Senin, 26 Juli 2004

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH KAWASAN HUTAN NEGARA DI KABUPATEN LUMAJANG

Jurnal Hukum ARGUMENTUM, Vol. 3 No.2, Januari-Juni 2004    ISSN: 1412-751

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
KAWASAN HUTAN NEGARA DI KABUPATEN LUMAJANG
Oleh: Anis Ibrahim*

ABSTRAKSI

Penyelesaian sengketa tanah kawasan hutan negara di Kabupaten Lumajang dilakukan melalui mekanisme tukar-menukar yang sedikit menyimpang dari ketentuan hukum yang ada. Tetapi ini justru dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Keberpihakan pemerintah kepada rakyatnya sekaligus tanpa harus ‘mengalahkan’ Perhutani  menjadi sangat penting untuk  sampai pada akhir penyelesaian kasus hukum tersebut, meski baru bersifat sementara.

A.     PENDAHULUAN

Luas kawasan hutan negara di Jawa yang dikelola/diusahakan oleh Perum Perhutani adalah sekitar 2,9 juta ha. (+ 23% luas P. Jawa). Letak kawasan hutan tersebut berbatasan dengan lebih kurang 6.172 desa, yang diperkirakan jumlah penduduk mencapai 30 jiwa. Lebih dari 60% penduduk yang tinggal di desa-desa sekitarnya menggantungkan hidup dari hutan. Sejak lama mereka berladang, menebang kayu untuk perkakas rumah tangga, mengambil kayu bakar, mengumpulkan rumput/daun  pakan ternak dan menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan (Nurjaya, 1999: I).
Fenomena demikian  ini, akhirnya tak terhindarkan terjadi pemakaian tanah hutan baik untuk pemukiman mau pun diusahakan sebagai lahan pertanian. Pamakaian tanah hutan negara oleh penduduk di sekitarnya ada dua kategori, yakni: legal dan ilegal. Yang legal adalah pemakaian tanah oleh penduduk atas ijin dan persetujuan Perhutani. Contohnya: pemukiman di tanah magersari.
Sedangkan yang illegal biasanya dilatarbelakangi oleh faktor sosial-ekonomi. Bagi penduduk sekitar, hutan adalah jaminan ketahanan pangan (food security) mereka. Pemanfaatan dan pengambilan hasil hutan sekedar untuk subsistensi (Soetrisno, 1995:104). Oleh karena pemakaian tanah kawasan hutan demikian telah berlangsung cukup lama dan  dibiarkan saja oleh Perhutani, maka kedudukan mereka itu tidak mudah untuk dienyahkan begitu saja.
Pemakaian tanah hutan illegal ini dalam perspektif legal-formal disebut dengan okupasi, yakni pendudukan tanah kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan (Menhut) (pasal 4 ayat 2 huruf d Kepts. Menhut No.  292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan). Menurut pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa setiap orang dilarang “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”. Okupasi termasuk delik yang dalam  pasal 78 ayat (1) UU Kehutanan diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Okupasi akhirnya menimbulkan kesulitan tersendiri bagi Perhutani ketika akan menjalankan beban kewajiban hukumnya. Terjadi conflict of interest antara rakyat dengan Perhutani. Rakyat butuh tanah untuk pertanian dan pemukiman serta hasil hutan untuk subsistensi, sedangkan Perhutani memiliki hak dan kewajiban untuk mempertahankan / melestarikan kawasan hutan dan mengusahakannya menjadi devisa negara (pasal 6 PP No. 53 Tahun 1999). Bersandar bahwa masing-masing merasa memiliki alas hak yang kuat dan sah, akhirnya konflik penguasaan tanah di kawasan hutan negara tak dapat dihindarkan.
Sejak 1970-an, Perhutani mulai merubah paradigma pengelolaan hutan, dengan melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity approsch) (Simon,1994: 16). Program: Bimas/Inmas/Insus Tumpangsari, Pembanguan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), perhutanan sosial sejak tahun 1980-an (Prakosa, 1996: 125-132), dan terakhir program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ternyata belum mampu menyelesaikan secara tuntas problem di kawasan hutan.
Bersamaan dengan euforia reformasi 1998, konflik tanah di kawasan hutan negara semakin mengkristal. Rakyat pemakai tanah baik legal mau pun illegal memiliki “spirit reformasi“ untuk meningkatkan statusnya dari sekedar ‘pemakai’ menjadi ’pemilik’. Tegasnya mereka ingin memperoleh kepastian hak atas tanah yang telah diduduki dengan suatu hal milik.
Konflik ini  harus diselesaikan secara hukum. Sebab jika tidak segera diselesaikan akan menimbulkan ketidakpastian hukum, yang berarti  akan menimbulkan ketidakpastian hak bagi para pemiliknya. Rakyat pemakai tidak tenang dalam menggarap tanahnya karena tidak jelas status haknya, sementara Perum Perhutani juga tidak bisa melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai pengelola sah atas hutan negara.
Penyelesaian masalah okupasi tanah tidak dapat digeneralisasi. Belum tentu cara penyelesaian okupasi di suatu daerah dapat  diterapkan di daerah lain. Hal ini dikarenakan masing-masing  wilayah konflik memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Oleh karena itulah, penerapan suatu peraturan yang sama terhadap  kasus yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan penerapan peraturan yang tidak sama terhadap kasus yang sama (Sodiki, 1994: 295).
Fenomena konflik seperti yang terurai di atas secara intens terjadi di Kabupaten Lumajang - Jawa Timur. Para okupan menghendaki untuk  memperoleh hak milik. Sementara Perhutani keberatan atas hal tersebut, sebab rakyat tidak memiliki ‘modal’ untuk mengganti tanah yang diminta tersebut. Konflik akhirnya berubah manjadi sengketa yang menyeret Bupati Lumajang ikut langsung menyelesaikan sengketa tersebut. Win-win solution yang  ditawarkan Bupati menjadi kerangka dasar bagi penyelesaian pemakaian tanah kawasan hutan tersebut. Oleh karena itu, masalah ini tidak sampai dibawa ke pengadilan.
Dari paparan di atas, maka sangat menarik untuk dilakukan penelitian tantang bagaimana sengketa di atas tanah hutan negara terjadi dan bagaimana proses sengketa itu diselesaikan oleh para pihak yang terlibat. Hasil dari penelitian ini, setidak-tidaknya, diharapkan memiliki kontribusi teoritis, yakni sebagai sumbangsih pemikiran, penguatan dan pengembangan teori dalam khasanah studi hukum; dan praktis, hasil penelitian ini dapat juga digunakan sebagai bahan masukan (input) bagi birokrat, perencana dan pelaksana hukum serta masyarakat sesuai kompetensi dan kancahnya masing-masing, di samping sebagai informasi bagi kajian-kajian serupa.

B. Metode Penelitian

Perspektif dari penelitian ini adalah dilakukan dengan studi kasus. Bogdan dan Biklen (1982: 58) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan studi kasus  adalah mengkaji suatu peristiwa tertentu. Kasus yang dikaji dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan  sengketa tanah  di kawasan hutan negara di Kabupaten Lumajang yang disebabkan adanya permohonan hak milik dari rakyat okupan.
Untuk mengungkapkan proses faktual dari peristiwa hukum yang konkrit tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Maksudnya adalah untuk mengungkap  hal-hal esensial terkait dengan pengalaman  pihak yang bersengketa dan kecenderungan tindakannya untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi (Strauss & Corbin, 1990: 19).
Data diperoleh melalui 3 (tiga) sumber: 1) rakyat okupan, 2) aparat  Pemerintah Kabupaten Lumajang yang berkompeten, dan 3) aparat Perhutani. Data dikumpulkan melalui penggabungan 3 (tiga) teknik sekaligus: 1) teknik wawancara mendalam (in-depth interiew), (2) teknik observasi (observation), dan (3) dokumentasi.
Data kualitatif yang telah terkumpul dan tersusun dalam kelompok fenomena serta ungkapan-ungkapan dari pihak yang bersengketa (persepsi/interpretasi emik) kemudian dipakai sebagai dasar menyusun  deskripsi menurut persepsi peneliti (persepsi/ interpretasi etik). Analisis berikutnya dilakukan dengan menafsirkan data yang diperoleh secara induktif dan membandingkan dengan teori yang sudah ada. Maksud membandingkan ini untuk mengaitkan temuan dengan teori yang mengkaji hal-hal yang menjadi fokus penelitian. 

C.     Perspektif Hukum Dan Model Penyelesaian Sengketa

1.       Peraturan Perundang-undangan Terkait Penyelesaian Okupasi Tanah Kawasan Hutan Negara.
Dilihat dari sudut pandang fungsional, hukum hadir untuk melayani kebutuhan-kebutuhan elementer  bagi kelangsungan kehidupan sosial, seperti: mempertahankan kedamaian, menyelesaikan sengketa-sengketa dan meniadakan   penyimpangan-penyimpangan (Selznick, dikutip  Rahardjo, 1984: 80). Terkait dengan ini, kehadiran hukum adalah dalam rangka penyelesaian  masalah sengketa yang disebabkan oleh pemakaian tanah hutan.
Berikut ini diketengahkan tiga rujukan yuridis yang dapat dijadikan landasan menyelesaikan okupasi tanah kawasan hutan.
a.    UU No. 51/Prp/1960
Bersama-sama dengan tanah perkebunan, penyelesaian tanah hutan merupakan kewenangan dari Menteri Agraria (sekarang menjadi kewenangan Menhut). Beberapa tindakan dapat dilakukan terhadap rakyat okupan, yakni: (1) perintah pengosongan (pasal 4 jo pasal 5 ayat 3); (2) musyawarah  (pasal 5 ayat 4); dan (3) tuntutan pidana pelanggaran (kecuali yang diselesaikan sendiri berdasarkan pasal 5 ayat 1 )  dengan ancaman hukuman  kurungan 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5. 000,00 (pasal 6 ayat 3) UU No. 51/Prp/1960.
Yang pertama harus dilakukan Menhut adalah mengusahakan tercapainya penyelesaian secara musyawarah di antara para pihak, sebelum dilakukan  perintah pengosongan dan tuntutan pidana pelanggaran. Azas yang menjiwai pertimbangan tersebut ialah agar setiap masalah agraria dapat diselesaikan dengan baik/memadai sehingga tidak timbul keresahan rakyat (Sodiki, 1994: 287).
b.    Keputusan Menhut No. 292/Kpts-II/1995
Pasal 1 angka 2 Kepmenhut No. 292/Kpts-II/1995 memungkinkan Pemerintah melakukar tukar-menukar kawasan hutan yang digunakan di luar bidang kehutanan.
Menurut pasal 4 ayat (2) tukar menukar hanya diperbolehkan di antaranya untuk: “… (d) menyelesaikan pendudukan tanah kawasan hutan  tanpa izin Menteri Kehutanan (okupasi); …”.
Permohonan diajukan kepada Menhut melalui Dirut Perhutani atau Kepala Unit Perhutani setempat. Jika disetujui, maka ada beberapa kewajiban  yang harus dipenuhi pemohon, diantaranya: menyediakan dan menyerahkan tanah pengganti; membanyar ganti rugi nilai tegakan, sarana dan prasarana yang ada  dalam kawasan hutan yang dimohon, dll (pasal 11 ayat 1). Besarnya rasio tukar menukar untuk menyelesaikan sengketa berupa okupasi 1 : 1 (pasal 13 ayat 1).
c.    UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Ada dua cara untuk menyelesaikan  sengketa yang disebabkan pemakaian tanah hutan  menurut UU Kehutanan Tahun 1999 ini. Pertama, melalui pengadilan mau pun di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Jika di luar pengadilan tidak tercapai kesepakatan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan (pasal 74 ayat 1 dan 2). Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan (selain delik) dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi dan atau mengenai bentuk  tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan (pasal 75 ayat 2).
Kedua, melalui tuntutan pidana. Pasal 50 ayat (3) menyatakan bahwa secara yuridis, okupasi tanah hutan adalah dilarang. Jika dilanggar diancam pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00. Dengan demikian pemakaian tanah kawasan hutan yang illegal adalah perbuatan pidana yang dapat dituntut ke pengadilan.

2.    Model Penyelesaian Sengketa.
Von Benda-Beckmann (1990: 91) berpendapat bahwa hukum merupakan aturan yang bersifat abstrak. Hukum demikian, baik tertulis maupun tidak, berada  dalam keadaan  statis dan tidak berdaya tanpa adanya tindakan manusia.  Hukum tampak nyata dalam kehidupan  karena digerakkan oleh tingkah laku dan tindakan manusia. Hal ini disebabkan hukum itu sendiri tidak dapat bertingkah laku.
Dalam penyelesaian sengketa, hukum tampak nyata dalam proses tersebut, karena sedang digerakkan oleh tingkah dan tindakan para pihak yang bersengketa. Berbagai cara penyelesaian sengketa (Nader dan Todd, 1978: 9-10; Rahmadi, 1996: 1) dapat diungkapkan disini,  Pertama, melibatkan pihak ketiga (triadic): (a) ajudikasi (adjudication); (b) arbitrasi (arbitration); (c) mediasi (mediation); (d) konsiliasi (conciliation); dan (e) pencari fakta (fact finding).
Kedua, penyelesaian sengketa yang dilakukan antar pihak  yang bersengketa sendiri (dyadic) disebut negoisasi (negatiation). Dan ketiga, penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan secara sepihak (monadic), yakni: (a) membiarkan saja (lumping it); (b) penghindaran (avoidance); dan (c) pemaksaan (coercion).

3.    Budaya Hukum
Praktik penyelesaian sengketa pada suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari budaya hukum masyarakat yang bersangkutan. Budaya hukum (legal culture) menurut Friedman (1969: 28) seperti yang dikutip Rahardjo (1984: 82-86) dirumuskan sebagai “sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum,  bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang berkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif mau pun negatif”.
Lev (1972) menggambarkan bahwa cara-cara penyelesaian sengketa di Indonesia pada umumnya cenderung mengandung nilai-nilai  kompromistik, penjagaan terhadap perdamaian dan keseimbangan,  serta melakukan pendekatan secara lunak (soft approach). Hal ini terutama ditunjukkan oleh masyarakat Jawa dan Bali yang introvert. Meski demikian, Lev berpendapat, nilai-nilai tersebut sebenarnya merupakan penciptaan harmoni sekedar di permukan saja (Rahardjo, 1984: 92-93).

D.     Situasi  Kehutanan Di Kabupaten Lumajang
Sejarah pengelolaan hutan di Lumajang telah berlangsung lama. Pada masa pemerintahan kolonial  Belanda, Lumajang yang berhutan merupakan salah satu daerah yang diincar oleh perusahaan-perusahaan perkebunan swasta untuk dijadikan lokasi perkebunan, khususnya perkebunan kopi dan teh. Hal itu terbukti dengan diterbitkannya sekitar 23 (duapuluh tiga)  Erfpaacht Verponding  (ErV) di Kabupaten ini. Pada tahun 1930-an, keduapuluh tiga bekas perkebunan itu menjadi kawasan hutan dan dikuasai langsung  oleh Jawatan Kehutanan Belanda (Dients der Boshwezen).
Pasca kemerdekaan, kawasan hutan di Lumajang sejak tahun 1961 diserahkan pengelolaannya kepada Perusahaan Negara Kehutanan Negara berdasarkan PP No. 18 Tahun 1961 tentang Pendirian Perusahaan Kehutanan Negara (PN Perhutani) Jawa Timur jo. PP No. 53 Tahun 1999 tentang Perum Perhutani.
Secara keseluruhan kawasan hutan negara di Lumajang berada di daerah dataran tinggi, yakni di Kecamatan Tempursari, Pronojiwo, Candipuro, Pasirian, Senduro, Pasrujambe, Gucialit, Klakah, Kedungjajang, Ranuyoso dan Randuagung. Secara langsung, kawasan hutan tersebut dikuasai dan dikelola ajun adm/Kepala Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH) Lumajang, yang berada di bawah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Probolinggo - Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
Wilayah SKPH Lumajang dibagi menjadi 4 (empat) Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) yang masing-masing dipimpin seorang asisten perhutani/kepala  BKPH, yakni: BKPH: Pronojiwo, Pasirian, Senduro dan Klakah. Tiap-tiap BKPH masih dibagi lagi menjadi beberapa Resort Pemangkuan Hutan  (RPH), yang tiap RPH dipimpin oleh seorang mantri dengan beberapa mandor sebagai bawahannya. Mandor inilah yang langsung berhadapan dengan masyarakat/petani penggarap/ pesanggem, serta menangani berbagai  permasalahan yang terjadi di lapangan. Di pundak mereka beban target produksi Perhutani dapat terrealisasi atau tidak.
Luas kawasan hutan negara di Lumajang sekitar 58.429,50 ha. Luas kawasan ini termasuk paling ideal, sebab prosentasenya masih mencapai 30% dari wilayah Lumajang yang luasnya sekitar 179.090.00 ha. Sementara itu kondisi keseluruhan hutan di Jawa  tinggal 19% dari luas pulaunya yang diakibatkan oleh penebangan maupun penjarahan. Jika kawasan hutan tidak dijaga, maka P. Jawa tidak lama lagi kemungkinan akan mengalami defisit air sebesar 53% (Buletin Pusat Studi Lingkungan Hidup Ubaya, No. 4/1999).
Ada tiga fungsi pokok dan tujuan penetapan kawasan hutan di wilayah Perhutani Lumajang, yakni sebagai:
1) Hutan Lindung  (34.965,7 ha.)
2) Hutan Produksi (22.965,2 ha.)
3) Hutan Wisata (498,5 ha.).
Kawasan hutan di Lumajang tidak seluruhnya berupa tegakan-tegakan pohon. Penggunaan kawasan hutan di wilayah Perhutani Lumajang berupa:
1) Tegakan Hutan (54.665,9 ha.)
2) Kebun (582,6 ha.)
3) Sawah dan Tegal (1.530,9 ha.)
4) Pemukiman (1.428,7 ha.)
Di bawah tegakan hutan tersebut, terdapat sekitar 1.136 ha sejak tahun 1998 hingga penelitian ini dilangsungkan diusahakan untuk kegiatan perhutanan sosial yang berupa Insus Tumpangsari bagi masyarakat di sekitarnya, yang hasil seluruhnya dimiliki oleh penggarap. Dalam kegiatan ini, terjadi simbiosis-mutualisma: rakyat meningkat pendapatannya, sedangkan proses produksi Perhutani tetap terjaga dengan aman. Di samping itu, tenaga mereka secara langsung dapat dimanfaatkan oleh Perhutani dalam aktivitas produksinya.
Produksi getah pinus dan getah damar langsung ditangani Perhutani dengan  menggunakan tenaga kerja secara borongan dari penduduk yang ada di sekitar hutan (petani hutan/pesanggem). Sedang produksi kopi, cengkeh dan padi dikerjakan oleh rakyat sekitar hutan secara mandiri dengan cara menggarap tanah kawasan hutan dengan sistem bagi hasil yang perbandingannya adalah 1:3 (2/3 hasil panen untuk penggarap dan 1/3-nya Perhutani).
Perjanjian bagi hasil ini dilakukan secara individual, yakni setiap orang menandatangani perjanjian standar yang dibuat Perhutani. Secara berkala, antara 2-5 tahun sekali, perjanjian tersebut diperbaharui. Setidak-tidaknya ada 2 keuntungan didapat dari perjanjian bagi hasil tersebut. Pertama, untuk terjaminnya kepastian luas kawasan hutan negara yang sedang  digarap oleh rakyat. Kedua, tanah-tanah yang sedang digarap oleh rakyat akan mendatangkan keuntungan secara signifikan kepada Perhutani.
 Tanah hutan yang digarap oleh rakyat secara bagi hasil tersebut dikenal dengan  istilah tanah proyek  komplangan/thethelan/garapan atau ada juga dengan nama SSBM (Swa Sembada Bahan Makanan). Acuan hukum kerja sama bagi hasil ini adalah Surat Petunjuk Keja Produksi No. 2/1948/Djatim/99, tanggal 6 Desember 1966, tentang Usaha-usaha PN Perhutani di Luar Produksi Hutan.
Secara keseluruhan, target pendapatan dari kopi, cengkeh dan padi sejak bergulirnya reformasi tampak sulit dipenuhi. Sementara, target produksi getah pinus dan getah damar bisa terpenuhi, meski pun ada penebangan liar terhadap tegakan hutan  yang membonceng euforia reformasi dan kemudian melakukan okupasi tanahnya (penjarahan dan bibrikan).
Memperhatikan sitituasi kehutanan di Lumajang tersebut, maka relevan apa yang dikatakan Peluso (1992: 17-18) bahwa Perhutani Lumajang pada dasarnya memainkan 3 peran pokok: sebagai pengusaha tanah hutan (government land lord),  sebagai perusahaan kehutanan (forest enterprise), dan sebagai institusi konservasi hutan (forest consrvation institution). Sedangkan komponen sumber daya hutan yang dikuasi dan dikelola oleh Perhutani meliputi: tanah hutan (control of forest land), hasil hutan kayu dan non-kayu (control of species), dan menguasai tenaga kerja kehutanan (control of labor).

E.      Sengketa dan Proses Penyelesaiannya
Ketika terjadi peralihan persil perkebunan menjadi kawasan hutan dan dikuasai oleh Jawatan Kehutanan Belanda (Dients der Boschwezen), rupanya rakyat setempat tidak mengetahuinya. Demikian juga setelah kemerdekaan RI, rakyat tidak tahu bahwa kawasan hutan tersebut berada di bawah pengelolaan Perhutani sejak tahun 1961. Setahu mereka, sejak jaman penjajahan Belanda, tanah bongkor yang mereka tempati dan secara turun temurun mereka garap adalah eks perkebunan kopi Belanda. Telah tertanam dalam pengetahuan dan kesadaran mereka, bahwa setelah kemerdekaan RI berarti tanah tersebut adalah tanah negara bebas.
Rakyat terkejut, ketika sekitar tahun 1969-1970, Perhutani mulai mengadakan usah-usaha, seperti penanaman pohon pinus, damar dan kaliandra, untuk menunjukkan bahwa tanah tersebut adalah tanah kawasan hutan negara. Terhadap rakyat penggarap kebun kopi dan tegal/sawah dilakukan perjanjian bagi hasil 1 banding 3.
Produksi non-kayu Perhutani (getah pinus dan damar) yang memberikan keuntungan  bagi negara serta pemasukan dari hasil kebun kopi, tegal dan sawah yang dikerjakan oleh rakyat secara bagi hasil terebut berjalan lancar di zaman Orde Baru. Ini disebabkan oleh sistem politik represif untuk menunjang model pembangunan kapitalis yang dikembangkan rezim tersebut selama pemerintahannya (Bachriadi, 1997: 70).
Para mandor yang didukung situasi politik tersebut, secara arogan melakukan penekanan kepada rakyat penggarap tanah hutan untuk setor atas hasil panennya. Hal itu sebenarnya memberatkan rakyat. Tetapi mereka tidak berani melakukan perlawanan.
Inilah pemicu awal keresahan rakyat setempat. Mereka hanya  nggrundel dan rasan-rasan saja. Tanda-tanda ini adalah awal munculnya sengketa yang oleh Nader & Todd (1978: 14) disebut grievance. Kondisi seperti ini disebut sebagai  tahapan pre-conflict stage yang cenderung mengarah kepada konfrontasi yang berifat  monadik.
Bagi rakyat, tanah yang diduduki bukan hutan, sebab tidak ada pohonnya. Memaknai kawasan hutan seperti ini tentu berbeda  dengan ketentuan pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang menyebutkan bahwa “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Kawasan hutan tersebut  tidak  semuanya berisi tegakan pohon. Ada beberapa wilayah berupa  perkebunan kopi dan ada juga yang berupa areal pertanian. Secara antropologis, adanya perbedaan  pemaknaan seperti ini berarti telah terjadi conflict of values (Nurjaya, 2000: 1)
Sejak tahun 1997 rakyat penggarap melakukan perlawanan (resistensi) dalam bentuk aksi lokal (istilah Fauzi 1997: 81) dan tidak mau menyetor 1/3 hasil panennya kepada Perhutani. Mengapa? Karena penyetoran 1/3 hasil panen memberatkan jika dibanding dengan membayar pajak ke Pemerintah.
Secara yuridis formal, perbuatan itu dapat dikatakan wanprestasi, sebab mereka telah mengingkari kewajiban yang telah ditandatangani dalam surat perjanjian bagi hasil sebelumnya. Bersamaan dengan itu, terjadi penebangan secara liar di beberapa petak hutan yang berakhir dengan okupasi dan pemakaian tanahnya untuk lahan pertanian. Dengan demikian secara positif-legalistik pemakaian tanah hutan tersebut menjadi illegal.
Dengan menelusuri sejarah dan berdasarkan uraian di atas, dari kacamata yuridis formal saat ini ada  3 macam kategori pamakaian tanah hutan oleh rakyat di Lumajang, yakni:
1.    Pemakaian tanah legal:
a)    Magersari (telah puluhan tahun)
b)    Pemukiman (sejak tahun 1978)
c)    LDTI (telah puluhan tahun)
d)    Tumpangsari (sejak tahun 80-an).
2.    Illegal          legal:
a)    Tanah proyek/komplangan/ thethelan/garapan
b)    Tanah SSBM/garapan/proyek (telah puluhan tahun)
3.    Illegal: tanah jarahan/bibrikan/ okupasi (bersamaan reformasi 1997-1998).
Mulai saat itu susul menyusul dari satu lokasi yang diikuti lokasi lain, rakyat penggarap mengajukan permohonan hak milik atas tanah yang telah mereka pakai kepada Bupati Lumajang. Mengapa?  Alasannya adalah, pertama, bahwa tanah yang mereka garap selama ini adalah tanah negara bebas bekas perkebunan Belanda; kedua, mereka telah puluhan tahun memakai tanah tersebut untuk subsistensi; ketiga, terjaminnya kepastian   hak atas tanah yang telah mereka pakai.
Tentu saja Perhutani tidak bisa menerimanya, sebab institusi inilah yang secara sah – berdasarkan bukti-bukti tertulis yang ada  - menjadi ‘pemilik’ atas tanah kawasan hutan yang diajukan permohonan tersebut.
Dalam pandangan antropologis, aksi-aksi tersebut   dapat dikategorikan sebagai bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat monadik yang dilakukan  dengan coercion dan avoidance. Dikatakan  coercion, karena dengan membabat hutan, melakukan penolakan dan ancaman terhadap aparat Perhutani rakyat menginginkan hasil akhir berupa penguasaan dan pemilikan tanah hutan. Sedangkan dikatakan avoidance, karena rakyat tidak mau setor 1/3 hasil panen dan secara sepihak memutuskan hubungan sosialnya dengan aparat Perhutani.
Dihadapkan pada situasi yang demikian itu, Perhutani mencoba melakukan pendekatan kepada rakyat penggarap - dari secara halus sampai dengan yang keras – agar rakyat mau mengakui bahwa tanah itu adalah milik Perhutani. Tetapi pendekatan ini tidak berhasil, sebab keinginan lepas dari Perhutani sudah tidak dapat dibendung lagi.
Bahkan di kawasan tertentu, yakni di Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, rakyat setempat secara terang-terangan berani menolak kehadiran dan menunjukkan rasa permusuhannya kepada mantri RPH Argopuro mau pun para mandornya. Meminjam istilah Fauzi (1997: 7), ternyata rakyat tidak dapat ditaklukkan seperti yang dikembangkan Orde Baru melalui cara delegitimsi bukti-bukti hak rakyat atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya dan penaklukan dengan memanipulasi persetujuan rakyat pemohon.
Memperhatikan fenomena tersebut, maka menarik untuk mempertanyakan pendapat Lev bahwa budaya hukum masyarakat Jawa dalam menghadapi konflik biasanya didasarkan pada nilai-nilai kompromistis, menjaga keseimbangan dan perdamaian serta cenderung bersifat soft approach. Nilai-nilai ini rupanya tidak tampak pada sengketa  pertanahan di Lumajang yang bercorak vertikal. Rakyat dan Perhutani justru lebih cenderung menggunakan pamaksaan kehendak dalam penyelesaian sengketanya.
Pada kondisi ini, pre-conflict stage kemudian menjadi conflict stage. Pada tahap ini, grievance sudah mencuat ke permukaan dan mendapat tanggapan negatif, sehingga terjadi konfrontasi antara rakyat dengan aparat Perhutani. Pada situasi ini konfrontasi bersitat diadik.
Situasi yang berkembang di kawasan hutan Lumajang ini tidak lepas dari euforia reformasi yang sedang menghembus kuat di negeri ini. Era reformasi adalah era keterbukaan dan era demokratisasi. Perhutani tidak bisa lagi melakukan penekanan-penekanan kepada rakyat penggarap. Dalam era seperti ini, keinginan untuk memiliki tanah garapan tersebut tentu dikabulkan. Demikian interpretasi para pemohon yang di antaranya diutarakan oleh tokoh masyarakat yang juga mantan petinggi Oro-oro Ombo.
Merasa belum cukup memperoleh perhatian dan tanggapan yang serius, secara sporadis rakyat pemohon melakukan unjuk rasa/demonstrasi ke kantor Bupati Lumajang dan ke DPRD setempat. Di sini menunjukkan bahwa demonstrasi merupakan salah satu sarana yang dianggap cukup efektif untuk memperoleh perhatian dari penguasa. Ini adalah salah satu corak dari perlawanan petani (peasant resistances) selain aksi lokal (Fauzi, 1997: 83).
Berangkat dari kegagalan Perhutani untuk melakukan pendekatan dengan rakyat (negosiasi), maka untuk memastikan bahwa tanah yang dimohon tersebut adalah tanah kawasan negara, Perhutani Lumajang melakukan kerjasama dan koordinasi berkali-kali dengan berbagai pihak, baik instansi vertikal  mau pun horisontal, khususnya Pemerintah Kabupaten Lumajang, untuk mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan permohonan tersebut.
Bupati Lumajang menanggapi serius terhadap sengketa tanah hutan yang diakibatkan oleh permohonan rakyatnya. Keseriusan Bupati tersebut tampak tidak lepas dari imbas tekanan secara langsung mau pun tidak dari semangat reformasi agar negara memberi perhatian dan keberpihakan kepada rakyatnya. Hal ini  diakui oleh hd dari BKPH Pronojiwo :”… Rupanya aparat pemerintah memihak kepada rakyat”. Sementara Kepala Kantor Pertanahan Lumajang juga menyatakan  bahwa: ”… saat ini kita sedang berada pada suatu momen yang saya kira ya berpihak pada rakyat”.
Sebagai kepada wilayah yang mempunyai tugas membina ketentraman dan ketertiban di wilayahnya, Bupati melakukan 3 (tiga) macam tindakan dalam rangka menyelesaikan  sengketa tanah hutan tersebut. Pertama, meneruskan permohonan rakyatnya ke instansi vertikal yang berwenang. Yang sangat menentukan adalah surat Bupati No. 590/256/434.22/1999 tanggal 24 Juni 1999 kepada Menhutbun dan Meneg Agraria/Kepala BPN perihal Permohonan Penelitian dan Peninjauan Lapangan Atas Permasalahan Tanah Kawasan Hutan Dengan Masyarakat, yang mendapat jawaban dari Asmen  agraria Bidang Tata Agraria No. 570-884/Asmen.I/VII/1999 tanggal 2 Juli 1999 yang intinya bahwa sengketa tanh kawasan hutan di Lumajang akan dilakukan peninjauan lapangan  oleh Panitia Kerja Tetap Pusat (Panjatap) pada tanggal 6-8 Juli 1999.
Setelah melakukan peninjauan lapangan, Asmen Agraria tersebut berkirim surat No.540.5-890/Asmen.I/VII/99 tanggal 12 Juli 1999, perihal Laporan Rapat Panjatap Dan Peninjauan Lapangan Penanganan Masalah Kehutanan Yanag Berkaitan Dengan Masalah Pertnahan Di Kabupaten Lumajang Jawa Timur, kepada Menhutbun dan Meneg Agraria/Ka BPN. Balasan dari Menhutbun No. 1437/Menhutbun VIII/99 tanggal 21 Septembar 1999 dan surat Meneg Agraria No. 400.3193 tanggal 5 Agustus 1999, yang intinya menyetujui rekomendasi Panjatap dan memberi petunjuk mengenai mekanisme penyelesaian permohonan rakyat atas tanah kawasan hutan.
Kedua, memimpin koordinasi dengan instansi terkait dan mengundang pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan musyawarah. Koordinasi dengan Perhutani dalam rangka memperoleh kepastian tentang status tanah yang dimohon rakyat, dan mengundang rakyatnya untuk mengetahui secara persis keinginan mereka.
Ketiga, membentuk tim yang ditugaskan untuk menangani penyelesaian permohonan tersebut. Selama proses penyelesaian sengketa tanah tersebut, telah 2 (dua) kali dibentuk tim dimaksud, yakni: Tim pertama adalah Tim Terpadu Penertiban Permasalahan Masyarakat Berkaitan Dengan Keinginan Menguasai Tanah Milik Negara Atau Tanah Negara Yang Dikelola Oleh Perum Perhutani Di Kabupten Lumajang. Dan Tim kedua adalah Tim Pelaksana Tukar Menukar Tanah Kawasan Hutan Yang Dikelola Oleh Perum Perhutani Dan Dimohon Oleh Masyarakat Di Kabupaten Lumajang. Tim ini merupakan peningkatan dari Tim Terpadu yang ada sebelumnya.
Setelah itu Bupati Lumajang menyusun  pokok-pokok kebijakan dalam rangka menyelesaikan masalah sengketa tanah tersebut yang intinya adalah sebagai berikut:
1)    seluruh permohonan rakyat pemakai tanah kawasan hutan (pemukiman mau pun garapan) yang telah lama keberadaannya disetujui untuk dikonversi menjadi hak milik, dengan catatan setelah ada penggantinya dengan rasio 1:1.
2)    Luas tanah garapan yang boleh mereka kuasai dan miliki maksimal 10.000 m2 termasuk tanah garapan di luar obyek untuk setiap KK. Sedang luas areal Pemukiman maksimal adalah 2.000 m2 setiap KK. Jika ada kelebihan batas maksimal dari yang ditentukan, maka kelebihannya diberikan kedapa anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan belum memiliki tanah garapan.
3)    Rakyat pemakai tanah kawasan hutan yang dilakukan secara  illegal/bibrikan/okupasi, tidak diikutkan dalam proses tukar menukar. Tanah bibrikan harus dikembalikan kepada Perhutani.
4)    Sebelum ada tanah pengganti, tanah kawasan hutan tersebut tidak dilepaskan oleh Menhutbun. Sementara menunggu tanah pengganti, rakyat akan dibuatkan Surat Ijin Menggarap (SIM), dan  jika sudah ada tanah pengganti maka SIM tersebut akan ditingkatkan menjadi sertifikat hak milik.
5)    Yang menyediakan tanah pengganti adalah Tim Tingkat I yang terdiri atas Kanwil PBN, kanwil Dephutbun dan Perhutani, sedang rakyat pemakai tanah kawasan hutan tidak dibebani tanah pengganti.
Pokok-pokok kebijakan Bupati tersebut mendapat penguatan dari Kepala Kanwil Dephutbun seperti yang terbaca dari  suratnya No. 1890/Kwl-6/1999 tanggal 30 Oktober 1999 yang ditunjukkan kepada Menhutbun perihal Penyelesaian Sengketa Tanah Di Lumajang. Di dalamnya juga ditegaskan bahwa Kanwil BPN, Kanwil Dephutbun, Perhutani Unit II Jawa Timur dan Disbun Tk I akan segera menginventarisasi areal perkebunan eks Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah habis berlakunya dan diterlantarkan untuk menjadi pengganti/penukar dari tanah yang akan dilepaskan tersebut. Tanah pengganti tersebut tidak  harus berada di Lumajang. Yang terpenting dari proses itu adalah luas kawasan hutan tidak terkurangi keberadaannya.
Secara keseluruhan, tanah kawasan hutan negara yang dimohon rakyat dan akhirnya menjadi obyek sengketa tersebut berada di wilayah kerja  Perhutani BKPH Pronojiwo, BKPH Pasirian dan BKPH Senduro. Tanah-tanah tersebut termasuk areal yang cukup subur untuk jenis tanaman seperti kopi dan cengkeh serta pertanian padi. Sedangkan kawasan hutan di wilayah kerja Perhutani BKPH Klakah terhindar dari sengketa tanah hutan tersebut.
Tanah kawasan hutan negara yang dipakai  rakyat di Kabupaten Lumajang  yang diajukan untuk memperoleh hak milik dan sedang diproses, adalah seluas ± 4.002 ha., yang terdiri: (a) tanah pemukiman/perkampungan 1.638 ha., dan (b) tanah garapan 2.364 ha. Jumalah pemohon seluruhnya adalah sebanyak ± 7.072 KK. Sedang untuk tanah garapan baru yang berasal dari penjarahan seluas ± 718,27 ha. tidak  diikutkan dalam proses ini.
Dengan demikian, kasus pemakaian tanah kawasan hutan di Lumajang ini tidak diselesaiakan oleh Perhutani melalui perintah pengosongan mau pun dilekukan  penuntutan secara pidana (pasal 5 ayat 4, pasal 4 dan pasal 6 UU No. 51/Prp/1960; pasal 50 ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999). Tetapi melalui mekanisme tukar menukar menurut Kepmenhut No. 292/Kpts-II/95. Ajun Adm/Kepala SKPH Lumajang menuturkan bahwa: “Kita punya aturan yang membolehkan menyelesaikan dengan tukar menukar. Rekomendasi Menhut intinya adalah … harus disediakan tanah pengganti rasionya 1:1 …”.
Fenomena pelibatan Muspida dan keaktivan Bupati Lumajang dalam konflik menunjukkan tahap ketiga konflik yang oleh Nader & Todd (1978:15) disebut sebagai dispute stage. Ini berarti konflik antar pihak ditujukan dan dibawa ke arena publik untuk kemudian diproses dan diselesaikan dengan instusi penyelesaian sengketa tertentu dengan melibatkan pihak ketiga.
Tindakan Bupati tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan mediasi sekaligus quasi pencari fakta. Dikatakan quasi pencari fakta sebab  posisi Bupati bukanlah sebagai pihak yang netral dan imparsial yang ditunjuk oleh pihak yang bersengketa. Atas inisiatifnya sendiri Bupati mengumpulkan bahan atau keterangan guna dianalisis dan dievaluasi dengan tujuan untuk memperjelas masalah yang menimbulkan sengketa disertai rekomendasi pemecahan masalah. Hasil dari tindakan tersebut kemudian didayagunakan melalui proses mediasi yang dilakukan oleh Bupati.
Yang unik dari kasus ini adalah adanya penyimpangan hukum terhadap Kepmenhut No. 292/Kpts-II/95 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Kepmenhut, seharusnya rakyat sendiri yang mengajukan permohonan kepada Menhutbun dan sekaligus menyediakan tanah penggantinya. Akan tetapi dalam kasus ini  yang mengajukan permohonan  dan penyediaan tanah pengganti untuk tukar menukar kawasan hutan justru pemerintah sendiri (Bupati). Selama belum ada pengganti, rakyat pemohon diperkenannkan untuk terus memakai tanah kawasan hutan dan kepada mereka akan diberikan SIM, yang suatu saat akan dikonversi menjadi sertifikat hak milik.
Mekanisme hukum dalam penyelesaian tanah hutan di Lumajang tersebut dapat dikatakan sebagai tipe hukum yang responsif. Seperti dikemukakan Nonet dan Selznick (1978: 14-15), hukum responsif adalah hukum sebagai fasilitator dan respons terhadap kebutuhan-kebutuhan  dan aspirasi-aspirasi sosial. Hukum responsif demikian tidak terlampau terikat dengan formalitas dan prosedur yang baku.  Yang terpenting  adalah tercapainya kepentingan kerakyatan baik sebagai tujuan hukum mau pun cara mencapainya.
Proses hukum penyelesaian sengketa tanah hutan di Lumajang tersebut memperjelas pernyataan von Benda-Beckmann (1990: 91) bahwa hukum itu tampak melakukan sesuatu dan saling berinteraksi karena adanya tingkah laku dan tindakan manusia. Ketika hukum bertingkah laku, tidak sesederhana seperti memencet tombol listrik yang langsung bisa menyalakan lampu. Jalannya hukum ternyata berliku-liku dan praktiknya tidak persis sama dengan bunyi pasal yang ada dalam peraturan hukum. Perilaku hukum di lumajang tersebut semakin memperjelas pernyataan Rahardjo (Kompas, 24 Mei 2000), bahwa sangat keliru dan tidak tepat mengatakan bahwa dengan sudah disahkannya suatu peraturan perundang-undangan dalam lembaran Negara, maka dengan begitu segalanya akan selesai dan jelas.

F. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa tanah di kawasan hutan negara yang terletak di Kabupaten Lumajang dilakukan melalui mekanisme tukar-menukar yang sedikit menyimpang dari ketentuan hukum yang ada. Tetapi ini justru dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Keberpihakan pemerintah (terutama Bupati Lumajang) kepada rakyatnya sekaligus tanpa harus ‘mengalahkan’ Perhutani  menjadi sangat penting untuk  sampai pada akhir penyelesaian kasus hukum tersebut, meski baru sementara.
Berdasarkan temuan di lapangan, tampaknya faktor budaya sulit untuk menjadi mekanisne pijakan bagi penyelesaian sengkata yang bercorak vertikal, seperti dalam kasus di Lumajang. Keinginan yang kuat untuk memperoleh hak milik,  menjadikan  rakyat tidak lagi terikat dengan nilai-nilai yang selama ini  dianggap menjadi milik dari masyarakat Jawa, seperti nilai kompromistis, penjagaan terhadap perdamaian dan keseimbangan, serta melakukan pendekatan secara lunak (soft approach).
Secara praktis, mekanisme hukum penyelesaian sengketa tanah di kawasan hutan negara di Kabupaten Lumajang dapat dipertimbangkan untuk kepentingan penyelesaian serupa di lokasi lain. Akan tetapi perlu dicatat, jika setiap permohonan hak milik atas tanah kawasan hutan yang dipakai oleh rakyat dikabulkan pemerintah dengan melalui tukar menukar yang tanahnya akan disediakan oleh pemerintah, maka naif sekali penyelesaian semacam itu terus dilakukan. Dimana lagi pemerintah akan memperoleh tanah pengganti di Pulau Jawa yang semakin padat penduduk.
-----
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, N. (Ed) (1997) Tanah Dan Pembangunan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Bogdan R.C. & Biklen, S.K (1982) Qualitative Research for Education:  An Inntroduction to Treory and Methods. Allyn and Bacon Inc., Boston, London, Sydnaey, Toronto.
Buletin Pusat studi Lingkungan  Hidup Ubaya, No. 4/1999
Friedman, L.M. (1969) On Legal Development, Rutgers Law Review. Vol. 24, 1969.
Lev, D.S. (1972) Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia. In Culturen and Politics in Indonesia. Claire Holt. Cornel University Press, Ithaca.
Nader, L & Todd, H.F. (1978) The Disputing Process Law in Ten Societies Colombia  University Press, New York.
Nonet, P & Selznick, P. (1978) Law And Society In Transition: Toward Responsive Law. Harper & Row, New York.
Nurjaya, I.N. (1999) Menuju Pengelolaan Sumbe Daya Hutan Yang Berorientasi pada Pola Kooperatif: Perspektif Legal Formal. Makalah disampaikan dalam Workshop  Peningkatan Fungsi dan Manfaat Sumber Daya Hutan Untuk Pengembangan Perusahaan Dan Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM dengan Perum Perhutani, 29-30 Maret 1999.
--------------(2000)  Konflik Dan Budaya Penyelesaian Konflik Dalam Masyarakat: Perspektif Antropologi Hukum.  Makalah disampaikan dalam Lokakarya Belajar Bersama Mengelola Konflik Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Latin dan BSP-KEMALA,  10-13 Maret 2000, Jember.
Peluso, N.L. (1992) Rich Forest, Poor People: Resource Control And Resistence in Java.University of California Press. USA.
Prakosa, M. (1996) Renjana Kebijakan Kehutanan. Aditya Media, Yogyakarta.
Rahardjo, S. (1984) Hukum dan Masyarakat. Angkasa, Bandung.
-------------,Tindakan Menjadi Tawanan Undang-undang. Kompas, 24 Mei 2000,p.4.
 Rahmadi, T (1996) Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Makalah Penataan Hukum Lingkungan 4-12 Januari 1996. Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
Simon, H. (1994) Merencanakan  Pembanganan Hutan Untuk strategi Kehutanan Sosial. Aditya Media, Yogyakarta.
Sodiki, A. (1994) Penataan Kepemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan Kabupeten malang (Studi tentang Dinamika Hukum). Disertai Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya.
Soetrisno, L. (1995) Menuju Masyarakat Partisipatif.kanisius, Yogyakarta.
Strauss, A. & Corbin, J. (1990) Basic Qualitatif Research: Grounded Theory Procedure and Techniques. Sage  Publication, London.
Von Benda-Beckmann, F. (1990)  Some Comparative Generalizations About The Differential Use of State and Folk Institutions of Dispute Settlement. In People’s Law and State Law (Eds, Allot, A.N. & Woodman, G.), p. 1888. Foris, Dordrecht.



* Anis Ibrahim,SH.,MHum. adalah dosen PNS dpk pada STIH Jenderal Sudirman Lumajang.