Senin, 31 Januari 2005

LANDASAN KEILMUAN ILMU HUKUM (Menuju Satu Kesepakatan Ontologis dan Epistemologis)

 Jurnal Hukum ARGUMENTUM, Vol. 4 No. 1,  Desember 2004     ISSN: 1412-1751

LANDASAN KEILMUAN ILMU HUKUM
(Menuju Satu Kesepakatan Ontologis dan Epistemologis)
Oleh: Anis Ibrahim*

ABSTRAK
Ilmu Hukum yang selama ini berparadigma ganda, yakni kubu normatif/positivistis/dogmatis dan kubu empiris/sosiologis/non-dogmatis dengan landasan ontologis dan epistemologis yang berbeda-beda pada dasarnya kurang menggembirakan dalam  kaitannya pembangunan hukum. Untuk itu perlu diakhiri dengan melakukan suatu kesepakatan mengenai landasan ontologis dan epistemologisnya, yakni dengan cara mengkonvergensi dua paradigma tersebut. Dengan dasar pemikiran bahwa hukum merupakan suatu gejala masyarakat yang mempunyai segi ganda, yakni (1) kaidah/norma, dan (2) perilaku (yang ajeg/unik/khas), maka pengkajian Ilmu Hukum dapat dilakukan baik melalui penelitian hukum normatif  mau pun empiris/sosiologis. Kedua pengkajian hukum tersebut jika dilakukan secara seksama akan saling melengkapi dan menyempurnakan kekurangan yang ada dari masing-masing segi Ilmu Hukum.

A.     PENDAHULUAN
Ilmu adalah suatu cara untuk mengetahui. Ini artinya bahwa ilmu bukan merupakan satu-satunya cara untuk mengetahui. Di luar ilmu ada cara lainnya untuk mengetahui, yakni yang pada umumnya disebut dengan pengetahuan. Dengan perspektif yang demikian itu, Liek Wilardjo menyatakan bahwa ilmu itu merupakan bagian dari pengetahuan. Sebagai bagian dari pengetahuan, ilmu tidaklah sekedar akumulasi informasi. Lebih dari itu, ilmu juga membentuk cara berpikir.[1]
 Koento Wibisono Siswomihardjo menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya.[2] Dengan demikian, ilmu itu niscaya berorientasi dan selalu berusaha untuk mengungkapkan kebenaran yang universal. Tetapi, menurut Liek Wilardjo, kebenaran yang ingin dicapai oleh ilmu itu tidaklah mutlak dan tidak langgeng, melainkan bersifat nisbi, sementara, dan hanya merupakan pendekatan saja. Apa yang dewasa ini dipegang teguh sebagai kebenaran senantiasa merupakan hasil jerih payah bertahun-tahun mengembangkan dan menyempurnakan kebenaran lama. Kebenaran yang sekarang ini pun, mungkin suatu waktu nanti akan digantikan dengan suatu kebenaran yang lebih jati lagi.[3]
Manusia adalah makhuk yang serba ingin tahu. Ia merasa tidak akan pernah puas atas segala yang terhampar di depannya. Dari sebab yang demikian inilah, maka ilmu menjadi tumbuh subur dan terus menerus berkembang. Bahkan di dunia modern sekarang ini, ilmu telah mengalami perubahan-perubahan dalam perangainya. Praktik-praktik komunitas ilmuwan dalam kegiatannya bukan saja dipengaruhi oleh Weltanschauung dan perspektif religius serta politik sang ilmuwan, melainkan juga telah dibayangi ilmu itu sendiri dalam hakekatnya sebagai kekuasaan.[4]
Dengan demikian sulit rasanya untuk mengatakan bahwa ilmu itu netral. Sejak semula ilmu memang tidak netral, melainkan sarat nilai. Bukan saja nilai-nilai konstitutif yang mempengaruhi ilmuwan dan karenanya juga proses serta produk kegiatan keilmuannya, melainkan juga nilai-nilai kontekstual. Melalui nilai-nilai kontekstual itu barang tentu ilmuwan rentan terhadap pengaruh kepentingan-kepentingan pihak lain. Jadi, sistem nilai yang dianut suatu komunitas ilmuwan akan mempengaruhi kesepakatan mengenai anggapan apa yang merupakan ilmu itu.[5]
 Ilmu Hukum sebagai bagian dari Ilmu secara keseluruhan niscaya tidak lepas dari perspektif yang demikian itu. Perkembangan Ilmu Hukum tentu saja tidak lepas dari pergulatan intelektual yang panjang dan melelahkan dalam rangka menyingkap tentang apa yang dinamakan ‘kebenaran hukum’ itu. Dalam proses yang demikian itu, dengan menggunakan model revolusi ilmu Thomas Kuhn, Ilmu Hukum itu berkembang dalam sebuah skema open ended, yaitu sebuah akhir yang selalu terbuka untuk diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut.
Meski suatu paradigma[6] dalam suatu Ilmu Hukum  dianggap telah usang dan tidak mampu untuk menjawab dan memberi solusi atas problem baru yang muncul belakangan, yang kemudian memunculkan paradigma baru Ilmu Hukum, akan tetapi paradigma lama tersebut tidak dengan sendirinya akan tergusur. Ia masih saja bertahan secara teguh dalam suatu komunitas ilmuwan yang bersangkutan, tanpa mau menoleh kepada paradigma yang muncul belakangan.
Problem keilmuan yang hingga kini dihadapi oleh Ilmu Hukum adalah belum adanya satu kesepakatan tentang apa yang menjadi objek telaah (ontologis) dari Ilmu Hukum itu. Akibat lanjutannya adalah belum juga muncul kesepakatan tentang bagaimana caranya untuk mengeksplorasi hukum (epistemologis). Sementara, manfaat hasil telaahnya itu (aksiologis) tidaklah terlalu mengganjal dalam Ilmu Hukum.
Setidak-tidaknya ada dua kubu yang ‘berhadap-hadapan’ yang belum saling sepakat tersebut, yakni antara kubu normatif/dogmatis/doktrinal dengan kubu empirik/ non-dogmatis/non-doktrinal. Acap kali, argumentasi yang dibangun antara dua kubu tersebut bersifat a priori tanpa mau melongok kelebihan dan kekurangan masing-masing. Para ilmuwan hukum dari kedua kubu tersebut masih saja sering disibukkan atau terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang tak kunjung selesai, lantaran perbedaan aliran-aliran pemikiran yang diacu, yang tak satu pun memperoleh penerimaan umum oleh para ilmuwan hukum untuk dijadikan fundasi pengembangan Ilmu Hukum. Oleh karenanya, persoalan yang harus segera dipecahkan adalah bagaimana membangun suatu kesepakatan atas ontologi dan epistemologi dari Ilmu Hukum yang hingga kini masih terbelah itu.
Kebutuhan kepada kesepakatan menyangkut segi ontologis dan epistemologis dari para ilmuwan hukum pada galibnya akan menentukan terbangunnya exemplar atau disiplinary matrix. Terbangunannya exemplar itu selain menjadi landasan pada level keyakinan intelektual bagi komunitas keilmuwan, juga menyodorkan masalah-masalah yang perlu digarap, beserta langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh pemraktik ilmu untuk memecahkan teka-teki mau pun problem yang dihadapi oleh Ilmu Hukum.

B.  LANDASAN ILMU
Untuk membedakan dengan entitas lainnya, maka ilmu sebagai bagian dari pengetahuan niscaya memiliki ciri-ciri khas. Ciri khas atau karakteristik pengetahuan keilmuan ini mencerminkan landasan yang akan digunakan untuk menjelaskan apakah pengetahuan itu dapat dikatagorikan sebagai ilmu ataukah hanya berhenti pada pengetahuan saja. Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa ilmu itu nisacaya memilki tiga landasan, yaitu: (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi/teleologi.[7] Berikut ini dipaparkan tiga landasan keilmuan tersebut.
1)   Landasan ontologis membahas tentang apa yang ingin diketahui, atau dengan kata lain ontologi merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek yang ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris hal ini dikarenakan objeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya pada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, dan karenanya selalu terhadap dunia empiris.
2)    Landasan epistemologis membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apa pun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda. Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut syarat keilmuan, yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran di atas segala-galanya. Oleh karenanya, ilmu barangkali boleh salah, tetapi yang tidak boleh adalah bohong (menutupi/menghilangkan kebenaran).
3) Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Liek Wilardjo menyatakan bahwa aksiologi ialah telaah tentang nilai-nilai, sedangkan teleologi ialah telaah tentang tujuan. ‘Tujuan’ di sini dapat ditafsirkan sebagai kodrat (devine purpose) atau semata-mata sebagai tujuan pemanfaatan pengetahuan. Karena kedua arti ‘tujuan’ ini tidak lepas dari nilai-nilai, maka sebagai landasan suatu pengetahuan aksiologi dan teleologi tak perlu terlalu dirisaukan perbedaannya. Landasan aksiologis/teleologis suatu pengetahuan mengacu kepada nilai-nilai yang dipegang dalam menentukan pengembangan, memilih dan menentukan prioritas bidang penelitian, dan menerapkan serta memanfaatkan pengetahuan.[8]

C.  ILMU HUKUM: DARI YANG MERAGUKAN KEILMIAHANNYA SAMPAI KEGANDAAN DALAM LANDASAN KEILMUANNYA
Sebagai salah satu disiplin ilmu, barangkali hanya Ilmu Hukum yang hingga kini masih mengalami dinamika dalam hal menentukan landasan keilmuannya jika dibandingkan dengan landasan keilmuan dari bidang (disiplin) lainnya. Hal ini dikarenakan hingga kini masih terlampau beragam sudut pandang yang ingin memahami dan kemudian menentukan apa yang disebut dengan ‘hukum yang benar’ beserta perangkat keilmuannya itu.
Di samping keragaman dalam memandang dan menjelaskan terhadap fenomena yang namanya hukum tersebut, telah sejak lama, yakni pada abad 19, muncul pandangan yang meragukan posisi keilmiahan dari Ilmu Hukum. J.H. von Kirchmann pada tahun 1848 dalam sebuah pidatonya yang diberi judul Die Wertlosigkeit der Jurisprudenz als Wissenschaft (Ketakberhargaan Ilmu Hukum sebagai Ilmu) menyatakan bahwa Ilmu Hukum itu adalah bukan ilmu. Pada abad 20, juga muncul pandangan yang menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum. Hal ini tercermin dari karya A.V. Lundstedt yang berjudul Die Inwissenschaftlichkeit der Rechtswissenshaft (Ketakilmiahan Ilmu Hukum) yang terbit pada tahun 1932. Berdasarkan metodenya, A.V. Lundstedt dengan tegas menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum.[9]
J.H. von Kirchmann beargumentasi bahwa obyek studi dari apa yang dinamakan Ilmu Hukum itu adalah hukum positif yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat. Begitu Ilmu Hukum selesai memaparkan sistem hukum positif yang berlaku dalam masyarakat, maka hasil pemaparannya itu akan tertinggal oleh dinamika hukum positif itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hakikat dari sistem hukum positif itu yang selalu bergerak  dinamis dan berubah-ubah mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Dengan latar yang demikian ini, maka Kirchmann sampai pada kesimpulan bahwa objek dari Ilmu Hukum itu - tidak seperti ilmu lainnya yang memiliki sifat universal – bersifat lokal. Objek Ilmu Hukum tidak dapat dipegang  oleh Ilmu Hukum karena selalu berubah-ubah dan berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.[10] Jadi, Ilmu Hukum tidak memiliki landasan keilmuan sebagaimana yang dimiliki oleh ilmu lain, demikian inti pandangan yang menolak keilmuan dari Ilmu Hukum.
Atas pandangan yang minor terhadap Ilmu Hukum tersebut, Paul Scholten melalui karyanya berjudul De Structuur der Rechtswetenschap yang terbit pada tahun 1942 mencoba menjernihkan tentang status Ilmu Hukum sebagai ilmu yang sesungguhnya. Dalam karyanya ini, Scholten secara ringkas, jernih dan dan jelas memaparkan pandangannya tentang hukum, keadilan dan Ilmu Hukum.[11]
Di Indonesia sendiri, perdebatan tentang  ontologi dan epistemologi dari Ilmu Hukum mulai marak pada tahun 1970-an. Munculnya pemikiran-pemikiran sosiologis dalam kajian Ilmu Hukum menimbulkan reaksi yang cukup signifikan dari Ilmu Hukum dogmatis. Sebagaimana diketahui, Ilmu Hukum yang dibangun dan dikembangkan di Indonesia, sebagai bekas jajahan Belanda, hingga menjelang tahun 1970 adalah berlandasakan pada pemikiran positivisme hukum. Objek telaah dari Ilmu Hukum yang positivistik ini adalah (sistem/tata) hukum positif. Cara mengkajinya (epistemologi) pun memiliki kekhasan tersendiri yang tidak sama dengan disiplin lainnya, yakni keharusan adanya analisis normatif beserta perangkat penafsirannya.
  Munculnya sosiologi dalam Ilmu Hukum dikarenankan ingin melihat hakikat hukum yang tidak terbatas pada teks normatif yang abstrak. Tetapi lebih jauh dari itu, hukum ingin dilihat dalam segenap kompleksitasnya dalam interaksinya dengan alam realitas empirik sebagai medan tumbuh-kembangnya hukum tersebut. Apakah bunyi aturan hukum benar-benar berfungsi atau tidak berfungsi dalam realitas empirik?, tidak akan diketahui jika hanya ‘mengamati’ ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi dan formal. Penglihatan yang demikian ini dapat dicapai jika menggunakan ‘bantuan’ sosiologi dalam Ilmu Hukum.
Akan tetapi pengamatan yang demikian itu mendapat reaksi yang cukup keras. C.F.G. Sunaryati Hartono melalui karyanya Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20 merupakan salah satu ilmuwan hukum yang ‘gerah’ atas kegairahan Ilmu Hukum dengan pendekatan sosiologis tersebut. Melalui karyanya tersebut, beliau ingin meyakinkan dan mengajak para ilmuwan hukum untuk kembali ke ‘habitatnya’ dengan memperhatikan metode-metode penelitian hukum beserta penafsiran-penafsiran hukum yang selama ini telah dibangun oleh Ilmu Hukum itu sendiri. Penelitian hukum membutuhkan metode  yang berbeda dan khas, yang sesuai dengan objek atau materi Ilmu Hukum itu sendiri, yaitu norma-norma hukum.[12]
Memang tidak dapat dipungkiri ada pandangan, baik dari sosiolog mau pun sarjana hukum sendiri, bahwa Ilmu Hukum  termasuk kelompok Ilmu-ilmu Sosial. Tetapi penggunaan metode penelitian ilmu sosial kurang dapat diandalkan untuk dapat menciptakan suatu analisis hukum, doktrin hukum, atau suatu produk hukum (rancangan undang-undang, mislanya) yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum. Oleh karenanya penelitian hukum harus kembali kepada metode-metode penelitian hukum.[13]
Menjelang  akhir abad 20, Bernard Arief Sidharta melalui Disertasinya berusaha membuktikan sifat keilmuan dari Ilmu Hukum. Menurut pendapatnya, Ilmu Hukum itu juga seperti halnya ilmu lain, memiliki landasan keilmuan yang dibutuhkan oleh setiap ilmu. Ilmu Hukum membangun konsep dan obyeknya yang dapat dieksplorasi oleh siapa pun. Obyek-telaah Ilmu Hukum adalah tata hukum positif, yakni sistem aturan hukum yang ada pada suatu waktu  tertentu dan berlaku dalam suatu wilayah tertentu.[14]
Lebih lanjut Sidharta menjelaskan bahwa Ilmu Hukum termasuk ke dalam jajaran Kelompok Ilmu Praktis-Normologis. Ilmu Praktis merupakan medan tempat berbagai ilmu bertemu dan berinteraksi (berkonvergensi), yang produk akhirnya berupa penyelesaian yang secara ilmiah (rasional) dapat dipertanggungjawabkan. Meski obyek telaahnya adalah tata hukum positif, dalam perkembangannya, Ilmu Hukum harus terbuka dan mampu mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa berubah menjadi ilmu lain tersebut dengan kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu normatif. Ragaan dalam halaman 8 berikut adalah gambaran struktur ilmu dimana Ilmu Hukum berada di dalamnya.
 Memasuki abad 21, muncul karya yang berbeda dengan pendapat Sidharta tersebut dalam mengkonstatasi keberadaan Ilmu Hukum. Adalah Bernard L. Tanya melalui Disertasinya menyatakan bahwa  Ilmu Hukum tidaklah memadai jika hanya berkubang dalam paradigma normatif-dogmatis saja. Sebab, jika hanya berkisar pada aspek normatif saja, maka tidaklah akan dapat menangkap hakikat hukum sebagai upaya manusia untuk menertibkan diri dan masyarakat berikut kemungkinan berfungsi atau tidaknya hukum tersebut dalam masyarakat.[15]
Untuk melihat hakikat hukum dengan segala kompleksitasnya tersebut, kemudian ia berpendapat bahwa Ilmu Hukum adalah merupakan bagian dari Ilmu Humaniora. Sebagai bagian dari Ilmu Humaniora, maka Ilmu Hukum mempelajari hukum dengan titik tolak dari manusia sebagai subyeknya.[16] Meletakkan Ilmu Hukum sebagai bagian dari Ilmu Humaniora tersebut jelas sangat berbeda dengan pendapat Sidharta di atas yang menyatakan bahwa Ilmu Hukum berada dalam tataran Ilmu Praktikal-Nomologik.

Ragaan
                                                                        LOGIKA TRADISIONAL
                                                LOGIKA
                                                                        LOGIKA SIMBOLIK
                        FORMAL          MATEMATIKA
                                               
Inter                  TEORI SISTEM
                        pre                                                             BIOLOGI
                        tasi                   ILMU-ILMU ALAM
                                                                                         NON-BIOLOGI
ILMU                EMPIRIS




                                                                                        ILMU SOSIAL
                                                ILMU-ILMU MANUSIA       ILMU SEJARAH
                                                                                        ILMU BAHASA
                    Berkonvergensi                                         
                        ke dalam           PRAKTIS                 OTORITATIF:
                        PRAKTIS          NOMOLOGIS            ILMU HUKUM                                                                                    NON-OTORITATIF
                                                PRAKTIS             * Etika
                                                NORMOLOGIS    * Pedagogi

Dengan objek telaah (ontologi) yang berbeda tersebut, Ilmu Hukum Dogmatik objek telaahnya adalah semata-mata pada teks-teks otoritatif. Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatis objek telaahnya adalah hukum dengan sekalian keterkaitannya dengan realitas-empirik. Hal ini berakibat kepada model penelaahan (epistemologi) yang berbeda pula. Metode penelitian dalam Ilmu Hukum Dogmatik menggunakan metode penelitian hukum beserta perangkat-perangkat penafsirannya yang ‘murni’ hukum dogmatik. Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatik (empiris) menggunakan perangkat metode penelitian ‘baru’, yaitu ‘tidak alergi meminjam’ metode yang dikembangkan ilmu lain.[17]
Untuk mendapatkan gambaran secara ringkas tentang ‘dua kubu’ Ilmu Hukum yang berbeda dalam mengkonstatasi baik struktur, ontologi mau pun epistemologinya, berikut ini dipaparkan Bagan tentang perbedaan tersebut.


ILMU HUKUM DOGMATIK
ILMU HUKUM EMPIRIK
STRUKTUR KEILMUAN
Ilmu Praktis
Ilmu Empiris
ONTOLOGI
Tata Hukum Positif
Hukum Dalam Realitas Empirik
EPISTEMO-LOGI
Metode Penelitian Hukum + Penafsiran Hukum
Tidak Menabukan Metode Penelitian Ilmu Lain

D. MENUJU SATU KESEPAKATAN TENTANG LANDASAN KEILMUAN DARI ILMU HUKUM
Landasan keilmuan sebagai dipaparkan di atas (bagian B) sejatinya tidak hanya menetapkan unsur-unsur teoritis tentang apa dan bagaimana suatu objek, tetapi juga menentukan sebagai apa orang dapat memandang dan menjelaskan suatu fenomena. Dalam kapasitasnya sebagai sistem pemikiran yang mendasari suatu disiplin ilmu, maka landasan keilmuan itu sekaligus menentukan sikap dasar terhadap pengetahuan dan hubungan pengetahuan tersebut dengan sasaran yang ingin diketahui, yakni realitas.
Barang kali perbedaan dalam memandang fenomena hukum yang terpolarisasi dalam dua kubu, yaitu kubu dogmatik dan kubu non-dogmatik, dapat dipandang sebagai suatu rahmat dan kekayaan dalam khazanah Ilmu Hukum. Sebagai bagian dari dinamika ilmu, hal ini sah-sah saja. Yang memprihantinkan ialah jika tolak tarik perbedaan tersebut menghasilkan sesuatu yang kontra produktif bagi perkembangan hukum. Dikatakan kontra produktif, karena para komunitas dari kedua kubu tersebut hanya sibuk berdebat dan bersilang sengketa mengenai kebenaran argumentasi dan aliran pemikiran yang dijadikan acuannya. Yang kemudian terjadi adalah mereka berkutat untuk saling mencari-cari kelemahan masing-masing tanpa mau melongok dan berusaha memahami secara jernih tentang kelemahan dan keunggulan yang ada di kedua kubu tersebut.
 Akibatnya, kegiatan-kegiatan ilmiah, khususnya kegiatan penelitian masih berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau pun kerangka konseptual dan teoretikalnya yang diterima secara umum oleh komunitas ilmuwan hukum. Itulah sebabnya, tidak heran hingga kini dalam Ilmu Hukum belum memiliki kesepakatan menyangkut dalil-dalil, konsep-konsep dan instrumentasi sebagai model untuk mengembangkan tradisi riset ilmiah yang terpadu. Menurut Bernard L. Tanya, ini semua disebabkan oleh ketiadaan kesepakatan menyangkut segi ontologis dan epistemologis Ilmu Hukum di kalangan ilmuwan hukum sendiri.[18] Di samping itu, adanya kecurigaan dari kalangan ilmuwan hukum bahwa masuknya sosiologi dalam kajian Ilmu Hukum barangkali dianggap sebagai suatu intervensi orang luar dalam masalah-masalah dalam negeri.[19]
Sayangnya, ketika menjelaskan perihal ketiadaan kesepakatan tentang dua landasan keilmuan tersebut, Bernard L. Tanya tidak berusaha memberikan jalan keluar atas permasalahan yang krusial tersebut. Yang terjadi justru yang bersangkutan melakukan pemihakan kepada salah satu kubu, yakni kubu non-dogmatis, dengan seperangkat argumentasi pembenarnya. Menurutnya, hal itu diperlukan karena fokus kajiannya ialah ingin melihat bagaimana keutuhan dan kompleksitas dari aturan normatif yang berasal dari negara ketika berhadapan dengan realitas empirik dalam tataran lokal. Dan ini tidak memadai jika menggunakan optik dogmatika hukum saja.
Sampai pada tahap ini tampaknya belum juga ada suatu kesepakatan untuk mengakhiri fenomena kegandaan dari Ilmu Hukum. Ketiadaan kesepakatan tersebut jika dibiarkan terus niscaya kurang baik bagi perkembangan dan pembangunan Ilmu Hukum. Andai ada pernyataan bahwa Ilmu Hukum adalah ilmu yang membingungkan, barangkali hal itu tidak dapat disalahkan. Oleh karenanya harus diupayakan untuk mengakhiri ketidaksepakatan landasan keilmuan dari Ilmu Hukum.
 Sebenarnya bukan tidak pernah ada usaha yang mencoba untuk memberikan suatu pemahaman yang cukup komprehensif meski singkat dalam hal silang sengketa kegandaan landasan Ilmu Hukum tersebut. Pada kesempatan Diskusi Panel Metode-metode Penelitian Hukum yang dilakukan di Fakultas Hukum Unpad tanggal 21 Januari 1984, Soerjono Soekanto[20] berpendapat bahwa agak mengganggu proses pemikiran mengenai metode penelitian hukum yang beranggapan bahwa Ilmu Hukum merupakan suatu ilmu yang normatif belaka. Hal demikian tidak akan terjadi apabila dasar anggapannya dikembalikan pada titik tolak bahwa yang merupakan genus adalah disiplin hukum yang dapat dijabarkan ke dalam komponen-komponen sebagai berikut:

DISIPLIN HUKUM
DOGMATIK HUKUM
ILMU KENYATAAN HUKUM
FILSAFAT HUKUM
POLITIK HUKUM
TEKNOLOGI HUKUM

Sistematika tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hukum memang merupakan suatu gejala masyarakat (social feit) yang mempunyai segi ganda, yakni (1) kaidah/norma, dan (2) perilaku (yang ajeg atau unik/khas). Dengan mengutip pendapat Broekman dan van Eikema Hommes, Soekanto menyimpulkan bahwa suatu norma atau kaidah sebenarnya juga merupakan suatu kenyataan yang merupakan gejala kemasyarakatan, sebagaimana halnya dengan perilaku yang ajeg mau pun yang unik.
Selaras dengan hal itu, H. Ph. Visser ‘t Hooft juga menyatakan bahwa Ilmu-ilmu Hukum (Rechtswetenschappen) mencakup semua kegiatan ilmiah yang mempunyai hukum sebagai objek-telaahnya. Kegiatan ilmiah ini sangat banyak jenisnya, yang tidak melulu kegiatan yang mengkaji aspek normatif dari hukum. Untuk mendapatkan kejelasan tentang hukum, niscaya dilakukan dengan cara menempatkan hukum dalam konteks dari keseluruhan dunia-kehidupan (lebenswelt) manusiawi kita.[21]
Atas dasar pemikiran yang demikian itu, Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa pemisahan secara ketat antara segi normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan akan menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis dengan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari bahwa kedua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya bukanlah kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus dengan sekalian pendekatan-pendekatannya.
 Lebih lanjut Soekanto mengatakan bahwa selama kalangan hukum sudah mempunyai kerangka pemikiran yang mantap, maka ‘bahaya’ dari sosiologi tidaklah perlu dikhawatirkan. Bahkan suatu keuntungan akan diperoleh darinya, yakni metode penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosiologi akan dapat dimanfaatkan di dalam pengembangan Ilmu Hukum. Dengan demikian, kalangan ilmuwan hukum tidak perlu kembali ke penelitian hukum normatif. Yang perlu adalah suatu kesadaran bahwa penelitian hukum normatif dengan objek telaahnya teks-teks otoritatif dan penelitian hukum empiris/sosiologis dengan objek telaahnya hukum sebagai gejala kemasyarakatan, adalah saling melengkapi. Keduanya merupakan segi-segi dari satu masalah.
Di samping itu diperlukan juga suatu kesadaran bahwa jika hanya ada satu jenis penelitian, maka itu baru dilakukan kegiatan ilmiah yang belum lengkap. Melihat hukum hanya dari sisi normatifnya saja tentu tidak bisa menggambarkan fakta empiriknya. Demikian juga melihat hukum dari sisi gejala kemasyarakatan tidak bisa menggambarkan hukum sebagai sistem/tata norma yang positif, sebab ia hanya berhenti kepada deskripsi gejala-gejala saja.
Dalam kaitan yang demikian ini, komuitas hukum perlu menyimak secara seksama apa yang dikatakan oleh D. Sidik Suraputra, bahwa dibalik manfaat yang bisa dipetik dari pendekatan sosiologi dalam Ilmu Hukum, sosiologi mengandung dua bahaya, yaitu menjadi ultra teoritis dan ultra empiris.[22] Untuk itu, kecenderungan dalam melakukan pengkajian hukum empiris/sosiologis/non-dogmatis hendaknya hati-hati jangan sampai terlanjur menjadi kajian sosiologis belaka yang hanya menghasilkan data penunjang bidang hukum. Kajian empiris dalam Ilmu Hukum tidak berhenti pada deskripsi gejala dan fakta kemasyarakatan, namun lebih dari itu niscaya juga merambah segi ranah normatifnya.

E. PENUTUP
Dari uraian singkat tersebut di atas dapat disimpulkan Ilmu Hukum yang selama ini berparadigma ganda, yakni kubu normatif/positivistis/ dogmatis dan kubu empiris/sosiologis/non-dogmatis dengan landasan ontologis dan epistemologis yang berbeda-beda, kurang menggembirakan dalam  kaitannya pengembangan dan pembangunan hukum. Hal ini akan selalu berakibat timbulnya kebingunan di kalangan komunitas hukum. Untuk mengakhiri silang sengketa yang melelahkan tersebut sudah waktunya dilakukan suatu kesepahaman dan kesepakatan mengenai landasan ontologis dan epistemologis dalam Ilmu Hukum.
Dengan dasar pemikiran bahwa hukum merupakan suatu gejala masyarakat (social feit) yang mempunyai segi ganda, yakni (1) kaidah/norma, dan (2) perilaku (yang ajeg atau unik/khas), maka pengkajian dalam Ilmu Hukum dapat dilakukan baik melalui penelitian hukum normatif  mau pun penelitian hukum empiris/sosiologis. Kedua pengkajian hukum tersebut jika dilakukan secara seksama akan saling melengkapi dan menyempurnakan kekurangan yang ada dari masing-masing segi Ilmu Hukum.
Jadi, dengan cara mengkonvergensi dua paradigma Ilmu Hukum yang selama ini dalam posisi silang-sengketa, akan tercapai kesepakatan landasan ontologis dan epistemologisnya. Penerimaan umum atas kesepakatan landasan keilmuan dalam Ilmu Hukum tersebut, akan menghasilkan pula kesepakatan menyangkut dalil-dalil, konsep-konsep dan instrumentasi yang utuh sebagai model untuk mengembangkan tradisi riset ilmiah yang terpadu. Jika ini tercapai, maka ke depan hakikat keilmuan dari Ilmu Hukum akan semakin berkualitas, tidak membingungkan, serta tidak lagi muncul keraguan ranah keilmiahannya.
------

 DAFTAR PUSTAKA

Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat kilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung.

Bernard L. Tanya (2000) Beban Budaya Lokal Menghadapi Hukum Negara: Analisis Budaya atas Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi Regulasi Negara. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

C.F.G. Sunaryati Hartono (1994) Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20. Alumni, Bandung.

D. Sidik Suraputra (1994) Metode Historis Sosiologi sebagai Suatu Metode Penelitian Hukum. Dalam C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20. Alumni, Bandung.

H. Ph. Visser ‘t Hooft (2003) Filsafat Ilmu Hukum. Terjemahan oleh B. Arief Sidharta, Laboratorium Hukum Fak. Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung

H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto (2004) Teori Hukum ( Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali). Refika Aditama, Bandung.

Jujun S. Suriasumantri (1991) Ilmu dalam Perspektif. Gramedia, Jakarta.

Koento Wibisono Siswomihardjo (2003) Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum mengenai Kelahiran dan Pengembangannya sebagai Pengantar untuk memahami Filsafat Ilmu. Dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Liberty Yogyakarta,.

Liek Wilardjo (1990) Realita dan Desiderata. Duta Wacana University Press, Yogyakarta.

Paul Scholten (2003) Struktur Ilmu Hukum. Terjemahan oleh B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung.

Satjipto Rahardjo (2004) Ilmu Hukum, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan. Edt. Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University Press, Univeritas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Soerjono Soekanto (1994) Ulasan Terhadap “Kembali Ke Metode Penelitian Hukum”. Dalam C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20. Alumni, Bandung.



* Anis Ibrahim,SH.,MHum. Adalah dosen PNS Dpk pada STIH Jenderal Sudirman Lumajang.
[1] Dengan menggunakan model revolusi ilmu dari Kuhn, dapat diketengahkan bahwa paradigma akan membentuk cara berpikir dari suatu komunitas keilmuan. Lihat: Liek Wilardjo (1990) Realita dan Desiderata. Duta Wacana University Press, Yogyakarta, hal. 168-169; H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto (2004) Teori Hukum ( Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali). Refika Aditama, Bandung, hal. 38-40.
[2] Koento Wibisono Siswomihardjo (2003) Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum mengenai Kelahiran dan Pengembangannya sebagai Pengantar untuk memahami Filsafat Ilmu. Dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 14.
[3] Liek Wilardjo. Op.cit. hal. 261.
[4] Ibid. hal. 220-221.
[5] Ibid. hal. 221.
[6] Paradigma terdiri atas asumsi-asumsi teoritis yang umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik untuk penerapannya yang diterima oleh para anggota suatu masyarakat ilmiah (H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto. Op.Cit. hal. 39).
[7] Jujun S. Suriasumantri (1991) Ilmu dalam Perspektif. Gramedia, Jakarta. hal. 9.
[8] Liek Wilardjo. Op.Cit.hal. 169.
[9] Paul Scholten (2003) Struktur Ilmu Hukum. Terjemahan oleh B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, hal. v–vi.
[10] Ibid.
[11] Lebih lanjut baca Paul Scholten (1942) De Structuur der Rechtswetenschap, yang telah diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta (2003) dengan Judul Struktur Ilmu Hukum. Alumni, Bandung.
[12] C.F.G. Sunaryati Hartono (1994) Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20. Alumni, Bandung, hal. 118.
[13] Ibid. hal. 128-130.
[14] Bernard Arief Sidharta (1999) Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat kilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju, Bandung, hal. 148.
[15] Bernard L. Tanya (2000) Beban Budaya Lokal Menghadapi Hukum Negara: Analisis Budaya atas Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi Regulasi Negara. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 4.
[16] Ibid. hal 12.
[17] Satjipto Rahardjo (2004) Ilmu Hukum, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan. Edt. Khudzaifah Dimyati, Muhammadiyah University Press, Univeritas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, hal. xii.
[18] Bernard L. Tanya. Op.Cit. hal. 9.
[19] Soerjono Soekanto (1994) Ulasan Terhadap “Kembali Ke Metode Penelitian Hukum”. Dalam C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.Cit. hal. 75.
[20] Ibid. hal. 73-78.
[21] H. Ph. Visser ‘t Hooft (2003) Filsafat Ilmu Hukum. Terjemahan oleh Bernard Arief Sidharta, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung, hal. 1- 5.
[22] D. Sidik Suraputra (1994) Metode Historis Sosiologi sebagai Suatu Metode Penelitian Hukum. Dalam C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.cit. hal. 85.