Senin, 30 Mei 2005

HUKUM WARIS: PLURALISME ATAUKAH UNIFORMISME HUKUM?

Jurnal SPEKTRUM HUKUM, Volome 02/Nomor 1/April 2005  ISSN No. 1858-0246

HUKUM WARIS: PLURALISME ATAUKAH UNIFORMISME HUKUM?

Oleh: Anis Ibrahim,SH.,M.Hum.*


ABSTRAK
Hukum waris di Indonesia hingga kini masih pluralistik, acap kali membingungkan dan menimbulkan ketegangan serta konflik hukum saat diterapkan di tataran praksis. Untuk memberi kepastian, kemanfaatan dan keadilan, maka telah sangat mendesak untuk dilakukan kodifikasi parsial dalam sebuah undang-undang yang meniscayakan tetap terwadahinya pluralitas hukum waris di Indonesia.
Kata Kunci: Hukum Waris, Pluralistik, Kodifikasi Parsial.

A. Pendahuluan
Hukum waris di Indonesia hingga kini dalam keadaan pluralistik (beragam). Maksudnya bahwa hingga masuk pada abad 21 ini di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Di samping berlakunya ketiga sistem hukum kewarisan tersebut, keanekaragaman hukum ini semakin menjadi-jadi karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.
Sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Pada umumnya dikenal adanya tiga sistem kekeluargaan, yakni (1) sistem patrilineal (terdapat pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan Bali), (2) sistem matrilineal (terdapat di daerah Minangkabau), dan (3) sistem bilateral atau parental (terdapat di daerah antara lain: Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok).[1]
Berdasar latar belakang tersebut, dalam tulisan ini akan membahas apakah hukum waris tersebut bersifat pluralisme atau uniformisme hukum?

B. Pluralitas Hukum Waris Di Indonesia
Kesejarahan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa eksistensi ketiga sistem hukum waris yang berlaku secara bersama-sama itu, meski titik mula munculnya tidak bersamaan, niscaya telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat jauh sebelum Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah perkembangannya dapat diketahui bahwa sistem hukum waris adat adanya lebih dahulu dibandingkan dengan sistem hukum waris yang lain. Hal ini  dikarenakan hukum adat, termasuk hukum warisnya, merupakan hukum asli bangsa Indonesia, berasal dari nenek moyangnya dan telah melembaga serta terinternalisasi secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.[2]
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, maka terjadi ‘kontak yang akrab’ antara ajaran mau pun hukum Islam (yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan hukum adat. Hal itu tercermin dalam berbagai pepatah di beberapa daerah. Di Aceh terdapat pepatah: hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat diceraipisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan  zat dengan sifat suatu benda. Di Minangkabau ada pepatah: adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengati adat memakai [artinya, adat dan hukum Islam (syara’) saling topang menopang, adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri].[3]
Di Sulawesi ada ungkapan yang berbunyi: adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa to adat (adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat).[4] Hubungan antara adat dengan Islam yang erat juga ada di Jawa. Ini mungkin disebabkan oleh prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama di daerah pedesaan.[5] Pengaruh hukum waris Islam pada masyarakat Jawa dapat dilihat misalnya pada sistem pembagian warisan yang disebut dengan sapikul-sagendong.
Meski demikian, beberapa penulis Barat justru menggambarkan adanya konflik antara hukum Islam dan hukum adat yang menurut mereka tidak mungkin dapat diselesaikan. Contoh klasik adanya konflik hukum adalah dengan menunjuk pada sistem kewarisan di Minangkabau yang bersandarkan pada sistem kekeluargaan matrilinial. Christian Snouck Hurgronje dengan teori resepsi – yang kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya seperti van Vollenhoven dan B ter Haar – menyatakan bahwa meski diterima dalam teori, hukum Islam itu sering dilanggar dalam praktik.
Dalam masyarakat Islam hukum Islam itu tidak berlaku sebab yang berlaku adalah hukum adat. Hukum Islam baru berlaku jika dinyatakan berlaku oleh hukum adat. [6] Akan tetapi kenyataan menunjukkan tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antara ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam perang Paderi di abad 19 melahirkan rumusan yang mantap mengenai hubungan hukum adat dan hukum Islam. Sementara itu dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang bulan Juli 1968 diperoleh kesimpulan bahwa (1) harta pusaka tinggi yang diperoleh turun-temurun dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang disebut pusaka rendah, diwariskan menurut hukum Islam.[7] Melalui justifikasi formal tersebut dapat diketengahkan bahwa telah terjadi harmonisasi antara hukum Islam dengan hukum adat dalam proses pelembagaan hukum waris di masyarakat, terutama di masyarakat Minangkabau.
Di samping kedua hukum waris yang sudah akrab tersebut, masyarakat Indonesia juga telah lama mengakrabi hukum waris Barat yang bersumber pada BW. Pada masa penjajahan bangsa Belanda dulu, dengan asas konkordansi BW dinyatakan berlaku untuk golongan Eropa yang ada di Indonesia. BW ini juga dinyatakan berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa. Sementara bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hanya bagian-bagian mengenai hukum kekayaan harta benda dari BW. Selebihnya, yakni bagian kekeluargaan dan kewarisan berlaku hukum mereka sendiri dari negeri asalnya.[8]
Pembedaan pemakaian hukum tersebut tidak lepas dari strategi hukum[9] pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah penduduk yang ada di tanah jajahannya. Strategi dengan menggunakan hukum untuk memecah belah penduduk di Indonesia dibingkai melalui pasal 131 Indische Staatsregeling. Strategi tersebut cukup jitu sehingga penduduk di Indonesia terbelah-belah secara yuridis dalam apa yang disebut dengan (1) golongan Eropa, (2) golongan Timur Asing (Tionghoa dan non-Tionghoa), dan (3) golongan pribumi.
Dengan demikian, model pelembagaan hukum waris Barat di masa penjajahan ini ditempuh melalui proses legislasi nasional yang terpusat pada penguasa/penjajah. Dengan kata lain proses pelembagaan hukum waris ini bersifat top down yang substansinya telah disiapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam proses pelembagaan ini, penduduk di tanah jajahan dimasukkan dalam skema hukum sesuai dengan strategi hukum yang dibuat.
Pasca Kemerdekaan, kondisi yang pluralistik dari hukum waris di Indonesia tersebut masih terus berlangsung. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masing langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”, maka ketiga sistem hukum waris tersebut kemudian menjadi bagian hukum nasional. Keberadaan pasal II Aturan Peralihan tersebut merupakan keharusan konstitusional, menginat (1) ahli hukum pada saat itu masih sangat sedikit, dan (2) kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengisi kevakuman hukum (rechtsvacuum) dari bangsa yang baru merdeka dan sedang berjuang untuk meneguhkan eksistensi kemerdekaannya.[10]

C. Kompleksitas dan Konflik Hukum Waris di Indonesia
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut mengalami perkembangan dan proses pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni bersumber pada BW dan karenanya tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Hukum waris adat berkembang melalui berbagai macam yurisprudensi (judge made law). Yang agaknya berbeda adalah proses pelembagaan hukum waris Islam. Pelembagaan dan pengembangan hukum waris Islam ditempuh melalui legislasi nasional. Hal ini dapat disimak dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hanya saja masih ada yang terasa aneh dalam praktik pelaksanaan hukum waris di Indonesia ini. Meski secara yuridis UUD 1945 dan amandemennya sudah tidak mengenal lagi penggolong-golongan penduduk, namun secara faktual empiris, bahkan secara yuridis, masalah golongan penduduk ini masih sangat terasa kuat. Hal ini berakibat pada subyek hukum pengguna hukum waris yang berbeda-beda pula. Lazimnya, hukum waris Barat ini dipakai oleh Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa.[11]
Sementara itu, secara hipotetis dapat diketengahkan bahwa masyarakat adat hampir pasti menggunakan hukum waris adat. Tetapi persoalan bisa muncul, yakni apakah masyarakat adat yang beragama Islam mesti menggunakan hukum waris adat. Agaknya jawaban atas persoalan ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Diperlukan pengkajian dan penelitian yang cukup menantang untuk memetakan dan menjawab persoalan tersebut. Apakah lingkaran-lingkaran hukum adat (rechtskringen) dari van Vollenhoven memang masih hidup secara faktual? Perlu penelitian lebih lanjut.
Bagi orang Islam, masalah penggunaan hukum waris tersebut lebih kompleks lagi. Mengapa? Karena hukum yang ditujukan kepada mereka yang diciptakan melalui legislasi nasional ternyata tidak memberi kejelasan aturan hukum yang seharusnya untuk menyelesaikan masalah kewarisan. Hal ini dapat disimak pada pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang … (b) kewarisan, …, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, ….
Berdasarkan ketentuan yang mengatur masalah kewarisan tersebut dapat diketengahkan bahwa hukum waris Islam bukan merupakan ketentuan hukum yang bersifat imperatif bagi orang Islam. Ini berbeda dengan ketentuan perkawinan yang bersifat imperatif bagi orang Islam yang akan melangsungkan perkawinan. Dengan demikian hukum waris Islam bagi orang Islam di Indonesia adalah bersifat fakultatif (choice of law) yang barang tentu di aras faktual tidak sedikit yang berpaling darinya.
Barangkali model perumusan yang tidak imperatif ini suatu keputusan yang bijaksana mengingat meski lebih 90% penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi ada tengara sebagian besar dari mereka ‘tampak ragu-ragu’ untuk menerapkan hukum waris Islam secara menyeluruh. Pengalaman empirik mantan Menteri Agama Munawir Sjadzali dapat dijadikan data pendukung bagaimana sebagian masyarakat Islam di Indonesia merasa kurang sreg dengan sistem pembagian warisan berdasarkan syariat Islam (faraaid) tersebut. Oleh karena itu, ia mencoba menawarkan reaktualisasi terhadap faraaid tersebut. Gagasan ini ternyata membawa polemik yang berkepanjangan.[12]
Munculnya rumusan hukum waris dalam KHI sebagai hasil lokakarya para Ulama Indonesia yang kemudian dibingkai dalam format Inpres No. 1 Tahun 1991, di dalamnya dapat dijumpai bagian-bagian tertentu yang merupakan refleksi pemikiran baru dalam rangka menyesuaikannya dengan kondisi di Indonesia. Meski demikian, hukum waris tersebut masih beraroma fiqh sunni versi Syafi’i yang bercorak patrilinialistik. Padahal, pada tahun 60-an Hazairin telah menawarkan reinterpretasi baru dengan mengatakan bahwa kewarisan Islam yang dikehendaki Al-Qur’an adalah sistem kewarisan bilateral.[13]
Sebagaimana halnya dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bidang kewarisan dalam KHI tersebut juga bukan merupakan ketentuan yang sifatnya wajib dilaksanakan oleh orang Islam dalam masalah pembagian warisan. KHI hanya merupakan pedoman saja – yang berarti dapat disimpangi – bagi orang atau instansi yang memerlukan. Hal ini dapat disimak pada bagian Menimbang huruf b Inpres No. 1 Tahun 1991 yang berbunyi: “bahwa  Kompilasi Humum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dan menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut”.[14] Jadi, hukum waris Islam digunakan atau tidak itu masalah pilihan yang mandiri bagi orang Islam.
Barangkali kondisi demikian ini dapat dilihat sebagai suatu berkah keadilan, tetapi bisa juga merupakan kerumitan tersendiri dalam lapangan hukum waris di Indonesia. Dikatakan merupakan kerumitan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum di bidang kewarisan. Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa orang Indonesiadipersilakan memillih hukum waris mana yang akan digunakan. Asal ada kesepakatan, orang bisa saja memilih hukum waris BW, hukum waris Islam atau hukum waris adat.
Tapi masalahnya menjadi kompleks jika tidak ada kesepakatan antar pihak yang bersengketa. Jika demikian, maka masalahnya bisa menjadi panjang dan berlarut-larut yang tak berujung. Dalam situasi demikian itu barang tentu tidak dapat dihindari terjadi konflik kepentingan dari masing-masing pihak. Persoalan semakin melebar yang kemudian mengarah kepada konflik pemakaian hukum waris, yakni apakah hukum waris Islam yang akan dipakai, atau hukum waris adat, ataukah hukum waris BW?
 Barang tentu  konflik hukum sudah seharusnya diakhir. Demikian pula persoalan sosiologis menyangkut penggolongan penduduk di era sekarang ini kurang kondusif bagi negara kesatuan Indonesia yang secara konstitusional hanya mengenal WNI dan WNA. Pengakhiran dari situasi yang serba kompleks tersebut diperlukan dalam rangka mencapai kepastian, kemanfaatan dan keadilan di bidang hukum waris di Indonesia. Bagi Subekti, melihat bahwa kondisi demikian ini rasanya sangat janggal bagi bangsa yang ingin membangun suatu kodofikasi hukum nasional.[15]

D. Antara Keragaman dan Keseragaman
Kerumitan yang berpangkal tolak dari konflik hukum demikian itu sudah pada masanya untuk dicarikan jalan keluar. Ada dua kemungkinan cara penyelesaian masalah konflik hukum waris tersebut, yakni: (1) tetap membiarkan hukum waris dalam keberagaman dan manakala timbul konflik hukum kemudian diserahkan kepada pengadilan; atau (2) melakukan unifikasi dengan membuat suatu undang-undang baru di bidang kewarisan yang bersifat nasional.
Pandangan yang mewakili pluralitas hukum berargumentasi bahwa pada masyarakat yang majemuk seperti Indonesia adalah sangat riskan jika diterapkan hukum yang bersifat seragam yang berlaku secara nasional. Oleh karena itu,  menurut para pluralis, satu-satunya hukum yang dapat diterapkan pada masyarakat heterogen ini hanyalah hukum yang pluralistik sifatnya. Lebih dari itu, mereka berargumen, seseorang tidak akan mampu memulai untuk mengunifikasikan hukum jika kondisi sosial menghendaki fragmentasinya.[16] Dalam situasi keberagaman, maka hukum itu tidak seharusnya  datang dari atas, tetapi harus lahir dari masyarakat bawah.[17]
Desakan untuk menghargai dan mengakui pluralitas hukum ini menjadi menggejala seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang sentralistik. Selama kekuasaan rezim ini, hukum yang dibangun atas nama pembangunanisme dan bersifat seragam, top down dan yang diberlakukan secara nasional, berefek pada peminggiran khazanah kekayaan budaya dan sosial masyarakat yang pada dasarnya sangat beragam. Konflik sosial mau pun hukum nyaris terjadi selama periode ini karena diterapkannya model penyeragaman atas semua aspek kehidupan tersebut.
Oleh karenanya, solusi terbaik dalam situasi bangsa yang berbhinneka adalah dengan membiarkan yang plural tetap dalam pluralitasnya sebagai bagian kebanggaan dan kekayaan bangsa. Lebih-lebih bidang hukum waris ini barang tentu merupakan bidang hukum yang sulit diunifikasikan, sebab menurut Mochtar Kusumaatmadja, bidang hukum waris dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar “bidang-bidang yang bersifat ‘netral’ seperti hukum perseroan, hukum kontrak (perikatan) dan hukum lalu lintas (darat, air dan udara), …”.[18] Dengan memperhatikan pendapat Mochtar Kusumaatmadja tersebut, maka hukum waris dapat dikatakan termasuk “bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan adanya komplikasi-komplikasi kulturil, keagamaan dan sosiologi”.[19]
Ketika keinginan untuk mengakui pluralitas ini mendesak kepermukaan, tanpa disadari akan timbul problem yang cukup pelik. Salah satu misal saja, pluralisme hukum waris adat dengan berbagai lingkaran hukum adatnya (rechtskringen) akan membawa konsekuensi hukum lebih jauh, yaitu diperlukannya bantuan hukum antar tata hukum intern (yakni hukum yang mengatur dan menentukan hukum manakah yang berlaku); atau apakah hukumnya jika terdapat titik taut (aanknopping punten) antara dua stelsel hukum yang berlaku bagi dua subyek hukum yang tunduk pada stelsel hukum yang berlainan.[20] Masalah ini semakin kusut jika subyek hukumnya berbeda agama dan bersiteguh dalam mempertahankan pendapat masing-masing dalam melakukan pilihan hukum.
Jika ini terjadi, maka keadaan hukum di Indonesia kembali seperti pada dekade 60-an dan sebelumnya, yakni para pemerhati mau pun praktisi hukum harus kembali membuka-buka bahan kuliah hukum antar golongan intern yang sebenarnya sudah lama tidak diajarkan di pendidikan tinggi hukum. Kesibukan seperti ini tentu sangat mengurangi produktifitas bangsa yang sebenarnya tenaga dan pikirannya dibutuhkan untuk keperluan yang lebih mendesak untuk keluar dari situasi keterpurukan.
Sementara itu para pendukung uniformisme hukum berpendapat bahwa dalam rangka mewujudkan kebersatuan bangsa salah satunya hanya dapat dicapai melalui unifikasi hukum. Ide untuk mempertahankan pluralitas hukum tentu saja tidak sejalan dengan cita-cita ‘hukum yang sama untuk semua orang’.[21] Jika pluralitas hukum dipertahankan, tentu saja akan terjadi distorsi terhadap cita-cita persamaan hukum tersebut. Pada aras yang lebih mendasar, tidak ada landasan konstitusionalnya untuk membuat hukum yang berbeda-beda yang diterapkan bagi golongan-golongan penduduk yang berbeda pula. Jika ditengok lebih dalam, maka Konstitusi Indonesia tidak mengenal penggolong-golongan penduduk.
        Mempertahankan pluralitas hukum sama dengan membuka gerbang ketidakpastian di bidang kewarisan. Hukum waris adat yang tidak tertulis mau pun hukum waris Islam yang ditulis dalam bingkai KHI – yang dikatagorikan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagai hukum tidak tertulis – tampaknya sulit memberikan kepastian hukum. Jika kepastian hukum saja tidak bisa dicapai, yakni dalam penentuan dan prediksi tentang alokasi hak kewajiban serba tidak pasti, maka apakah keadilan di bidang kewarisan dapat juga digapai? Sementara itu, apakah hukum waris Barat sebagai warisan masa penjajahan masih layak dipertahankan bagi bangsa yang merdeka? Apakah hukum waris Barat yang hingga kini masih berlaku tersebut memang sesuai dengan roh/jiwa (volkgeist) dan kebutuhan bangsa Indonesia sehingga tidak perlu diganti?

E. Unifikasi: Suatu Kebutuhan Untuk Melakukan Pembaruan Hukum Waris
Argumentasi untuk tetap mempertahankan hukum waris di Indonesia dalam keadaan beranekaragam ternyata lebih banyak mengandung konsekuensi negatif, sebab dengan tetap membiarkan keadaan itu terus berlangsung jelas bertentangan dengan cita-cita bangsa yang berkeinginan untuk memiliki hukum nasional (yang terunifikasi dan terkodifikasi) yang merupakan produk bangsa sendiri. Dengan pembiaran tersebut, hal ini juga berarti melestarikan terjadi konflik hukum antara ketiga sistem hukum waris tersebut yang sudah terjadi sejak masa penjajahan Belanda dan yang hingga kini terus berlangsung.[22]
Jika ditengok Konstitusi Indonesia paling mutakhir (pasca amandemen), maka dapat diketengahkan adanya kerangka besar  (grand design) bahwa hukum di Indonesia pada masa depan adalah cenderung dikembangkan dan dilembagakan melalui legislasi nasional dengan membuat berbagai macam peraturan perundang-undangan. Hal ini tercermin pada bunyi Pasal 1 Aturan Peralihan UUDNRI Tahun 1945 bahwa: “Segala peraturan perundang-undangan (cetak miring penulis) yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Konsep ‘peraturan perundang-undangan’ dalam UUDNRI Tahun 1945 hasil amandemen tersebut  mengandung makna yang lebih sempit jika dibandingkan dengan konsep ‘peraturan’ dalam UUD 1945 sebelum amandemen. ‘Peraturan perundang-undangan’ mengambil bentuk hukum yang tertulis yang secara formal dibuat oleh kekuasaan yang bersenang untuk itu. Lebih tegasnya  adalah apa yang lazim disebut dengan ‘hukum perundang-undangan’. Jika menggunakan konsep ‘peraturan’, maka ini bisa berarti tertulis mau pun tidak tertulis.
Oleh karena itu, agar hukum waris tidak tereliminasi dari grand design hukum Indonesia di masa mendatang, maka ia harus diperbarui dengan tetap berada pada skema kebersatuan dengan tidak meminggirkan keberagaman. Meski ada yang berpendapat bahwa rasanya sangat musykil melakukan unifikasi dalam suatu kodifikasi hukum waris – karena banyaknya problem yang akan dihadapi – hal ini bukan berarti bahwa keinginan tersebut tidak dapat diwujudkan.
Jika mau surut sedikit kebelakang, sebenarnya usaha ke arah unifikasi dan kondifikasi hukum waris yang berlaku secara nasional sudah pernah dilakukan. Contohnya, pada Simposium Hukum Waris Nasional di Jakarta tahun 1983 berhasil disepakati untuk menentukan asas-asas kewarisan yang diambil dari ketiga sistem hukum waris tersebut sebagai dasar penyusunan hukum waris nasional yang akan datang.
Meski masih ada perbedaan dalam beberapa hal, misalnya dalam hal ahli waris yang berbeda agama dan beberapa lainnya, tetapi kesepakatan Simposium tersebut cukup maju ketika mencapai kesepakatan tentang asas-asas (general principles) hukum nasional di bidang kewarisan, seperti asas kemanfaatan, asas keadilan dan asas kepastian hukum. Dengan keberhasilan mengambil asas-asas dari ketiga sistem hukum waris tersebut, ini berarti kodifikasi yang direncanakan menganut model kodifikasi terbuka. Berbagai nilai dan asas dari berbagai bidang hukum dicari kesamaannya, dan setelahnya akan dirumuskan norma-normanya dalam rumusan yang lebih implementatif.
 Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk melakukan usaha unifikasi atau pun kodifikasi atas hukum yang sudah melembaga dalam masyarakat yang bersifat pluralistik. Oleh karena itu usaha untuk menyusun hukum waris nasional harus dilakukan secara hati-hati mengingat akan sifat pekanya  bidang ini yang memang erat sekali hubungannya dengan agama dan budaya. Penyusunan hukum waris nasional ini, di samping untuk memberikan kepastian hukum, juga sekaligus merupakan pembaruan terhadap hal-hal yang dianggap tidak adil dalam sistem hukum waris yang ada.
Walau pun masih ada pendapat yang menyatakan bahwa sekarang ini belum waktunya menyusun hukum waris nasional, akan tetapi mengingat pentingnya keberadaan hukum waris nasional yang akan memberikan kepastian, manfaat dan keadilan, maka menurut kesimpulan Simposium tahun 1983 kiranya langkah-langkah ke arah itu harus dilakukan secara bertahap. Usaha tersebut dapat dimulai di bidang yang cukup netral, misalnya yang menyangkut bidang administrasinya dulu. Jika hal itu sudah bisa dilakukan, kemudian dikembangkan lebih jauh kepada bidang-bidang yang dianggap peka, setelah melalui berbagai pengkajian yang hati-hati dan mendalam.
Pola penyusunan hukum waris nasional yang akan datang dapat menggunakan pandangan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound. Menurut Pound, hukum (tertulis) yang baik adalah hukum yang  sesuai dengan  hukum yang hidup dalam masyarakat.[23] Rumusan yang demikian ini menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis (dari proses legislasi nasional) sebagai kebutuhan hukum masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.[24] Selaras dengan pandangan Pound, Eugen Ehrlich menekankan prinsip tentang pentingnya keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang hidup dalam mayarakat (the living law). Keseimbangan antara  kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat.[25]
Dengan model pendekatan seperti ini, maka pandangan Mochtar Kusumaatmadja dengan teorinya yang barangkali dapat disebut dengan ‘teori unifikasi hukum selektif’,[26] yakni dengan membiarkan bidang-bidang yang paling berhubungan dengan kehidupan kultural dan spiritual manusia harus dibiarkan tanpa perubahan, [27]  dapat diperluas dengan mengatakan bahwa bidang-bidang tersebut bukan masalah yang krusial jika keberagaman hukum dapat diwadahi secara memuaskan semua pihak. Kehati-hatian dalam semua tahap perumusan hukum waris nasional sangat dibutuhkan dalam kancah legislasi nasional.
Jadi, tantangannya adalah bagaimana para legislator piawai membuat satu hukum yang dapat membingkai keberagaman hukum tanpa menimbulkan gejolak sosial. Dengan paradigma yang demikian itu, maka pembuatan hukum yang sentralistik dan represif sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh rezim Orde Baru dapat dipinggirkan bahkan dapat ditiadakan. Isu perlindungan hak asasi manusia (HAM), demokratisasi dan pengakuan serta penghargaan terhadap keberagaman sosial dan hukum niscaya dapat diakomodasikan dalam pembuatan hukum yang berangkat dari pandangan Sociological Jurisprudence tersebut.
Dengan menggunakan pandangan Sociological Jurisprudence tersebut, maka saran dari Simposium Hukum Waris Nasional Tahun 1983 ialah agar pola penyusunan hukum waris nasional dapat dilakukan dengan mencontoh UU No. 1/1974 tentang Perkawinan adalah cukup menarik dan sangat layak untuk diakomodasikan dalam rangka menyusun hukum waris nasional yang unifikatif. UU Perkawinan Tahun 1974, meski mendapat kritikan karena bias gender,[28] tetapi setidak-tidaknya dapat dijadikan model hukum undang-undang khas Indonesia, yakni masih dibukanya pintu pluralitas dengan mengakui penerapan ‘hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu’.
Sebagai suatu karya manusia, hukum waris nasional yang dilembagakan melalui proses legislasi nasional tersebut bukannya tanpa kelemahan-kelemahan. Setidak-tidaknya ada dua kelemahan dari hukum perundang-undangan, yaitu:[29]
1)      Bersifat kaku. Kelemahan ini sebetulnya segera tampak sehubungan dengan keinginan undang-undang untuk menampilkan kepastian. Apabila kepastian ini hendak dipenuhi, mka ia harus membayarnya dengan membuat rumusan-rumusan yang jelas, terperinci dan tegar dengan resiko menjadi norma-norma yang kaku.
2)      Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat umum mengandung resiko, karena ia mengabaikan dan dengan demikian memperkosa perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamaratakan begitu saja. terutama sekali dalam suasana kehidupan modern yang cukup kompleks dan spesialistis ini, barang tentu tidak mudah untuk membuat perampatan-perampatan (generalizations).

F. Kesimpulan
Dengan mempertimbangkan kelemahan dari undang-undang tersebut, maka diperlukan modifikasi dalam menentukan kecenderungan perkembangan pembentukan hukum di Indonesia. Diperlukan penyesuaian terhadap hal-hal yang khas Indonesia. Dengan halnya, pelembagaan hukum waris nasional melalui legislasi nasional mau pun hukum tidak tertulis (customary law) dapat berjalan seiring seperti di Inggris. Untuk ‘menjinakkan’ kekauan dan ketegaran hukum waris nasional yang kemungkinan muncul kepermukaan, sudah selayaknya jika mempertimbangkan asas hukum equity. Dengan memasukkan asas equity iniberarti akan memberikan peluang yang cukup luas untuk menutup kekurangan yang ada pada hukum tertulis (statute law).
Asas hukum equity fungsinya adalah untuk melakukan koreksi terhadap ketegaran dari kaidah hukum yang sangat konkrit.[30] Dalam hal demikian ini, maka peranan hakim menjadi sangat besar karena melalui yurisprudensi hakim dapat mengarahkan perkembangan hukum yang berlaku di samping membentuk hukum baru yang sesuai dengan perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat.
Barang tentu, pelembagaan hukum waris melalui proses legislasi nasional yang demikian itu diharapkan dapat mewujudkan tipologi dasar dari keadaan hukum yang responsif, yakni hukum yang demokratis dan responsif terhadap kebutuhan tuntutan-tuntutan yang berkembang di masyarakat. Demokratisasi dan responsivitas dari hukum waris nasional yang akan datang sangat tergantung kepada du persyaratan, yakni: (1) adanya political will dan (2) political action yang berjalan seiring berkelindan dari para legislator dalam memformulasikan kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat yang rindu akan kepastian, kemanfaatan dan keadilan.
-----

DAFTAR PUSTAKA

A. Gani Abdullah, 1987, Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947-1957. Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

A. Hamid S. Attamimi, 1996, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia. Dalam Amrullah Ahmad (Eds.) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof.Dr. Busthanul Arifin,SH. Gema Insani Press, Jakarta.

A. Sukri Sarmadi, 1997, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Trasformatif. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Achmad Sodiki, 1999, Politik Hukum Agraria: Unifikasi Ataukah Pluralisme Hukum? Dalam Arena Hukum, Majalah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. No. 8. Tahun 3, Juli 1999.

Busthanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press, Jakarta.

Daniel S. Lev, 1973, Judicial Unification in Post Colonial Indonesia. Dalam Indonesia 16 (Oktober 1973)

Halimah A., 1987, Kebhinnekaan dan Sifat-sifat Khas Masyarakat Adat Indonesai. Laboratorium PMP/IKN FPIPS IKIP Padang.

Hamka, 1970, “Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan Minangkabau. Panji Mayarakat, Nomor 61/IV/1970

Henny Purwanti, 2001, Bias Gender Dalam Hukum Perkawinan. Argumentum, Majalah Hukum STIH Jenderal Sudirman Lumajang,  No. 1/Juli-Desember 2001

John Ball, 1985, Indonesian Law Commentary and Teaching Materials. Faculty of Law, University of Sydney, Sydney.

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Lili Rasjidi, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung.

M.B. Hoeker, 1978, Adat Law in Modern Indonesia, Oxford University Press, Kuala Lumpur.

Mochtar Kusumaatmadja, 1975, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Binacipta, Bandung.

Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Pembinaan Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Binacipta, Bandung

Mochtar Na’im, 1968, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Centre for Minangkabau Studies, Padang.

Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.

Mohammad Daud Ali, 1994, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Munawir Sjadzali, 1988, Reaktualiasi Ajaran Islam. Dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (Ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Pustaka Panjimas, Jakarta.

R. van Dijk, tt, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve, Bandung.

Ratno Lukito, 1998, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. INIS, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soetandyo Wignjosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta.

Wirjono Prodjodikoro, tt, Hukum Warisan di Indonesia. Vorkink van Hoeve, Bandung.





* Anis Ibrahim,SH.,Mhum. adalah dosen PNS Dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang-Jatim, Peserta Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Uiniversitas Diponegoro.  
[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia. Vorkink van Hoeve, Bandung, tt, hal. 8 – 10; R. van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve, Bandung, tt,. hal. 43-45.
[2] R. van Dijk, Ibid, hal. 7-8.
[3] Hamka, “Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan Minangkabau. Panji Mayarakat, Nomor 61/IV/1970, hal. 10.
[4] A. Gani Abdullah, Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947-1957. Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1987, hal. 89.
[5] M.B. Hoeker, Adat Law in Modern Indonesia, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1978, hal. 97).
[6] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 13.
[7] Mochtar Na’im, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Centre for Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal. 241.
[8] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 10-14.
[9] Strategi hukum di sini sama dengan politik hukum yaitu legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh penguasa negara sebagaimana yang diintrodusir Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hal. 9.
[10] Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semester Ganjil Tahun 2004/2005.
[11] Secara yuridis konstitusional tidak ada istilah ‘WNI keturunan’ tersebut. Tetapi secara sosiologis istilah demikian ini masih sering dijumpai. Bahkan tidak jarang terdengar pemakaian istilah WNI pribumi dan non-pribumi.
[12] Lebih lanjut baca Munawir Sjadzali, Reaktualiasi Ajaran Islam. Dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (Ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988, hal. 3-4.
[13] A. Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Trasformatif. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 3-4.
[14] Menurut A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia. Dalam Amrullah Ahmad (Eds.) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof.Dr. Busthanul Arifin,SH. Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 147-155, KHI adalah hukum tidak tertulis, meski formatnya ditulis. KHI merupakan himpunan ketentuan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. KHI menunjuk adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menulusuri norma-norma hukum bersangkutan apabila diperlukan, baik di dalam mau pun di luar pengadilan.
[15] Subekti, Op.cit. hal. 14.
[16] John Ball, Indonesian Law Commentary and Teaching Materials. Faculty of Law, University of Sydney, Sydney, 1985: hal. 202.
[17] Halimah A., Kebhinnekaan dan Sifat-sifat Khas Masyarakat Adat Indonesai. Laboratorium PMP/IKN FPIPS IKIP Padang, 1987, hal. 4.
[18] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Binacipta, Bandung, 1976, hal. 14.
[19] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Binacipta, Bandung, 1975, hal. 12.
[20] Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria: Unifikasi Ataukah Pluralisme Hukum? Dalam Arena Hukum, Majalah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. No. 8. Tahun 3, Juli 1999, hal. 102.
[21] Daniel S. Lev, Judicial Unification in Post Colonial Indonesia. Dalam Indonesia 16 (Oktober 1973), hal. 257.

[22] Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press, Jakarta, 1996. 
[23] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung, 1985, hal. 47.
[24] Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 83.
[25] Ibid. hal 84.
[26] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. INIS, Jakarta, 1998, hal. 68.
[27] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 231.
[28] Henny Purwanti, Bias Gender Dalam Hukum Perkawinan. Argumentum, Majalah Hukum STIH Jenderal Sudirman Lumajang,  No. 1/Juli-Desember 2001, hal 70-79.
[29] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal 85.
[30] Ibid. hal. 244.