Jurnal Hukum ARGUMENTUM, Vol. 3 No.2, Januari-Juni 2004 ISSN: 1412-751
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
KAWASAN HUTAN NEGARA DI
KABUPATEN LUMAJANG
Oleh: Anis Ibrahim*
ABSTRAKSI
Penyelesaian sengketa tanah
kawasan hutan negara di Kabupaten Lumajang dilakukan melalui mekanisme
tukar-menukar yang sedikit menyimpang dari ketentuan hukum yang ada. Tetapi ini
justru dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Keberpihakan
pemerintah kepada rakyatnya sekaligus tanpa harus ‘mengalahkan’ Perhutani menjadi sangat penting untuk sampai pada akhir penyelesaian kasus hukum
tersebut, meski baru bersifat sementara.
A. PENDAHULUAN
Luas kawasan hutan
negara di Jawa yang dikelola/diusahakan oleh Perum Perhutani adalah sekitar 2,9
juta ha. (+ 23% luas P. Jawa). Letak kawasan hutan tersebut berbatasan
dengan lebih kurang 6.172 desa, yang diperkirakan jumlah penduduk mencapai 30
jiwa. Lebih dari 60% penduduk yang tinggal di desa-desa sekitarnya
menggantungkan hidup dari hutan. Sejak lama mereka berladang, menebang kayu
untuk perkakas rumah tangga, mengambil kayu bakar, mengumpulkan rumput/daun pakan ternak dan menggembalakan ternak di
dalam kawasan hutan (Nurjaya, 1999: I).
Fenomena demikian ini, akhirnya tak terhindarkan terjadi
pemakaian tanah hutan baik untuk pemukiman mau pun diusahakan sebagai lahan
pertanian. Pamakaian tanah hutan negara oleh penduduk di sekitarnya ada dua
kategori, yakni: legal dan ilegal. Yang legal adalah pemakaian tanah oleh penduduk atas ijin dan
persetujuan Perhutani. Contohnya: pemukiman di tanah magersari.
Sedangkan yang illegal biasanya dilatarbelakangi oleh
faktor sosial-ekonomi. Bagi penduduk sekitar, hutan adalah jaminan ketahanan
pangan (food security) mereka.
Pemanfaatan dan pengambilan hasil hutan sekedar untuk subsistensi (Soetrisno, 1995:104). Oleh karena pemakaian tanah
kawasan hutan demikian telah berlangsung cukup lama dan dibiarkan saja oleh Perhutani, maka kedudukan
mereka itu tidak mudah untuk dienyahkan begitu saja.
Pemakaian tanah hutan illegal ini dalam perspektif
legal-formal disebut dengan okupasi,
yakni pendudukan tanah kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan (Menhut)
(pasal 4 ayat 2 huruf d Kepts. Menhut No.
292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan). Menurut pasal 50
ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa setiap
orang dilarang “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah”. Okupasi termasuk delik yang dalam pasal 78 ayat (1) UU Kehutanan diancam pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
Okupasi akhirnya
menimbulkan kesulitan tersendiri bagi Perhutani ketika akan menjalankan beban
kewajiban hukumnya. Terjadi conflict of
interest antara rakyat dengan Perhutani. Rakyat butuh tanah untuk pertanian
dan pemukiman serta hasil hutan untuk subsistensi, sedangkan Perhutani memiliki
hak dan kewajiban untuk mempertahankan / melestarikan kawasan hutan dan
mengusahakannya menjadi devisa negara (pasal 6 PP No. 53 Tahun 1999). Bersandar
bahwa masing-masing merasa memiliki alas hak yang kuat dan sah, akhirnya
konflik penguasaan tanah di kawasan hutan negara tak dapat dihindarkan.
Sejak 1970-an,
Perhutani mulai merubah paradigma pengelolaan hutan, dengan melalui pendekatan
kesejahteraan (prosperity approsch)
(Simon,1994: 16). Program: Bimas/Inmas/Insus Tumpangsari, Pembanguan Masyarakat
Desa Hutan (PMDH), perhutanan sosial sejak tahun 1980-an (Prakosa, 1996:
125-132), dan terakhir program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
ternyata belum mampu menyelesaikan secara tuntas problem di kawasan hutan.
Bersamaan dengan
euforia reformasi 1998, konflik tanah di kawasan hutan negara semakin
mengkristal. Rakyat pemakai tanah baik legal
mau pun illegal memiliki “spirit
reformasi“ untuk meningkatkan statusnya dari sekedar ‘pemakai’ menjadi
’pemilik’. Tegasnya mereka ingin memperoleh kepastian hak atas tanah yang telah
diduduki dengan suatu hal milik.
Konflik ini harus diselesaikan secara hukum. Sebab jika
tidak segera diselesaikan akan menimbulkan ketidakpastian hukum, yang
berarti akan menimbulkan ketidakpastian
hak bagi para pemiliknya. Rakyat pemakai tidak tenang dalam menggarap tanahnya
karena tidak jelas status haknya, sementara Perum Perhutani juga tidak bisa
melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai pengelola sah atas hutan negara.
Penyelesaian masalah
okupasi tanah tidak dapat digeneralisasi. Belum tentu cara penyelesaian okupasi
di suatu daerah dapat diterapkan di
daerah lain. Hal ini dikarenakan masing-masing
wilayah konflik memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Oleh karena
itulah, penerapan suatu peraturan yang sama terhadap kasus yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan penerapan peraturan yang tidak sama
terhadap kasus yang sama (Sodiki, 1994: 295).
Fenomena konflik
seperti yang terurai di atas secara intens terjadi di Kabupaten Lumajang - Jawa
Timur. Para okupan menghendaki untuk
memperoleh hak milik. Sementara Perhutani keberatan atas hal tersebut,
sebab rakyat tidak memiliki ‘modal’ untuk mengganti tanah yang diminta
tersebut. Konflik akhirnya berubah manjadi sengketa yang menyeret Bupati
Lumajang ikut langsung menyelesaikan sengketa tersebut. Win-win solution yang
ditawarkan Bupati menjadi kerangka dasar bagi penyelesaian pemakaian
tanah kawasan hutan tersebut. Oleh karena itu, masalah ini tidak sampai dibawa
ke pengadilan.
Dari paparan di atas,
maka sangat menarik untuk dilakukan penelitian tantang bagaimana sengketa di
atas tanah hutan negara terjadi dan bagaimana proses sengketa itu diselesaikan
oleh para pihak yang terlibat. Hasil dari penelitian ini, setidak-tidaknya,
diharapkan memiliki kontribusi teoritis, yakni sebagai sumbangsih pemikiran,
penguatan dan pengembangan teori dalam khasanah studi hukum; dan praktis, hasil
penelitian ini dapat juga digunakan sebagai bahan masukan (input) bagi birokrat, perencana dan pelaksana hukum serta
masyarakat sesuai kompetensi dan kancahnya masing-masing, di samping sebagai
informasi bagi kajian-kajian serupa.
Perspektif dari
penelitian ini adalah dilakukan dengan studi
kasus. Bogdan dan Biklen (1982: 58) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
studi kasus adalah mengkaji suatu
peristiwa tertentu. Kasus yang dikaji dalam penelitian ini adalah berkaitan
dengan sengketa tanah di kawasan hutan negara di Kabupaten Lumajang
yang disebabkan adanya permohonan hak milik dari rakyat okupan.
Untuk mengungkapkan
proses faktual dari peristiwa hukum yang konkrit tersebut, penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Maksudnya adalah untuk mengungkap hal-hal esensial terkait dengan
pengalaman pihak yang bersengketa dan
kecenderungan tindakannya untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi (Strauss
& Corbin, 1990: 19).
Data diperoleh melalui
3 (tiga) sumber: 1) rakyat okupan, 2) aparat
Pemerintah Kabupaten Lumajang yang berkompeten, dan 3) aparat Perhutani.
Data dikumpulkan melalui penggabungan 3 (tiga) teknik sekaligus: 1) teknik
wawancara mendalam (in-depth interiew),
(2) teknik observasi (observation), dan
(3) dokumentasi.
Data kualitatif yang
telah terkumpul dan tersusun dalam kelompok fenomena serta ungkapan-ungkapan
dari pihak yang bersengketa (persepsi/interpretasi
emik) kemudian dipakai sebagai dasar menyusun deskripsi menurut persepsi peneliti (persepsi/ interpretasi etik). Analisis
berikutnya dilakukan dengan menafsirkan data yang diperoleh secara induktif dan
membandingkan dengan teori yang sudah ada. Maksud membandingkan ini untuk
mengaitkan temuan dengan teori yang mengkaji hal-hal yang menjadi fokus
penelitian.
C. Perspektif Hukum Dan Model Penyelesaian Sengketa
C. Perspektif Hukum Dan Model Penyelesaian Sengketa
1.
Peraturan Perundang-undangan Terkait Penyelesaian Okupasi
Tanah Kawasan Hutan Negara.
Dilihat dari sudut
pandang fungsional, hukum hadir untuk melayani kebutuhan-kebutuhan
elementer bagi kelangsungan kehidupan
sosial, seperti: mempertahankan kedamaian, menyelesaikan
sengketa-sengketa dan meniadakan
penyimpangan-penyimpangan (Selznick, dikutip Rahardjo, 1984: 80). Terkait dengan ini,
kehadiran hukum adalah dalam rangka penyelesaian masalah sengketa yang disebabkan oleh
pemakaian tanah hutan.
Berikut ini
diketengahkan tiga rujukan yuridis yang dapat dijadikan landasan menyelesaikan okupasi
tanah kawasan hutan.
a.
UU No. 51/Prp/1960
Bersama-sama dengan
tanah perkebunan, penyelesaian tanah hutan merupakan kewenangan dari Menteri
Agraria (sekarang menjadi kewenangan Menhut). Beberapa tindakan dapat dilakukan
terhadap rakyat okupan, yakni: (1) perintah pengosongan (pasal 4 jo pasal 5
ayat 3); (2) musyawarah (pasal 5 ayat
4); dan (3) tuntutan pidana pelanggaran (kecuali yang diselesaikan sendiri
berdasarkan pasal 5 ayat 1 ) dengan
ancaman hukuman kurungan 3 bulan dan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5. 000,00 (pasal 6 ayat 3) UU No.
51/Prp/1960.
Yang pertama harus
dilakukan Menhut adalah mengusahakan tercapainya penyelesaian secara musyawarah
di antara para pihak, sebelum dilakukan
perintah pengosongan dan tuntutan pidana pelanggaran. Azas yang menjiwai
pertimbangan tersebut ialah agar setiap masalah agraria dapat diselesaikan
dengan baik/memadai sehingga tidak timbul keresahan rakyat (Sodiki, 1994: 287).
b.
Keputusan Menhut No. 292/Kpts-II/1995
Pasal 1 angka 2 Kepmenhut No.
292/Kpts-II/1995 memungkinkan Pemerintah melakukar tukar-menukar kawasan hutan
yang digunakan di luar bidang kehutanan.
Menurut pasal 4 ayat
(2) tukar menukar hanya diperbolehkan di antaranya untuk: “… (d) menyelesaikan pendudukan tanah kawasan
hutan tanpa izin Menteri Kehutanan
(okupasi); …”.
Permohonan diajukan
kepada Menhut melalui Dirut Perhutani atau Kepala Unit Perhutani setempat. Jika
disetujui, maka ada beberapa kewajiban
yang harus dipenuhi pemohon, diantaranya: menyediakan dan menyerahkan
tanah pengganti; membanyar ganti rugi nilai tegakan, sarana dan prasarana yang
ada dalam kawasan hutan yang dimohon,
dll (pasal 11 ayat 1). Besarnya rasio tukar menukar untuk menyelesaikan
sengketa berupa okupasi 1 : 1 (pasal 13 ayat 1).
c.
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Ada dua cara untuk
menyelesaikan sengketa yang disebabkan
pemakaian tanah hutan menurut UU
Kehutanan Tahun 1999 ini. Pertama,
melalui pengadilan mau pun di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara
sukarela para pihak yang bersengketa. Jika di luar pengadilan tidak tercapai
kesepakatan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan (pasal 74 ayat 1
dan 2). Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan (selain delik)
dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak,
besarnya ganti rugi dan atau mengenai bentuk
tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan
(pasal 75 ayat 2).
Kedua, melalui tuntutan pidana. Pasal 50 ayat (3) menyatakan
bahwa secara yuridis, okupasi tanah hutan adalah dilarang. Jika dilanggar
diancam pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00. Dengan demikian pemakaian tanah kawasan hutan yang illegal adalah perbuatan pidana yang
dapat dituntut ke pengadilan.
2.
Model Penyelesaian Sengketa.
Von Benda-Beckmann (1990:
91) berpendapat bahwa hukum merupakan aturan yang bersifat abstrak. Hukum
demikian, baik tertulis maupun tidak, berada
dalam keadaan statis dan tidak
berdaya tanpa adanya tindakan manusia.
Hukum tampak nyata dalam kehidupan
karena digerakkan oleh tingkah laku dan tindakan manusia. Hal ini
disebabkan hukum itu sendiri tidak dapat bertingkah laku.
Dalam penyelesaian
sengketa, hukum tampak nyata dalam proses tersebut, karena sedang digerakkan
oleh tingkah dan tindakan para pihak yang bersengketa. Berbagai cara
penyelesaian sengketa (Nader dan Todd, 1978: 9-10; Rahmadi, 1996: 1) dapat
diungkapkan disini, Pertama, melibatkan pihak ketiga (triadic): (a) ajudikasi (adjudication); (b) arbitrasi
(arbitration); (c) mediasi
(mediation); (d) konsiliasi (conciliation);
dan (e) pencari fakta (fact finding).
Kedua, penyelesaian sengketa yang dilakukan antar pihak yang bersengketa sendiri (dyadic) disebut negoisasi (negatiation).
Dan ketiga, penyelesaian sengketa
juga dapat dilakukan secara sepihak (monadic),
yakni: (a) membiarkan saja (lumping it);
(b) penghindaran (avoidance); dan (c)
pemaksaan (coercion).
3.
Budaya Hukum
Praktik penyelesaian
sengketa pada suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari budaya hukum
masyarakat yang bersangkutan. Budaya hukum (legal
culture) menurut Friedman (1969: 28) seperti yang dikutip Rahardjo (1984:
82-86) dirumuskan sebagai “sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan
hukum, bersama-sama dengan sikap-sikap
dan nilai-nilai yang berkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum
dan lembaga-lembaganya, baik secara positif mau pun negatif”.
Lev (1972)
menggambarkan bahwa cara-cara penyelesaian sengketa di Indonesia pada umumnya
cenderung mengandung nilai-nilai
kompromistik, penjagaan terhadap perdamaian dan keseimbangan, serta melakukan pendekatan secara lunak (soft approach). Hal ini terutama
ditunjukkan oleh masyarakat Jawa dan Bali yang introvert. Meski demikian, Lev berpendapat, nilai-nilai tersebut
sebenarnya merupakan penciptaan harmoni sekedar di permukan saja (Rahardjo,
1984: 92-93).
Sejarah pengelolaan
hutan di Lumajang telah berlangsung lama. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Lumajang yang berhutan merupakan
salah satu daerah yang diincar oleh perusahaan-perusahaan perkebunan swasta
untuk dijadikan lokasi perkebunan, khususnya perkebunan kopi dan teh. Hal itu
terbukti dengan diterbitkannya sekitar 23 (duapuluh tiga) Erfpaacht Verponding (ErV) di Kabupaten ini. Pada tahun
1930-an, keduapuluh tiga bekas perkebunan itu menjadi kawasan hutan dan
dikuasai langsung oleh Jawatan Kehutanan
Belanda (Dients der Boshwezen).
Pasca kemerdekaan,
kawasan hutan di Lumajang sejak tahun 1961 diserahkan pengelolaannya kepada
Perusahaan Negara Kehutanan Negara berdasarkan PP No. 18 Tahun 1961 tentang
Pendirian Perusahaan Kehutanan Negara (PN Perhutani) Jawa Timur jo. PP No. 53
Tahun 1999 tentang Perum Perhutani.
Secara keseluruhan
kawasan hutan negara di Lumajang berada di daerah dataran tinggi, yakni di
Kecamatan Tempursari, Pronojiwo, Candipuro, Pasirian, Senduro, Pasrujambe,
Gucialit, Klakah, Kedungjajang, Ranuyoso dan Randuagung. Secara langsung,
kawasan hutan tersebut dikuasai dan dikelola ajun adm/Kepala Sub Kesatuan
Pemangkuan Hutan (SKPH) Lumajang, yang berada di bawah Kesatuan Pemangkuan
Hutan (KPH) Probolinggo - Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
Wilayah SKPH Lumajang
dibagi menjadi 4 (empat) Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) yang
masing-masing dipimpin seorang asisten perhutani/kepala BKPH, yakni: BKPH: Pronojiwo, Pasirian,
Senduro dan Klakah. Tiap-tiap BKPH masih dibagi lagi menjadi beberapa Resort
Pemangkuan Hutan (RPH), yang tiap RPH
dipimpin oleh seorang mantri dengan beberapa mandor sebagai bawahannya. Mandor
inilah yang langsung berhadapan dengan masyarakat/petani penggarap/ pesanggem, serta menangani berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan. Di
pundak mereka beban target produksi Perhutani dapat terrealisasi atau tidak.
Luas kawasan hutan
negara di Lumajang sekitar 58.429,50 ha. Luas kawasan ini termasuk paling
ideal, sebab prosentasenya masih mencapai 30% dari wilayah Lumajang yang
luasnya sekitar 179.090.00 ha. Sementara itu kondisi keseluruhan hutan di
Jawa tinggal 19% dari luas pulaunya yang
diakibatkan oleh penebangan maupun penjarahan. Jika kawasan hutan tidak dijaga,
maka P. Jawa tidak lama lagi kemungkinan akan mengalami defisit air sebesar 53%
(Buletin Pusat Studi Lingkungan Hidup Ubaya, No. 4/1999).
Ada tiga fungsi pokok
dan tujuan penetapan kawasan hutan di wilayah Perhutani Lumajang, yakni
sebagai:
1) Hutan Lindung (34.965,7 ha.)
2) Hutan Produksi (22.965,2 ha.)
3) Hutan Wisata (498,5 ha.).
Kawasan hutan di Lumajang tidak seluruhnya berupa
tegakan-tegakan pohon. Penggunaan kawasan hutan di wilayah Perhutani Lumajang
berupa:
1) Tegakan Hutan (54.665,9 ha.)
2) Kebun (582,6 ha.)
3) Sawah dan Tegal (1.530,9 ha.)
4) Pemukiman (1.428,7 ha.)
Di bawah tegakan hutan
tersebut, terdapat sekitar 1.136 ha sejak tahun 1998 hingga penelitian ini
dilangsungkan diusahakan untuk kegiatan perhutanan sosial yang berupa Insus
Tumpangsari bagi masyarakat di sekitarnya, yang hasil seluruhnya dimiliki oleh
penggarap. Dalam kegiatan ini, terjadi simbiosis-mutualisma:
rakyat meningkat pendapatannya, sedangkan proses produksi Perhutani tetap
terjaga dengan aman. Di samping itu, tenaga mereka secara langsung dapat
dimanfaatkan oleh Perhutani dalam aktivitas produksinya.
Produksi getah pinus
dan getah damar langsung ditangani Perhutani dengan menggunakan tenaga kerja secara borongan dari
penduduk yang ada di sekitar hutan (petani hutan/pesanggem). Sedang produksi kopi, cengkeh dan padi dikerjakan oleh
rakyat sekitar hutan secara mandiri dengan cara menggarap tanah kawasan hutan
dengan sistem bagi hasil yang perbandingannya adalah 1:3 (2/3 hasil panen untuk
penggarap dan 1/3-nya Perhutani).
Perjanjian bagi hasil
ini dilakukan secara individual, yakni setiap orang menandatangani perjanjian
standar yang dibuat Perhutani. Secara berkala, antara 2-5 tahun sekali,
perjanjian tersebut diperbaharui. Setidak-tidaknya ada 2 keuntungan didapat
dari perjanjian bagi hasil tersebut. Pertama,
untuk terjaminnya kepastian luas kawasan hutan negara yang sedang digarap oleh rakyat. Kedua, tanah-tanah yang sedang digarap oleh rakyat akan
mendatangkan keuntungan secara signifikan kepada Perhutani.
Tanah hutan yang digarap oleh rakyat secara
bagi hasil tersebut dikenal dengan
istilah tanah proyek komplangan/thethelan/garapan atau ada
juga dengan nama SSBM (Swa Sembada Bahan
Makanan). Acuan hukum kerja sama bagi hasil ini adalah Surat Petunjuk Keja
Produksi No. 2/1948/Djatim/99, tanggal 6 Desember 1966, tentang Usaha-usaha PN
Perhutani di Luar Produksi Hutan.
Secara keseluruhan,
target pendapatan dari kopi, cengkeh dan padi sejak bergulirnya reformasi
tampak sulit dipenuhi. Sementara, target produksi getah pinus dan getah damar
bisa terpenuhi, meski pun ada penebangan liar terhadap tegakan hutan yang membonceng euforia reformasi dan
kemudian melakukan okupasi tanahnya (penjarahan
dan bibrikan).
Memperhatikan sitituasi
kehutanan di Lumajang tersebut, maka relevan apa yang dikatakan Peluso (1992:
17-18) bahwa Perhutani Lumajang pada dasarnya memainkan 3 peran pokok: sebagai
pengusaha tanah hutan (government land
lord), sebagai perusahaan kehutanan
(forest enterprise), dan sebagai
institusi konservasi hutan (forest
consrvation institution). Sedangkan komponen sumber daya hutan yang dikuasi
dan dikelola oleh Perhutani meliputi: tanah hutan (control of forest land), hasil hutan kayu dan non-kayu (control of species), dan menguasai
tenaga kerja kehutanan (control of
labor).
E.
Sengketa dan
Proses Penyelesaiannya
Ketika terjadi
peralihan persil perkebunan menjadi kawasan hutan dan dikuasai oleh Jawatan
Kehutanan Belanda (Dients der
Boschwezen), rupanya rakyat setempat tidak mengetahuinya. Demikian juga
setelah kemerdekaan RI, rakyat tidak tahu bahwa kawasan hutan tersebut berada
di bawah pengelolaan Perhutani sejak tahun 1961. Setahu mereka, sejak jaman
penjajahan Belanda, tanah bongkor
yang mereka tempati dan secara turun temurun mereka garap adalah eks perkebunan
kopi Belanda. Telah tertanam dalam pengetahuan dan kesadaran mereka, bahwa
setelah kemerdekaan RI berarti tanah tersebut adalah tanah negara bebas.
Rakyat terkejut, ketika
sekitar tahun 1969-1970, Perhutani mulai mengadakan usah-usaha, seperti
penanaman pohon pinus, damar dan kaliandra, untuk menunjukkan bahwa tanah
tersebut adalah tanah kawasan hutan negara. Terhadap rakyat penggarap kebun
kopi dan tegal/sawah dilakukan perjanjian bagi hasil 1 banding 3.
Produksi non-kayu
Perhutani (getah pinus dan damar) yang memberikan keuntungan bagi negara serta pemasukan dari hasil kebun
kopi, tegal dan sawah yang dikerjakan oleh rakyat secara bagi hasil terebut
berjalan lancar di zaman Orde Baru. Ini disebabkan oleh sistem politik represif
untuk menunjang model pembangunan kapitalis yang dikembangkan rezim tersebut
selama pemerintahannya (Bachriadi, 1997: 70).
Para mandor yang
didukung situasi politik tersebut, secara arogan melakukan penekanan kepada
rakyat penggarap tanah hutan untuk setor atas hasil panennya. Hal itu
sebenarnya memberatkan rakyat. Tetapi mereka tidak berani melakukan perlawanan.
Inilah pemicu awal
keresahan rakyat setempat. Mereka hanya nggrundel dan rasan-rasan saja. Tanda-tanda ini adalah awal munculnya sengketa
yang oleh Nader & Todd (1978: 14) disebut grievance. Kondisi seperti ini disebut sebagai tahapan pre-conflict
stage yang cenderung mengarah kepada konfrontasi yang berifat monadik.
Bagi rakyat, tanah yang
diduduki bukan hutan, sebab tidak ada pohonnya. Memaknai kawasan hutan seperti
ini tentu berbeda dengan ketentuan pasal
1 angka 3 UU Kehutanan yang menyebutkan bahwa “Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap”. Kawasan hutan tersebut tidak
semuanya berisi tegakan pohon. Ada beberapa wilayah berupa perkebunan kopi dan ada juga yang berupa
areal pertanian. Secara antropologis, adanya perbedaan pemaknaan seperti ini berarti telah terjadi conflict of values (Nurjaya, 2000: 1)
Sejak tahun 1997 rakyat
penggarap melakukan perlawanan (resistensi)
dalam bentuk aksi lokal (istilah
Fauzi 1997: 81) dan tidak mau menyetor 1/3 hasil panennya kepada Perhutani.
Mengapa? Karena penyetoran 1/3 hasil panen memberatkan jika dibanding dengan
membayar pajak ke Pemerintah.
Secara yuridis formal,
perbuatan itu dapat dikatakan wanprestasi,
sebab mereka telah mengingkari kewajiban yang telah ditandatangani dalam surat
perjanjian bagi hasil sebelumnya. Bersamaan dengan itu, terjadi penebangan
secara liar di beberapa petak hutan yang berakhir dengan okupasi dan pemakaian
tanahnya untuk lahan pertanian. Dengan demikian secara positif-legalistik
pemakaian tanah hutan tersebut menjadi illegal.
Dengan menelusuri sejarah dan
berdasarkan uraian di atas, dari kacamata yuridis formal saat ini ada 3 macam kategori pamakaian tanah hutan oleh
rakyat di Lumajang, yakni:
1.
Pemakaian tanah legal:
a)
Magersari (telah puluhan tahun)
b)
Pemukiman (sejak tahun 1978)
c)
LDTI (telah puluhan tahun)
d)
Tumpangsari (sejak tahun 80-an).
2.
Illegal
legal:
a)
Tanah proyek/komplangan/ thethelan/garapan
b)
Tanah SSBM/garapan/proyek (telah puluhan tahun)
3.
Illegal: tanah jarahan/bibrikan/ okupasi (bersamaan
reformasi 1997-1998).
Mulai saat itu susul
menyusul dari satu lokasi yang diikuti lokasi lain, rakyat penggarap mengajukan
permohonan hak milik atas tanah yang telah mereka pakai kepada Bupati Lumajang.
Mengapa? Alasannya adalah, pertama, bahwa tanah yang mereka garap
selama ini adalah tanah negara bebas bekas perkebunan Belanda; kedua, mereka telah puluhan tahun
memakai tanah tersebut untuk subsistensi;
ketiga, terjaminnya kepastian hak
atas tanah yang telah mereka pakai.
Tentu saja Perhutani
tidak bisa menerimanya, sebab institusi inilah yang secara sah – berdasarkan
bukti-bukti tertulis yang ada - menjadi
‘pemilik’ atas tanah kawasan hutan yang diajukan permohonan tersebut.
Dalam pandangan
antropologis, aksi-aksi tersebut dapat
dikategorikan sebagai bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat monadik yang dilakukan dengan coercion
dan avoidance. Dikatakan coercion, karena dengan membabat hutan,
melakukan penolakan dan ancaman terhadap aparat Perhutani rakyat menginginkan
hasil akhir berupa penguasaan dan pemilikan tanah hutan. Sedangkan dikatakan avoidance, karena rakyat tidak mau setor
1/3 hasil panen dan secara sepihak memutuskan hubungan sosialnya dengan aparat
Perhutani.
Dihadapkan pada situasi
yang demikian itu, Perhutani mencoba melakukan pendekatan kepada rakyat
penggarap - dari secara halus sampai dengan yang keras – agar rakyat mau
mengakui bahwa tanah itu adalah milik
Perhutani. Tetapi pendekatan ini tidak berhasil, sebab keinginan lepas dari
Perhutani sudah tidak dapat dibendung lagi.
Bahkan di kawasan
tertentu, yakni di Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, rakyat setempat
secara terang-terangan berani menolak kehadiran dan menunjukkan rasa
permusuhannya kepada mantri RPH Argopuro mau pun para mandornya. Meminjam
istilah Fauzi (1997: 7), ternyata rakyat tidak dapat ditaklukkan seperti yang
dikembangkan Orde Baru melalui cara delegitimsi bukti-bukti hak rakyat atas
tanah dan sumber-sumber agraria lainnya dan penaklukan dengan memanipulasi
persetujuan rakyat pemohon.
Memperhatikan fenomena
tersebut, maka menarik untuk mempertanyakan pendapat Lev bahwa budaya hukum
masyarakat Jawa dalam menghadapi konflik biasanya didasarkan pada nilai-nilai
kompromistis, menjaga keseimbangan dan perdamaian serta cenderung bersifat soft approach. Nilai-nilai ini rupanya
tidak tampak pada sengketa pertanahan di
Lumajang yang bercorak vertikal. Rakyat dan Perhutani justru lebih cenderung
menggunakan pamaksaan kehendak dalam penyelesaian sengketanya.
Pada kondisi ini, pre-conflict stage kemudian menjadi conflict stage. Pada tahap ini, grievance sudah mencuat ke permukaan dan
mendapat tanggapan negatif, sehingga terjadi konfrontasi antara rakyat dengan
aparat Perhutani. Pada situasi ini konfrontasi bersitat diadik.
Situasi yang berkembang
di kawasan hutan Lumajang ini tidak lepas dari euforia reformasi yang sedang
menghembus kuat di negeri ini. Era reformasi adalah era keterbukaan dan era
demokratisasi. Perhutani tidak bisa lagi melakukan penekanan-penekanan kepada
rakyat penggarap. Dalam era seperti ini, keinginan untuk memiliki tanah garapan
tersebut tentu dikabulkan. Demikian interpretasi para pemohon yang di antaranya
diutarakan oleh tokoh masyarakat yang juga mantan petinggi Oro-oro Ombo.
Merasa belum cukup
memperoleh perhatian dan tanggapan yang serius, secara sporadis rakyat pemohon
melakukan unjuk rasa/demonstrasi ke kantor Bupati Lumajang dan ke DPRD
setempat. Di sini menunjukkan bahwa demonstrasi
merupakan salah satu sarana yang dianggap cukup efektif untuk memperoleh
perhatian dari penguasa. Ini adalah salah satu corak dari perlawanan petani (peasant resistances) selain aksi lokal (Fauzi, 1997: 83).
Berangkat dari
kegagalan Perhutani untuk melakukan pendekatan dengan rakyat (negosiasi), maka
untuk memastikan bahwa tanah yang dimohon tersebut adalah tanah kawasan negara,
Perhutani Lumajang melakukan kerjasama dan koordinasi berkali-kali dengan
berbagai pihak, baik instansi vertikal
mau pun horisontal, khususnya Pemerintah Kabupaten Lumajang, untuk
mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan permohonan tersebut.
Bupati Lumajang menanggapi serius
terhadap sengketa tanah hutan yang diakibatkan oleh permohonan rakyatnya.
Keseriusan Bupati tersebut tampak tidak lepas dari imbas tekanan secara
langsung mau pun tidak dari semangat reformasi agar negara memberi perhatian
dan keberpihakan kepada rakyatnya. Hal ini
diakui oleh hd dari BKPH Pronojiwo :”… Rupanya aparat pemerintah memihak
kepada rakyat”. Sementara Kepala Kantor Pertanahan Lumajang juga
menyatakan bahwa: ”… saat ini kita
sedang berada pada suatu momen yang saya kira ya berpihak pada rakyat”.
Sebagai kepada wilayah
yang mempunyai tugas membina ketentraman dan ketertiban di wilayahnya, Bupati
melakukan 3 (tiga) macam tindakan dalam rangka menyelesaikan sengketa tanah hutan tersebut. Pertama, meneruskan permohonan rakyatnya
ke instansi vertikal yang berwenang. Yang sangat menentukan adalah surat Bupati
No. 590/256/434.22/1999 tanggal 24 Juni 1999 kepada Menhutbun dan Meneg
Agraria/Kepala BPN perihal Permohonan Penelitian dan Peninjauan Lapangan Atas
Permasalahan Tanah Kawasan Hutan Dengan Masyarakat, yang mendapat jawaban dari
Asmen agraria Bidang Tata Agraria No.
570-884/Asmen.I/VII/1999 tanggal 2 Juli 1999 yang intinya bahwa sengketa tanh
kawasan hutan di Lumajang akan dilakukan peninjauan lapangan oleh Panitia Kerja Tetap Pusat (Panjatap)
pada tanggal 6-8 Juli 1999.
Setelah melakukan peninjauan
lapangan, Asmen Agraria tersebut berkirim surat No.540.5-890/Asmen.I/VII/99
tanggal 12 Juli 1999, perihal Laporan Rapat Panjatap Dan Peninjauan Lapangan
Penanganan Masalah Kehutanan Yanag Berkaitan Dengan Masalah Pertnahan Di
Kabupaten Lumajang Jawa Timur, kepada Menhutbun dan Meneg Agraria/Ka BPN.
Balasan dari Menhutbun No. 1437/Menhutbun VIII/99 tanggal 21 Septembar 1999 dan
surat Meneg Agraria No. 400.3193 tanggal 5 Agustus 1999, yang intinya
menyetujui rekomendasi Panjatap dan memberi petunjuk mengenai mekanisme
penyelesaian permohonan rakyat atas tanah kawasan hutan.
Kedua, memimpin koordinasi dengan instansi terkait dan
mengundang pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan musyawarah. Koordinasi
dengan Perhutani dalam rangka memperoleh kepastian tentang status tanah yang
dimohon rakyat, dan mengundang rakyatnya untuk mengetahui secara persis
keinginan mereka.
Ketiga, membentuk tim yang ditugaskan untuk menangani
penyelesaian permohonan tersebut. Selama proses penyelesaian sengketa tanah tersebut,
telah 2 (dua) kali dibentuk tim dimaksud, yakni: Tim pertama adalah Tim Terpadu Penertiban Permasalahan Masyarakat
Berkaitan Dengan Keinginan Menguasai Tanah Milik Negara Atau Tanah Negara Yang
Dikelola Oleh Perum Perhutani Di Kabupten Lumajang. Dan Tim kedua adalah Tim Pelaksana Tukar Menukar Tanah Kawasan Hutan
Yang Dikelola Oleh Perum Perhutani Dan Dimohon Oleh Masyarakat Di Kabupaten
Lumajang. Tim ini merupakan peningkatan dari Tim Terpadu yang ada sebelumnya.
Setelah itu Bupati Lumajang menyusun pokok-pokok kebijakan dalam rangka
menyelesaikan masalah sengketa tanah tersebut yang intinya adalah sebagai
berikut:
1)
seluruh permohonan rakyat pemakai tanah kawasan hutan
(pemukiman mau pun garapan) yang telah lama keberadaannya disetujui untuk
dikonversi menjadi hak milik, dengan catatan setelah ada penggantinya dengan
rasio 1:1.
2)
Luas tanah garapan
yang boleh mereka kuasai dan miliki maksimal 10.000 m2 termasuk tanah garapan di luar obyek untuk setiap
KK. Sedang luas areal Pemukiman maksimal adalah 2.000 m2 setiap KK.
Jika ada kelebihan batas maksimal dari yang ditentukan, maka kelebihannya
diberikan kedapa anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan belum memiliki tanah
garapan.
3)
Rakyat pemakai tanah kawasan hutan yang dilakukan secara illegal/bibrikan/okupasi, tidak diikutkan
dalam proses tukar menukar. Tanah bibrikan
harus dikembalikan kepada Perhutani.
4)
Sebelum ada tanah pengganti, tanah kawasan hutan tersebut
tidak dilepaskan oleh Menhutbun. Sementara menunggu tanah pengganti, rakyat
akan dibuatkan Surat Ijin Menggarap (SIM), dan
jika sudah ada tanah pengganti maka SIM tersebut akan ditingkatkan
menjadi sertifikat hak milik.
5)
Yang menyediakan tanah pengganti adalah Tim Tingkat I
yang terdiri atas Kanwil PBN, kanwil Dephutbun dan Perhutani, sedang rakyat pemakai
tanah kawasan hutan tidak dibebani tanah pengganti.
Pokok-pokok kebijakan
Bupati tersebut mendapat penguatan dari Kepala Kanwil Dephutbun seperti yang
terbaca dari suratnya No.
1890/Kwl-6/1999 tanggal 30 Oktober 1999 yang ditunjukkan kepada Menhutbun
perihal Penyelesaian Sengketa Tanah Di Lumajang. Di dalamnya juga ditegaskan
bahwa Kanwil BPN, Kanwil Dephutbun, Perhutani Unit II Jawa Timur dan Disbun Tk
I akan segera menginventarisasi areal perkebunan eks Hak Guna Usaha (HGU) yang
sudah habis berlakunya dan diterlantarkan untuk menjadi pengganti/penukar dari
tanah yang akan dilepaskan tersebut. Tanah pengganti tersebut tidak harus berada di Lumajang. Yang terpenting
dari proses itu adalah luas kawasan hutan tidak terkurangi keberadaannya.
Secara keseluruhan,
tanah kawasan hutan negara yang dimohon rakyat dan akhirnya menjadi obyek
sengketa tersebut berada di wilayah kerja
Perhutani BKPH Pronojiwo, BKPH Pasirian dan BKPH Senduro. Tanah-tanah
tersebut termasuk areal yang cukup subur untuk jenis tanaman seperti kopi dan
cengkeh serta pertanian padi. Sedangkan kawasan hutan di wilayah kerja
Perhutani BKPH Klakah terhindar dari sengketa tanah hutan tersebut.
Tanah kawasan hutan
negara yang dipakai rakyat di Kabupaten
Lumajang yang diajukan untuk memperoleh
hak milik dan sedang diproses, adalah seluas ± 4.002 ha., yang terdiri: (a)
tanah pemukiman/perkampungan 1.638 ha., dan (b) tanah garapan 2.364 ha. Jumalah
pemohon seluruhnya adalah sebanyak ± 7.072 KK. Sedang untuk tanah garapan baru
yang berasal dari penjarahan seluas ±
718,27 ha. tidak diikutkan dalam proses
ini.
Dengan demikian, kasus pemakaian
tanah kawasan hutan di Lumajang ini tidak diselesaiakan oleh Perhutani melalui
perintah pengosongan mau pun dilekukan
penuntutan secara pidana (pasal 5 ayat 4, pasal 4 dan pasal 6 UU No.
51/Prp/1960; pasal 50 ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999). Tetapi melalui mekanisme
tukar menukar menurut Kepmenhut No. 292/Kpts-II/95. Ajun Adm/Kepala SKPH
Lumajang menuturkan bahwa: “Kita punya aturan yang membolehkan menyelesaikan
dengan tukar menukar. Rekomendasi Menhut intinya adalah … harus disediakan
tanah pengganti rasionya 1:1 …”.
Fenomena pelibatan
Muspida dan keaktivan Bupati Lumajang dalam konflik menunjukkan tahap ketiga
konflik yang oleh Nader & Todd (1978:15) disebut sebagai dispute stage. Ini berarti konflik antar
pihak ditujukan dan dibawa ke arena publik untuk kemudian diproses dan
diselesaikan dengan instusi penyelesaian sengketa tertentu dengan melibatkan
pihak ketiga.
Tindakan Bupati
tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan mediasi sekaligus quasi
pencari fakta. Dikatakan quasi
pencari fakta sebab posisi Bupati
bukanlah sebagai pihak yang netral dan imparsial yang ditunjuk oleh pihak yang
bersengketa. Atas inisiatifnya sendiri Bupati mengumpulkan bahan atau keterangan
guna dianalisis dan dievaluasi dengan tujuan untuk memperjelas masalah yang
menimbulkan sengketa disertai rekomendasi pemecahan masalah. Hasil dari
tindakan tersebut kemudian didayagunakan melalui proses mediasi yang dilakukan
oleh Bupati.
Yang unik dari kasus
ini adalah adanya penyimpangan hukum terhadap Kepmenhut No. 292/Kpts-II/95
tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam Kepmenhut, seharusnya rakyat sendiri yang mengajukan permohonan kepada
Menhutbun dan sekaligus menyediakan tanah penggantinya. Akan tetapi dalam kasus
ini yang mengajukan permohonan dan penyediaan tanah pengganti untuk tukar
menukar kawasan hutan justru pemerintah sendiri (Bupati). Selama belum ada
pengganti, rakyat pemohon diperkenannkan untuk terus memakai tanah kawasan
hutan dan kepada mereka akan diberikan SIM, yang suatu saat akan dikonversi
menjadi sertifikat hak milik.
Mekanisme hukum dalam
penyelesaian tanah hutan di Lumajang tersebut dapat dikatakan sebagai tipe
hukum yang responsif. Seperti dikemukakan Nonet dan Selznick (1978: 14-15),
hukum responsif adalah hukum sebagai fasilitator dan respons terhadap
kebutuhan-kebutuhan dan
aspirasi-aspirasi sosial. Hukum responsif demikian tidak terlampau terikat
dengan formalitas dan prosedur yang baku.
Yang terpenting adalah
tercapainya kepentingan kerakyatan baik sebagai tujuan hukum mau pun cara
mencapainya.
Proses hukum
penyelesaian sengketa tanah hutan di Lumajang tersebut memperjelas pernyataan
von Benda-Beckmann (1990: 91) bahwa hukum itu tampak melakukan sesuatu dan saling berinteraksi
karena adanya tingkah laku dan tindakan manusia. Ketika hukum bertingkah laku, tidak sesederhana
seperti memencet tombol listrik yang
langsung bisa menyalakan lampu. Jalannya hukum ternyata berliku-liku dan
praktiknya tidak persis sama dengan bunyi pasal yang ada dalam peraturan hukum.
Perilaku hukum di lumajang tersebut semakin memperjelas pernyataan Rahardjo
(Kompas, 24 Mei 2000), bahwa sangat keliru dan tidak tepat mengatakan bahwa
dengan sudah disahkannya suatu peraturan perundang-undangan dalam lembaran
Negara, maka dengan begitu segalanya akan selesai dan jelas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa penyelesaian sengketa tanah di kawasan hutan negara yang terletak di
Kabupaten Lumajang dilakukan melalui mekanisme tukar-menukar yang sedikit
menyimpang dari ketentuan hukum yang ada. Tetapi ini justru dapat diterima oleh
pihak-pihak yang bersengketa. Keberpihakan pemerintah (terutama Bupati
Lumajang) kepada rakyatnya sekaligus tanpa harus ‘mengalahkan’ Perhutani menjadi sangat penting untuk sampai pada akhir penyelesaian kasus hukum
tersebut, meski baru sementara.
Berdasarkan temuan di
lapangan, tampaknya faktor budaya sulit untuk menjadi mekanisne pijakan bagi
penyelesaian sengkata yang bercorak vertikal, seperti dalam kasus di Lumajang.
Keinginan yang kuat untuk memperoleh hak milik,
menjadikan rakyat tidak lagi
terikat dengan nilai-nilai yang selama ini
dianggap menjadi milik dari masyarakat Jawa, seperti nilai kompromistis,
penjagaan terhadap perdamaian dan keseimbangan, serta melakukan pendekatan
secara lunak (soft approach).
Secara praktis, mekanisme hukum
penyelesaian sengketa tanah di kawasan hutan negara di Kabupaten Lumajang dapat
dipertimbangkan untuk kepentingan penyelesaian serupa di lokasi lain. Akan
tetapi perlu dicatat, jika setiap permohonan hak milik atas tanah kawasan hutan
yang dipakai oleh rakyat dikabulkan pemerintah dengan melalui tukar menukar
yang tanahnya akan disediakan oleh pemerintah, maka naif sekali penyelesaian
semacam itu terus dilakukan. Dimana lagi pemerintah akan memperoleh tanah
pengganti di Pulau Jawa yang semakin padat penduduk.
-----
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, N. (Ed) (1997) Tanah Dan
Pembangunan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Bogdan R.C. & Biklen, S.K (1982) Qualitative
Research for Education: An Inntroduction
to Treory and Methods. Allyn and Bacon Inc., Boston, London, Sydnaey,
Toronto.
Buletin Pusat studi Lingkungan Hidup
Ubaya, No. 4/1999
Friedman, L.M. (1969) On Legal Development, Rutgers Law Review. Vol. 24, 1969.
Lev, D.S. (1972) Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia. In Culturen and Politics in Indonesia.
Claire Holt. Cornel University Press, Ithaca.
Nader, L & Todd, H.F. (1978) The
Disputing Process Law in Ten Societies Colombia University Press, New York.
Nonet, P & Selznick, P. (1978) Law
And Society In Transition: Toward
Responsive Law. Harper & Row, New York.
Nurjaya, I.N. (1999) Menuju
Pengelolaan Sumbe Daya Hutan Yang Berorientasi pada Pola Kooperatif: Perspektif
Legal Formal. Makalah disampaikan dalam Workshop Peningkatan Fungsi dan Manfaat Sumber Daya
Hutan Untuk Pengembangan Perusahaan Dan Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta:
Fakultas Kehutanan UGM dengan Perum Perhutani, 29-30 Maret 1999.
--------------(2000) Konflik Dan Budaya Penyelesaian Konflik
Dalam Masyarakat: Perspektif Antropologi Hukum. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Belajar
Bersama Mengelola Konflik Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Latin dan
BSP-KEMALA, 10-13 Maret 2000, Jember.
Peluso, N.L. (1992) Rich Forest, Poor
People: Resource Control And Resistence in Java.University of California
Press. USA.
Prakosa, M. (1996) Renjana Kebijakan Kehutanan. Aditya Media, Yogyakarta.
Rahardjo, S. (1984) Hukum dan
Masyarakat. Angkasa, Bandung.
-------------,Tindakan Menjadi
Tawanan Undang-undang. Kompas, 24 Mei
2000,p.4.
Rahmadi, T (1996) Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
Lingkungan. Makalah Penataan Hukum Lingkungan 4-12 Januari 1996. Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
Simon, H. (1994) Merencanakan Pembanganan Hutan Untuk strategi Kehutanan
Sosial. Aditya Media, Yogyakarta.
Sodiki, A. (1994) Penataan
Kepemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan Kabupeten malang (Studi
tentang Dinamika Hukum). Disertai Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya.
Soetrisno, L. (1995) Menuju
Masyarakat Partisipatif.kanisius, Yogyakarta.
Strauss, A. & Corbin, J. (1990) Basic
Qualitatif Research: Grounded Theory Procedure and Techniques. Sage Publication, London.
Von Benda-Beckmann, F. (1990) Some
Comparative Generalizations About The Differential Use of State and Folk
Institutions of Dispute Settlement. In People’s
Law and State Law (Eds, Allot, A.N. & Woodman, G.), p. 1888. Foris,
Dordrecht.