Jurnal SPEKTRUM HUKUM, Volome 02/Nomor 1/April 2005 ISSN No. 1858-0246
HUKUM WARIS:
PLURALISME ATAUKAH UNIFORMISME HUKUM?
Oleh:
Anis Ibrahim,SH.,M.Hum.*
ABSTRAK
Hukum waris di Indonesia hingga
kini masih pluralistik, acap kali membingungkan dan menimbulkan ketegangan
serta konflik hukum saat diterapkan di tataran praksis. Untuk memberi
kepastian, kemanfaatan dan keadilan, maka telah sangat mendesak untuk dilakukan
kodifikasi parsial dalam sebuah undang-undang yang meniscayakan tetap
terwadahinya pluralitas hukum waris di Indonesia.
Kata Kunci: Hukum Waris, Pluralistik, Kodifikasi Parsial.
A.
Pendahuluan
Hukum waris di Indonesia hingga kini
dalam keadaan pluralistik (beragam). Maksudnya bahwa hingga masuk pada abad 21
ini di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem
hukum kewarisan, yakni hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris
Barat yang tercantum dalam Burgerlijk
Wetboek (BW). Di samping berlakunya ketiga sistem hukum kewarisan tersebut,
keanekaragaman hukum ini semakin menjadi-jadi karena hukum waris adat yang
berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam
mengikuti bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.
Sistem kekeluargaan pada masyarakat
Indonesia berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Pada umumnya
dikenal adanya tiga sistem kekeluargaan, yakni (1) sistem patrilineal (terdapat
pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan Bali),
(2) sistem matrilineal (terdapat di daerah Minangkabau), dan (3) sistem
bilateral atau parental (terdapat di daerah antara lain: Jawa, Madura, Sumatera
Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi,
Ternate dan Lombok).[1]
Berdasar latar belakang tersebut, dalam
tulisan ini akan membahas apakah hukum waris tersebut bersifat pluralisme atau
uniformisme hukum?
B.
Pluralitas Hukum Waris Di Indonesia
Kesejarahan hukum di Indonesia
menunjukkan bahwa eksistensi ketiga sistem hukum waris yang berlaku secara
bersama-sama itu, meski titik mula munculnya tidak bersamaan, niscaya telah
lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat jauh sebelum Proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah perkembangannya dapat diketahui bahwa
sistem hukum waris adat adanya lebih dahulu dibandingkan dengan sistem hukum
waris yang lain. Hal ini dikarenakan
hukum adat, termasuk hukum warisnya, merupakan hukum asli bangsa Indonesia,
berasal dari nenek moyangnya dan telah melembaga serta terinternalisasi secara
turun-menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.[2]
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia,
maka terjadi ‘kontak yang akrab’ antara ajaran mau pun hukum Islam (yang
bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan hukum adat. Hal itu tercermin
dalam berbagai pepatah di beberapa daerah. Di Aceh terdapat pepatah: hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon
sipeut (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat diceraipisahkan karena
erat sekali hubungannya seperti hubungan
zat dengan sifat suatu benda. Di Minangkabau ada pepatah: adat dan syara’ sanda menyanda, syara’
mengati adat memakai [artinya, adat dan hukum Islam (syara’) saling topang
menopang, adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri].[3]
Di Sulawesi ada ungkapan yang berbunyi: adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa
to adat (adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat).[4]
Hubungan antara adat dengan Islam yang erat juga ada di Jawa. Ini mungkin
disebabkan oleh prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Jawa, terutama di daerah pedesaan.[5]
Pengaruh hukum waris Islam pada masyarakat Jawa dapat dilihat misalnya pada sistem
pembagian warisan yang disebut dengan sapikul-sagendong.
Meski demikian, beberapa penulis Barat
justru menggambarkan adanya konflik antara hukum Islam dan hukum adat yang
menurut mereka tidak mungkin dapat diselesaikan. Contoh klasik adanya konflik
hukum adalah dengan menunjuk pada sistem kewarisan di Minangkabau yang
bersandarkan pada sistem kekeluargaan matrilinial. Christian Snouck Hurgronje
dengan teori resepsi – yang kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya seperti
van Vollenhoven dan B ter Haar – menyatakan bahwa meski diterima dalam teori,
hukum Islam itu sering dilanggar dalam praktik.
Dalam masyarakat Islam hukum Islam itu
tidak berlaku sebab yang berlaku adalah hukum adat. Hukum Islam baru berlaku
jika dinyatakan berlaku oleh hukum adat. [6]
Akan tetapi kenyataan menunjukkan tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antara
ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam perang Paderi di abad 19
melahirkan rumusan yang mantap mengenai hubungan hukum adat dan hukum Islam.
Sementara itu dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang
bulan Juli 1968 diperoleh kesimpulan bahwa (1) harta pusaka tinggi yang
diperoleh turun-temurun dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan
menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang disebut pusaka rendah, diwariskan
menurut hukum Islam.[7]
Melalui justifikasi formal tersebut dapat diketengahkan bahwa telah terjadi
harmonisasi antara hukum Islam dengan hukum adat dalam proses pelembagaan hukum
waris di masyarakat, terutama di masyarakat Minangkabau.
Di samping kedua hukum waris yang sudah
akrab tersebut, masyarakat Indonesia juga telah lama mengakrabi hukum waris
Barat yang bersumber pada BW. Pada masa penjajahan bangsa Belanda dulu, dengan
asas konkordansi BW dinyatakan berlaku untuk golongan Eropa yang ada di
Indonesia. BW ini juga dinyatakan berlaku bagi orang-orang Timur Asing
Tionghoa. Sementara bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hanya
bagian-bagian mengenai hukum kekayaan harta benda dari BW. Selebihnya, yakni
bagian kekeluargaan dan kewarisan berlaku hukum mereka sendiri dari negeri
asalnya.[8]
Pembedaan pemakaian hukum tersebut tidak
lepas dari strategi hukum[9]
pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah penduduk yang ada di tanah
jajahannya. Strategi dengan menggunakan hukum untuk memecah belah penduduk di
Indonesia dibingkai melalui pasal 131 Indische
Staatsregeling. Strategi tersebut cukup jitu sehingga penduduk di Indonesia
terbelah-belah secara yuridis dalam apa yang disebut dengan (1) golongan Eropa,
(2) golongan Timur Asing (Tionghoa dan non-Tionghoa), dan (3) golongan pribumi.
Dengan demikian, model pelembagaan hukum
waris Barat di masa penjajahan ini ditempuh melalui proses legislasi nasional
yang terpusat pada penguasa/penjajah. Dengan kata lain proses pelembagaan hukum
waris ini bersifat top down yang
substansinya telah disiapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam proses
pelembagaan ini, penduduk di tanah jajahan dimasukkan dalam skema hukum sesuai
dengan strategi hukum yang dibuat.
Pasca Kemerdekaan, kondisi yang pluralistik
dari hukum waris di Indonesia tersebut masih terus berlangsung. Berdasarkan
pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: “Segala badan negara dan
peraturan yang ada masing langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang Dasar ini”, maka ketiga sistem hukum waris tersebut
kemudian menjadi bagian hukum nasional. Keberadaan pasal II Aturan Peralihan
tersebut merupakan keharusan konstitusional, menginat (1) ahli hukum pada saat
itu masih sangat sedikit, dan (2) kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengisi
kevakuman hukum (rechtsvacuum) dari
bangsa yang baru merdeka dan sedang berjuang untuk meneguhkan eksistensi
kemerdekaannya.[10]
C. Kompleksitas dan Konflik Hukum Waris di Indonesia
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum
waris tersebut mengalami perkembangan dan proses pelembagaan yang
berlain-lainan. Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni
bersumber pada BW dan karenanya tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu.
Hukum waris adat berkembang melalui berbagai macam yurisprudensi (judge made law). Yang agaknya berbeda
adalah proses pelembagaan hukum waris Islam. Pelembagaan dan pengembangan hukum
waris Islam ditempuh melalui legislasi nasional. Hal ini dapat disimak dengan
diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diterbitkannya
Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hanya saja masih ada yang terasa aneh
dalam praktik pelaksanaan hukum waris di Indonesia ini. Meski secara yuridis
UUD 1945 dan amandemennya sudah tidak mengenal lagi penggolong-golongan
penduduk, namun secara faktual empiris, bahkan secara yuridis, masalah golongan
penduduk ini masih sangat terasa kuat. Hal ini berakibat pada subyek hukum
pengguna hukum waris yang berbeda-beda pula. Lazimnya, hukum waris Barat ini
dipakai oleh Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa.[11]
Sementara itu, secara hipotetis dapat
diketengahkan bahwa masyarakat adat hampir pasti menggunakan hukum waris adat.
Tetapi persoalan bisa muncul, yakni apakah masyarakat adat yang beragama Islam
mesti menggunakan hukum waris adat. Agaknya jawaban atas persoalan ini tidaklah
semudah membalik telapak tangan. Diperlukan pengkajian dan penelitian yang
cukup menantang untuk memetakan dan menjawab persoalan tersebut. Apakah
lingkaran-lingkaran hukum adat (rechtskringen)
dari van Vollenhoven memang masih hidup secara faktual? Perlu penelitian lebih
lanjut.
Bagi orang Islam, masalah penggunaan
hukum waris tersebut lebih kompleks lagi. Mengapa? Karena hukum yang ditujukan
kepada mereka yang diciptakan melalui legislasi nasional ternyata tidak memberi
kejelasan aturan hukum yang seharusnya untuk menyelesaikan masalah kewarisan.
Hal ini dapat disimak pada pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi
bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang … (b) kewarisan, …, yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam, ….
Berdasarkan ketentuan yang mengatur
masalah kewarisan tersebut dapat diketengahkan bahwa hukum waris Islam bukan
merupakan ketentuan hukum yang bersifat imperatif bagi orang Islam. Ini berbeda
dengan ketentuan perkawinan yang bersifat imperatif bagi orang Islam yang akan
melangsungkan perkawinan. Dengan demikian hukum waris Islam bagi orang Islam di
Indonesia adalah bersifat fakultatif (choice
of law) yang barang tentu di aras faktual tidak sedikit yang berpaling
darinya.
Barangkali model perumusan yang tidak
imperatif ini suatu keputusan yang bijaksana mengingat meski lebih 90% penduduk
Indonesia beragama Islam, tetapi ada tengara sebagian besar dari mereka ‘tampak
ragu-ragu’ untuk menerapkan hukum waris Islam secara menyeluruh. Pengalaman
empirik mantan Menteri Agama Munawir Sjadzali dapat dijadikan data pendukung
bagaimana sebagian masyarakat Islam di Indonesia merasa kurang sreg dengan sistem pembagian warisan
berdasarkan syariat Islam (faraaid)
tersebut. Oleh karena itu, ia mencoba menawarkan reaktualisasi terhadap faraaid tersebut. Gagasan ini ternyata
membawa polemik yang berkepanjangan.[12]
Munculnya rumusan hukum waris dalam KHI
sebagai hasil lokakarya para Ulama Indonesia yang kemudian dibingkai dalam
format Inpres No. 1 Tahun 1991, di dalamnya dapat dijumpai bagian-bagian
tertentu yang merupakan refleksi pemikiran baru dalam rangka menyesuaikannya
dengan kondisi di Indonesia. Meski demikian, hukum waris tersebut masih
beraroma fiqh sunni versi Syafi’i yang bercorak patrilinialistik. Padahal, pada
tahun 60-an Hazairin telah menawarkan reinterpretasi baru dengan mengatakan
bahwa kewarisan Islam yang dikehendaki Al-Qur’an adalah sistem kewarisan
bilateral.[13]
Sebagaimana halnya dengan UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, bidang kewarisan dalam KHI tersebut juga bukan
merupakan ketentuan yang sifatnya wajib dilaksanakan oleh orang Islam dalam
masalah pembagian warisan. KHI hanya merupakan pedoman saja – yang berarti
dapat disimpangi – bagi orang atau instansi yang memerlukan. Hal ini dapat
disimak pada bagian Menimbang huruf b Inpres No. 1 Tahun 1991 yang berbunyi:
“bahwa Kompilasi Humum Islam tersebut
dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya
dapat digunakan sebagai pedoman dan menyelesaikan masalah-masalah di bidang
tersebut”.[14]
Jadi, hukum waris Islam digunakan atau tidak itu masalah pilihan yang mandiri
bagi orang Islam.
Barangkali kondisi demikian ini dapat
dilihat sebagai suatu berkah keadilan, tetapi bisa juga merupakan kerumitan
tersendiri dalam lapangan hukum waris di Indonesia. Dikatakan merupakan
kerumitan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum di bidang kewarisan.
Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa orang Indonesiadipersilakan memillih
hukum waris mana yang akan digunakan. Asal ada kesepakatan, orang bisa saja
memilih hukum waris BW, hukum waris Islam atau hukum waris adat.
Tapi masalahnya menjadi kompleks jika
tidak ada kesepakatan antar pihak yang bersengketa. Jika demikian, maka
masalahnya bisa menjadi panjang dan berlarut-larut yang tak berujung. Dalam
situasi demikian itu barang tentu tidak dapat dihindari terjadi konflik
kepentingan dari masing-masing pihak. Persoalan semakin melebar yang kemudian
mengarah kepada konflik pemakaian hukum waris, yakni apakah hukum waris Islam
yang akan dipakai, atau hukum waris adat, ataukah hukum waris BW?
Barang tentu
konflik hukum sudah seharusnya diakhir. Demikian pula persoalan
sosiologis menyangkut penggolongan penduduk di era sekarang ini kurang kondusif
bagi negara kesatuan Indonesia yang secara konstitusional hanya mengenal WNI
dan WNA. Pengakhiran dari situasi yang serba kompleks tersebut diperlukan dalam
rangka mencapai kepastian, kemanfaatan dan keadilan di bidang hukum waris di
Indonesia. Bagi Subekti, melihat bahwa kondisi demikian ini rasanya sangat
janggal bagi bangsa yang ingin membangun suatu kodofikasi hukum nasional.[15]
D. Antara Keragaman dan Keseragaman
Kerumitan yang berpangkal tolak dari
konflik hukum demikian itu sudah pada masanya untuk dicarikan jalan keluar. Ada
dua kemungkinan cara penyelesaian masalah konflik hukum waris tersebut, yakni:
(1) tetap membiarkan hukum waris dalam keberagaman dan manakala timbul konflik
hukum kemudian diserahkan kepada pengadilan; atau (2) melakukan unifikasi
dengan membuat suatu undang-undang baru di bidang kewarisan yang bersifat
nasional.
Pandangan yang mewakili pluralitas hukum
berargumentasi bahwa pada masyarakat yang majemuk seperti Indonesia adalah
sangat riskan jika diterapkan hukum yang bersifat seragam yang berlaku secara
nasional. Oleh karena itu, menurut para
pluralis, satu-satunya hukum yang dapat diterapkan pada masyarakat heterogen
ini hanyalah hukum yang pluralistik sifatnya. Lebih dari itu, mereka
berargumen, seseorang tidak akan mampu memulai untuk mengunifikasikan hukum
jika kondisi sosial menghendaki fragmentasinya.[16]
Dalam situasi keberagaman, maka hukum itu tidak seharusnya datang dari atas, tetapi harus lahir dari
masyarakat bawah.[17]
Desakan untuk menghargai dan mengakui
pluralitas hukum ini menjadi menggejala seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde
Baru yang sentralistik. Selama kekuasaan rezim ini, hukum yang dibangun atas
nama pembangunanisme dan bersifat seragam, top
down dan yang diberlakukan secara nasional, berefek pada peminggiran
khazanah kekayaan budaya dan sosial masyarakat yang pada dasarnya sangat
beragam. Konflik sosial mau pun hukum nyaris terjadi selama periode ini karena
diterapkannya model penyeragaman atas semua aspek kehidupan tersebut.
Oleh karenanya, solusi terbaik dalam
situasi bangsa yang berbhinneka adalah dengan membiarkan yang plural tetap
dalam pluralitasnya sebagai bagian kebanggaan dan kekayaan bangsa. Lebih-lebih
bidang hukum waris ini barang tentu merupakan bidang hukum yang sulit
diunifikasikan, sebab menurut Mochtar Kusumaatmadja, bidang hukum waris
dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar “bidang-bidang
yang bersifat ‘netral’ seperti hukum perseroan, hukum kontrak (perikatan) dan
hukum lalu lintas (darat, air dan udara), …”.[18] Dengan memperhatikan pendapat Mochtar Kusumaatmadja
tersebut, maka hukum waris dapat dikatakan termasuk “bidang hukum yang
mengandung terlalu banyak halangan adanya komplikasi-komplikasi kulturil,
keagamaan dan sosiologi”.[19]
Ketika keinginan untuk mengakui
pluralitas ini mendesak kepermukaan, tanpa disadari akan timbul problem yang
cukup pelik. Salah satu misal saja, pluralisme hukum waris adat dengan berbagai
lingkaran hukum adatnya (rechtskringen)
akan membawa konsekuensi hukum lebih jauh, yaitu diperlukannya bantuan hukum
antar tata hukum intern (yakni hukum yang mengatur dan menentukan hukum manakah
yang berlaku); atau apakah hukumnya jika terdapat titik taut (aanknopping punten) antara dua stelsel
hukum yang berlaku bagi dua subyek hukum yang tunduk pada stelsel hukum yang
berlainan.[20]
Masalah ini semakin kusut jika subyek hukumnya berbeda agama dan bersiteguh
dalam mempertahankan pendapat masing-masing dalam melakukan pilihan hukum.
Jika ini terjadi, maka keadaan hukum di
Indonesia kembali seperti pada dekade 60-an dan sebelumnya, yakni para
pemerhati mau pun praktisi hukum harus kembali membuka-buka bahan kuliah hukum
antar golongan intern yang sebenarnya sudah lama tidak diajarkan di pendidikan
tinggi hukum. Kesibukan seperti ini tentu sangat mengurangi produktifitas
bangsa yang sebenarnya tenaga dan pikirannya dibutuhkan untuk keperluan yang
lebih mendesak untuk keluar dari situasi keterpurukan.
Sementara itu para pendukung uniformisme
hukum berpendapat bahwa dalam rangka mewujudkan kebersatuan bangsa salah
satunya hanya dapat dicapai melalui unifikasi hukum. Ide untuk mempertahankan
pluralitas hukum tentu saja tidak sejalan dengan cita-cita ‘hukum yang sama
untuk semua orang’.[21]
Jika pluralitas hukum dipertahankan, tentu saja akan terjadi distorsi terhadap
cita-cita persamaan hukum tersebut. Pada aras yang lebih mendasar, tidak ada
landasan konstitusionalnya untuk membuat hukum yang berbeda-beda yang
diterapkan bagi golongan-golongan penduduk yang berbeda pula. Jika ditengok
lebih dalam, maka Konstitusi Indonesia tidak mengenal penggolong-golongan
penduduk.
Mempertahankan pluralitas hukum sama
dengan membuka gerbang ketidakpastian di bidang kewarisan. Hukum waris adat
yang tidak tertulis mau pun hukum waris Islam yang ditulis dalam bingkai KHI –
yang dikatagorikan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagai hukum tidak tertulis –
tampaknya sulit memberikan kepastian hukum. Jika kepastian hukum saja tidak
bisa dicapai, yakni dalam penentuan dan prediksi tentang alokasi hak kewajiban
serba tidak pasti, maka apakah keadilan di bidang kewarisan dapat juga digapai?
Sementara itu, apakah hukum waris Barat sebagai warisan masa penjajahan masih
layak dipertahankan bagi bangsa yang merdeka? Apakah hukum waris Barat yang
hingga kini masih berlaku tersebut memang sesuai dengan roh/jiwa (volkgeist) dan kebutuhan bangsa
Indonesia sehingga tidak perlu diganti?
E. Unifikasi: Suatu Kebutuhan Untuk Melakukan Pembaruan Hukum
Waris
Argumentasi untuk tetap mempertahankan
hukum waris di Indonesia dalam keadaan beranekaragam ternyata lebih banyak
mengandung konsekuensi negatif, sebab dengan tetap membiarkan keadaan itu terus
berlangsung jelas bertentangan dengan cita-cita bangsa yang berkeinginan untuk
memiliki hukum nasional (yang terunifikasi dan terkodifikasi) yang merupakan
produk bangsa sendiri. Dengan pembiaran tersebut, hal ini juga berarti
melestarikan terjadi konflik hukum antara ketiga sistem hukum waris tersebut
yang sudah terjadi sejak masa penjajahan Belanda dan yang hingga kini terus
berlangsung.[22]
Jika ditengok Konstitusi Indonesia
paling mutakhir (pasca amandemen), maka dapat diketengahkan adanya kerangka
besar (grand design) bahwa hukum di Indonesia pada masa depan adalah
cenderung dikembangkan dan dilembagakan melalui legislasi nasional dengan
membuat berbagai macam peraturan perundang-undangan. Hal ini tercermin pada
bunyi Pasal 1 Aturan Peralihan UUDNRI Tahun 1945 bahwa: “Segala peraturan perundang-undangan (cetak
miring penulis) yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Konsep ‘peraturan perundang-undangan’
dalam UUDNRI Tahun 1945 hasil amandemen tersebut mengandung makna yang lebih sempit jika
dibandingkan dengan konsep ‘peraturan’ dalam UUD 1945 sebelum amandemen.
‘Peraturan perundang-undangan’ mengambil bentuk hukum yang tertulis yang secara
formal dibuat oleh kekuasaan yang bersenang untuk itu. Lebih tegasnya adalah apa yang lazim disebut dengan ‘hukum
perundang-undangan’. Jika menggunakan konsep ‘peraturan’, maka ini bisa berarti
tertulis mau pun tidak tertulis.
Oleh karena itu, agar hukum waris tidak
tereliminasi dari grand design hukum
Indonesia di masa mendatang, maka ia harus diperbarui dengan tetap berada pada
skema kebersatuan dengan tidak meminggirkan keberagaman. Meski ada yang
berpendapat bahwa rasanya sangat musykil melakukan unifikasi dalam suatu
kodifikasi hukum waris – karena banyaknya problem yang akan dihadapi – hal ini
bukan berarti bahwa keinginan tersebut tidak dapat diwujudkan.
Jika mau surut sedikit kebelakang,
sebenarnya usaha ke arah unifikasi dan kondifikasi hukum waris yang berlaku
secara nasional sudah pernah dilakukan. Contohnya, pada Simposium Hukum Waris
Nasional di Jakarta tahun 1983 berhasil disepakati untuk menentukan asas-asas
kewarisan yang diambil dari ketiga sistem hukum waris tersebut sebagai dasar
penyusunan hukum waris nasional yang akan datang.
Meski masih ada perbedaan dalam beberapa
hal, misalnya dalam hal ahli waris yang berbeda agama dan beberapa lainnya,
tetapi kesepakatan Simposium tersebut cukup maju ketika mencapai kesepakatan
tentang asas-asas (general principles)
hukum nasional di bidang kewarisan, seperti asas kemanfaatan, asas keadilan dan
asas kepastian hukum. Dengan keberhasilan mengambil asas-asas dari ketiga
sistem hukum waris tersebut, ini berarti kodifikasi yang direncanakan menganut
model kodifikasi terbuka. Berbagai nilai dan asas dari berbagai bidang hukum
dicari kesamaannya, dan setelahnya akan dirumuskan norma-normanya dalam rumusan
yang lebih implementatif.
Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk
melakukan usaha unifikasi atau pun kodifikasi atas hukum yang sudah melembaga
dalam masyarakat yang bersifat pluralistik. Oleh karena itu usaha untuk
menyusun hukum waris nasional harus dilakukan secara hati-hati mengingat akan
sifat pekanya bidang ini yang memang
erat sekali hubungannya dengan agama dan budaya. Penyusunan hukum waris nasional
ini, di samping untuk memberikan kepastian hukum, juga sekaligus merupakan
pembaruan terhadap hal-hal yang dianggap tidak adil dalam sistem hukum waris
yang ada.
Walau pun masih ada pendapat yang
menyatakan bahwa sekarang ini belum waktunya menyusun hukum waris nasional,
akan tetapi mengingat pentingnya keberadaan hukum waris nasional yang akan
memberikan kepastian, manfaat dan keadilan, maka menurut kesimpulan Simposium
tahun 1983 kiranya langkah-langkah ke arah itu harus dilakukan secara bertahap.
Usaha tersebut dapat dimulai di bidang yang cukup netral, misalnya yang
menyangkut bidang administrasinya dulu. Jika hal itu sudah bisa dilakukan,
kemudian dikembangkan lebih jauh kepada bidang-bidang yang dianggap peka,
setelah melalui berbagai pengkajian yang hati-hati dan mendalam.
Pola penyusunan hukum waris nasional
yang akan datang dapat menggunakan pandangan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound. Menurut Pound, hukum
(tertulis) yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat.[23]
Rumusan yang demikian ini menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum
tertulis (dari proses legislasi nasional) sebagai kebutuhan hukum masyarakat
hukum demi adanya kepastian hukum dan living
law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam
pembentukan hukum dan orientasi hukum.[24]
Selaras dengan pandangan Pound, Eugen Ehrlich menekankan prinsip tentang
pentingnya keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang hidup dalam
mayarakat (the living law).
Keseimbangan antara kepentingan negara
dengan kepentingan masyarakat.[25]
Dengan model pendekatan seperti ini,
maka pandangan Mochtar Kusumaatmadja dengan teorinya yang barangkali dapat
disebut dengan ‘teori unifikasi hukum selektif’,[26]
yakni dengan membiarkan bidang-bidang yang paling berhubungan dengan kehidupan
kultural dan spiritual manusia harus dibiarkan tanpa perubahan, [27] dapat diperluas dengan mengatakan bahwa
bidang-bidang tersebut bukan masalah yang krusial jika keberagaman hukum dapat
diwadahi secara memuaskan semua pihak. Kehati-hatian dalam semua tahap
perumusan hukum waris nasional sangat dibutuhkan dalam kancah legislasi
nasional.
Jadi, tantangannya adalah bagaimana para
legislator piawai membuat satu hukum yang dapat membingkai keberagaman hukum
tanpa menimbulkan gejolak sosial. Dengan paradigma yang demikian itu, maka
pembuatan hukum yang sentralistik dan represif sebagaimana yang pernah
dipraktikkan oleh rezim Orde Baru dapat dipinggirkan bahkan dapat ditiadakan.
Isu perlindungan hak asasi manusia (HAM), demokratisasi dan pengakuan serta penghargaan
terhadap keberagaman sosial dan hukum niscaya dapat diakomodasikan dalam
pembuatan hukum yang berangkat dari pandangan Sociological Jurisprudence tersebut.
Dengan menggunakan pandangan Sociological Jurisprudence tersebut,
maka saran dari Simposium Hukum Waris Nasional Tahun 1983 ialah agar pola
penyusunan hukum waris nasional dapat dilakukan dengan mencontoh UU No. 1/1974
tentang Perkawinan adalah cukup menarik dan sangat layak untuk diakomodasikan
dalam rangka menyusun hukum waris nasional yang unifikatif. UU Perkawinan Tahun
1974, meski mendapat kritikan karena bias gender,[28]
tetapi setidak-tidaknya dapat dijadikan model hukum undang-undang khas
Indonesia, yakni masih dibukanya pintu pluralitas dengan mengakui penerapan
‘hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu’.
Sebagai suatu karya manusia, hukum waris
nasional yang dilembagakan melalui proses legislasi nasional tersebut bukannya
tanpa kelemahan-kelemahan. Setidak-tidaknya ada dua kelemahan dari hukum
perundang-undangan, yaitu:[29]
1)
Bersifat kaku.
Kelemahan ini sebetulnya segera tampak sehubungan dengan keinginan
undang-undang untuk menampilkan kepastian. Apabila kepastian ini hendak
dipenuhi, mka ia harus membayarnya dengan membuat rumusan-rumusan yang jelas,
terperinci dan tegar dengan resiko menjadi norma-norma yang kaku.
2)
Keinginan
perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat umum mengandung
resiko, karena ia mengabaikan dan dengan demikian memperkosa
perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamaratakan begitu
saja. terutama sekali dalam suasana kehidupan modern yang cukup kompleks dan
spesialistis ini, barang tentu tidak mudah untuk membuat perampatan-perampatan
(generalizations).
F. Kesimpulan
Dengan mempertimbangkan kelemahan dari
undang-undang tersebut, maka diperlukan modifikasi dalam menentukan
kecenderungan perkembangan pembentukan hukum di Indonesia. Diperlukan
penyesuaian terhadap hal-hal yang khas Indonesia. Dengan halnya, pelembagaan
hukum waris nasional melalui legislasi nasional mau pun hukum tidak tertulis (customary law) dapat berjalan seiring
seperti di Inggris. Untuk ‘menjinakkan’ kekauan dan ketegaran hukum waris
nasional yang kemungkinan muncul kepermukaan, sudah selayaknya jika
mempertimbangkan asas hukum equity.
Dengan memasukkan asas equity
iniberarti akan memberikan peluang yang cukup luas untuk menutup kekurangan
yang ada pada hukum tertulis (statute law).
Asas hukum equity fungsinya adalah untuk melakukan koreksi terhadap ketegaran
dari kaidah hukum yang sangat konkrit.[30]
Dalam hal demikian ini, maka peranan hakim menjadi sangat besar karena melalui
yurisprudensi hakim dapat mengarahkan perkembangan hukum yang berlaku di
samping membentuk hukum baru yang sesuai dengan perasaan hukum dan rasa
keadilan yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat.
Barang tentu, pelembagaan hukum waris
melalui proses legislasi nasional yang demikian itu diharapkan dapat mewujudkan
tipologi dasar dari keadaan hukum yang responsif, yakni hukum yang demokratis
dan responsif terhadap kebutuhan tuntutan-tuntutan yang berkembang di
masyarakat. Demokratisasi dan responsivitas dari hukum waris nasional yang akan
datang sangat tergantung kepada du persyaratan, yakni: (1) adanya political will dan (2) political action yang berjalan seiring
berkelindan dari para legislator dalam memformulasikan kebutuhan-kebutuhan
hukum masyarakat yang rindu akan kepastian, kemanfaatan dan keadilan.
-----
DAFTAR PUSTAKA
A. Gani
Abdullah, 1987, Badan Hukum Syara’
Kesultanan Bima 1947-1957. Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
A. Hamid S.
Attamimi, 1996, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia. Dalam Amrullah
Ahmad (Eds.) Dimensi Hukum Islam Dalam
Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof.Dr. Busthanul Arifin,SH. Gema
Insani Press, Jakarta.
A. Sukri
Sarmadi, 1997, Transendensi Keadilan
Hukum Waris Islam Trasformatif. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Achmad Sodiki,
1999, Politik Hukum Agraria: Unifikasi Ataukah Pluralisme Hukum? Dalam Arena Hukum, Majalah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. No. 8. Tahun 3, Juli
1999.
Busthanul
Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di
Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press,
Jakarta.
Daniel S. Lev,
1973, Judicial Unification in Post Colonial Indonesia. Dalam Indonesia 16 (Oktober 1973)
Halimah A.,
1987, Kebhinnekaan dan Sifat-sifat Khas
Masyarakat Adat Indonesai. Laboratorium PMP/IKN FPIPS IKIP Padang.
Hamka, 1970, “Hubungan
Timbal Balik Antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan Minangkabau. Panji Mayarakat, Nomor 61/IV/1970
Henny
Purwanti, 2001, Bias Gender Dalam Hukum Perkawinan. Argumentum, Majalah Hukum STIH Jenderal Sudirman Lumajang, No. 1/Juli-Desember 2001
John Ball,
1985, Indonesian Law Commentary and
Teaching Materials. Faculty of Law, University of Sydney, Sydney.
Lili Rasjidi
dan I.B. Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai
Suatu Sistem. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Lili Rasjidi,
1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum.
Alumni, Bandung.
M.B. Hoeker,
1978, Adat Law in Modern Indonesia,
Oxford University Press, Kuala Lumpur.
Mochtar
Kusumaatmadja, 1975, Pembinaan Hukum
dalam Rangka Pembangunan Nasional. Binacipta, Bandung.
Mochtar
Kusumaatmadja, 1976, Pembinaan Masyarakat
dan Pembinaan Hukum Nasional. Binacipta, Bandung
Mochtar Na’im,
1968, Menggali Hukum Tanah dan Hukum
Waris Minangkabau. Centre for Minangkabau Studies, Padang.
Moh. Mahfud MD,
1998, Politik Hukum Di Indonesia.
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
Mohammad Daud
Ali, 1994, Hukum Islam Pengantar Ilmu
Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Munawir
Sjadzali, 1988, Reaktualiasi Ajaran Islam. Dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (Ed.),
Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam.
Pustaka Panjimas, Jakarta.
R. van Dijk, tt,
Pengantar Hukum Adat Indonesia.
Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve, Bandung.
Ratno Lukito,
1998, Pergumulan Antara Hukum Islam dan
Adat di Indonesia. INIS, Jakarta.
Satjipto
Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Soetandyo
Wignjosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial
ke Hukum Nasional. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Subekti, 1985,
Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa,
Jakarta.
Wirjono
Prodjodikoro, tt, Hukum Warisan di
Indonesia. Vorkink van Hoeve, Bandung.
* Anis Ibrahim,SH.,Mhum. adalah dosen PNS Dpk pada
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang-Jatim, Peserta
Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Uiniversitas Diponegoro.
[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia. Vorkink van Hoeve, Bandung, tt, hal. 8 –
10; R. van Dijk, Pengantar Hukum Adat
Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve, Bandung, tt,. hal. 43-45.
[2] R. van Dijk, Ibid, hal. 7-8.
[3] Hamka, “Hubungan Timbal Balik Antara Adat
dan Syara’ di dalam Kebudayaan Minangkabau. Panji
Mayarakat, Nomor 61/IV/1970, hal. 10.
[4] A. Gani Abdullah, Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947-1957. Disertasi IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 1987, hal. 89.
[5] M.B. Hoeker, Adat Law in Modern Indonesia, Oxford University Press, Kuala
Lumpur, 1978, hal. 97).
[6] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 13.
[7] Mochtar Na’im, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Centre for
Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal. 241.
[8] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 10-14.
[9] Strategi hukum di sini sama dengan
politik hukum yaitu legal policy yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh penguasa negara sebagaimana
yang diintrodusir Moh. Mahfud MD, Politik
Hukum Di Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hal. 9.
[10] Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah
Lembaga/Pranata Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semester Ganjil
Tahun 2004/2005.
[11] Secara yuridis konstitusional tidak ada
istilah ‘WNI keturunan’ tersebut. Tetapi secara sosiologis istilah demikian ini
masih sering dijumpai. Bahkan tidak jarang terdengar pemakaian istilah WNI
pribumi dan non-pribumi.
[12] Lebih lanjut baca Munawir Sjadzali,
Reaktualiasi Ajaran Islam. Dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (Ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam.
Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988, hal. 3-4.
[13] A. Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Trasformatif. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1997, hal. 3-4.
[14] Menurut A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan
Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Suatu Tinjauan dari Sudut
Teori Perundang-undangan Indonesia. Dalam Amrullah Ahmad (Eds.) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional Mengenang 65 Th. Prof.Dr. Busthanul Arifin,SH. Gema Insani Press,
Jakarta, 1996, hal. 147-155, KHI adalah hukum
tidak tertulis, meski formatnya ditulis. KHI merupakan himpunan ketentuan
hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. KHI menunjuk adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara
nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama
Islam untuk menulusuri norma-norma hukum bersangkutan apabila diperlukan, baik
di dalam mau pun di luar pengadilan.
[15]
Subekti, Op.cit. hal. 14.
[16]
John Ball, Indonesian Law Commentary and
Teaching Materials. Faculty of Law, University
of Sydney, Sydney, 1985: hal. 202.
[17]
Halimah A., Kebhinnekaan dan Sifat-sifat
Khas Masyarakat Adat Indonesai. Laboratorium PMP/IKN FPIPS IKIP Padang,
1987, hal. 4.
[18]
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Binacipta, Bandung, 1976, hal. 14.
[19]
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum
dalam Rangka Pembangunan Nasional. Binacipta, Bandung, 1975, hal. 12.
[20]
Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria: Unifikasi Ataukah Pluralisme Hukum? Dalam
Arena Hukum, Majalah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. No. 8. Tahun 3, Juli
1999, hal. 102.
[21]
Daniel S. Lev, Judicial Unification in Post Colonial Indonesia. Dalam Indonesia 16 (Oktober 1973), hal. 257.
[22]
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam
di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
[23] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung, 1985, hal. 47.
[24] Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 83.
[26] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. INIS, Jakarta,
1998, hal. 68.
[27] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 231.
[28] Henny Purwanti, Bias Gender Dalam Hukum
Perkawinan. Argumentum, Majalah Hukum
STIH Jenderal Sudirman Lumajang, No.
1/Juli-Desember 2001, hal 70-79.
[29] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal 85.
[30] Ibid. hal. 244.