan itu diperlukan upaya
“pembebasan” darinya, dan itu hanya dapat ditempuh melalui paradigma Hukum
Progresif yang sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan.
Bukankah hukum hadir di tengah masyarakat tidak hanya untuk mencapai kepastian
yang serba formla-prosedural, tetapi jauh lebih besar dan itu adalah untuk
mencapai kebenaran dan keadilan sejati.
Kata
Kunci: Keterpurukan Hukum, Hukum Positif,
Pembebasan, Hukum Progresif.
A.
ARGUMENTASI PERSOALAN
Lebih
kurang tujuh tahun sejak berakhirnya tigapuluh dua tahun rezim Soeharto
berkuasa, senyatanya kita masih belum dapat mengatasi masalah bangsa yang
sangat luar biasa (extra-ordinary problem)
dan belum dapat keluar dari deraan krisis di segala bidang kehidupan. Krisis
multi dimensi yang tak kunjung bisa diselesaikan secara menyeluruh, barang
tentu akan memerosokkan bangsa Indonesia ke jurang nestapa yang semakin dalam
dan gelap.
Di tengah
situasi yang serba extra-ordinary tersebut,
hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena tidak mampu memberikan
solusi yang berpengharapan (hopeless).
Hampir setiap saat di negeri ini terbit peraturan dan perudang-undangan yang
semuanya adalah untuk mengatur manusia dan menjawab problem kemanusiaan. Peraturan
perundang-undangan itu semakin hari semakin bertaburan, sehingga tidaklah salah
jika dikatakan bangsa Indonesia berada dalam kondisi hiperregulated society. Tetapi mengapa setelah dihadapkan dengan
seabrek peraturan perundang-undangan itu, order
tidak kunjung hadir. Justru hukum tampak hopeless
dan kedodoran, sehingga penyelesaian hukum pun justru menciptakan persoalan
baru daripada menuntaskannya.[1]
Bersamaan
dengan itu, komunitas hukum dianggap komunitas yang amat lamban dan paling
lambat dalam menangkap momentum.[2]
Momen-momen penting yang luar biasa bagusnya dari kehidupan sosial dan hukum di
era reformasi ini tampak sama sekali tidak mampu menggerakkannya untuk
mengambil pelajaran penting dan berharga dalam memperbaiki diri. Komunitas
hukum yang diharapkan dapat menjadi pencerah, justru menjadi salah satu aktor
yang langsung mau pun tidak langsung menjadi trouble maker bangsa. Akibatnya, kehidupan hukum di Indonesia kian
hari kian terpuruk saja. Dalam situasi keterpurukan hukum yang demikian ini,
maka apa pun upaya pembenahan dan perbaikan di bidang ekonomi dan moneter yang
dilakukan para pakar ekonomi niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible).[3]
Jika
dicermati, setidak-tidaknya ada dua faktor utama mengapa kehidupan hukum di
Indonesia terpuruk. Pertama,
disebabkan oleh perilaku sebagian di antara masyarakat dan beberapa oknum aparat
penegak hukum (professional jurist)
yang koruptif; dan kedua, cara
bekerja dan berpikir para jurist
Indonesia yang masih terkungkung oleh arus utama pikiran yang
legalistik-positivistik.
B. PERILAKU KORUPTIF
Orang
boleh memiliki argumentasi sendiri-sendiri tentang penyebab terjadinya krisis.
Namun, jika ditelusuri lebih jauh awal pemicu munculnya krisis moneter dan
ekonomi senyatanya karena perilaku koruptif di antara warga bangsa ini. Kondisi
ini semakin diperparah dengan kegagalan aparat hukum dalam menegakkan hukum di
Indonesia. Frans Hendra Winarta, salah seorang Anggota Komisi Hukum Nasional,
secara lantang mengatakan bahwa kegagalan dalam penegakan hukum di Indonesia,
karena di antara oknum profesional hukum (professional
jurist) ada yang bekerja dalam suasana yang koruptif, mental dan integritas
yang merosot serta profesionalisme yang rendah.[4]
Orang yang
bertaqwa, berintegritas dan memiliki moralitas yang tinggi pastilah tidak akan
korupsi. Oleh karenanya, perilaku koruptif ini jelas hanya dilakukan oleh
orang-orang yang kurang dalam menjaga integritas-moralitasnya. Celakanya, menurut
Kompas, perilaku koruptif demikian ini telah membudaya di Indonesia.[5]
Korupsi yang telah membudaya dan mengakar dalam waktu yang lama di Indonesia
ini secara jujur juga dinyatakan oleh Presiden SBY ketika membuka Muktamar X
Jami’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyah di Kabupaten Pekalongan,
Tanggal 27 Maret 2005. Karena sudah membudaya, Presiden akhirnya mengakui bahwa
betapa tidak mudahnya memberantas korupsi di Indonesia, meski pemerintahnya
saat ini tengah mencanangkan gerakan anti korupsi.[6]
Masyarakat
barang kali sudah terlampau lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi
dalam kehidupan hukum di negeri ini. Banyak kritikan ditujukan dalam praksis penegakan
hukum di Indonesia atas paradoksal tersebut. Tidak hanya ahli dan pemerhati
saja tetapi juga masyarakat awam acapkali menyatakan bahwa hukum ketika
ditegakkan dibumi ini ibarat pisau yang tumpul manakala dipakai untuk menebas
ke atas namun menjadi sangat tajam jika
dipakai untuk menebas ke bawah.
Atas
sekalian praksis hukum yang demikian itu, maka hukum di negeri ini nyaris
runtuh wibawanya. Hukum menjadi impoten untuk dapat menegakkan keadilan.
Akhirnya muncul sinisme terhadap penegakan hukum dan keadilan di negeri ini bahwa
‘keadilan hanyalah memihak kepada orang yang berduit saja’. Sementara yang papa
akan terbelah tercabik-cabik danoleh
ketajaman pisau keadilan yang acap kali tidak memihak kepada mereka.
Paradoks-paradoks
dalam kehidupan hukum di Indonesia tersebut jelas disebabkan oleh penampilan
dan perilaku sebagian oknum profesional hukum di Indonesia. Rubrik “Fokus” di Kompas Tahun 2002 menulis: ‘Panggung peradilan Indonesia, …,
dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN … dan hedonisme…
Uang yang bersliweran pun bukan alang-kepalang jumlahnya”.[7]
Memang tidak semua para profesional hukum melakukan hal demikian. Sebagian
profesional hukum yang berusaha menjaga integritas pribadinya pada akhirnya terbenam
dan terkoyak kemulyaannya oleh perilaku dari sebagian koleganya. Peribahasa
menyatakan “karena nila setitik maka rusak susu sebelangga”.
Sebenarnya,
persoalan dan situasi yang demikian itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja.
Dick the Butcher – tokoh rekaan William Shakespeare dalam drama Henry IV, Part II – yang kecewa dengan
kinerja aparat hukum yang korup sering mengumandangkan teriakan penuh
emosional: “The first thing we do, let’s
kill all the lawyers” (hal pertama yang kita lakukan, mari kita bunuh semua
lawyers).[8]
Di
Kamboja, teriakan Dick tersebut dimaknai dan dipraktikkan secara literal. Para
praktisi hukum nyaris semuanya dibinasakan. Dari sekitar 400 sampai 600
praktisi hukum yang ada sebelum berkuasanya Khmer Merah, pada Januari 1979
tinggal 12 orang yang hidup. Dari sedikit jurists
itulah Kamboja memulai kewibawaan hukumnya, sehingga institusi hukum menjadi
suatu yang dihormati dan dipatuhi oleh bangsa Kamboja.[9]
Apakah
pengalaman Kamboja tersebut akan diadopsi untuk mengembalikan wibawa hukum di
Indonesia? Barang tentu Indonesia tidak akan meniru Kamboja. Sebab jika Negera
ini berupaya untuk mengembalikan wibawa hukum dengan jalan menghabisi para lawyers, tentu saja hal ini bertentangan
dengan nilai kemanusian yang dibela oleh hukum itu sendiri. Akan tetapi masalahnya
nyaris praksis hukum Indonesia acapkali jauh dari pergulatan untuk menegakkan
nilai-nilai kemanusiaan. Inilah paradoks yang luar biasa yang dinampakkan oleh
kehidupan hukum di Indonesia.
Jika
sedikit menengok ke belakang, perjalanan sejarah hukum Indonesia pernah
mencatat fenomena petrus (penembakan
misterius) terhadap para penjahat kambuhan. Kabarnya petrus terpaksa dilakukan karena (aparat) hukum telah menjadi
banci, tidak adil, serta putusannya tidak membikin jera penjahat yang
meresahkan masyarakat. Meski banyak mendapat kritikan karena dianggap melanggar
hukum formal dan HAM (hak asasi manusia, tetapi kerja petrus tersebut untuk waktu yang relatif lama mampu membikin keder
para penjahat.
Fenomena
ini sungguh merupakan pelajaran yang luar biasa bagusnya untuk mendongkrak
kembali kewibawaan hukum di Indonesia. Dalam keadaan yang luar biasa daruratnya
kriminalitas di Indonesia, sementara hukum beserta komunitasnya tidak mampu
berbuat secara maksimal, maka sekali tempo diperlukan tindakan yang luar biasa
pula, sebagai shock therapy-nya.
Tindakan tersebut harus disertai dengan syarat-syarat yang luar biasa pula,
semisal harus ada pernyataan keadaan darurat
kriminal, sehingga tindakan yang akan ditempuh bisa dicarikan landasan
justifikasinya. Sebaliknya, dalam keadaan yang normal, jelas bangsa ini akan
mengecam tindakan yang demikian itu.
C. BERPIKIR SECARA
LEGALISTIK-POSITIVISTIK
Rasanya
sudah lebih dari cukup kita memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan
sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi orang-orang yang sedang berurusan
dengan hukum. Tapi faktanya, garansi hukum tersebut acapkali menemui jalan
terjal dan menukik dalam di alam kenyataan. Keadilan yang diharapkan muncul
acapkali hanya sayup-sayup menampakkan diri.
Misalnya,
Indonesia sudah menyatakan bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime, dan karenanya dinyatakan bahwa negara
Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Berdasarkan situasi yang
demikian itu kemudian diterbitkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
No. 20/2001 yang merubah UU No. 31/1999). Karena kejaksaan dan kepolisian
dianggap tidak mampu menangani korupsi (terutama yang kelas kakap) maka
dimunculkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat ad hoc yang diberi
kewenangan yang luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Tetapi faktanya
pemberantasan korupsi berjalan sangat lamban. Bahkan beberapa putusan hukum
sering tidak sesuai dengan harapan publik.
Mantan
Hakim Agung Amerika Serikat, Benjamin Cardozo, pernah menyatakan bahwa
andaikata beberapa orang awam mau pun yang terpelajar sekali pun meminta para
hakim untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya proses terbentuknya putusan sang
hakim itu, niscaya akan muncul jawaban klise, “Semua itu kan sudah sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku”, atau “Semua itu sudah sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku”.
Barangkali
fenomena komunitas hukum yang menjawab dengan ‘sudah sesuai hukum’, ‘sudah
sesuai prosedur’ di AS tersebut bisa jadi tidak berbeda jauh dengan yang terjadi
di Indonesia. Dengan dalih tidak sesuai dengan hukum dan prosedur hukum,
seorang itu harus dibebaskan, meski menurut pengetahuan dan dugaan kuat
masyarakat umum, yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang melanggar
hukum. Dalilnya adalah “lebih baik membebaskan seratus penjahat daripada
menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Oleh karena itu tidaklah salah jika
ada orang yang didakwa korupsi kemudian di pengadilan dibebaskan itu lebih
kepada masalah karena secara legal-formal ia tidak bisa dibuktikan telah
melakukan korupsi.
Selama ini
ada suatu pemikiran yang mapan dan dominan di tengah-tengah masyarakat yang
dipelopori oleh para profesional hukum, yaitu ‘legalistik-positivistik’. Hukum
yang mereka konsepkan disebut lawyer’s
law, dalam arti hukum itu identik dengan undang-undang, proses hukum harus
berjalan menurut prinsip ‘aturan dan logika’ (rules and logic), dan undang-undanglah yang dianggap paling mampu
menertibkan masyarakat.[10]
Pandangan
ini melihat hukum sebagai suatu institusi pengaturan yang sederhana, linier,
mekanistik dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Kebiasaan
yang dominan adalah melihat dan memahami hukum sebagai sesuatu yang rasional
logis, yang penuh kerapian dan keteraturan rasional. Tegasnya, hukum adalah
sebuah order – sebuah perintah, sebuah
ketaraturan – yang diterapkan terhadap dan karenanya manusia harus tunduk
kepadanya.
Pemikiran
yang berbasiskan Teori Hukum Positif dengan eksponennya Austin berpendapat
bahwa hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Dengan demikian, ia mempertahankan pendapat bahwa “Ilmu tentang hukum berurusan
dengan hukum positif, atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas bisa
disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau
kejelekannya”.[11]
Menurut Austin tugas dari ilmu hukum hanyalah menganalisis unsur-unsur yang
secara nyata ada dari sistem hukum modern.[12]
Hans
Kelsen yang mengetengahkan Teori Hukum Murni, yakni suatu pengembangan yang
amat seksama dari Aliran Hukum Positif, dengan tegas berpendapat bahwa ilmu
hukum adalah ‘ilmu normatif’. Hukum semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah
sifatnya yang hipotetis. Hukum lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia
yang dibingkai dalam format-format tertentu.
Hukum yang
demikian ini kemudian disebut sebagai HUKUM MODERN yang berbeda dengan hukum
tradisional yang lahir secara alami di dalam dan dari masyarakat. Lebih lanjut
Kelsen merumuskan teorinya sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum
positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua
pendapat (judgements) etik atau
politik mengenai nilai”.[13]
Oleh karenanya, ciri yang sistematis dari hukum modern merupakan suatu hal yang
amat sentral.
Sejak
hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan
prosedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau
keadilan menurut hukum di satu pihak dan keadilan sejati atau keadilan
substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut,
maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat
digunakan untuk menyimpangi keadilan substansial. Penggunaan hukum yang
demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata
menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai
keadilan.[14]
Karakter
teknikalitas tersebut menggiring hukum pada posisi yang senantiasa ‘siap
direkayasa’. Keadaan ini menjadikan setiap hal yang berkaitan dengan hukum
seakan-akan dapat dicarikan pembenarannya, meski pun untuk hal-hal yang
sesungguhnya kurang masuk akal sekali pun. Tindakan para aparat hukum, termasuk
putusan-putusan hakim yang aneh-aneh, selalu ada pembenarannya dari segi hukum.
Dengan cara ini, kebenaran disingkirkan dan kepastian hukum terpelihara meski
pun semu. Dikatakan semu, karena yang disebut kepastian hukum dalam hal ini
tidak lain adalah tafsir-tafsir subyektif petugas hukum atas aturan hukum, yang
tak jarang hal itu secara substansial justru menimbulkan ketidakpastian.
Bagi orang
yang menguasai hukum dan teknik hukum yang tinggi tetapi rendah moralitasnya
akan dapat memanfaatkan hukum dengan sebaik-baiknya untuk memenangkan kasus
yang sedang ditanganinya. Bahkan jika memiliki kecenderung senang berkolaborasi
dengan pihak yang melakukan kejahatan, maka baginya hukum sewaktu-waktu dapat
diubah sebagai alat kejahatan (law as a
tool of crime). Perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya merupakan
kejahatan yang sempurna, sulit dilacak, karena diselubungi hukum dan berada di
dalam hukum.[15]
Sistem
hukum Indonesia yang masuk dalam katagori hukum modern yang liberal dan
positivistik tersebut pada dasarnya tidak diadakan untuk memberikan keadilan
kepada masyarakat, melainkan sekedar melindungan kemerdekaan individu.
Kemerdekaan individu itu senjata utamanya adalah kepastian hukum. Demi
kepastian, maka keadilan dan dan kemanfaatan bolehlah dikorbankan. Konsepsi
yang demikian ini merupakan sisi yang sejajar dari ketegangan antara keadilan
hukum formal dengan keadilan substansial.
Akibat
sistem hukum yang lebih menonjalkan kemerdekaan individu daripada pencarian
kebenaran dan keadilan itu rupanya telah banyak ‘memakan’ korban, baik di
negara asalnya di Barat mau pun negara-negara yang menganut positivime
belakangan. Di Amerika Serikat, fenomena proses peradilan pidana positivistik
yang telah ‘memakan’ korban tersebut acap kali dijuluki sebagai
‘peradilan/putusan yang sesat’.[16]
Dengan getir Alan M. Dershowitz menyatakan bahwa dalam proses peradilan pidana,
kebenaran bukanlah satu-satunya tujuan.[17]
O.J.
Simpson (1994-1995), seorang triliuner berkulit hitam yang juga salah seorang
pemain bola basket terkenal di The Dream
Team, yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap mantan istri dan pacarnya,
dalam konteks pembicaraan kita, dapat diangkat sebagai contoh dari diabaikannya
tujuan kebenaran tersebut. Para juri menyatakan not guilty, meski sebagian
besar rakyat AS percaya bahwa O.J. Simpson-lah pembunuh sebenarnya. Mengapa?
Para juri dalam pengadilan Simpson itu tidak diminta untuk melakukan pemungutan
suara mengenai “apakah mereka yakin bahwa Simpson melakukan pembunuhan”,
melainkan “apakah bukti-bukti dari jaksa penuntut membuktikan tanpa keraguan (beyond reasonable doubt) bahwa Simpson
pelakunya”.[18]
Putusan “not guilty” demikian itu
adalah lambang dari keadilan formal yang hakikatnya tidak menjawab persoalan
apakah yang bersangkutan benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan atau
tidak. Putusan O.J. Simpson ini oleh Gerry Spence dikatakan sebagai ‘matinya
keadilan’ (The Death of Justice) di
AS.[19]
Pengadilan
pidana di AS memang dituntut untuk melayani lebih dari satu tujuan, sehingga
bukan hanya kebenaran (keadilan sejati) yang dicari, tetapi juga keadilan
formal atau prosedural. Di samping itu, pengadilan harus berorientasi untuk menjunjung tinggi asas dan seperangkat
nilai seperti “freedom from unreasonable
governmental intrusion” dan “the
integrity of mind and body”. Orientasi kepada nilai-nilai lain di luar
kebenaran itu menyebabkan sebagian orang mengajukan asas “exclusionary rule” dalam sistem peradilan pidana AS, yakni yang
memungkinkan pengadilan mengesampingkan kebenaran demi menjunjung nilai-nilai
tersebut. Mereka yang mengajukan asas tersebut beranggapan bahwa asas lebih
penting daripada kebenaran. Tanpa disadari, hal ini berefek kepada situasi
dimana pengadilan tidak menjadi tempat kebenaran, melainkan tempat berburu
kemenangan.[20]
Apa yang
sedang berlangsung di AS tersebut tampaknya memiliki kemiripan dengan sistem
hukum di Indonesia. Cara berpikir linier, mekanistik deterministik, dan yang lebih mengedepankan formalitas dan
prosedur undang-undang dari para jurists
kita pada akhirnya banyak digunakan untuk ‘menyelamatkan’ orang-orang yang
menurut rasa keadilan masyarakat sejatinya telah melakukan penjarahan kekayaan
negara. Lolosnya tersangka koruptor bisa jadi salah satunya banyak didukung
oleh proses yang serba formal-prosedural tersebut. Dan apa boleh buat,
masyarakat Indonesia dipaksa untuk mau menerimanya karena menurut hukum formal
yang positivistik memang jalannya proses hukum itu demikian adanya.
Muncul
pertanyaan, apakah situasi bernegara hukum yang serba sederhana, linier,
mekanistik, dan deterministik yang mengedepankan logic and rules tersebut masih bisa digunakan untuk menyelamatkan
krisis di Indonesia? Dengan tegas dikatakan: tidak! Mengapa? Karena saat ini
Indonesia sedang menghadapi extra
ordinary problem, masalah yang luar biasa dahsyatnya.
Problem
yang demikian besarnya itu sungguh tidaklah memadai jika hanya diselesaikan
melalui proses hukum yang sederhana dan berjalan ‘biasa-biasa saja’ tersebut.
Berpikir dan bekerja dalam formalitas dan prosedur hukum (undang-undang) yang
serba teknikalitas tidaklah cukup menjanjikan dalam mengangkat keterpurukan
bangsa Indonesia termasuk keterpurukan hukum formal tersebut.
Pada
akhirnya, dirasa sudah sangat mendesak untuk mencari agenda alternatif agar
bangsa Indonesia bisa keluar dari situasi yang serba tidak pasti dari praktik
kepastian dan keadilan prosedural hukum tersebut. Sebenarnya bangsa Indonesia
sudah cukup lama memberi peran kepada aliran pemikiran yang posistivistik
tersebut untuk mengangkat derajat hukum di Indonesia. Toh nyatanya hingga kini
tidak mampu berbuat banyak. Oleh karenanya bukan hal yang tabu jika para
pendukung aliran positivis ini diminta untuk mundur dan digantikan oleh ilmu
hukum yang lebih menjanjikan dan memiliki karakter progresif.
D. HUKUM PROGRESIF: JALAN
KELUAR DARI KETERPURUKAN
Dramaturgi
hukum dengan segala akrobat yang dilakukan oleh sebagian praktisi hukum yang memainkan skenario yang tragis
tersebut tentu saja tidak bisa dibiarkan terus menerus. Patutkah jika mereka yang
melakukan action demikian diminta
mundur dari panggung depan hukum di Indonesia? Permintaan itu tentu saja tidak
cukup. Rasanya tidak adil jika yang membikin skenario dan mencetak para aktor
tersebut tidak ikut diadili.
Tentunya
para aktor dan operator hukum tidaklah dapat sepenuhnya dipersalahkan dan
didudukkan sebagai satu-satunya pembuat atas ‘rusaknya’ kewibawaan hukum di
Indonesia. Dalam kaitan ini ingin disampaikan bahwa rasanya kurang fair jika institusi yang mencetak mereka
tidak diikutsertakan sebagai pelaku yang menyumbang paradoks hukum di Indonesia.
Sebagai otokritik, maka sekalian perguruan tinggi hukum di seluruh Indonesia
beserta para dosennya harus ikut ditunjukkan hidungnya sebagai dader yang merencanakan, membuat dan
ikut serta mencetak ahli hukum-ahli hukum yang membikin keruh kebenaran dan
kesejatian hukum di Indonesia.
Sungguh
sangat merisaukan hati melihat kondisi hukum dengan segala bentuk praksisnya di
negara ini. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal
tersebut, pada dasarnya banyak melupakan sisi kebenaran, keadilan dan
kemanusian. Praksis-praksis hukum di Indonesia hingga kini belum mampu memberi
garansi untuk mencapai kemanusian, kebenaran dan keadilan substanstif.
Kepedulian
terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan itu baru
dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawanan undang-undang[21] yang serba formal-prosedural tersebut.
Manakala kita menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat
dijadikan media pencerah bangsa, maka kita harus mencari agenda alternatif yang
sifatnya progresif. Tegasnya, Indonesia memerlukan cara-cara yang progresif
dalam menggunakan hukum. Ini berarti kita harus mau meninggakan cara berpikir
tradisional dari hukum modern warisan abad XIX.
Berpikir
secara progresif dalam hukum berarti harus berani ke luar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum,
kemudian menempatkan hukum dalam posisi yang relatif. Dalam hal ini, hukum
harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan. Bekerja berdasarkan
pola pikir yang determinan hukum memang perlu. Namun itu bukanlah suatu yang
mutlak harus dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah
yang jika menggunakan logika hukum modern (yang sudah usang itu) akan
mencederai posisi kemanusiaan dan kebenaran.
Bekerja
berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang
tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini
diajarkan di perguruan tinggi hukum. Paradigma hukum progresif melihat faktor
utama dalam hukum adalah manusia itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum
positivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan
asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berpikir bahwa
justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mendukung proses eksistensialitas
kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.[22]
Jadi
agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai
sentralitas utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor
manusia di pusat pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk memedulikan
faktor perilaku (behavior, experience)
manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan
logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi ‘manusia
adalah untuk hukum dan logika hukum’, sehingga manusia harus dipaksa-paksa
untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka sebaliknya, filosofi dalam paradigma
hukum progresif adalah HUKUM UNTUK MANUSIA.
Ketika
faktor kemanusiaan, yang di dalamnya termasuk juga kebenaran dan keadilan,
telah menjadi pusat dari perbincangan hukum, maka faktor etika dan moralitas
dengan sendirinya akan ikut terseret masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran,
keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari memperbincangkan etika dan
moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak pendapat yang
memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Di sinilah letak
pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.
Agenda paradigma hukum progresif ini
juga tidak bisa melepaskan diri dari ‘pabrik jurists’. Lembaga pendidikan hukum sebagai pencetak ahli hukum
menjadi institusi yang strategis dalam paradigma hukum progresif. Agenda yang
cukup mendesak di ranah perguruan tinggi hukum (PTH) adalah dengan melakukan
reformasi kurikulum di bidang hukum. Harus dipahami bahwa kemanusiaan adalah
sebagai primus pada saat orang
memberi kedudukan hukum dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan bingkai pemahaman
yang demikian ini, maka sesungguhnya kurikulum PTH niscaya memperbincangkan
manusia dan kemanusian sebagai wacana awal dalam hukum. Jadi urutannya, manusia
dulu baru kemudian disusul dengan hukum dengan segala atribut dan
permasalahannya.[23]
Di sini bukan berati bahwa setelah
menuntaskan pembicaraan manusia kemudian hal itu ditutup untuk berpindah kepada
pembicaraan tentang hukum. Tidak demikian. Perbincangan hukum di tahap
berikutnya tidak akan menutup pintu bagi issue
manusia dan kemanusiaan. Hukum Progresif tidak membuat batas seperti itu. Oleh
karenanya, masalah manusia dan kemanusiaan akan terus ikut mengalir memasuki
hukum. Maka, menjadilah hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan
untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan tentang
kebenaran dan keadilan di dalamnya.[24]
Dengan kurikulum yang demikian ini, maka PTH niscaya akan berani menawarkan
lulusan yang siap untuk menegakkan martabat manusia, menolong yang susah,
bersemangat menyayangi, dan memberi garansi alumninya sekali-kali tidak akan
pernah berkolaborasi dengan pelaku kejahatan untuk merekayasa hukum sebagai
alat kejahatan.
Muncul pertanyaan, adakah kegunaan
paradigma hukum progresif dalam dataran praktis? Tentu saja ada dan sangat
berguna. Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan
para jurist untuk menjadi sosok
‘manusia sebenar-benar manusia’, bukan ‘manusia sebagai robot/komputer yang
berisi software hukum’. Apa bedanya
dengan komputer jika dalam praktiknya para jurist
sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang?
Kenapa bertahun-tahun susah payah mencetak ahli hukum jika kerjanya tidak lebih
dari komputer yang tinggal mencet-mencet
pasal? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana, yang memiliki wawasan
komprehensif dalam mencapai kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang
dihadapinya.
Dengan demikian, paradigma hukum
progresif akan dapat menjinakkan kekakuan dan ketegaran hukum undang-undang
yang demikian itu. Bukankah UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat 1)?. Mengapa bangsa ini
tidak berani membebaskan diri dari perangkap aturan hukum yang menyesakkan
dengan tuntutan formalitas tersebut, dan mengalir mengikuti kearifan masyarakat
di luar komunitas hukum untuk menjadi pencerah bangsa di Republik ini?
E. PENUTUP
Untuk dapat keluar dari situasi
keterpurukan hukum di Indonesia, maka harus ada usaha ‘pembebasan’ dari cara
kerja konvensional yang diwariskan oleh aliran hukum positif dengan segala
doktrin dan prosedurnya yang serba formal-prosedural. ‘Pembebasan’ itu barang
tentu hanya dapat ditempuh melalu paradigma Hukum Progresif yang sangat peduli
kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah hukum hadir di tengah
masyarakat tidak hanya untuk mencapai kepastian, tetapi jauh lebih besar dari
itu adalah untuk mencapai keadilan sejati. Dan ini hanya bisa didapatkan
melalui penegakan hukum secara progresif.
-----
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali (2002) Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab
dan Solusinya). Ghalia Indonesia, Jakarta.
Achmad Gunaryo dalam
Seminar Nasional “Menggugat Pemikiran Positivistik di Era Reformasi, Semarang,
22 Juli 2000.
Alan M. Dershowitz (1996)
Reasonable Doubts, The O.J. Simpson Case
and The Criminal Justice System, Simon & Schuster, New York.
C.K. Allen (1958) Law in the Making. Oxford University
Press, New York.
Denny Indrayana, Let’s
Kill All the Lawyers (Catatan Kasus Elza Syarief). Kompas, 13 Mei 2002.
Edgar Bodenheimer (1974) Jurisprudence,
the Philosophy and Method of the Law. Harvard University Press, Cambridge.
Gerry Spence (1997), O.J. The Last Word, The Death of Justice.
ST. Martin’s Press, New York.
Katryn E Neilson (1996) They Killed All the Lawyers: Rebuilding the
Judicial System in Cambodia.
Kompas, 28 Maret 2005.
Kompas, 31 Maret 2002.
Kompas, 5 September 2000.
Lihat pendapat Frans
Hendra Winarta tersebut pada Kompas,
2 Nopember 2002.
Satjipto Rahardjo (1991) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Satjipto Rahardjo (2002) Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan
Pilihan Masalah. Penyunting Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University
Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Satjipto Rahardjo (2004)
Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia”, Kerja sama IAIN
Walisongo dengan Ikatan Alumni Program Doktor Hukum Undip, Semarang, 8 Desember
2004.
Satjipto Rahardjo (2004)
Kemanusian, Hukum dan Teknokrasi. Bacaan untuk
mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Undip semester Ganjil Tahun 2004/2005.
Satjipto Rahardjo (a),
Tsunami Memicu Akselerasi Hukum. Kompas,
5 Pebruari 2005.
Satjipto Rahardjo (c),
Konstitusional, dari Dua Sudut Pandang. Kompas,
7 September 1998.
Satjipto Rahardjo (d),
Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang. Kompas,
24 Mei 2001.
Tb Ronny R Nitibaskara
Hukum sebagai Alat Kejahatan. Kompas,
16 Oktober 2000.
[1] Achmad
Ali (2002) Keterpurukan Hukum di
Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 51-52,
mengutip pendapat Achmad Gunaryo dalam Seminar Nasional “Menggugat Pemikiran
Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli 2000.
[2] Satjipto Rahardjo (a), Tsunami Memicu
Akselerasi Hukum. Kompas, 5 Pebruari
2005, hal. 4.
[3] Achmad Ali Loc.Cit, hal. 7.
[4] Lihat pendapat Frans Hendra Winarta
tersebut pada Kompas, 2 Nopember
2002, hal. 7.
[5] Kompas,
5 September 2000, hal. 6.
[6] Kompas,
28 Maret 2005, hal. 6.
[7] Kompas,
31 Maret 2002, hal. 27.
[8] Denny Indrayana, Let’s Kill All the
Lawyers (Catatan Kasus Elza Syarief). Kompas,
13 Mei 2002, hal. 4.
[9] Dikutip oleh Ibid dari Katryn E Neilson (1996) They Killed All the Lawyers: Rebuilding the Judicial System in Cambodia.
[10] Satjipto Rahardjo (c), Konstitusional,
dari Dua Sudut Pandang. Kompas, 7
September 1998, hal. 4.
[11] Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, the Philosophy and Method of the Law. Harvard
University Press, Cambridge, 1974, hal. 94.
[12] Satjipto Rahardjo (1991) Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 268.
[13] C.K. Allen (1958) Law in the Making. Oxford University Press, New York, hal. 51-52
[14] Satjipto Rahardjo (2002) Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan
Pilihan Masalah. Penyunting Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University
Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 181.
[15] Tb Ronny R Nitibaskara Hukum sebagai Alat
Kejahatan. Kompas, 16 Oktober 2000,
hal. 7.
[16] Achmad Ali, Op.cit. hal 41.
[17] Alan M. Dershowitz (1996) Reasonable Doubts, The O.J. Simpson Case and
The Criminal Justice System, Simon & Schuster, New York, hal. 37.
[18] Ibid.
hal. 38.
[19] Lebih lanjut dapat dibaca buku Gerry
Spence (1997), O.J. The Last Word, The
Death of Justice. ST. Martin’s Press, New York.
[20] Alan M. Dershowitz, Op.cit. hal 41-43.
[21] Satjipto Rahardjo (d), Tidak Menjadi
Tawanan Undang-undang. Kompas, 24 Mei
2001, hal. 4.
[22] Satjipto Rahardjo (2004) Hukum Progresif
Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Menggagas Ilmu Hukum
(Progresif) Indonesia”, Kerja sama IAIN Walisongo dengan Ikatan Alumni Program
Doktor Hukum Undip, Semarang, 8 Desember 2004, hal. 5.
[23] Satjipto Rahardjo (2004) Kemanusian,
Hukum dan Teknokrasi. Bacaan untuk
mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Undip semester Ganjil Tahun 2004/2005,
hal. 1.
[24] Ibid,
hal. 1-2.